“Kenapa Arsen tidak menyuruhmu?” tanya Alea ketika mobil yang mereka tumpangi mulai meninggalkan halaman hotel.
“Karena kau Alea Mahendra.”
“Kau juga seorang Mahendra.”
Arza hanya tersenyum simpul. Alea selalu tahu cara membangkitkan ketidakpercayaan dirinya ketika dihadapkan nama keluarga mereka yang sangat besar.
Setengah jam kemudian, ketika memasuki gedung Cage Group berlantai tiga puluh dengan kaca hitam mengeliling seluruh sisi gedung itu, Alea mengamati dengan takjub seluruh desain penuh keindahan dan kemegahan gedung ini. Lantai marmer berwarna putih dan meja resepsionis tak jauh dari pintu putar berwarna hitam. Gedung Arsen sama sekali bukan tandingannya meski MH tak kalah mewah dan megahnya.
“Atas nama?” tanya resepsionis ketika Arza mengutarakan niat kedatangan mereka berdua.
“Alea Mahendra,” jawab Arza mendahului Alea.
Alea memutar wajah dengan kernyitan di dahi.
Arza hanya mengangkat bahu menangkap tanda tanya dalam tatapan Alea. “Arsen terlanjur memakai namamu sebagai jadwal janji temu ini.”
Salah satu wanita itu mengkonfirmasi sesaat lewat telepon lalu mengarahkan mereka pada lift khusus yang harus mereka naiki untuk sampai di lantai tempat Alec Cage berada.
Alea dan Arza berjalan bersamaan ketika lift berdenting dan pintunya terbuka. Seorang pria paruh baya keluar dan tanpa sengaja menabrak bahu Arza dan menumpahkan kopi yang dipegang. Pria itu membungkuk meminta maaf dan Arza butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan pria paruh baya itu bahwa dia baik-baik saja tanpa perlu merasa bersalah.
“Kemejamu,” tukas Alea melihat noda kopi tampak mengotori bagian depan kemeja Arza setelah pria paruh baya itu berlalu.
“Aku akan ke toilet, kau naiklah lebih dulu. Aku akan menyusulmu setelah selesai dan hubungi aku jika butuh sesuatu.” Arza mengarahkan Alea masuk ke dalam lift. Memastikan pintu lift tertutup dan ia berdiri tertegun selama beberapa saat sebelum benar-benar berjalan ke arah toilet. Merelakan satu-satunya hal yang harus ia lakukan. Sangat berat, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukannya. Saat ini, Alea adalah adiknya. Tidak ada lagi posisi lain yang merangkap selain dirinya yang sebagai kakak kedua Alea.
***
“Apa yang kauinginkan?” Alec menjawab panggilan telpon Arsen dengan enggan sejak pertama mengangkat. Sedikit basa-basa Arsen mulai membuatnya semakin malas dan meladeni pembicaraan pria itu lebih jauh.
“Pernikahan.”
Alec mendengus sinis dan bosan. “Sepengetahuanku, tidak ada apa pun dalam pernikahan kecuali membuat kepalamu yang pusing semakin berdenyut. Dua temanku melakukan kesalahan yang cukup fatal dan aku tak ingin dibuat pening oleh makhluk bernama wanita.” Alec tersenyum mengingat keriuhan rumah tangga Saga dan Arga.
“Tidak ada yang bisa memiliki adikku kecuali dengan ikatan sah yang menguntungkan untuk bisnisku.”
“Bolehkah aku mencicipinya?”
“Jangan menyentuh apa yang bukan milikmu, Cage. Atau kau akan menyesal telah melewati batasanmu. Kau tahu aku lebih dari sekedar mampu memporak-porandakan MH dan akan memberimu sakit kepala yang luar biasa.”
“Ck, kau mengancamku?”
“Anggap saja begitu.”
