"Siapa yang kau sebut istriku?"
"M-maafkan saya, Pak!"
"Jangan bicara sembarangan. Dia bukanlah istriku," ucap Mark dan berlalu. Yesi tertekan lalu mengikuti Mark dari belakang, sesekali ia menolehkan kepalanya seakan memastikan kondisi Jelita yang hanya terdiam di tempat.
Jelita melirik ke kanan dan ke kiri, terlihat beberapa perawat bahkan keluarga pasien berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya. Kakinya terasa berat, Jelita bak sebuah tontonan menarik yang hanya berdiam diri di tengah pertunjukan.
"Jelita, ikut saya!" ucap seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Jelita. Gadis itu menoleh, melihat sosok pria yang selalu baik pada dirinya.
"Baik, Dok!"
Dengan wajah yang tertunduk, Jelita terus mengikuti langkah kaki Dokter Veshal. Kini mereka telah sampai di sebuah kantin rumah sakit, beruntung suasana hari itu tidak cukup ramai.
"Minumlah terlebih dahulu! Saya perhatikan, kamu sama sekali belum beristirahat." Veshal memberikan sebotol air mineral dingin pada Jelita. Dokter spesialis kandungan berdarah India itu duduk di hadapan Jelita. Pandangannya seakan tak putus menatap dan memerhatikan raut wajah Jelita yang pucat.
"Jelita, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya.
"Tidak ada apa-apa, Dok. Tadi cuma ada salah paham sedikit aja," tuturnya menutupi.
Veshal menghela napasnya lalu berkata dengan tutur yang lembut, "Jelita, saya tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Bahkan kemarin tunanganmu datang ke poli, dan memperkenalkan diri sebagai suami wanita lain."
Jelita bergeming, tak ada jawaban dari bibir Jelita. Ia hanya menunduk dengan kedua mata yang memerah. Veshal turut terdiam, pria itu lalu bangkit dari duduknya dan berkata, "Tunggu sebentar, saya akan segera kembali!"
Tak berselang lama Veshal kembali, dengan membawa sebuah kantong berisi makanan yang ia letakkan di atas meja kantin.
"Nih saya belikan double cheeseburger dan cola dengan ukuran large!" ucapnya tersenyum, memperlihatkan sepasang lesung dikedua sisi pipinya.
Jelita terperangah. "Dok, dapat junkfood darimana?"
"Zeya sedang tidak ada pekerjaan, jadi saya suruh saja."
Tawa Jelita tak terbendung lagi, karena ia sangat mengetahui jika Zeya memiliki jadwal yang sangat padat hari itu. Jelita meminum segelas cola miliknya, perasannya sedikit terhibur berkat Veshal.
"Terima kasih, Dok. Tau aja kesukaan saya."
"Cepatlah kamu makan! Jangan sampai Dokter Richard melihat. Kalau sampai ia lihat kita makan junkfood, kita bisa diceramahi 7 hari 7 malam!" seru Veshal tersenyum.
Gelak tawa pecah antara Jelita dan Veshal. Untuk kesekian kalinya Jelita harus berterima kasih pada Veshal karena selalu menghiburnya kala tengah diterpa masalah.
***
Suara dentuman musik yang kian memekikkan telinga, dan euforia yang memenuhi sebuah kelab malam yang berada di pusat ibukota. Tampaknya tak membuat Mark terlena dan melupakan permasalahannya.
"Sendirian aja? Mau aku temani?" tanya seorang wanita tak dikenal. Sudah ketiga kalinya Mark didatangi wanita bertubuh molek yang tak segan melingkarkan tangannya di pundak Mark.
Mark hanya diam sambil meneguk sedikit demi sedikit gelas wiski yang ia genggam.
"Kok diam saja sih? Kamu pasti bosan sendirian disini," ucap wanita itu kembali berusaha menggoda.
