Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.
Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.
Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar dengan pengkhianatan memalukan seperti ini. Alea perlu diberi pelajaran untuk menghargai kemurahan hatinya.
“Amankan cctv dan periksa kamarnya dengan teliti,” perintah Alec pada tiga pengawal lainnya yang datang menghampiri ketika menyeberangin lorong. “Jaga ketat jalan keluar dan pastikan kalian menelusuri semua tempat di rumah ini. Panggil yang lainnya untuk bersiap jika dia berada di luar rumah. Berjaga di jalur yang kemungkinan dia gunakan untuk melarikan diri .”
Dengan teratur dan cekatan, ketiga pengawal itu berpencar. Satu ke gerbang rumah, satu ke lantai dua, dan satunya ke ruang keamanan. Hanya tertinggal kepala pengawalnya yang masih berdiri di belakang Alec menunggu perintah selanjutnya.
Akan tetapi, sebelum Alec sempat membuka perintah tersebut, ia melihat Arsen yang tampak kesal memaki para pengawal-pengawal pria itu yang terlihat tolol. Alec mendengus dalam hati. Pria itu memang handal memegang kendali perusahaan dengan otak cerdasnya, tapi untuk hal keamanan jelas nol besar. Melihat tampang pengawal-pengawal yang dipekerjakan Arsen, yang semuanya berwajah tolol dan bertubuh kurus kering. Apa yang bisa diandalkan selain memotong rumput di halaman belakang. Sungguh menyedihkan.
Tatapan dingin Alec bertemu dengan manik Arsen yang sepertinya lebih mampu memedam kemarahan dibanding dirinya.
“Di antara ratusan wanita yang bersedia telanjang di ranjangku, adik kesayanganmu meninggalkanku di hari pernikahan kami?” Alec berdecak mencemooh. “Kali ini, kuyakinkan padamu bahwa kau tak akan bisa menyelamatkannya dari genggamanku, Arsen.”
Alec menatap jam tangan di pergelangan tangannya yang menunjukkan jam sembilan pagi lebih sepuluh menit. “Roy, kerahkan semua bawahanmu untuk menemukan Alea Mahendra dalam satu jam. Aku tak peduli dalam keadaan mati atau hidup. Karena aku tak tahu mana yang lebih baik dari keduanya.” Alec mengakhiri kalimatnya dan memutus kontak mata dengan Arsen dan melewati ruangan itu.
Arsen menggeram sambil menendang meja kaca di sampingnya hingga terbelah dan jatuh ke lantai menjadi pecahan-pecahan tajam. Kali ini, bukan hanya Alea yang berada dalam bahaya, melainkan posisinya juga.
“Pergi kalian!” bentak Arsen pada ketiga pengawalnya. Sialan, seharusnya ia tak meremehkan penolakan-penolakan Alea yang ia pikir tak berarti. Alea memang gadis penurut dan lemah yang rapuh. Tak pernah membayangkan jika adik kecilnya itu akan bertindak senekat ini di saat terjepit.
Setelah butuh lebih dari lima menit untuk meredakan kekesalannya, Arsen berjalan keluar mengikuti Alec ke ruang tengah. Bersamaan dengan salah satu pengawal Alec yang baru saja turun dari tangga lantai dua dengan sesuatu di tangan.
Dahi Arsen berkerut ketika pengawal itu mengulurkan tangan pada Alec yang duduk di kepala kursi ruang tamunya. Bersikap berkuasa hanya untuk membuktikan bahwa Arsen hanyalah seorang bawahan. Arsen mengenali benda itu adalah ponsel Alea ketika langkahnya semakin mendekati Alec.
Alea melihat panggilan terakhir di ponsel Alea. Nama Arza sebagai satu-satunya orang yang berbicara dengan Alea sebelum wanita itu melarikan diri. “Arza?”
Arsen membelalak. Wajahnya kaku dan kepucatan melintasi wajahnya dengan tatapan tajam Alec yang kini sudah terangkat ke matanya dan terasa menusuk. Menyuruh Arsen menjelaskan tanpa harus diminta. Tetapi, Arsen tak bersuara. Tampak berpikir keras sebelum membuka suara.
Dan keheningan itu terpecah dengan kemunculan Arza di ruangan tersebut. Setengah berlari mendekati Arsen dan terengah ketika berhenti. “Pengawal baru saja memberitahu ...”
“Apa kau membantunya melarikan diri?” tanya Alec memotong kalimat Arza.
Arza tampak terkejut kaget dengan pertanyaan bernada tuduhan yang dilontarkan Alec begitu saja. Ia menggeleng keras sambil menarik napas panjang dan menjawab, “Aku ... dia begitu gugup dengan pernikahan ini. Dia menelponku dan aku hanya menenangkannya.”
