"Zeya, bisa bicara sebentar?"
Zeya yang tengah menulis sebuah laporan seketika menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Oh iya, Dok."
Zeya dengan tenang mengikuti Veshal dari belakang, menuju sebuah ruangan tempat Veshal bekerja.
"Silahkan, duduk!" seru Veshal mempersilahkan setelah mereka sampai di ruang poli kandungan yang sudah sepi.
"Ada apa, dok?" tanya Zeya.
"Saya dengar sudah 2 hari Jelita gak masuk karena sakit. Sebenarnya ia sakit apa? Saya berusaha menghubunginya sejak tadi, tapi sama sekali tidak dijawab."
"Maaf, saya tidak tahu, Dok. Telepon ataupun pesan singkat saya juga sama sekali tidak dijawab oleh Jelita." Zeya tampak ragu dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan dari Veshal.
Sejujurnya hatinya turut gelisah dengan kondisi Jelita yang tak seperti biasanya, karena Jelita tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jelita sosok pekerja keras, yang akan tetap bekerja sekalipun kesehatannya tengah menurun.
"Saya cuma mau menkonfirmasi saja. Karena saya tidak ingin nilai Jelita menurun. Apalagi bulan depan dia akan masuk stase obgyn, jadi saya pikir saya memiliki tanggung jawab atas Jelita." Veshal berusaha untuk mencari alasan. Walaupun Zeya sudah memahami perasaan Veshal pada sahabatnya itu.
"Ya, sudah. Terima kasih, Zeya. Saya begini karena merasa bertanggung jawab dengan kalian loh, tolong jangan salah paham," ucap Veshal yang hanya terdengar sebagai sebuah alibi.
"Baik, Dok! Saya paham karena dokter adalah sosok yang sangat peduli akan mahasiswanya. Apalagi Jelita, memang harus diperhatikan!" ejek Zeya.
Seketika wajah Veshal memerah. "Sekarang kamu bisa kembali."
Zeya tersenyum menahan tawanya, lalu segera berpamitan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan jam praktek Veshal yang ajak tadi telah berakhir membuatnya segera meninggalkan rumah sakit.
Veshal melajukan mobil miliknya menuju sebuah alamat, walaupun rintik hujan mulai perlahan turun dari cakrawala .
"Permisi! Selamat malam," tanyanya pada seorang satpam, setelah ia menurunkan kaca mobilnya.
Satpam itu pun segera menghampiri mobil Veshal dan menjawab dengan ramah, "Ya, selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Apa benar ini rumahnya Jelita?" tanyanya kembali.
"Iya benar, Pak. Tapi sekarang Non Jelita gak tinggal disini lagi, sudah pindah ke rumah keluarga suaminya."
Deg!
Detak jantung Veshal berdetak kencang. Veshal mengerutkan keningnya, berharap jika pendengaran salah.
"Suaminya?" tanyanya kembali menegaskan.
"Iya, suaminya. Beberapa hari yang lalu, Nona Jelita menikah dengan Tuan Mark Dinata dan sekarang tinggal di daerah Menteng," jawab satpam tersebut.
Kenyataan yang baru saja ia dengar bagaikan sebuah sambaran petir di siang bolong bagi Veshal. Veshal termenung sejenak, ingatannya kembali pada 3 hari lalu saat ada keributan yang dibuat pasien IGD bernama Mark Dinata.
"Tuan, Tuan!" ucap satpam tersebut yang kembali menarik kesadaran Veshal.
"O-oh maaf. Kalau boleh saya boleh minta alamatnya? Saya Veshal Khan, dokter spesialis kandungan di tempat Jelita kerja."
Veshal yang telah mengantongi alamat tempat tinggal yang baru, tampaknya mengurungkan niatnya menemui Jelita. Pikirannya kacau, segala spekulasi berputar di kepalanya.
Hatinya pun terasa kosong, kini ia benar-benar menyadari jika ia telah mencintai wanita yang bahkan tak boleh ia harapkan.
***
"Masih hidup kamu?" sindir Catherine yang baru melihat Jelita setelah 3 hari lamanya. Jelita yang terus mengurung diri di dalam kamar terlihat pucat, dan hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan ibu mertuanya.
"Saya, berangkat dulu, Tante," ucap Jelita berpamitan seraya mengulurkan tangannya.
Catherine memalingkan wajahnya, dan pergi meninggalkan Jelita begitu saja. Semakin lama Jelita semakin terbiasa akan sikap buruk ibu mertuanya, bahkan sang suami yang juga tak pernah sekalipun terlihat batang hidungnya beberapa hari ini.
Jelita memilih tidak memusingkan sikap Catherine dan melanjutkan pekerjaannya menuju rumah sakit. Matahari mulai berangsur tenggelam, mengiringi perjalanan Jelita sore itu.
"Jelita!" teriak Zeya sesaat Jelita sampai di rumah sakit.
Zeya berlari, dan memeluk Jelita dengan erat.
"Kamu sakit apa? Tapi kamu beneran sudah sembuh, kok pucat banget!" tanyanya tanpa jeda.
