"Jelita! Oi Jelita!"
Jelita menoleh saat namanya dipanggil seseorang. Terlihat seorang wanita mendekat padanya sambil berlari tergopoh-gopoh. "Ada berita penting!"
"Apa sih? Kamu itu kebiasaan lari-larian di koridor."
"Duh penting banget ini, sampai aku pikir harus kasih tau kamu secara langsung!" seru wanita yang bernama Zeya. Zeya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, lalu gadis itu segera menarik Jelita ke sebuah sisi yang terdapat kursi tunggu.
"Ada apaan sih? Kok kamu panik banget?" tanya Jelita penasaran.
Dengan cepat Zeya menarik Jelita untuk duduk tepat di sebelahnya lalu berbicara setengah berbisik, "Kemarin loh! Kemarin!
Kening Jelita berkerut. "Kemarin apa?"
"Kemarin, kan aku habis visit bareng Dokter Lydia. Eh, tau gak siapa yang habis aku lihat keluar dari poli obgyn?" Keduanya saling bertatapan seakan tengah menerka. Kening Jelita berkerut menunggu Zeya kembali berbicara. "Si Chintya sama Adimas!"
Kedua mata Jelita membulat. "Chintya dan Adimas? Kamu gak salah lihat?"
"Aku juga berpikir salah lihat. Sampai aku tuh nanya Dokter Veshal, kalau hari itu ada gak pasien dia namanya Chintya. Eh, ternyata benar!" jelas Zeya. Sejenak gadis itu terdiam lalu kembali membuka mulutnya.
"Tapi, Ta. Bukannya kamu bilang kemarin si Chintya itu nikahan ya? Terus kenapa dia kesini, sama Adimas pula?" tanya Zeya kembali sambil menatap Jelita yang telah menjadi sahabatnya sejak mereka masuk perguruan tinggi.
Bibir Jelita terasa berat. Semua masih seperti mimpi buruk baginya. Raut wajah Jelita yang berubah sontak membuat Zeya mengerti jika ada sesuatu yang salah.
"Kamu gak perlu jawab kalau kamu belum siap." Zeya menggenggam kedua tangan Jelita dan berupaya menenangkan hati sahabatnya.
Jelita menghela napasnya, dan mengulas sebuah senyuman, "Bukan Chintya yang menikah, tapi aku."
"A-apa!"
***
'Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.'
Mark membanting ponselnya setelah panggilannya tak pernah tersambung.
Wajahnya tampak frustasi, menahan amarah yang telah meluap di dalam dada. Pandangannya mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas meja kerjanya, foto dirinya dengan Chintya yang tengah tersenyum sambil memeluk satu sama lainnya.
Mark meraihnya lalu membelahnya hingga menjadi 2 bagian. Pecahan kaca bingkainya pun merobek telapak tangan Mark, membuat darahnya pun menetes di lantai.
"Yesi, tolong ambilkan kotak P3K!" titahnya pada sekretarisnya lewat telepon. Tak lama terdengar pintu di ketuk. Yesi masuk dengan membawa kotak pertolongan pertama yang diminta atasannya.
"Astaga, Pak! Tangan bapak kenapa?" Yesi terkejut melihat kondisi tangan Mark yang terluka. Dengan sigap ia segera melilitkan perban untuk sekedar menghentikan pendarahan.
"Gak apa-apa, saya bisa mengatasinya sendiri," ucap Mark.
"Gak bisa, Pak. Ini lukanya parah. Kita harus segera ke rumah sakit!" seru Yesi panik.
Mark hanya mengangguk, lalu bangkit tanpa banyak bicara. Keduanya pergi menuju rumah sakit terdekat dan masuk ke sebuah ruang IGD.
"Tolong atasan saya, telapak tangannya robek!" seru Yesi pada dokter yang tengah berjaga.
Deg!
Sejenak dokter muda yang tengah bertugas berjaga itu terpaku, kala melihat seorang pria yang sangat ia kenal.
"Silahkan duduk dulu, Pak," ucap seorang dokter jaga yang bertugas bersama Jelita. "Jelita, tolong bersihkan luka pasien terlebih dahulu."
"B-baik, Dok!"
Perlahan Jelita membersihkan luka pada tangan Mark walaupun dengan perasaan canggung. Mimik wajah Mark tampak datar.
"Maaf ya kalau sedikit sakit," ucap Jelita dengan suara lembutnya yang khas.
"Lakukan saja dengan cepat."
Mulut Jelita seketika terbungkam dan melakukan tugasnya dengan baik tanpa sedikitpun menyapa. Namun, Yesi tampak mengerutkan keningnya. Wanita itu seakan tengah mengobrak-abrik ingatannya kala melihat wajah Jelita yang tampak familiar baginya.
"Dokter, apakah sudah selesai?" tanya Yesi saat melihat Jelita tengah berjalan sambil membawa beberapa peralatan.
