Share

Yang Telah Hancur

Suara tangisan yang terdengar lirih kian menyadarkan Mark yang baru saja bangun pagi itu. Ranjang yang berantakan dengan noda darah pada seprai yang berasal dari keduanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria itu.

"Bibi! Bi Marni!" teriak Mark gusar. Beberapa kali ia berteriak, memanggil nama kepala pembantu rumahnya.

"Ya, Den!" sahut Marni yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah Mark.

"Bawa dia keluar! Saya tidak ingin dia menginjakkan kakinya di kamar saya lagi!" titah Mark murka.

"Baik, Den!" jawab Marni.

Segera Marni menghampiri Jelita yang masih gemetaran. Sementara beberapa orang pembantu rumah tangga lainnya membereskan barang-barang Jelita. Marni menggiring Jelita menuju ruang keluarga, lalu memberikan segelas air untuk Jelita.

Pandangannya tertuju pada pundak dan lengan Jelita yang memar. Marni memeluk Jelita, berusaha menenangkan hati nyonya mudanya yang malang, walaupun pikirannya terus bertanya-tanya.

'Ya Gusti, apa yang sudah dilakukan Aden sampai nyonya seperti ini?'

"Sabar ya, Nyonya," ucap Marni lembut yang seketika membuat tangisan Jelita pecah.

"Saya ingin pulang, Bi. Saya ingin pulang." Jelita bergumam. "Tapi, tapi saya tidak memiliki rumah untuk pulang." Jelita menuangkan seluruh rasa yang telah ia kubur dalam-dalamnya. Suaranya lirih dan menyayat hati, penuh akan keputusasaan.

"Apakah menjadi anak yatim piatu adalah sebuah dosa? Mengapa tidak ada seorangpun yang tulus menerima saya. Saya lelah." Curahan hati Jelita membungkam Marni. Marni hanya bisa menepuk lembut punggung Jelita tanpa tahu harus berkata apa.

"Bagaimana?" tanya Marni pada seorang pembantu rumah tangga yang baru saja ia perintahkan untuk menemui Catherine.

"Ndak boleh. Nyonya besar gak mengizinkan Nyonya Jelita menempati kamar tamu manapun."

Marni terkejut, kedua matanya terbelalak setelah mendapatkan jawaban di luar pikirannya.

"Loh, kok begitu?! Lalu bagaimana ini?" tanya Marni kembali.

"Kata Nyonya besar, Nyonya Jelita dipersilahkan menempati kamar yang di loteng saja."

Jawaban yang diterima sontak kembali membuat Marni mengelus dada. Marni sama sekali tidak mengerti akan jalan pikiran keluarga tuannya. Dosa apa yang Jelita lakukan hingga membuatnya mendapatkan perlakuan buruk melebihi seorang pelayan.

"Saya tidak apa-apa." Jelita menjawab sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya.

"Tapi, Nyonya. Disana pengap dan tidak layak," protes Marni. "Ya sudah, biar saya saja yang bicara pada Nyonya Catherine. Nyonya Jelita tunggu disini dulu, ya!"

"Jangan! Nanti bibi bisa berada dalam masalah," cegah Jelita sambil menahan tangan Marni agak tak beranjak. Jelita menggeleng, tatapannya seakan memohon agar Marni menurutinya.

Sikap Jelita yang begitu lembut dan santun dalam bertutur kata membuat Marni semakin luluh. Perasannya terluka, terlebih Jelita mengingatkannya akan sosok putri bungsunya yang telah tiada. Marni berkata lirih, "Bahkan Nyonya bukan pembantu seperti saya. Mengapa Nyonya Jelita harus mendapatkan perlakuan yang buruk seperti ini?"

Jelita tersenyum tipis sambil menggenggam tangan Marni. "Tidak apa-apa. Bibi tidak perlu khawatir karena saya sudah terbiasa."

"Terima kasih, karena bibi sudah peduli pada saya. Setidaknya saya tidak merasa sendiri disini."

***

'Aku mohon lepaskan aku! Aku bukan Chintya!'

Mark terus-menerus mengumpat dan menyesali perbuatan yang ia lakukan karena pengaruh minuman keras.

Samar-samar teringat olehnya bagaimana mimik wajah Jelita dan suara ketakutannya saat Mark memaksanya semalam.

Pria itu berjalan menuju kamar mandi, merendam tubuhnya dengan air dingin. Semuanya masih terasa jelas, dan kini bayangan Chintya seakan menghilang dan digantikan sosok Jelita malam itu. Rasa bersalah nampaknya terselip diantara keegoan yang memenuhi ruang hatinya.

Mark segera menyelesaikan mandinya dan langsung mencari keberadaan Marni.

"Bibi, dimana dia? Apa hari ini dia pergi bekerja?" tanyanya yang tak sengaja berpapasan dengan Marni.

"Seharian ini Nyonya Jelita berada di kamarnya, Den. Nyonya bahkan tidak keluar untuk makan siang dan malam. Bibi khawatir kalau Nyonya akan jatuh sakit," ungkap Marni.

"Lalu dimana kamar dia?" tanya Mark tampak tidak sabaran.

Marni tampak ragu, ia takut Mark akan melakukan sesuatu kembali pada Jelita. Sampai akhirnya Mark pun menyadari sikap Marni dan berkata, "Saya hanya ingin tahu. Saya tidak akan melakukan apapun padanya."

"Jadi, dimana kamarnya?" sambung Mark.

"Di kamar yang ada di lantai 4, Den?" jawab Marni Ragu.

Kening Mark berkerut dengan kedua matanya menatap Marni, "Apa maksudnya lantai 4. Disana hanya ada gudang yang lama tak terpakai."

"Nyonya besar tidak mengizinkan Nyonya Jelita menempati kamar tamu manapun. Nyonya besar hanya mengizinkan ruangan itu saja untuk dijadikan kamar tidur," jawab Marni.

Mark terlihat sedikit tidak percaya dengan keputusan ibunya. 

Langkah kakinya membawa pria itu menuruni satu persatu anak tangga. Terlihat Catherine tengah menikmati secangkir teh dalam keheningan malam, di taman yang terletak dibagian belakang rumah itu.

"Mam, mengapa wanita itu ditempatkan disana?" cecar Mark tiba-tiba.

Catherine meneguk perlahan secangkir teh hangat miliknya, lalu kembali meletakkan di atas meja dengan anggun sebelum menjawab pertanyaan putranya.

"Apa masalahnya, Sayang? Kamu juga tidak mau menempatkan dia di kamarmu, berarti tidak ada tempat pula di rumah ini untuknya."

Mark terdiam. 

"Jangan bilang kamu sok peduli padanya hanya karena kalian menghabiskan 1 malam bersama!" sambung Catherine murka. Sepasang mata birunya menatap penuh intimidasi pada sang putra.

Catherine menghela napasnya, dan kembali berkata, "Sudahlah kamu tidak perlu banyak protes. Pastikan saja wanita itu tidak mengandung anakmu, karena sepantasnya kalian segera mengakhiri hubungan ini!"

"Tidak mungkin, karena saya ...." Mark sontak menghentikan perkataannya. Bibirnya seketika bungkam dan pergi begitu saja meninggalkan ibunya

"Saya apa? Kamu tidak berpikir untuk mendapatkan anak dari perempuan rendahan itu, kan?! Mark jawab Mami!" teriak Catherine kesal.

Mark menulikan pendengarannya. Ia memilih pergi dan melupakan perdebatannya dengan Catherine. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang terdiam dibalik pilar, mendengarkan seluruh percakapan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status