Alec mendengus keras sambil melempar ponsel Alea ke karpet tepat di kaki Arza. “Omong kosong!”
Arza membungkuk mengambil ponsel Alea. Menatap Arsen lalu beralih pada Alec. Kemarahan di balik wajah dingin Alec tampak mengerikan. Pantas saja Alea begitu takut pada pria itu hingga melarikan diri seperti ini. Mendadak ia jadi tak yakin dengan keputusan Arsen dengan kesepatakan kakak angkatnya dengan Alec.
“Di mana kau ketika Alea menelpon?” Arsen bertanya dengan ketenangan yang dipaksakan. Sesaat ia mencurigai Arzalah yang membantu Alea kabur, tapi keterkejutan di wajah Arza ketika Alec melemparkan tuduhan bukanlah kebohongan. Kali ini Alea melakukan tindakan gegabah ini tanpa sepengatahuan Arza.
“Aku di halaman belakang menyambut kerabat yang datang dan tamu undanganmu dari pihak Alec. Menunjukkan kursi mereka. Bukankah aku melakukannya denganmu?” Arza lalu menoleh ke arah Alec. “Kau melihatnya.”
Arsen terdiam sebagai penerimaan akan alibi Arza.
Alec yang seakan tak percaya jawaban Arza memaksa diri menerima jawaban Arza. Ia memang melihat Arza sibuk dengan para undangan. Begitupun dirinya.
“Cctv?” tanya Arza kemudian dengan keterdiaman Arsen dan Alec.
“Aku sudah memeriksanya. Tidak ada yang melihatnya melewati pintu gerbang,” jawab Arsen. Tepat setelah Arsen menutup mulut, Roy pengawal Alec muncul. Memberitahu bahwa Alea menyelinap ke mobil box catering untuk mengelabui penjaga. Selesai sudah. Harapannya jika Alea masih berada di sekitar rumah yang membuatnya lebih mudah membujuk Alec, hancur begitu saja. Kali ini ia tak yakin pernikahan ini bisa diselamatkan atau tidak. Ia bahkan tak yakin adik kecilnya itu bisa selamat atau tidak dari genggaman Alec. Melihat kemurkaan sangat besar yang membayang di manik Alea, menungg saat yang tepat untuk diluapkan pada Alea.
“Kau tahu apa yang harus dilakukan, Roy.” Bibir Alec menipis ketika memberita perintah tersebut. Tatapannya mengunci mata Arsen dengan kemenangan yang arogan.
Roy mengangguk patuh, lalu berpamit dan melakukan panggilan di ponsel untuk mengerahkan anak buahnya yang ada di luar dengan langkah cepat keluar dari ruangan tersebut.
Alec mendorong punggungnya menempel di sandaran sofa kulit coklat tua tersebut, meyilangkan kaki dan duduk dengan sangat nyaman di antara ketegangan kedua adik kakak yang ada di hadapanny saat ini. “Jadi, sambil menunggu bungsu Mahendra bermain-main, sepertinya kita perlu membahas ulang tentang pernikahan ini.”
Untuk kedua kalinya Arsen kehilangan kepercayaan diri di hadapan Alec Cage. Di acara pesta malam itu ketika Arsen secara sembrono mengumumkan bahwa pria itu kembali sebagai pewaris sah MH di hadapan para tamu undangan, dan sekarang di saat Alea yang seharusnya menjadi penyelesaian masalah pertamanya malah membuat masalah baru yang bukan hanya sekedar membahayakan posisinya. Melainkan membahayakan nyawa mereka berdua.
“Kali ini keputusan ada di tanganku. Terserah aku memilikinya dengan cara apa. Karena sudah jelas adik kesayanganmu itu tidak tahu cara berterima kasih,” lanjut Alec.
Mata Arza melebar marah, bibirnya sudah terbuka dan protesnya sudah di ujung lidah. Namun, tatapan dan gelengan samar kakak angkatnya membuat Arza terbungkam. Hanya mampu mengepalkan kedua tangan sebagai ungkapan kemarahan terhadap kearogansian Alec.
Seringai di bibir Alec semakin meninggi ketika kedua kakak beradik itu kini tak berdaya di bawah kakinya. “Atau kauingin menukar posisimu kembali, Arsen? Meskipun tak mudah menganggap semua penghinaan ini sebagai niat dari ketulusan hatimu, aku akan melupakannya. Setidaknya aku sudah sedikit membayar rasa penasaranku pada tubuh adikmu. Yang sekarang menjadi tak semenarik kemarin ...”
