“Selamat untukmu, Alea. Tanggal empat Juli akan jadi hari pernikahanmu.” Kata-kata Arsen menyambut kedatangan Alea begitu kedua adiknya itu muncul melewati pintu ruang kerjanya. Senyum terlalu lebar mengekspresikan kebahagiaan yang begitu besar.
“Apa maksudmu tanggal pernikahanku?” Alea tak percaya dengan deretan kata-kata yang ditangkap telinganya. Ia bahkan belum sempat meluapkan kemarahannya karena telah menipu dan memasukkannya ke dalam kesepakatan gelap antara pria itu dan Alec Cage, tapi Arsen sudah memberinya kejutan berikutnya. Yang tak kalah menggemparkan hati dan pikirannya.
“Cage sudah menentukan tanggal pernikahan kalian. Persiapkan dirimu, Alea.”
Mulut Alea membuka tanpa sepatah kata pun keluar. Menetralisir keterkejutan yang seketika menumpulkan cara kerja otaknya. Hari pernikahan? Tanggal 4 Juli? Satu, dua, tiga, dalam hati Alea menghitung dan semakin kehilangan kata-kata bahwa hari pernikahan yang dikatakan Arsen kurang dari sepuluh hari. Bahkan tak cukup sepuluh hari mengingat sekarang hari sudah menjelang sore.
“Arza dan aku akan mempersiapkan kebutuhanmu dan kau hanya perlu baik-baik saja sampai hari pernikahanmu. Sepuluh hari lagi. Pergilah ke salon dan lakukan perawatan untuk seluruh -setiap senti kulit- tubuhmu di salon terbaik. Jangan biarkan badanmu lecet sedikit pun, Cage tak akan suka.” Arsen masih bersikap seolah semua arahannya hanyalah deretan checklist harian tanpa memedulikan hati Alea yang hancur dan porak-poranda akibat keputusan sepihak Arsen.
“Apa posisi itu sepadan dengan pengorbanan diriku untukmu?”
Arsen menyeringai, matanya melirik ke arah Arza sejenak. Tahu bahwa dari pria itulah Alea mengetahui kesepakatan yang terjalin antara dirinya dengan Alec Cage. “Secara permanen, posisi ini akan menjadi milik dan hakku setelah kau menandatangani sertifikat pernikahan. Dan percayalah, Alea. Aku berusaha keras membujuk Cage untuk menikahimu. Itu jauh lebih baik ketimbang dia yang menjadikanmu pelacur. Hanya menyetubuhimu tanpa status dan dengan cara yang tidak terhormat. Setidaknya kau akan menjadi nyonya Cage yang terpandang. Setidaknya ucapkan terima kasih untuk kerja kerasku, Alea.”
Alea menggelengkan kepala. Arsen memang benar, pernikahan jauh lebih baik daripada menjadi pelacur Cage. Tetapi, menikah dengan imbalan posisi untuk kakaknya tak lebih buruk dari menjadi pelacur Cage yang dibungkus sertifikat kelegalan. “Kau tidak bisa memperlakukanku seperti asetmu dan menikahkanku dengan seorang pria demi keuntungan bisnis seperti ini, Arsen!”
“Ya, kau asetku,” jawab Arsen singkat, dingin, dan tajam. Biasanya, itu cukup sebagai isyarat pada Alea untuk menutup mulut dan berbalik pergi tanpa bantahan. Namun, sepertinya kali ini adiknya terlalu bebal untuk menangkap isyarat itu. Dan untuk pertama kalinya, Arsen merasa harus memaklumi Alea. Pernikahan adalah momen paling spesial dalam seumur hidup seseorang. Bahkan seorang pria yang sudah beberapa kali menikah pun akan merasa gugup dan membuat kepanikan yang berlebih menjelang hari pernikahan. Sudah tentu pernikahan yang mendadak ini akan membuat adiknya yang polos itu linglung.
Alea sakit hati dengan ultimatum Arsen atas dirinya meski tahu itu sia-sia. Tidak ada yang lebih penting di mata Arsen selain MH. “Bagaimana dengan hubunganku dan Arza? Kami saling mencintai. Apa kau akan mengorbankan kebahagiaan kami berdua demi kursi sialanmu itu?” Alea tak peduli lagi jika Arsen akan marah dan meluapkan kemurkaan pria itu atas kata-kata tak sopan dan kurang ajarnya. Untuk pertama kalinya ia menentang keputusan Arsen hingga seberani ini. Alea bahkan tak tahu dari mana asal keberanian tersebut muncul.
