Alea mengerang kesakitan ketika kesadaran membangunkannya dari tidur yang lelap. Badannya terasa sakit, terutama di kaki. Pandangannya teredar ke seluruh ruangan tempatnya berbaring. Atap berwarna putih dan aroma yang begitu akrab di hidungnya, Alea mengenali tempat tersebut adalah ruang tidurnya sendiri. Tetapi, bagaimana ia bisa kembali berada di kamarnya yang sangat hangat dan nyaman ini? Siapa yang menyelamatkannya di kolam renang?
Seharusnya, Alea melakukan pemanasan sebelum melompat ke air. Seharusnya ia tak berenang seperti orang gila. Semua gara-gara Arsen. Dengan menahan ringisan akan rasa nyeri yang berpusat di kakinya, Alea mencoba untuk bangkit terduduk.
“Kau sudah sadar?” Pertanyaan itu keluar dengan begitu ringan dan sangat santai. Menyadarkan Alea bahwa bukan wanita itu satu-satunya manusia yang ada di ruangan ini.
“Apa ... apa yang kaulakukan di sini?” Suara Alea tersekat di tenggorokan. Tubuhnya bergetar dan beringsut ke punggung ranjang ketika menemukan Alec Cage duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tidurnya. Hanya berjarak beberapa meter dari ranjangnya.
“Memastikan tunanganku baik-baik saja? Atau menunggu pujian tunanganku karena sudah bersikap sebagai superhero yang telah menyelamatkan nyawanya?”
“Apa?!” Mata Alea mengerjap beberapa kali. Menyelamatkan nyawanya? Apa Alec yang membantunya keluar dari kolam renang? “Tidak mungkin!” sangkalnya.
“Aku tak akan memaksamu memercayaiku.”
Mata Alea memicing. Mencari kebohongan di mata Alec yang tak ia temukan. Namun, ketika ia melihat kaos berkerah dan celana pendek milik Arsen yang membalut tubuh Alec. Alea tahu apa pun yang dikatakan oleh Alec adalah kebenaran.
Kepala Alea mulai berputar memikirkan mengingat detik-detik ketika air mulai menutup jalur pernapasannya, dan kesadarannya mulai menurun hingga ia tidak sadarkan diri. Setelahnya, Alea tak bisa mengingat apa pun. Tetapi, pikirannya langsung tertuju pada bagaimana Alec menyelamatkannya dengan membawanya keluar dari kolam renang dan memberikan pertolongan pernapasan. Pria itu pasti menyentuh bagian tengah dadanya. Membuat Alea memeluk dirinya sendiri dengan gerakan melindungi diri. Dan bukan hanya menyentuh dadanya, Alec pasti menempelkan kedua bibir mereka demi meniupkan udara ke mulutnya. Sialan!!! Pria itu benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Jangan mendekat!” teriak Alea ketika Alec mulai bangkit dari sofa dan berjalan mendekati ranjang. Pria itu tak terpengaruh pada peringatannya. Dengan gerakan yang ringan dan perlahan yang membuat tulang punggung Alea membeku. Tatapan mata pria itu sangat dalam dan mengunci mata Alea. Seperti predator kelaparan yang sudah menemukan mangsa dan berpikir tak akan melepaskan mangsanya apa pun yang terjadi.
Alec menyeringai. Tertawa dalam hati dengan ketakutan yang begitu jelas di wajah Alea. Bahkan wanita itu melompat dari ranjang hanya demi menjaga jarak sejauh mungkin dengannya. Alec mendengkus, memangnya sejauh apa wnaita itu bisamelarikan diri darinya dan di dalam ruangan tertutup seperti saat ini.
Alea langsung merintih ketika ujung kakinya menyentuh lantai, lalu tubuhnya terhuyung ke belakang dan hampir jatuh di lantai jika tangannya tidak menangkap pinggiran ranjang dengan cepat. Sial, karena kegelisahan yang begitu besar pada Alec, ia lupa kakinya yang kram masih terasa sakit hingga langsung melompat turun.
Alec bergegas mendekat dan membantu Alea benar-benar naik ke ranjang.
Wajah Alea meiringis. Pangkal kaki bagian belakangnya berdenyut mmeberinya rasa nyeri yang amat sangat sehingga membuat Alea tanpa sadar membiarkan Alec menyentuh punggung dan menyisipkan salah satu tangan pria itu di lutut bagian belakang. Membawa Alea kembali terduduk dengan bersandar di kepala ranjang dengan kaki berselonjor di kasur.