Arza yang tak mampu mengendalikan amarahnya, melompat ke arah Alec. Melayangkan satu tinju ke arah wajah Alec. “Berengsek kau!”
Mata Arsen terpejam. Membahayakan nyawa mereka bertiga, ia memperbaiki. Meski sesungguhnya dirinyalah yang berniat melompat dan menghancurkan wajah Alec beberapa detik yang lalu. Setidaknya kearogansian Alec perlu ditegur.
Alec sudah memperkirakan reaksi tersebut dari Arsen atau Arza. Tetapi bukan Alec namanya jika semudah itu seseorang menggoreskan lecet di kulit wajahnya. Hanya butuh satu tangkisan untuk menghindari tinju Arza dan membanting pria tinggi dan kurus itu ke lantai. Arza bangkit dengan cepat dan hendak melemparkan tinjunya yang lain ke arah Alec lagi.
“Hentikan, Arza!” Suara Arsen menggelegar.
Tinju Arza membeku di udara cukup lama di udara. Dengan wajah merah padam dan ketidakrelaannya untuk memberi pelajaran mulut kurang ajar Alec, Arza tahu harus mundur. Kemarahan Alec padanya bisa berdampak lebih mengerikan lagi pada Alea, karena sudah jelas di mana pun Alea berada saat ini. Alec akan memiliki kuasa untuk membalas semua rasa malu yang ditanggung pria itu hari ini saat Alea ditemukan.
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jangan!” jerit Alea dengan air mata yang mulai merebak. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri ke arah Alec yang ada di atas tubuhnya. “Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”“Apa yang membuatmu berhak memerintahku, Alea?”“Aku ... aku akan menikah denganmu. Maafkan aku.”“Semua sudah terlambat. Kau sudah mengacaukan pernikahan kita dan mempermalukan keluargaku dengan cara paling hina. Aku tak pernah merasa sehina ini seumur hidupku.”“Aku mohon ... aku minta maaf. Aku bersalah padamu dan aku menyesal.”“Permohonan, permintamaafan, rasa bersalah, dan penyesalanmu. Sepertinya semua masih tak sebanding dengan penghinaan“Kali ini saja, tolong ampuni aku, Alec. Aku akan memberikan tubuhku untukmu dengan sukarela. Tapi ...”“Aku harus menikahimu lebih dulu?” cemooh Alec dengan dengusan sinisnya.Alea mengangguk putus asa. Arsen be
Kepedihan di manik Arza sama besarnya dengan yang Alea rasakan. Pria itu berpaling membawa semua kehancuran di hatinya. Memendamnya dalam-dalam di dasar hatinya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Ia tak memiliki apa-apa sebelum keluarga ini menerima dirinya dengan tangan terbuka. Memberinya tempat tinggal dan sebuah kehidupan. Sudah seharusnya ia menahan hatinya kuat-kuat agar tak kehilangan keluarganya.“Apa acaranya sudah usai?” Alea berucap gugup dengan wajahnya yang tiba-tiba memucat menatap punggung Arza menjauh. “Aku ... aku ingin kembali ke kamarku.”“Pergilah. Aku perlu menyapa temanku.” Alec mengangguk singkat menyadari keberadaan Roy yang tampak menundukkan kepala menjaga kesopanan karena melihatnya mencium Alea di tempat umum seperti ini. Di saat para sanak saudara dan tamu yang masih menikmati hidangan di sekitar meja Alec dan Alea.Alea bangkit berdiri dan meninggalkan pesta melewati jalanan setapak berba
Resepsi berlangsung dengan sangat meriah. Semua tamu undangan berasal hanya dari kalangan elit dan artis-artis ternama, yang meskipun dibatasi hanya beberapa undangan penting, tetap saja para tamu memenuhi aula gedung Cage Group yang luas.Alea memasang senyum palsu dengan sikap enggan. Kebanyakan para tamu yang sering ia jumpai, adalah konglomerat yang sudah sering menyatakan cinta padanya. Senyum mereka tak benar-benar tulus saat memberikan selamat padanya. Dan ia yakin para gadis yang bergerombol di beberapa sudut juga tengah mengobrolkan dirinya. Dari wajah mereka sudah jelas yang mereka bahas hanyalah kejelekannya.“Kau benar-benar menikah?” Suara wanita cantik dengan gaun menyentuh lantai berwarna hitam yang menampakkan belahan kaki dan seluruh kulit telanjang punggungnya, menyapa Alec. Rambutnya yang bergelombang dicat merah dan dibiarkan terurai, dengan hiasan mutiara berwarna hitam yang disusun membentuk gelombang. Wanita itu melirik sinis ke arah
Dalam satu jam, semua perintah Jean Cage dilaksanakan dengan cepat dan tanggap. Semua pengawal dan pelayan melakukan tugas mereka tanpa hambatan sedikit pun. Dan di sinilah saat ini Alea berada. Di ruang tidur Alec, yang sudah dihias dengan segalam macam pernak-pernik khas kamar pengantin baru.Bunga-bunga hampir di setiap meja dan sudut kamar. Kelopak bunga mawar yang disebar di seluruh ranjang. Dan lampu kamar yang diatur dengan cahaya temaram. Alea mengalihkan pikirannya dari segala macam hiasan di kamar. Tampak gugup menatap penampilannya di depan cermin.Matanya terpejam ketika membuka jubah tidurnya dan melihat tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis berenda berwarna peach. Kain itu sama sekali tak menutupi kulitnya sedikit pun. Desahan keras lolos dari bibirnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Tak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Alec pada tubuhnya.Kilasan ketika Alec mendorong tubuhnya berbaring di meja kerja pria itu kembali melintas.
