Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.
Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.
Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.
Mamanya memang begitu mencintai papanya. Rasa kehilangan yang amat sangat besarlah yang membuat mamanya berada dalam kondisi lemah dan tak berdaya seperti ini. Setelah kepergian papanya, mamanya lebih sering menyendiri, mengabaikan anak-anaknya. Di situlah titik terendah keluarga mereka. Satu persatu cobaan meruntuhkan kebahagiaan keluarga mereka. Dan penyebab papanya pergi adalah karena dirinya.
Seketika Alea menepis ingatan masa lalu yang timbul di sudut pikirannya ketika perutnya mulai terasa tak nyaman. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia selalu butuh pertahanan diri yang lebih kuat dari kenangan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam saat datang ke rumah sakit. Semuanya sudah terjadi dan menyalahkan dirinya sendiri tak akan mengembalikan satu detik pun dari semua waktu yang sudah terlewat. Tak akan mengurangi sedikit pun kepedihan keluarganya. Arsen sudah mengembalikan semuanya seperti semula, meski beberapa hal tak bisa kembali seutuhnya. Seperti kepergian papa dan keadaan mamanya saat ini.
“Apa Mama baik-baik saja hari ini?” Alea mengusap tangan lalu memasang senyum. “Putri Mama akan menikah, apa Mama tidak ingin melihat pernikahanku?”
Alea mengerjap, mencegah rasa panas yang mulai muncul di sudut mata. Hampir empat tahun melihat mamanya yang lemah dan tak berdaya, ternyata tak membuat Alea terbiasa dengan kepedihan.
Terkadang keputus-asaan mendera, tak tertahankan melihat kondisi mamanya yang tidak berkembang sedikit pun. Tetapi, ia percaya, ia tak pernah berhenti berharap, bahwa suatu saat nanti mamanya akan bangun dan kembali melengkapi kehidupan mereka. Melihat bahwa keluarga mereka masih hidup, masih berjuang, dan hidup dengan baik-baik saja. Sebagai penyemangat bahwa mamanya juga pasti bisa melewati cobaan ini juga.
Lama Alea termenung, menatap wajah mamanya yang tak pernah bosan ia nikmati. Seolah dengan melihat mamanya yang bernapas, ia masih memiliki cinta dan kasih orang tua. Menyerap semua kasih sayang dari wajah pucat itu sebagai kekuatan untuk bertahan hidup.
Tak lama, keheningan ruangan itu terpecah oleh suara pintu yang dibuka. Alea memutar kepala dan melihat kakak sulungnya muncul.
“Kau di sini?” Sekilas keterkejutan muncul di manik Arsen melihat Alea yang duduk di samping ranjang mamanya. Memasang ketenangan di wajah, ia pun menutup pintu dan berjalan mendekati Alea.
Alea mengerutkan kening. Arsen tak pernah datang ke rumah sakit di waktu jam kerja seperti saat ini. Kakaknya itu selalu menyempatkan diri untuk melihat mamanya sebelum berangkat atau sepulang kerja. Kecuali ...
“Apa dokter memanggilmu?” tanya Alea dengan kekhawatiran yang mulai muncul di matanya.
Arsen menggeleng. Berhenti tepat di samping Alea dan menjawab dengan sikap santainya. “Aku sedang ada pertemuan di dekat sini,” bohongnya.
Dokter memanggilnya secara mendadak beberapa hari yang lalu. Keadaan mamanya tiba-tiba kritis karena serangan jantung dan beruntung berhasil melewati masa kritis setelah dipindahkan di ruang ICU selama tiga hari. Itulah sebabnya Arsen menyempatkan waktu untuk mengecek keadaan mamanya lebih sering daripada biasanya. Alea tak tahu menahu tentang hal itu dan Arsen tak berniat memberitahu tentang keadaan mamanya yang semakin menurun.