“Kau tahu Mahendra Hotels adalah segalanya bagi kami. Arza bisa mendapatkan wanita mana pun untuk dinikahi, tapi Cage menginginkanmu. Kau mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik, Alea. Jangan mengeluh.”
“Sialan kau!” Alea hampir melompat dan mencakar wajah kakak sulungnya itu. Setidaknya itu bisa mengurangi sakit hatinya atas kata-kata Arsen. Lalu tatapannya beralih pada Arza, kakak angkat sekaligus pria yang ia cintai yang kini berdiri di dekat meja Arsen. Arza hanya bergeming tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak mereka masuk ke ruangan ini. Memberitahu tanggal pernikahan yang sudah ditentukan tanpa persetujuan darinya. Berikut dengan pengantin pria serta pengantin wanitanya. Dan Alea baru menyadari, hari ini Arza memang lebih banyak diam dan terkadang menghindar ketika bertatap muka dengannya sejak mereka berangkat ke tempat Alec Cage.
“Apa kau sudah tahu ini?” Alea bertanya pada Arza. Menatap wajah penuh ketenangan terkendali milik Arza. Alea tahu pria itu hancur oleh keegoisan kakaknya dan tak mampu berkutik. Kebungkaman dan tatapan Arza menjawab pertanyaan Alea sekaligus menghancurkan hati Alea. “Apa hubungan kita selama ini tidak ada artinya bagimu?”
“Jangan berlebihan, Alea,” sela Arsen dengan decak cemoohnya. “Selama ini aku membiarkan hubungan kalian, bukan berarti aku merestui pernikahan kalian. Kalian tak akan pernah menikah.”
“Kenapa?” protes Alea tak terima.
“Dia kakakmu, kaupikir hubungan kalian akan bisa sejauh itu, huh? Aku hanya membiarkan kalian bersenang-senang. Tidak lebih. Apakah kebaikanku tidak ada artinya? Kau benar-benar adik yang tak tahu cara berterimakasih.”
“Berengsek kau, Arsen!” Alea maju satu langkah. Demi bersenang-senang pria itu bilang? Apakah kebahagiaannya hanya permainan bagi Arsen? “Aku tak akan menikah kecuali dengan pria yang kucintai.”
Arsen menghela napasnya dengan bosan sambil memutar-mutar bolpoin di meja. “Apa aku harus mengingatkanmu, kenapa kau harus menuruti kata-kataku kali ini?” Manik Arsen yang menajam, mengunci tatapan Alea kini menyiratkan makna yang dalam.
Wajah Alea seketika memucat. Tatapan itu? Tatapan yang menyiratkan ancaman itu membawa kenangan masa lalu menabrak ingatan Alea dan rasa nyeri yang setelah sekian lama bahkan belum mengering, kini berdenyut dan menyesakkan dadanya. “Aku bersumpah kau akan membayar mahal untuk ini, Arsen,” desis Alea. Ketakutan membuat perut Alea mual dan ia ingin segera ke toilet. Memuntahkan seluruh isi perutnya dan berharap hal itu juga mampu meredakan denyut nyeri di dadanya.
Alea berbalik, berlari keluar ruangan Arsen dan melintasi lorong setengah berlari. Hampir tak mencapai lubang toilet ketika seluruh isi perutnya keluar dengan keras. Perutnya serasa dihentak dan tenaganya terkuras habis. Alea mengusap keringat yang membasahi dahinya dengan punggung tangan. Butuh waktu cukup lama untuk menormalkan tarikan napasnya dan beranjak keluar dari bilik untuk mencuci wajahnya.
Arsen sialan! Pria itu sengaja menyerangnya tepat di titik pusat jantungnya. Selalu saja, ia tak pernah mampu mengendalikan diri dengan baik saat Arsen menggunakan ancaman tak terucap itu. Kenangan masa lalu itu berbisik di belakang telinganya. Menggodanya untuk menoleh ke belakang dan ... Alea menggoyangkan kepala dengan keras dan menghela napas. Bergegas keluar dari toilet atau pikirannya kembali mengarah ke saat itu.
Langkah Alea terhenti sejenak menemukan sosok yang tengah bersandar di dinding lorong menuju toilet yang sepi. Pria itu menegakkan punggung begitu menyadari kemunculannya dan berjalan mendekat.