Rasa sakit dan remuk di seluruh tulang-tulangnya membangunkan Alea dari tidurnya yang terlalu lelap. Ia tahu di mana dirinya berada dan dengkur halus siapa yang berhembus di ujung kepala bagian belakangnya. Sambil menahan ringisan karena rasa nyeri yang berpusat di pangkal paha, Alea berusaha memindahkan lengan Alec yang melingkari pinggangnya sepelan mungkin. Mendesah lega melihat Alec yang masih terlelap dalam tidurnya ketika berhasil duduk dan memisahkan tubuh dari Alec.Alea memegang selimut menutupi ketelanjangannya hingga di dada, kepalanya melongok ke lantai mencari kain di sekitarnya. Bersyukur jubah tidurnya teronggok tak jauh dari kakinya. Setelah mengenakan kain untuk menutupi kulitnya, Alea turun dari ranjang dengan hati-hati. Kepalanya menoleh ketika mendengar getar ringan dari arah nakas sebelum ia sempat berdiri. Ia pun memungut benda persegi berwarna merah muda tersebut dan berdiri. Rasa sakit di antara kedua kaki membuat Alea sedikit kesusahan mencapai pintu
Alea menatap ponselnya dengan muka terlipat ke bawah. Ia tak bisa menghubungi siapa pun, tapi itu lebih baik daripada Arsen yang akan terus merecokinya dengan berbagai pertanyaan yang menyebalkan. Lalu, bagaimana ia bisa bicara dengan Arza? Mungkin ia akan ke kantor Arsen dan mengajak Arza untuk membeli ponsel baru.“Aku akan membelikanmu ponsel baru.” Suara Alec memecah rencana yang baru saja tersusun rapi dalam batinnya.Alea mendongak, melihat Alec yang sudah mengenakan pakaian santainya keluar dari walk in closed. Lalu, ia menggeleng dan menjawab, “Tidak perlu.”“Aku tak suka ditolak.”Ketegasan dalam suara dan tatapan Alec mau tak mau membuat Alea mengangguk setelah diam sejenak. Sepertinya rencananya dengan Arza tak akan berjalan mulus.“Dan maaf aku tak bisa memberimu liburan bulan madu. Aku baru saja kembali ke perusahaan dan segudang pekerjaan benar-benar menyita waktuku. Pernikahan ini be
“Minumlah, ini akan membuatmu nyaman.” Alec meletakkan cangkir berisi teh hijau yang masih mengepulkan asap di nakas.Alea memejamkan matanya. Menarik selimut menutupi wajah. Air matanya sudah mengering, tapi tubuhnya masih lemah dan tak punya tenaga untuk bangkit terduduk meminum minuman yang dibawa Alec. Ia bahkan tak lapar ataupun haus.Alec menarik selimut Alea, mendudukkan wanita itu dan menyuapi Alea menandaskan isi cangkir dalam keheningan. Alea sendiri yang tak menolak perlakuan Alec. Dalam keadaan normal saja ia tak sanggup membantah Alec, apalagi saat hatinya berduka seperti saat ini.Tepat ketika Alea menandaskan minumannya, ponsel Alec bergetar. Alea sempat melirik nama Sesil tertera di layar ponsel pria itu yang berkedip.‘Sesil?’ Sepertinya nama itu terasa familiar.“Ada apa, Sesil?” Alec menjawab panggilan tersebut di depan Alea.Mata Alea melebar, teringat akan wanita cantik yang i
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men