Mulai merasa jengah, Mark menepis tangan wanita itu yang sedari tadi bergelayut padanya. Kepalanya terasa pengar akibat pengaruh minuman beralkohol, dan diperparah aroma parfum wanita tersebut yang sangat menyengat.
Mark yang kesal karena terus diganggu, akhirnya memutuskan untuk segera pergi dari kelab malam itu.
Mark melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, bayangan wajah Chintya seakan tumpang tindih dengan sosok Jelita dan kian mengacaukan pikirannya.
"Cepat buka!" Suara teriakan Mark sontak membuat seorang satpam yang tengah berjaga langsung berlari. Suara klakson mobil terus terdengar, menandakan jika sang pengemudi tengah berada disuasana hati yang tidak baik.
Jam yang telah menunjukkan dini hari kian membuat suasana rumah megah itu semakin sunyi. Hanya suara sepatunya yang terdengar memecah belah keheningan malam itu.
"Mark!"
Pintu kamar yang dibuka dengan kasar membuat Jelita terkejut dan bangun dari tidurnya. Langkah kaki Mark semakin berjalan mendekati Jelita yang terduduk disalah satu sisi ranjang.
"M-mark! Apa yang terjadi?" tanya Jelita panik.
Tercium aroma alkohol yang menyengat, dan menusuk indra penciumannya.
Sontak Jelita panik dan tanpa sadar turut berjalan mendekati sang suami. "Astaga, kamu mabuk?"
"Diam!"
Sepasang lengan kekar itu mencengkram erat kedua pundak Jelita. Mark menunduk, mensejajarkan tingginya dengan tinggi badan Jelita yang hanya mencapai dadanya saja.
"Sakit," rintih Jelita yang merasakan sakit pada pundaknya.
"Kenapa kamu meninggalkan aku? Jawab!"
"Sadar, Mark! Sakit!" pekik Jelita ketakutan.
Luka pada telapak tangan Mark kembali terbuka. Noda darah merembes kain kasa putih dan juga lengan baju Jelita.
Pria itu tidak peduli, Mark berteriak, "Jawab, Chintya! Apa cintaku ini kurang bagimu?"
Sekuat tenaga Jelita memberontak. Berupaya sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkraman suaminya. "Sadarlah, aku bukan Chintya! Aku Jelita, istrimu!"
Alih-alih tersadar, Mark tertawa cukup keras. Kini ia menarik pinggul Jelita hingga mengikis jarak diantara mereka.
Air mata Jelita mulai menetes dari kedua sudut matanya, sosok Mark saat itu terlihat sangat menakutkan bagi Jelita.
"Hentikan, Mark..."
Suara tangisan yang terdengar lirih kian menyadarkan Mark yang baru saja bangun pagi itu. Ranjang yang berantakan dengan noda darah pada seprai yang berasal dari keduanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria itu."Bibi! Bi Marni!" teriak Mark gusar. Beberapa kali ia berteriak, memanggil nama kepala pembantu rumahnya."Ya, Den!" sahut Marni yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah Mark."Bawa dia keluar! Saya tidak ingin dia menginjakkan kakinya di kamar saya lagi!" titah Mark murka."Baik, Den!" jawab Marni.Segera Marni menghampiri Jelita yang masih gemetaran. Sementara beberapa orang pembantu rumah tangga lainnya membereskan barang-barang Jelita. Marni menggiring Jelita menuju ruang keluarga, lalu memberikan segelas air untuk Jelita.Pandangannya tertuju pada pundak dan lengan Jelita yang memar. Marni memeluk Jelita, berusaha menenangkan hati nyonya mudanya yang malang, walaupun pikirannya terus bertanya-tanya.'Ya Gusti, apa yang sudah dilakukan Aden sampai nyonya seperti