“Tuan, Nona Alea Mahendra ada di sini.” Suara sekretaris Alec dari arah speaker telepon mengalihkan pembicaraanya dengan Arsen.
“Masuk,” serunya setelah menekan salah satu tombol di telepon. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Tubuh ramping dengan celana jeans tiga seperempat dan atasan berwarna putih tulang yang ujung bagian depannya terselip di ujung celana jeans, mengambil satu langkah masuk di ruangannya. Mata Alec terpaku takjub mengamati tubuh mungil itu dari atas ke bawah dengan saksama. Tampilan casual yang dipilih Alea sama sekali tak mengurangi ketertarikan Alec pada sosok menawan itu. Rambut terurai yang bahkan harumnya sudah mencapai hidung Alec dan membuat produksi air liurnya meningkat drastis. Alec benar-benar tak sabar memiliki kecantikan sempurna itu dalam genggamannya. Tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan sesempurna ini.
“Jadi?” Arsen berhenti sesaat. Ada kemenangan dalam suaranya yang ditarik-tarik. “Apa dia menjadi milikmu?”
“Aku akan memutuskan hari baik kami. Segera.” Alec mengakhiri perbincangannya dengan Arsen. Apa pun yang ada di pernikahan mereka, rasanya gairah saja sudah cukup melengkapi pernikahannya nanti. Alec menekan tombol di bawah meja dan mengunci pintu ruangannya. Ia tak butuh gangguan-gangguan kecil lainnya.
Alea masuk lebih dalam. Berjalan melintasi ruangan besar itu dengan langkahnya yang ringan dan polos. Tanpa sadar ia telah masuk dalam perangkap sang kakak yang menjalin kesepatakan dengan iblis. “Ehm, kakakku mengutusku untuk membawa berkas ini langsung padamu. Maaf jika mengganggu acaramu,” jelas Alea dengan suaranya
Alec menggeleng sedikit. Seperti sebelumnya, Alea tak pernah menyadari kecantikan yang menarik perhatian para makhluk di sekitar wanita itu. Beruntung kali ini hanya dirinya seorang di ruangan tertutup ini yang jatuh terlalu jauh dalam pesona Alea. “Aku sudah menunggumu sejak tadi pagi, dan kau datang tepat waktu. Tak ada yang perlu disesalkan.”
Alec hampir tak bernapas ketika wangi Alea yang semakin merangsek ke dalam hidungnya membuat Alec tak bisa menahan diri. Wangi wanita itu masih sama seperti yang ia ingat dan tertanam di benaknya.
Tulang punggung Alea membeku sejenak. Mencerna dengan teliti setiap kata yang menyiratkan makna sangat dalam dari Alec Cage. Masih tak memahami meski ia sudah memutar kembali kata-kata itu di kepalanya untuk kedua kalinya.
Alec membuka berkas yang dibawa Alea. Menjawab pertanyaan di mata Alea yang masih belum menemukan jawaban.
Alea terkejut, menatap map yang isinya hanya lembaran kosong. Arsen sialan! Pria itu menjebaknya. Bukan map itu yang ia antar kemari, melainkan dirinya sendiri. Alea mengangkat sedikit wajahnya, seringai di wajah Alec Cage meyakinkan tuduhannya pada Arsen. Sialan!! Alea menyesal mengabaikan kecurigaannya akan sikap aneh Arsen. Pria itu tak pernah melibatkan dirinya dengan urusan bisnis apa pun. Jika sudah seperti ini, keputusan Arsen tak akan bisa diganggu gugat. Arsen sudah memutuskan masa depannya dan bayangan mengerikan tentang sosok di depannya sama sekali tak bisa ia terima dengan sukarela.
Alea melirik ke arah pintu dan menghitung berapa langkah yang ia butuhkan untuk sampai ke pintu dan berteriak meminta tolong pada Arza.
“Hanya membuang waktu jika kau berlari ke pintu. Pintu itu terkunci tepat setelah kau mengambil langkah pertama memasuki ruangan ini.”