"Sedikit lagi. Luka pasien sedang ditutup oleh dokter," jawab Jelita sambil tersenyum ramah.
Yesi semakin yakin, ia terus mengerutkan keningnya sambil menatap Jelita dengan tajam. "N-nyonya! Nyonya Jelita istri Pak Mark, kan?"
Jelita terkejut. Suara Yesi yang lantang membuat semua pandangan tertuju pada mereka berdua.
"Maafkan saya yang sempat tidak mengenali Anda," sambung Yesi, sambil membungkukkan tubuhnya.
"S-saya ...."
"Siapa yang kau maksud istriku?"
"Siapa yang kau sebut istriku?" "M-maafkan saya, Pak!""Jangan bicara sembarangan. Dia bukanlah istriku," ucap Mark dan berlalu. Yesi tertekan lalu mengikuti Mark dari belakang, sesekali ia menolehkan kepalanya seakan memastikan kondisi Jelita yang hanya terdiam di tempat.Jelita melirik ke kanan dan ke kiri, terlihat beberapa perawat bahkan keluarga pasien berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya. Kakinya terasa berat, Jelita bak sebuah tontonan menarik yang hanya berdiam diri di tengah pertunjukan."Jelita, ikut saya!" ucap seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Jelita. Gadis itu menoleh, melihat sosok pria yang selalu baik pada dirinya."Baik, Dok!"Dengan wajah yang tertunduk, Jelita terus mengikuti langkah kaki Dokter Veshal. Kini mereka telah sampai di sebuah kantin rumah sakit, beruntung suasana hari itu tidak cukup ramai."Minumlah terlebih dahulu! Saya perhatikan, kamu sama sekali belum beristirahat." Veshal memberikan sebotol air mineral dingin pada Jelita. Dokter spesiali
Suara tangisan yang terdengar lirih kian menyadarkan Mark yang baru saja bangun pagi itu. Ranjang yang berantakan dengan noda darah pada seprai yang berasal dari keduanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria itu."Bibi! Bi Marni!" teriak Mark gusar. Beberapa kali ia berteriak, memanggil nama kepala pembantu rumahnya."Ya, Den!" sahut Marni yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah Mark."Bawa dia keluar! Saya tidak ingin dia menginjakkan kakinya di kamar saya lagi!" titah Mark murka."Baik, Den!" jawab Marni.Segera Marni menghampiri Jelita yang masih gemetaran. Sementara beberapa orang pembantu rumah tangga lainnya membereskan barang-barang Jelita. Marni menggiring Jelita menuju ruang keluarga, lalu memberikan segelas air untuk Jelita.Pandangannya tertuju pada pundak dan lengan Jelita yang memar. Marni memeluk Jelita, berusaha menenangkan hati nyonya mudanya yang malang, walaupun pikirannya terus bertanya-tanya.'Ya Gusti, apa yang sudah dilakukan Aden sampai nyonya seperti
"Zeya, bisa bicara sebentar?"Zeya yang tengah menulis sebuah laporan seketika menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Oh iya, Dok."Zeya dengan tenang mengikuti Veshal dari belakang, menuju sebuah ruangan tempat Veshal bekerja."Silahkan, duduk!" seru Veshal mempersilahkan setelah mereka sampai di ruang poli kandungan yang sudah sepi."Ada apa, dok?" tanya Zeya."Saya dengar sudah 2 hari Jelita gak masuk karena sakit. Sebenarnya ia sakit apa? Saya berusaha menghubunginya sejak tadi, tapi sama sekali tidak dijawab.""Maaf, saya tidak tahu, Dok. Telepon ataupun pesan singkat saya juga sama sekali tidak dijawab oleh Jelita." Zeya tampak ragu dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan dari Veshal.Sejujurnya hatinya turut gelisah dengan kondisi Jelita yang tak seperti biasanya, karena Jelita tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jelita sosok pekerja keras, yang akan tetap bekerja sekalipun kesehatannya tengah menurun."Saya cuma mau menkonfirmasi saja. Karena saya tidak ingin nilai
"Ada apa ya, Dok?" tanya seorang pria yang merasa terusik karena Veshal yang sedari tadi menatapnya dengan tajam."Oh maaf, Pak. Saya cuma mau memberitahukan jika kondisi kandungan istri Anda sangat lemah. Pastikan Ibu Chintya beristirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi setiap harinya. Tolong jaga istri Anda!" seru Veshal yang terpaksa senyum ramah dengan nada suara menekan.Veshal yang belum memahami permasalahan Jelita hanya bisa berusaha tak tenggelam dalam opininya sendiri. Walaupun ingin sekali ia memukul pria yang dikenalnya sebagai tunangan Jelita."Baiklah, saya akan resepkan obat penguat kandungan. Lalu saya ingatkan sekali lagi, tolong jaga istrinya agar tidak mengalami flek lagi.""Terima kasih, Dokter!" jawab Adimas seraya meraih kertas yang berisikan resep obat dari Veshal.Chintya dan Adimas berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan."J-jelita!" seru Adimas gugup.Seketika Veshal menoleh, melihat Jelita yang hanya tersenyum masam pada Adimas dan Chint