Jelita tersenyum. "Aku cuma kecapean aja. Kamu tahu sendiri, kan kalau aku ini sering anemia," jawab Jelita sambil mulai mempersiapkan dirinya.
Jelita dan Zeya memulai pekerjaan mereka bersama-sama. Menyelesaikan pekerjaan yang seakan tak pernah ada habisnya.
"Jelita, tolong berikan ini pada Dokter Veshal! Kebetulan beliau sedang jam praktek di poli," titah seorang dokter yang baru keluar dari ruang laboratorium dan menyerahkan berkas rekam medis pasien kepada Jelita.
Jelita mengangguk tanpa sedikitpun membantah.
Antrian para pasien yang didominasi wanita hamil memenuhi kursi tunggu di depan poli kandungan tersebut. Kini Jelita berada tepat di depan pintu, dan pintu terbuka bahkan sebelum dirinya berkesempatan untuk mengetuk.
Deg!
"J-jelita!"
"Ada apa ya, Dok?" tanya seorang pria yang merasa terusik karena Veshal yang sedari tadi menatapnya dengan tajam."Oh maaf, Pak. Saya cuma mau memberitahukan jika kondisi kandungan istri Anda sangat lemah. Pastikan Ibu Chintya beristirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi setiap harinya. Tolong jaga istri Anda!" seru Veshal yang terpaksa senyum ramah dengan nada suara menekan.Veshal yang belum memahami permasalahan Jelita hanya bisa berusaha tak tenggelam dalam opininya sendiri. Walaupun ingin sekali ia memukul pria yang dikenalnya sebagai tunangan Jelita."Baiklah, saya akan resepkan obat penguat kandungan. Lalu saya ingatkan sekali lagi, tolong jaga istrinya agar tidak mengalami flek lagi.""Terima kasih, Dokter!" jawab Adimas seraya meraih kertas yang berisikan resep obat dari Veshal.Chintya dan Adimas berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan."J-jelita!" seru Adimas gugup.Seketika Veshal menoleh, melihat Jelita yang hanya tersenyum masam pada Adimas dan Chint
"Jadi disini mereka tinggal?"Sedikit kaca mobilnya terbuka, membuat Mark bisa melihat dengan jelas sebuah rumah yang terlihat sepi, bahkan tidak ada 1 orang penjaga keamanan pun yang berjaga.Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah tersebut, dan keluarlah pria muda dari dalam mobil untuk membuka pagar.Mark menyipitkan matanya, berfokus pada wajah pria muda itu. Setelah memastikan sesuatu Mark keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekati pria tersebut."Adimas!" ucapnya sambil menepuk pundak Adimas yang tengah kesulitan membuka gerbang rumahnya yang sedikit macet.Adimas menoleh dan sontak sebuah pukulan melesat tepat mengenai wajahnya."Apa-apaan ini?!""Brengsek! Dimana Chintya?" Mark mencengkram kerah baju Adimas. Wajahnya memerah menahan gejolak amarah yang telah lama terpendam.Sekali lagi Mark memukul Adimas dan mengenai hidungnya sampai mengeluarkan darah."Cukup! Apa-apaan ini?!" teriak Chintya yang baru saja keluar dari mobil.Wanita itu segera memisahk
"Sialan!"Kedua rahang yang mengeras hingga urat-urat pada lehernya terlihat jelas di kulit pria yang berwarna putih itu. Sorot matamu makin terlihat tajam penuh dendam mengingat penghina yang baru saja ia terima.Sebuah penghinaan pertama yang didapatkannya, sungguh telah menjatuhkan harga dirinya langsung ke jurang terdalam."Hahaha wanita sial," umpat Mark diiringi suara tawanya yang terdengar menakutkan.Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, segera ia menjawab sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal."Ya, baik saya akan kesana," jawabnya lalu mengakhiri panggilan telepon itu.Dengan kecepatan tinggi Mark mengalihkan arah mobilnya, menuju suatu tempat agar dapat sampai secepat mungkin.***"Sebenarnya kenapa saya harus kesini?" ucap Mark bermonolog sendiri.Pikirannya yang kacau tiba-tiba membuat dirinya kini tanpa sadar berada di area parkir sebuah rumah sakit. Pria itu mengusap kasar wajahnya dan sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya."Lebih baik pergi? Buang-bua
"Hati-hati di jalan, kalau seandainya kamu belum sehat lebih baik istirahat dulu,." Dengan bibir yang terasa berat, setengah hati Veshal harus melepaskan Jelita untuk pergi bersama Mark.Raut wajahnya kian terlihat khawatir, takut jika Mark akan melakukan sesuatu yang buruk pada Jelita."Terima kasih Dok, Zeya. Nanti saya akan memberi kabar," jawab Jelita tersenyum.Tatapan mata Veshal pada Jelita, membuat Mark merasa tidak nyaman. Dengan cepat ia segera menutup pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih."Dasar orang sinting, gak punya sopan santun," gerutu Zeya kesal karena sikap Mark yang terlihat kasar, angkuh dan seenaknya Veshal hanya tersenyum kecil dan berkata, "Zeya, saya ingin menanyakan sesuatu padamu."***Sementara itu mobil listrik berwarna hitam metalik itu berjalan cepat membelah gemerlap malam ibukota. sejak tadi tak ada satupun pembicaraan yang terlontar antara Mark dan Jelita, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing."Terima kasih sudah menjempu