“Apa yang kauinginkan?” Alea mengendalikan ketakutan yang merebak hampir ke seluruh tubuhnya. Kakinya mulai goyah, tapi ia berusaha keras agar ketakutan itu tak muncul ke permukaan. Alec Cage bukan pria sembarangan. Pria itu tahu apa yang dilakukan dan apa yang akan dilakukan dengan penuh perhitungan melihat manik mata Alec yang bersinar cemerlang tanpa suatu ekspresi pun yang mengganjal.
Alec bediri, menyelipkan kedua tangannya di saku dan berjalan mengelilingi meja mendekati Alea. Gurat ketakutan yang berusaha keras wanita itu sembunyikan membuat Alec tertawa geli. “Aku tak akan menyakitimu.”
“Jangan mendekat!” teriak Alea ketika merasa ketakutan di dalam dirinya tak terbendung lagi. Dan langkah pria itu yang sama sekali tak mengurangi kecepatannya membuat Alea semakin panik. Alea
Alec menangkap lengan Alea, menarik
“Kumohon, jangan lakukan ini.” Tangisan menyelimuti rintihan Alea. Tubuhnya yang lemah di
“Aku ingin menahannya sampai kau benar-benar menjadi milikku, tapi lagi-lagi kau membuatku hilang kendali.”
“Aku ... aku akan membayar apapun yang diambil Arsen darimu.” Suara Alea bergetar. Kekuatannya yang sama sekali tak memengaruhi tekanan Alec di tubuhnya tak membuatnya putus asa.
“Ya, memang harus.” Sedetik Alec menyelesaikan kalimatnya, detik berikutnya Alec memiringkna kepala dan bibirnya menyapu bibir ranum Alea.
Teriakan Alea terbungkam lumatan Alec yang mengunci bibirnya. Gerakan pria itu di bibirnya sangat kasar tapi tak cukup menyakiti Alea. Penuh keagresifan saat memancing mulutnya membuka dengan satu gigitan di ujung bibir. Alea masih berusaha menolak sentuhan Alec meski lidah pria itu sudah menari-nari di dalam mulutnya. Cengkeraman tangan pria itu di rahang Alea membuatnya kesulitan untuk menggigit dan menyakiti pria itu atas tindakan kurang ajar yang dipaksakan padanya. Meski ia tahu itu bukan tindakan yang akan membuatnya tak menyesal. Akal sehatnya tahu bahwa nama Cage di belakang kekurang ajaran ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kali ini Arsen benar-benar menjalin kesepatakan dengan iblis.
Alea meraup udara sebanyak mungkin ketika Alec memisahkan bibir mereka. Dadanya naik turun dengan terengah-engah mengisi udara di paru-parunya.
Alec mengusap bibir bagian bawa Alea dengan ibu jarinya. “Ternyata lebih manis dari yang kubayangkan selama ini,” gumam Alec dengan suara beratnya yang dalam. Masih tak berminat memisahkan jarak di antara mereka.
Alea mendorong dada Alec, bangkit dan bergegas turun dari meja. Merapikan bajunya sambil mengambil jarak sejauh mungkin dari Alec. “Aku ingin keluar,” paksa Alea sedikit memohon.
Alec menyandarkan pantatnya di meja. Memperhatikan kepala Alea yang tertunduk dan rambut yang lembut jatuh menutupi setengah wajah cantik itu. Seulas senyum melengkung melihat gemetar di kedua kaki jenjang itu. “Aku hanya menciummu, Alea.”
Alea benar-benar akan menangis dan merasa sangat tolol jika ia menangis di hadapan pria itu. Memohon adalah satu-satunya jalan baginya untuk keluar. “Aku mohon.”
“Jadi, kurasa kau sudah tahu apa yang ada di depanmu.”