“Apa kau baik-baik saja?” Arza menyeka setitik sisa air di sudut bibir Alea. Lalu kedua tangannya turun dan bersandar di pinggang ramping itu. “Apa mimpi buruk itu masih memengaruhimu?”
Alea mendesah keras. Ingin menangis tapi air matanya tak bisa keluar. “Apa hanya ini satu-satunya jalan yang kita miliki?” tanyanya penuh keputus-asaan. Mengabaikan pertanyaan sebenarnya yang diajukan oleh Arza. Ia tak ingin membahas hal apa pun yang berhubungan dengan masa lalu atau mual di perutnya akan kembali menyerang. Mualnya beberapa saat yang lalu sudah cukup menguras lebih dari setengah tenaga yang ia miliki. Bersyukur ia masih bisa berdiri dengan tegak seperti saat ini.
Arza menarik tubuh Alea menempel di dadanya. Merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukannya dan mengusap-usap ujung kepala wanita itu dengan lembut. Posisinya sebagai adik Arsen dan kakak angkat sekaligus kekasih Alea membuatnya bimbang. Ke mana ia harus lebih condong. Ia tak bisa mempertahankan keduanya. “Arsen tak membiarkanku memiliki pilihan.”
“Apa pertemuanku dengan Cage sialan itu juga atas rencana kalian?” Alea mengingat-ingat ketika Arsen memaksanya mengantarkan berkas ke kantor pusat dan memastikan Alec Cage menerimanya secara langsung. Sejak awal sudah terdapat kejanggalan yang harusnya ia ketahui. Tetapi, Arsen mengenal dirinya sangat baik. Pria itu menggunakan Arza untuk melenyapkan kecurigaan yang sempat membuat Alea bimbang. Alea pikir, pergi dengan Arza akan memberinya waktu untuk berdua dengan pria itu.
Dan sialan! Cage seorang berengsek, tak bisa menghentikan nafsu hewan pria itu di balik meja kerja meski hanya untuk lima menit. Bahkan Alea yakin, pria itu akan memerkosanya di atas meja kerja jika suara sekretaris Cage dari interkom tidak cukup keras menggema di seluruh ruangan untuk menghentikan kegilaan Cage. Pria itu melecehkannya di pertemuan pertama. Alea tak bisa membayangkan akan hidup sebagai istri untuk pria berengsek itu. Bahkan Alea yakin, hidup sebagai simpanan seorang tua bangka akan jauh lebih baik.
“Rencana Arsen.” Arza mengoreksi.
“Kau sudah tahu rencananya tapi tetap mengantarku ke sana,” tandas Alea. “Kenapa tiba-tiba aku merasa terkhianati?”
Arza terkekeh. “Kau tahu aku tak bisa menolak keinginan Arsen.”
“Kau bahkan tak menolak meskipun Arsen melemparku pada pria lain?”
Arza terdiam. Mengecup ujung kepala Alea, lama dan dalam lalu berbisik penuh permohonan, “Maafkan aku, Alea.”
Alea tak mampu memaafkan, itulah kenapa ia tak menjawab permohonan Arza. “Katakan kau mencintaiku.”
“Aku mencintaimu.”
Alea menarik napasnya dalam-dalam. Menghirup aroma Arza dan menyimpan aroma itu di pikirannya. Kedua tangannya memeluk Arza semakin erat. “Bisakah kau membawaku lari di hari pernikahanku? Kita bisa pergi sejauh-jauhnya dari mereka.”
“Percayalah, Cage akan memperlakukanmu dengan baik. Dia sangat menyukaimu.”
“Kau tak mengenal Cage dengan baik, Arza.” Alea merasa perlu memberitahu tanpa perlu menceritakan detail kebrengsekan Cage di balik pintu ruang kerja pria itu kepada Arza. Saat itu, Arza sudah pasti melihat bibirnya yang bengkak dan merah karena lumatan kasar Cage meski ia berpura-pura tak terjadi apa pun. Membeberkan semua keburukan Cage hanya akan mempermalukan dirinya sendiri dan Arza.
“Arsen memastikan kedua adiknya mendapatkan pendamping yang terbaik. Setelah apa yang dilakukan untuk Karen, kali ini aku percaya keputusan Arsen.”
Alea memutar bola matanya jengah. “Terbaik di mata Arsen, bukan untukku,” komentar Alea sengit.