Semua kerja keras Arsen dan harapan yang dimiliki Alea tak sedikit pun menggerakkan hati Natasya Mahendra untuk membuka mata. Seolah mamanya sudah terlalu bosan dan enggan untuk hidup lebih lama lagi. Tersesat dalam harapan yang mati. Menyerah pada pahitnya kehidupan. Tak sabar meninggalkan buah cinta yang pernah mewarnai kehidupan mamanya untuk bergabung dengan sang kekasih di keabadian.
Ck, mamanya memang seegois itu.
Dari mamanya, Arsen tak pernah tahu dan tak berniat mencari tahu dengan yang namanya cinta. Hidupnya sudah terlalu berat tanpa ada kata sialan itu. Sudah cukup apa yang terjadi pada mamanya dijadikan sebagai contoh menyedihkan sebuah kehidupan. Baginya, cinta adalah kekosongan, kehampaan, dan satu-satunya alasan orang bersikap bodoh. Semua itu adalah gambaran yang gamblang menjelaskan tentang keadaan mamanya. Atau seperti itulah cinta yang mamanya kenal. Karena bagi seorang, cinta yang ia ketahui bukanlah sebuah rasa atau sebentuk emosi. Melainkan hanya salah satu bentuk dari materi. Yang bisa disentuh dengan tangan dan dilihat dengan mata. Seberapa banyak kau bisa memberikan kemewahan, maka cinta akan membalasnya dengan cara yang seimbang.
Nyatanya, Karen baik-baik saja setelah perjodohan yang ia atur. Adik perempuannya itu bahagia dengan semua kemewahan yang diberikan sang suami. Dan Alea, awal kali mungkin adik bungsunya itu bersikeras menolak rencana ini. Arsen bisa memaklumi itu.
Karena Alea tipe orang yang tak bisa dengan mudah akrab dengan orang asing. Alea selalu bermasalah dan menjaga jarak dengan orang asing. Bahkan adiknya itu selalu mengeluh saat ada salah satu pelayan baru menggantikan pelayan lama yang berhenti lalu mulai menjaga jarak dan merasa tak nyaman.
Akan tetapi, Arsen yakin adiknya itu juga akan berakhir sama seperti Karen. Akan bahagia dengan segala kemewahan yang dimanjakan Cage untuk Alea.
“Apa mama baik-baik saja?”
“Ya, dia baik-baik saja.” Arsen menyentuh pundak Alea, meremasnya sedikit dan Alea mendesah dengan lega. Kemudian, tatapan Arsen kembali pada mata sang mama yang terpejam. Berharap dalam hatinya, ‘Setidaknya Mama harus bertahan sampai Alea menyelesaikan pernikahannya, kan? Aku akan membuatnya menjadi wanita tercantik di hari pernikahannya.’
***
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Ka
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jangan!” jerit Alea dengan air mata yang mulai merebak. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri ke arah Alec yang ada di atas tubuhnya. “Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”“Apa yang membuatmu berhak memerintahku, Alea?”“Aku ... aku akan menikah denganmu. Maafkan aku.”“Semua sudah terlambat. Kau sudah mengacaukan pernikahan kita dan mempermalukan keluargaku dengan cara paling hina. Aku tak pernah merasa sehina ini seumur hidupku.”“Aku mohon ... aku minta maaf. Aku bersalah padamu dan aku menyesal.”“Permohonan, permintamaafan, rasa bersalah, dan penyesalanmu. Sepertinya semua masih tak sebanding dengan penghinaan“Kali ini saja, tolong ampuni aku, Alec. Aku akan memberikan tubuhku untukmu dengan sukarela. Tapi ...”“Aku harus menikahimu lebih dulu?” cemooh Alec dengan dengusan sinisnya.Alea mengangguk putus asa. Arsen be