Alea menggeleng pelan. Ia tahu, tapi ia memilih menolak. “Kumohon, aku ingin keluar.” Kali ini suara Alea hampir bercampur tangisan dan ketakutan.
Alec diam sejenak. Sepertinya cukup untuk pertemuan pertamanya dengan Alea. Ia tak mungkin membuat kesan sebagai pria menakutkan untuk acara kencan pertamanya, bukan. Jadi, ia mengulurkan tangannya ke balik meja dan menyentuh tombol untuk membuka pintu ruangannya. “Pergilah.”
Alea langsung berlari ke arah pintu. Meski ada sedikit keraguan bahwa Alec mempermainkannya, ia bisa bernapas dengan lega ketika pintu bisa terbuka seperti yang diinginkan. Tanpa menutupnya, Alea berlari melintasi lorong dan tepat ketika ia berbelok di ujung, ia melihat Arza yang baru saja keluar dari lift. Seakan menemukan napasnya, Alea berlari lebih cepat dan menghambur ke dalam pelukan Arza.
Arza sedikit terhuyung ketika menyambut tubuh Alea yang langsung menabrak dan memeluknya sangat erat begitu ia mengambil beberapa langkah keluar dari lift.
Arza menjauhkan sedikit tubuhnya dari Alea. Mata Alea sedikit basah dan bibirnya yang merah lebih merah dari biasanya dengan bengkak yang ia tahu kenapa bisa ada di sana. “Apa yang terjadi?”
Alea menggeleng tak ingin diingatkan pada adegan menjijikkan yang baru saja ia dapatkan di dalam ruangan Alec Cage.
Arza memahami kebungkaman Alea. Wanita itu masih syok dengan apa yang telah terjadi. “Kauingin minum?”
“Aku ingin ke toilet,” lirih Alea hampir tak terdengar dengan jelas. Membasuh seluruh jejak Alec Cage adalah satu-satunya hal yang ingin ia lakukan saat ini. Secepat mungkin.
Arza mengangguk. Mencari penunjuk arah di sekitar mereka. Beruntung ada toilet tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mereka hanya butuh berjalan beberapa meter. “Masuklah, aku akan menunggu di sini.”
Arza merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi panggilan cepat nomor duanya dan langsung tersambung di deringan kedua.
“Bagaimana?” Suara Arsen menyahut dari seberang.
“Dia menyentuh Alea,” desisan Arza hampir menyerupai bentakan jika ia tak ingat dengan siapa ia berbicara.
“Tenanglah, Arza. Alec hanya menciumnya. Hari pernikahan pun baru saja ditentukan. Tidak ada yang salah mencumbu tunangan di ruang kerja.”
Pertunangan? Secepat ini? Arza hampir tak memercayai pendengarannya meski ia tahu saat seperti ini akan terjadi. “Apa kau sudah membicarakannya dengan Alea?”
“Aku yakin setelah ini ia akan bergegas menemuiku.”
“Dia adikmu, Arsen. Hormati sedikit perasaannya.”
“Aku memberikan adik kesayanganku terbaik dari yang terbaik.” Arsen menekan suaranya dengan jelas.
Arza tak akan membantah meskipun hatinya meronta ingin menyumpahi keputusan Arsen. Ia tak punya hak atau pun kewenangan untuk melakukan hal itu. “Kami akan sampai dalam satu jam.”
Tak lama Alea muncul dari pintu toilet.
“Apa kau baik-baik saja?”
Alea mengangguk. Merasa tak sanggup bersuara walaupun hanya untuk menjawab ya.
Arza merangkulkan lengannya di bahu Alea, membawa wanita itu bersandar di lengan dan membawanya keluar dari gedung sialan ini. “Kita kembali ke kantor Arsen.”
Alea mengiyakan dalam diam. Ia harus bicara dengan Arsen.