"Jadi disini mereka tinggal?"Sedikit kaca mobilnya terbuka, membuat Mark bisa melihat dengan jelas sebuah rumah yang terlihat sepi, bahkan tidak ada 1 orang penjaga keamanan pun yang berjaga.Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah tersebut, dan keluarlah pria muda dari dalam mobil untuk membuka pagar.Mark menyipitkan matanya, berfokus pada wajah pria muda itu. Setelah memastikan sesuatu Mark keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekati pria tersebut."Adimas!" ucapnya sambil menepuk pundak Adimas yang tengah kesulitan membuka gerbang rumahnya yang sedikit macet.Adimas menoleh dan sontak sebuah pukulan melesat tepat mengenai wajahnya."Apa-apaan ini?!""Brengsek! Dimana Chintya?" Mark mencengkram kerah baju Adimas. Wajahnya memerah menahan gejolak amarah yang telah lama terpendam.Sekali lagi Mark memukul Adimas dan mengenai hidungnya sampai mengeluarkan darah."Cukup! Apa-apaan ini?!" teriak Chintya yang baru saja keluar dari mobil.Wanita itu segera memisahk
"Sialan!"Kedua rahang yang mengeras hingga urat-urat pada lehernya terlihat jelas di kulit pria yang berwarna putih itu. Sorot matamu makin terlihat tajam penuh dendam mengingat penghina yang baru saja ia terima.Sebuah penghinaan pertama yang didapatkannya, sungguh telah menjatuhkan harga dirinya langsung ke jurang terdalam."Hahaha wanita sial," umpat Mark diiringi suara tawanya yang terdengar menakutkan.Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, segera ia menjawab sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal."Ya, baik saya akan kesana," jawabnya lalu mengakhiri panggilan telepon itu.Dengan kecepatan tinggi Mark mengalihkan arah mobilnya, menuju suatu tempat agar dapat sampai secepat mungkin.***"Sebenarnya kenapa saya harus kesini?" ucap Mark bermonolog sendiri.Pikirannya yang kacau tiba-tiba membuat dirinya kini tanpa sadar berada di area parkir sebuah rumah sakit. Pria itu mengusap kasar wajahnya dan sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya."Lebih baik pergi? Buang-bua
"Hati-hati di jalan, kalau seandainya kamu belum sehat lebih baik istirahat dulu,." Dengan bibir yang terasa berat, setengah hati Veshal harus melepaskan Jelita untuk pergi bersama Mark.Raut wajahnya kian terlihat khawatir, takut jika Mark akan melakukan sesuatu yang buruk pada Jelita."Terima kasih Dok, Zeya. Nanti saya akan memberi kabar," jawab Jelita tersenyum.Tatapan mata Veshal pada Jelita, membuat Mark merasa tidak nyaman. Dengan cepat ia segera menutup pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih."Dasar orang sinting, gak punya sopan santun," gerutu Zeya kesal karena sikap Mark yang terlihat kasar, angkuh dan seenaknya Veshal hanya tersenyum kecil dan berkata, "Zeya, saya ingin menanyakan sesuatu padamu."***Sementara itu mobil listrik berwarna hitam metalik itu berjalan cepat membelah gemerlap malam ibukota. sejak tadi tak ada satupun pembicaraan yang terlontar antara Mark dan Jelita, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing."Terima kasih sudah menjempu
"Mark tunggu! Mark!"Langkah kaki Mark terhenti, lalu menoleh. "Iya, Mom. Ada apa? Saya lelah ingin istirahat.""Darimana saja kamu gak pulang-pulang? Lalu sekarang kenapa kamu pulang bersama dengan perempuan itu? Kamu gak ada niatan untuk mempertahankan pernikahanmu dengannya, kan?!" Rentetan pertanyaan dari Catherine semakin membuat kepala Mark terasa sakit.Mark menghela napasnya, berusaha mengendalikan emosinya saat harus menghadapi sang ibu. "Mommy ngomong apa sih? Gak usah melantur."Catherine menajamkan penglihatannya dan menatap wajah putra sulungnya. Wanita paruh baya itu seakan menerka apa yang terjadi lewat mimik wajah Mark yang terlihat datar."Lalu kenapa kamu bisa pulang bersama dia?" tanya Catherine curiga."Dia pingsan, dan pihak rumah sakit menelpon saya. Mau tidak mau saya harus menjemputnya.""Dia pingsan?" Kening Catherine semakin mengerut. Entah apa yang ada di pikirannya. Catherine terdiam sejenak dalam kecurigaannya.Tiba-tiba Catherine menggenggam lengan putran