“Apa kakimu masih sakit?” Alec menyentuh kaki Alea dengan lembut.
“Lepaskan aku!” Alea menepis tangan Alec menjauh dari kakinya. Saat itulah ia baru menyadari bahwa tubuh bagian bawahnya telanjang dan memamerkan kulit putih mulusnya di hadapan mata mesum Alec dengan sangat bebas. Seketika Alea kembali panik, matanya mencari-cari benda apa pun yang bisa digunakan untuk menutupi kakinya dan sedikit bernapas lega dengan bantal di samping tubuhnya.
“Tadi aku sudah mengompresnya dengan air panas sebelum dengan air dingin. Tetapi, aku sudah menghubungi dokter untuk berjaga-jaga jika nyerinya masih berlanjut.”
Alea tak terlalu mendengarkan kalimat-kalimat Alec dan ia sudah tak peduli pada nyeri di kaki. Karena sekarang fokus Alea teralih pada kaos longgar milik Arsen yang ia kenakan. Kembali napasnya tersekat dan dengan bibir bergetar, Alea mendongak. Pembantunya tak mungkin cukup bodoh tak bisa membedakan pakaian miliknya dan Arsen. Menatap wajah Alec dan bertanya, “Siapa yang mengganti pakaianku?”
Bibir Alec menyunggingkan seringai dengan pertanyaan Alea. Sungguh, ia ingin melihat wajah menggemaskan Alea ketika tahu bahwa dirinyalah yang mengganti pakaian wanita itu. Tetapi, sepertinya hal itu akan membuat Alea semakin syok. “Sejujurnya, aku ingin mengganti pakaianmu dengan tanganku sendiri. Tapi sayang aku hanya bisa mengamati.”
Mata Alea membelalak tak percaya. Jadi, Alec mengamati ketika salah satu pelayan melepas pakaiannya yang basah dan mengganti dengan pakaian kering yang saat ini ia kenakan. Bahkan ia bisa merasakan di balik kaos longgar yang ia kenakan sama sekali tak ada bra yang melingkari dadanya. Apa pelayannya juga melepas pakaian dalamnya di hadapan Alec? Pria itu sungguh memiliki kemesuman yang membuat Alea geram bukan main dan bertekad membenci Alec seumur hidup.
“Karena jika aku yang menggantinya, tentu hingga detik ini tak ada pakaian yang akan menutupi kulitmu yang putih ... mulus ... dan ... kencang itu, Alea.” Kalimat Alec ditarik-tarik dengan nada menggoda yang nakal. Punggung pria itu semakin membungkuk dan wajahnya semakin mendekati wajah Alea. “Apa kau tahu bagaimana aku menahan diri untuk tidak bertindak lebih jauh dari hanya sekedar melihat dan menyentuh.”
Mulut Alea sudah bersiap untuk menjerit sekencang mungkin untuk meminta tolong. Tetapi, kejadian di ruang kerja Alec membuatnya menahan diri. Pria itu mengunci ruang kerjanya, bukan tak mungkin selama Alea belum sadar, Alec sudah mengunci kamarnya juga. Arsen pasti mengijinkannya masuk ke rumah ini, dan Alea tak tahu akses sebanyak apa yang diberikan kakaknya pada Alec. Jika Alec bisa duduk dengan santai di ruang tidurnya, yang adalah tempat sangat pribadi miliknya. Ia bahkan bisa berkata bahwa ruang tidurnya juga masuk sebagai kesepakatan Arsen dengan iblis sialan ini.
“Ya, aku sudah mengunci kamarmu. Berteriak pun hanya akan menyakiti tenggorokanmu. Kamarmu terletak di ujung lorong. Dan aku bahkan bertanya-tanya, kenapa kalian meletakkan dua pengawal untuk rumah sebesar ini dan hanya di gerbang saja. Pelayan-pelayanmu bahkan tak tahu si Nona rumah meregang nyawa di kolam renang. Apa mereka memang seteledor ini?”
“Menjauh dariku, Cage.” Alea mulai panik ketika belakang kepalanya menyentuh kepala ranjang sedangkan wajah Alec tak berhenti untuk mendekat. Alea pun memejamkan mata dan miring ke samping dengan kegelisahan yang semakin meningkat ketika napas panas Alec menyembur di wajahnya. “Kumohon.”
Alec tertawa pelan. Suara permohonan yang membelai telinga Alec membuatnya menyesal telah menentukan hari pernikahan yang sangat lama. Ia bahkan bisa membayangkan permohonan itu akan membuatnya semakin terpacu ketika ia berkeringat di atas tubuh Alea dan ...