Kepedihan di manik Arza sama besarnya dengan yang Alea rasakan. Pria itu berpaling membawa semua kehancuran di hatinya. Memendamnya dalam-dalam di dasar hatinya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Ia tak memiliki apa-apa sebelum keluarga ini menerima dirinya dengan tangan terbuka. Memberinya tempat tinggal dan sebuah kehidupan. Sudah seharusnya ia menahan hatinya kuat-kuat agar tak kehilangan keluarganya.“Apa acaranya sudah usai?” Alea berucap gugup dengan wajahnya yang tiba-tiba memucat menatap punggung Arza menjauh. “Aku ... aku ingin kembali ke kamarku.”“Pergilah. Aku perlu menyapa temanku.” Alec mengangguk singkat menyadari keberadaan Roy yang tampak menundukkan kepala menjaga kesopanan karena melihatnya mencium Alea di tempat umum seperti ini. Di saat para sanak saudara dan tamu yang masih menikmati hidangan di sekitar meja Alec dan Alea.Alea bangkit berdiri dan meninggalkan pesta melewati jalanan setapak berba
Resepsi berlangsung dengan sangat meriah. Semua tamu undangan berasal hanya dari kalangan elit dan artis-artis ternama, yang meskipun dibatasi hanya beberapa undangan penting, tetap saja para tamu memenuhi aula gedung Cage Group yang luas.Alea memasang senyum palsu dengan sikap enggan. Kebanyakan para tamu yang sering ia jumpai, adalah konglomerat yang sudah sering menyatakan cinta padanya. Senyum mereka tak benar-benar tulus saat memberikan selamat padanya. Dan ia yakin para gadis yang bergerombol di beberapa sudut juga tengah mengobrolkan dirinya. Dari wajah mereka sudah jelas yang mereka bahas hanyalah kejelekannya.“Kau benar-benar menikah?” Suara wanita cantik dengan gaun menyentuh lantai berwarna hitam yang menampakkan belahan kaki dan seluruh kulit telanjang punggungnya, menyapa Alec. Rambutnya yang bergelombang dicat merah dan dibiarkan terurai, dengan hiasan mutiara berwarna hitam yang disusun membentuk gelombang. Wanita itu melirik sinis ke arah
Dalam satu jam, semua perintah Jean Cage dilaksanakan dengan cepat dan tanggap. Semua pengawal dan pelayan melakukan tugas mereka tanpa hambatan sedikit pun. Dan di sinilah saat ini Alea berada. Di ruang tidur Alec, yang sudah dihias dengan segalam macam pernak-pernik khas kamar pengantin baru.Bunga-bunga hampir di setiap meja dan sudut kamar. Kelopak bunga mawar yang disebar di seluruh ranjang. Dan lampu kamar yang diatur dengan cahaya temaram. Alea mengalihkan pikirannya dari segala macam hiasan di kamar. Tampak gugup menatap penampilannya di depan cermin.Matanya terpejam ketika membuka jubah tidurnya dan melihat tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis berenda berwarna peach. Kain itu sama sekali tak menutupi kulitnya sedikit pun. Desahan keras lolos dari bibirnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Tak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Alec pada tubuhnya.Kilasan ketika Alec mendorong tubuhnya berbaring di meja kerja pria itu kembali melintas.
Rasa sakit dan remuk di seluruh tulang-tulangnya membangunkan Alea dari tidurnya yang terlalu lelap. Ia tahu di mana dirinya berada dan dengkur halus siapa yang berhembus di ujung kepala bagian belakangnya. Sambil menahan ringisan karena rasa nyeri yang berpusat di pangkal paha, Alea berusaha memindahkan lengan Alec yang melingkari pinggangnya sepelan mungkin. Mendesah lega melihat Alec yang masih terlelap dalam tidurnya ketika berhasil duduk dan memisahkan tubuh dari Alec.Alea memegang selimut menutupi ketelanjangannya hingga di dada, kepalanya melongok ke lantai mencari kain di sekitarnya. Bersyukur jubah tidurnya teronggok tak jauh dari kakinya. Setelah mengenakan kain untuk menutupi kulitnya, Alea turun dari ranjang dengan hati-hati. Kepalanya menoleh ketika mendengar getar ringan dari arah nakas sebelum ia sempat berdiri. Ia pun memungut benda persegi berwarna merah muda tersebut dan berdiri. Rasa sakit di antara kedua kaki membuat Alea sedikit kesusahan mencapai pintu
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men