"Zeya, bisa bicara sebentar?"Zeya yang tengah menulis sebuah laporan seketika menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Oh iya, Dok."Zeya dengan tenang mengikuti Veshal dari belakang, menuju sebuah ruangan tempat Veshal bekerja."Silahkan, duduk!" seru Veshal mempersilahkan setelah mereka sampai di ruang poli kandungan yang sudah sepi."Ada apa, dok?" tanya Zeya."Saya dengar sudah 2 hari Jelita gak masuk karena sakit. Sebenarnya ia sakit apa? Saya berusaha menghubunginya sejak tadi, tapi sama sekali tidak dijawab.""Maaf, saya tidak tahu, Dok. Telepon ataupun pesan singkat saya juga sama sekali tidak dijawab oleh Jelita." Zeya tampak ragu dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan dari Veshal.Sejujurnya hatinya turut gelisah dengan kondisi Jelita yang tak seperti biasanya, karena Jelita tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jelita sosok pekerja keras, yang akan tetap bekerja sekalipun kesehatannya tengah menurun."Saya cuma mau menkonfirmasi saja. Karena saya tidak ingin nilai
"Ada apa ya, Dok?" tanya seorang pria yang merasa terusik karena Veshal yang sedari tadi menatapnya dengan tajam."Oh maaf, Pak. Saya cuma mau memberitahukan jika kondisi kandungan istri Anda sangat lemah. Pastikan Ibu Chintya beristirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi setiap harinya. Tolong jaga istri Anda!" seru Veshal yang terpaksa senyum ramah dengan nada suara menekan.Veshal yang belum memahami permasalahan Jelita hanya bisa berusaha tak tenggelam dalam opininya sendiri. Walaupun ingin sekali ia memukul pria yang dikenalnya sebagai tunangan Jelita."Baiklah, saya akan resepkan obat penguat kandungan. Lalu saya ingatkan sekali lagi, tolong jaga istrinya agar tidak mengalami flek lagi.""Terima kasih, Dokter!" jawab Adimas seraya meraih kertas yang berisikan resep obat dari Veshal.Chintya dan Adimas berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan."J-jelita!" seru Adimas gugup.Seketika Veshal menoleh, melihat Jelita yang hanya tersenyum masam pada Adimas dan Chint
"Jadi disini mereka tinggal?"Sedikit kaca mobilnya terbuka, membuat Mark bisa melihat dengan jelas sebuah rumah yang terlihat sepi, bahkan tidak ada 1 orang penjaga keamanan pun yang berjaga.Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah tersebut, dan keluarlah pria muda dari dalam mobil untuk membuka pagar.Mark menyipitkan matanya, berfokus pada wajah pria muda itu. Setelah memastikan sesuatu Mark keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekati pria tersebut."Adimas!" ucapnya sambil menepuk pundak Adimas yang tengah kesulitan membuka gerbang rumahnya yang sedikit macet.Adimas menoleh dan sontak sebuah pukulan melesat tepat mengenai wajahnya."Apa-apaan ini?!""Brengsek! Dimana Chintya?" Mark mencengkram kerah baju Adimas. Wajahnya memerah menahan gejolak amarah yang telah lama terpendam.Sekali lagi Mark memukul Adimas dan mengenai hidungnya sampai mengeluarkan darah."Cukup! Apa-apaan ini?!" teriak Chintya yang baru saja keluar dari mobil.Wanita itu segera memisahk
"Sialan!"Kedua rahang yang mengeras hingga urat-urat pada lehernya terlihat jelas di kulit pria yang berwarna putih itu. Sorot matamu makin terlihat tajam penuh dendam mengingat penghina yang baru saja ia terima.Sebuah penghinaan pertama yang didapatkannya, sungguh telah menjatuhkan harga dirinya langsung ke jurang terdalam."Hahaha wanita sial," umpat Mark diiringi suara tawanya yang terdengar menakutkan.Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, segera ia menjawab sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal."Ya, baik saya akan kesana," jawabnya lalu mengakhiri panggilan telepon itu.Dengan kecepatan tinggi Mark mengalihkan arah mobilnya, menuju suatu tempat agar dapat sampai secepat mungkin.***"Sebenarnya kenapa saya harus kesini?" ucap Mark bermonolog sendiri.Pikirannya yang kacau tiba-tiba membuat dirinya kini tanpa sadar berada di area parkir sebuah rumah sakit. Pria itu mengusap kasar wajahnya dan sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya."Lebih baik pergi? Buang-bua