“Cukup, Cage!”
Alea membuka matanya. Dan meskipun ia begitu kesal pada Arsen, ia sangat lega melihat kakaknya tersebut muncul di saat ia benar-benar merasa terancam seperti saat ini.
Alec berdecak pelan. Wajahnya berputar dan mendongak ke arah Arsen yang berdiri di ambang pintu dan berjalan masuk. “Kau benar-benar perusak suasana, Arsen. Aku hanya ingin mendapatkan sedikit hadiahku setelah menyelamatkan nyawanya,” gerutunya pelan sambil menegakkan punggung menjauh.
“Kau hanya beruntung berada di tempat dan waktu yang tepat. Apa kau memang begitu pamrih?” sindir Arsen.
Alec mengangkat bahu sekali. Menunduk mengamati ujung kepala Alea yang tertunduk dalam dan bahu bergetar hebat meski tampak begitu lega dengan kedatangan sang penyelamat dari tindakan kurang ajarnya. “Aku memberinya sedikit hadiah sebagai ucapan terima kasih karena telah bertahan hidup untukku.” Alec mengangkat tangan kiri Alea, menunjukkan cincin berlian yang berkilau di antara jemari Alea. “Kau tahu aku tak bisa hidup tanpanya, kan.”
Alea mengangkat wajahnya. Baru menyadari keberadaan cincin tersebut yang entah sejak kapan terpasang di sana. Dengan cepat, ia menarik tangannya dari genggaman Alec. “Aku tak butuh cincin ini.”
Alec menahan pergelangan tangan kanan Alea yang hendak melepaskan cincin tersebut dari jari manis. Sambil memasang ekpresi muram tapi tetap dengan mata tajam penuh ancaman. Ia berkata, “Tak baik menolak niat baik seseorang, Alea.”
Alea membeku. Cengkeraman tangan Alec di pergelangan tangannya sangat kuat dan ia menyerah untuk memberontak di usahanya yang kedua karena cekalan Alec yang mulai menyakiti.
“Pergilah, Cage.” Arsen memecah kecekaman yang mulai menguar di antara adiknya dan Alec. “Aku akan mengurusnya,” lanjutnya kemudian.
Alec melepas tangan Alea dan bangkit berdiri.
“Sepertinya aku yang akan mewakili pengukuran baju pengantinnya.” Alec berucap penuh makna ketika berpapasan dengan Arsen. Pengalamannya dengan wanita-wanita yang pernah ia telanjangi, sangat membantu ukuran baju yang tepat untuk tubuh Alea. Ditambah, ia sendirilah yang mengganti pakaian Alea, tentu lebih dari cukup dipakai sebagai referensi. “Aku akan mengirim kembali pakaianmu.”
“Kau bisa memilikinya jika suka dan bisa membuangnya jika tak suka,” sahut Arsen datar.
“Hmm, baiklah.” Alec mengedikkan bahu sekali. “Terima kasih.”
“Bagaimana caramu masuk?” tanya Alea begitu Alec sudah keluar dari kamar tidurnya.
Arsen mengerutkan dahi tak mengerti.
“Alec mengunci pintunya,” jelas Alea dengan kebingungan sempat melintasi wajah Arsen.
“Dan untuk apa dia mengunci kamar tidurmu?”
Wajah Alea memerah dengan pertanyaan Arsen. “Kau membiarkannya masuk ke rumah ini.”
“Well, aku sudah menghubungi ponsel berkali-kali untuk memberitahu bahwa Cage akan datang menjemputmu ke butik untuk mengukur gaun perngantin. Bukan salahku kau tak mengangkat ponselmu, kan.”
Alea menghela napasnya dengan panjang, Alec benar-benar penipu ulung. Alea tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika ia benar-benar akan menikah dengan seorang Alec Cage.
“Lalu, ke mana saja pengawal dan pelayan rumah ini saat aku hampir mati di kolam renang,” desis Alea ketika Arsen membungkuk dan memeriksa ujung kakinya
“Mereka melakukan tugasnya dengan baik, Alea. Hanya sedikit lebih lambat dari Alec.” Arsen menekan pergelangan kaki kanan Alea lalu berpindah ke kiri dan Alea meringis kesakitan. “Masih nyeri? Cage sudah memanggil dokter, apa belum datang?”
“Aku bahkan berpikir lebih baik mati daripada berhutang nyawa pada pria sialan itu,” sengit Alea pada Arsen. Sudah tentu yang dikhawatirkan Arsen hanya kerugian besar yang akan pria itu dapatkan jika ia mati dan kesepakatan dengan Alec Cage berakhir memilikan.