"Mark tunggu! Mark!"Langkah kaki Mark terhenti, lalu menoleh. "Iya, Mom. Ada apa? Saya lelah ingin istirahat.""Darimana saja kamu gak pulang-pulang? Lalu sekarang kenapa kamu pulang bersama dengan perempuan itu? Kamu gak ada niatan untuk mempertahankan pernikahanmu dengannya, kan?!" Rentetan pertanyaan dari Catherine semakin membuat kepala Mark terasa sakit.Mark menghela napasnya, berusaha mengendalikan emosinya saat harus menghadapi sang ibu. "Mommy ngomong apa sih? Gak usah melantur."Catherine menajamkan penglihatannya dan menatap wajah putra sulungnya. Wanita paruh baya itu seakan menerka apa yang terjadi lewat mimik wajah Mark yang terlihat datar."Lalu kenapa kamu bisa pulang bersama dia?" tanya Catherine curiga."Dia pingsan, dan pihak rumah sakit menelpon saya. Mau tidak mau saya harus menjemputnya.""Dia pingsan?" Kening Catherine semakin mengerut. Entah apa yang ada di pikirannya. Catherine terdiam sejenak dalam kecurigaannya.Tiba-tiba Catherine menggenggam lengan putran
"Jawab! Kamu mau kemana?" tanya Mark dengan menggenggam erat lengan Jelita. Catherine terkejut melihat kedatangan putranya, dan segera turun dari mobil sambil berkata, "Mark, lepas!" "Tidak, sebelum dia menjawab pertanyaanku!" Kecurigaan Catherine kian menjadi, terutama saat putranya tak bersikap seperti biasanya. Di mata Catherine saat ini, Mark terlihat tengah mati-matian melindungi Jelita dan menyembunyikan sesuatu darinya. "Mark, lepaskan dia!" bentak Catherine. "Saya tidak apa-apa." Jelita yang lelah berusaha melerai perdebatan. Ia berusaha melepaskan diri tapi cengkraman tangan Mark yang begitu kuat seketika membuatnya merinding karena teringat pada malam itu. "Dasar bodoh! Kenapa kau terus menurut seperti keledai? Kau bahkan tidak tahu mau dibawa kemana!" bentak Mark. "Cukup Mark! Mommy hanya ingin membawanya ke dokter kandungan. Mommy harus memastikannya dengan jelas!" Sikap Catherine membuat Mark kian frustasi. Mark lemah dengan sikap ibunya yang semakin tak masuk ak
"Pih bagaimanapun Chintya anak semata wayang kita. Wajar dong kalau kita rayakan pernikahannya besar-besaran!" Adimas mengerutkan keningnya, berusaha untuk setenang mungkin agar tidak menimbulkan suara. Pria itu merapatkan tubuhnya ke dinding, lalu menajamkan pendengarannya. "Mih, apa yang harus kita katakan pada keluarga Dinata? Chintya itu membatalkan pernikahannya dengan cara memalukan dan kini malah mengekspos diri dengan menikahi pria lain." Sementara Jimmy dan Rieta terus berdebat, berusaha menang dengan argumen mereka masing-masing. Jimmy terlihat tidak menyetujui ide konyol Rieta dan putrinya karena ia tidak ingin kembali terlibat masalah dengan keluarga besar Mark. "Coba kamu pikir, kita sudah menyerahkan Jelita pada keluarga Dinata. Jika kita terlibat masalah kembali, harus memakai cara apalagi untuk mengatasinya?" Deg! Adimas terperangah. Sejauh ini dia baru mengetahui jika Jelita telah terpaksa menikah untuk menggantikan Chintya. Selama ini ia berusaha menahan
Brak! Zeya menggebrak meja sekumpulan koas dari kelompok lain yang tengah sarapan di kantin itu, Hingga minuman milik mereka pun tumpah dan mengenai pakaian mereka. "Heh, punya mulut tuh dijaga. Pagi-pagi bisanya gunjingin orang!" teriak Zeya jengkel. Salah satu koas yang berambut pendek yang bernama Shanti pun bangkit sambil berkacak pinggang dan menatap Zeya marah. "Kalau gak merasa gak usah marah!" "Udah Zeya, gak usah diperpanjang," Jelita berusaha meredam emosi sahabatnya sambil menepuk-nepuk pundak Zeya. Namun emosi Zeya sudah berada di ubun-ubun, dan semakin meningkat melihat mimik wajah para wanita itu yang menatap Jelita dengan pandangan mengejek. "Dia aja gak marah, kenapa lo yang marah?" ejek Yulian. "Lagian emang benar, kan kalau teman Lo itu murahan. Udah punya laki masih aja deketin yang lain." "Oh ya, lagian kapan dia nikah ya? Apakah jangan-jangan dia kecelakaan makanya buru-buru nikah?" sambung Yulian yang memang sangat membenci Jelita saat mereka di kamp