“Karen beruntung mendapatkan pria kaya untuk cinta sejatinya. Apa Arsen akan menikahkanmu dengan putri konglomerat juga untuk memperluas jaringan bisnisnya?” gerutu Alea. Tiba-tiba merasa iri pada kakak perempuannya yang sudah hidup bahagia dengan suami kaya raya dan mendapatkan rumah mewah sebagai hadiah pernikahan. Arsen tentu tak akan melewatkan kesempatan semacam itu.
Arza terkekeh. “Aku tak akan seberuntung kau dan Karen. Aku hanya anak angkat.”
“Satu-satunya keberuntungan yang kusyukuri sampai detik ini,” sela Alea. Jika Arza adalah kakak kandungnya, tentu hubungan mereka akan berada di jalur yang penuh kecaman dari semua pihak.
Ya, Arza Mahendra, pemuda berumur delapan belas tahun yang dibawa ayahnya ke rumah dan diangkat sebagai anak angkat saat Alea masih berumur tiga belas tahun. Sepuluh tahun hidup satu atap dengan Arza membuat benih-benih cinta itu tumbuh. Dua tahun menjalani kisah cinta yang sangat membahagiakan nyatanya tak cukup bagi mereka untuk mempertahankan cinta itu sampai ke jenjang pernikahan.
“Apakah kita masih bisa saling bertemu?” gumam Alea di antara kenyamanan dalam dekapan Arza.
Arza mengelus rambut panjang Alea dengan lembut dan penuh sayang. Ya, mereka masih bisa saling bertemu, tapi Arza tak yakin akan mampu melihat wanita itu seperti sebelumnya mengingat Alea sudah menjadi milik pria lain.
Di detik mereka saling menyatakan cinta, Arza menyadari bahwa saat seperti ini pasti akan datang. Meskipun sebentar, ia tetap mensyukuri setiap detik yang ia lewati bersama dengan Alea. “Ya, kita bisa bertemu kapan pun kau menginginkannya,” dusta Arza. Peringatan keras yang dilontarkan Arsen beberapa saat lalu kembali berputar di benaknya.
“Kau harus membiasakan diri menjaga jarak dengan Alea mulai sekarang. Jauhi dia. Cage tak akan suka seseorang menyentuh miliknya.”
***
Alea mengerang kesakitan ketika kesadaran membangunkannya dari tidur yang lelap. Badannya terasa sakit, terutama di kaki. Pandangannya teredar ke seluruh ruangan tempatnya berbaring. Atap berwarna putih dan aroma yang begitu akrab di hidungnya, Alea mengenali tempat tersebut adalah ruang tidurnya sendiri. Tetapi, bagaimana ia bisa kembali berada di kamarnya yang sangat hangat dan nyaman ini? Siapa yang menyelamatkannya di kolam renang?Seharusnya, Alea melakukan pemanasan sebelum melompat ke air. Seharusnya ia tak berenang seperti orang gila. Semua gara-gara Arsen. Dengan menahan ringisan akan rasa nyeri yang berpusat di kakinya, Alea mencoba untuk bangkit terduduk.“Kau sudah sadar?” Pertanyaan itu keluar dengan begitu ringan dan sangat santai. Menyadarkan Alea bahwa bukan wanita itu satu-satunya manusia yang ada di ruangan ini.“Apa ... apa yang kaulakukan di sini?” Suara Alea tersekat di tenggorokan. Tubuhnya bergetar dan berings
Alea mengutuk dirinya sendiri ketika memeriksa cctv yang dipasang di area kolam renang. Semua terjadi persis seperti yang ada di pikirannya. Saat ia kesusahan berteriak meminta tolong karena air yang memenuhi mulut dan tenggorokan, tangannya menggapai-gapai beberapa kali sebelum tubuhnya mulai berhenti meronta. Tak lebih dari tiga detik, Alec muncul dari pintu belakang dan berlari ke pinggiran kolam lalu melompat dan membawa tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri naik ke tepi kolam. Pria itu keluar dari air, berjongkok dengan punggung membungkuk dan menepuk-nepuk pipinya. Tubuhnya masih tak bergerak, Alec pun mendekatkan telinga di hidungnya. Seperti tak puas, Alec menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi. Kemudian, tanpa Alea duga, Alec merobek kaos merah muda yang ia kenakan dalam sekali sentakan kuat. Alec meletakkan kedua tangan pria itu yang saling tumpah tindih tepat di tengah dadanya. Menekan dadanya beberapa kali. Entah berapa kali usaha yang sudah Alec ker
Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana se
Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Al
Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.Mamanya mema
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Ka
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men