“Kerugian yang kudapat tentu akan memengaruhi keuangan keluarga kita, Alea. Dan kau tentu tahu ke mana lagi kerugian itu mengarah jika bukan ....”
“Hentikan, Arsen,” potong Alea cepat. “Aku tahu apa yang kupikirkan.”
“Baguslah.”
Alea membuang wajahnya ke sambil mengepalkan kedua tangan di atas paha. Rasa dingin besi di antara jemari tangan kembali mengalihkan perhatian Alea. Ia pun bergegas melepaskan cincin Alec dari jari manisnya dan hendak melemparnya.
“Lakukan apa pun yang kauinginkan pada cincin itu, Alea. Tapi jangan sampai Cage tahu kau merendahkan ketulusannya. Aku tak bisa selalu mengajarimu seperti anak kecil,” tegur Arsen sebelum Alea benar-benar melempar cincin itu yang ke depannya akan membuat Alec Cage marah.
Mata Alea beradu dengan tatapan penuh peringatan milik Arsen yang tak kalam tajamnya dengan milik Alec. Dengan terpaksa, Alea pun menurunkan tangannya. Menarik laci teratas nakas dan melemparnya ke sana.
“Pastikan kau mengenakannya saat bertemu dengan Cage,” tambah Arsen.
Pintu diketuk, Arsen mengijinkan masuk dan muncullah satu pelayan.
“Tuan, dokternya sudah datang.”
Arsen mengangguk singkat. Pelayan itu minggir dan sesosok pria itu bertubuh sedang dan tinggi pas-pasan dengan jas putih selutut tas hitam di tangan kanan muncul. Dokter itu langsung memeriksa kaki Alea. Mengintruksi untuk tetap berbaring sambil memijat lembut daerah sakit sambil menggerakkannya dengan perlahan. Lalu meresepkan obat pereda nyeri dan berpamit.
“Apa kau sudah makan siang?”
Alea menggeleng pelan.
Arsen membungkuk dan menarik selimut untuk menutupi kaki Alea. Keningnya berkerut sedikit saat mengenali kaos yang dikenakan Alea adalah miliknya. Sebaiknya ia harus mulai membatasi pertemuan Alea dan Alec sebelum hari pernikahan.
Alea mengutuk dirinya sendiri ketika memeriksa cctv yang dipasang di area kolam renang. Semua terjadi persis seperti yang ada di pikirannya. Saat ia kesusahan berteriak meminta tolong karena air yang memenuhi mulut dan tenggorokan, tangannya menggapai-gapai beberapa kali sebelum tubuhnya mulai berhenti meronta. Tak lebih dari tiga detik, Alec muncul dari pintu belakang dan berlari ke pinggiran kolam lalu melompat dan membawa tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri naik ke tepi kolam. Pria itu keluar dari air, berjongkok dengan punggung membungkuk dan menepuk-nepuk pipinya. Tubuhnya masih tak bergerak, Alec pun mendekatkan telinga di hidungnya. Seperti tak puas, Alec menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi. Kemudian, tanpa Alea duga, Alec merobek kaos merah muda yang ia kenakan dalam sekali sentakan kuat. Alec meletakkan kedua tangan pria itu yang saling tumpah tindih tepat di tengah dadanya. Menekan dadanya beberapa kali. Entah berapa kali usaha yang sudah Alec ker
Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana se
Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Al
Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.Mamanya mema
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Ka
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jangan!” jerit Alea dengan air mata yang mulai merebak. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri ke arah Alec yang ada di atas tubuhnya. “Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”“Apa yang membuatmu berhak memerintahku, Alea?”“Aku ... aku akan menikah denganmu. Maafkan aku.”“Semua sudah terlambat. Kau sudah mengacaukan pernikahan kita dan mempermalukan keluargaku dengan cara paling hina. Aku tak pernah merasa sehina ini seumur hidupku.”“Aku mohon ... aku minta maaf. Aku bersalah padamu dan aku menyesal.”“Permohonan, permintamaafan, rasa bersalah, dan penyesalanmu. Sepertinya semua masih tak sebanding dengan penghinaan“Kali ini saja, tolong ampuni aku, Alec. Aku akan memberikan tubuhku untukmu dengan sukarela. Tapi ...”“Aku harus menikahimu lebih dulu?” cemooh Alec dengan dengusan sinisnya.Alea mengangguk putus asa. Arsen be
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men