***
Alec mengernyitkan keningnya melihat kedua kakak beradik itu saling berpelukan di lorong. Hatinya mulai terusik melihat kerapuhan Alea yang ditampilkan sangat bebas di depan pria itu. Meski Arsen sudah mengkonfirmasi pria itu sebagai kakak lelaki Alea, rasa cemburu tetap menjalari hatinya. Mendadak Alec diingatkan, kapan ia bersikap begitu posesif terhadap miliknya? Tidak pernah.
“Selamat untukmu, Alea. Tanggal empat Juli akan jadi hari pernikahanmu.” Kata-kata Arsen menyambut kedatangan Alea begitu kedua adiknya itu muncul melewati pintu ruang kerjanya. Senyum terlalu lebar mengekspresikan kebahagiaan yang begitu besar.“Apa maksudmu tanggal pernikahanku?” Alea tak percaya dengan deretan kata-kata yang ditangkap telinganya. Ia bahkan belum sempat meluapkan kemarahannya karena telah menipu dan memasukkannya ke dalam kesepakatan gelap antara pria itu dan Alec Cage, tapi Arsen sudah memberinya kejutan berikutnya. Yang tak kalah menggemparkan hati dan pikirannya.“Cage sudah menentukan tanggal pernikahan kalian. Persiapkan dirimu, Alea.”Mulut Alea membuka tanpa sepatah kata pun keluar. Menetralisir keterkejutan yang seketika menumpulkan cara kerja otaknya. Hari pernikahan? Tanggal 4 Juli? Satu, dua, tiga, dalam hati Alea menghitung dan semakin kehilangan kata-kata bahwa hari pernikahan yang dikatakan Ars
Alea mengerang kesakitan ketika kesadaran membangunkannya dari tidur yang lelap. Badannya terasa sakit, terutama di kaki. Pandangannya teredar ke seluruh ruangan tempatnya berbaring. Atap berwarna putih dan aroma yang begitu akrab di hidungnya, Alea mengenali tempat tersebut adalah ruang tidurnya sendiri. Tetapi, bagaimana ia bisa kembali berada di kamarnya yang sangat hangat dan nyaman ini? Siapa yang menyelamatkannya di kolam renang?Seharusnya, Alea melakukan pemanasan sebelum melompat ke air. Seharusnya ia tak berenang seperti orang gila. Semua gara-gara Arsen. Dengan menahan ringisan akan rasa nyeri yang berpusat di kakinya, Alea mencoba untuk bangkit terduduk.“Kau sudah sadar?” Pertanyaan itu keluar dengan begitu ringan dan sangat santai. Menyadarkan Alea bahwa bukan wanita itu satu-satunya manusia yang ada di ruangan ini.“Apa ... apa yang kaulakukan di sini?” Suara Alea tersekat di tenggorokan. Tubuhnya bergetar dan berings
Alea mengutuk dirinya sendiri ketika memeriksa cctv yang dipasang di area kolam renang. Semua terjadi persis seperti yang ada di pikirannya. Saat ia kesusahan berteriak meminta tolong karena air yang memenuhi mulut dan tenggorokan, tangannya menggapai-gapai beberapa kali sebelum tubuhnya mulai berhenti meronta. Tak lebih dari tiga detik, Alec muncul dari pintu belakang dan berlari ke pinggiran kolam lalu melompat dan membawa tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri naik ke tepi kolam. Pria itu keluar dari air, berjongkok dengan punggung membungkuk dan menepuk-nepuk pipinya. Tubuhnya masih tak bergerak, Alec pun mendekatkan telinga di hidungnya. Seperti tak puas, Alec menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi. Kemudian, tanpa Alea duga, Alec merobek kaos merah muda yang ia kenakan dalam sekali sentakan kuat. Alec meletakkan kedua tangan pria itu yang saling tumpah tindih tepat di tengah dadanya. Menekan dadanya beberapa kali. Entah berapa kali usaha yang sudah Alec ker
Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana se
Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Al
Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.Mamanya mema
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Ka
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men