"Hati-hati di jalan, kalau seandainya kamu belum sehat lebih baik istirahat dulu,." Dengan bibir yang terasa berat, setengah hati Veshal harus melepaskan Jelita untuk pergi bersama Mark.Raut wajahnya kian terlihat khawatir, takut jika Mark akan melakukan sesuatu yang buruk pada Jelita."Terima kasih Dok, Zeya. Nanti saya akan memberi kabar," jawab Jelita tersenyum.Tatapan mata Veshal pada Jelita, membuat Mark merasa tidak nyaman. Dengan cepat ia segera menutup pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih."Dasar orang sinting, gak punya sopan santun," gerutu Zeya kesal karena sikap Mark yang terlihat kasar, angkuh dan seenaknya Veshal hanya tersenyum kecil dan berkata, "Zeya, saya ingin menanyakan sesuatu padamu."***Sementara itu mobil listrik berwarna hitam metalik itu berjalan cepat membelah gemerlap malam ibukota. sejak tadi tak ada satupun pembicaraan yang terlontar antara Mark dan Jelita, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing."Terima kasih sudah menjempu
"Mark tunggu! Mark!"Langkah kaki Mark terhenti, lalu menoleh. "Iya, Mom. Ada apa? Saya lelah ingin istirahat.""Darimana saja kamu gak pulang-pulang? Lalu sekarang kenapa kamu pulang bersama dengan perempuan itu? Kamu gak ada niatan untuk mempertahankan pernikahanmu dengannya, kan?!" Rentetan pertanyaan dari Catherine semakin membuat kepala Mark terasa sakit.Mark menghela napasnya, berusaha mengendalikan emosinya saat harus menghadapi sang ibu. "Mommy ngomong apa sih? Gak usah melantur."Catherine menajamkan penglihatannya dan menatap wajah putra sulungnya. Wanita paruh baya itu seakan menerka apa yang terjadi lewat mimik wajah Mark yang terlihat datar."Lalu kenapa kamu bisa pulang bersama dia?" tanya Catherine curiga."Dia pingsan, dan pihak rumah sakit menelpon saya. Mau tidak mau saya harus menjemputnya.""Dia pingsan?" Kening Catherine semakin mengerut. Entah apa yang ada di pikirannya. Catherine terdiam sejenak dalam kecurigaannya.Tiba-tiba Catherine menggenggam lengan putran
"Jawab! Kamu mau kemana?" tanya Mark dengan menggenggam erat lengan Jelita. Catherine terkejut melihat kedatangan putranya, dan segera turun dari mobil sambil berkata, "Mark, lepas!" "Tidak, sebelum dia menjawab pertanyaanku!" Kecurigaan Catherine kian menjadi, terutama saat putranya tak bersikap seperti biasanya. Di mata Catherine saat ini, Mark terlihat tengah mati-matian melindungi Jelita dan menyembunyikan sesuatu darinya. "Mark, lepaskan dia!" bentak Catherine. "Saya tidak apa-apa." Jelita yang lelah berusaha melerai perdebatan. Ia berusaha melepaskan diri tapi cengkraman tangan Mark yang begitu kuat seketika membuatnya merinding karena teringat pada malam itu. "Dasar bodoh! Kenapa kau terus menurut seperti keledai? Kau bahkan tidak tahu mau dibawa kemana!" bentak Mark. "Cukup Mark! Mommy hanya ingin membawanya ke dokter kandungan. Mommy harus memastikannya dengan jelas!" Sikap Catherine membuat Mark kian frustasi. Mark lemah dengan sikap ibunya yang semakin tak masuk ak