"Entah apa yang dipikirkan bajingan itu. Bisa-bisanya dengan cari licik dia mengambil Chintya dan menukarnya dengan wanita sepertimu." Tatapan Mark terasa dingin, dia sama sekali tidak peduli akan perasaan wanita yang telah menjadi istrinya.
Pria itupun pergi begitu saja meninggalkan semua orang dengan amarah yang masih meluap di dalam hatinya, dan disusul dengan kedua orang tuanya. "Jelita, kamu sudah melakukan yang terbaik. Tidak sia-sia kami membesarkanmu," ucap Jimmy bangga. "Lalu, ayah mohon. Tolong kamu jaga sikapmu di sana, walau sekalipun mereka bersikap buruk padamu. Semua demi kebaikan keluarga kita." "Ya, terima kasih sudah membesarkan dan menyekolahkan saya sampai saat ini, Ayah tidak perlu khawatir akan diriku." Jelita tersenyum kecut lalu bangkit dari duduknya. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar ruangan, dan bersiap untuk ikut pulang bersama keluarga barunya. *** "Mom, kenapa saya harus satu kamar dengan dia?" Baru saja Jelita menginjakkan kakinya di dalam kediaman keluarga Dinata, keributan pun kembali pecah. Jelita yang terjebak di antara perselisihan itu hanya diam dan mengamati tanpa berbicara apapun. "Mark, kita harus manfaatkan dia! Biar dia tidak cuma menjadi benalu di rumah ini!" seru Catherine tidak mau kalah. "Iya, tapi gak satu kamar juga!" "Cukup, Mark! Agar dia bisa melayanimu dengan baik, kalian harus satu kamar! Lagi pula, kau hanya tinggal melihatnya sebagai pelayan ekslusif!" "Percuma bicara dengan Mommy! Semuanya pun diputuskan tanpa sepengetahuanku!" Brak! Pintu kamar ditutup dengan keras oleh Mark. Catherine menghela napasnya seiring dengan keningnya yang terasa berdenyut. "Kamu urus Mark!" seru Catherine lalu pergi meninggalkan Jelita sendiri dengan sebuah koper yang sedari tadi menjadi tumpuannya berdiri. Jelita kembali memberanikan diri, lalu mengetuk pintu kamar beberapa kali. "Permisi, boleh saya masuk?" Tok! Tok! Tok! "Mark, boleh saya masuk?" tanyanya sekali lagi, tetapi tak ada jawaban apapun dari suaminya. "Mark!" Sunyi keadaan rumah yang terlihat megah itu. Jelita melihat jam dari layar ponselnya dan sudah lewat dari tengah malam. Mark yang tak kunjung membukakan pintunya membuat Jelita pasrah. Gadis itu duduk dilantai dan bersandar pada pintu hingga tertidur karena kelelahan. Brak! "M-Mark! Maaf saya ketiduran." Jelita tersentak dan seketika terbangun saat pintu kamarnya terbuka. Terlihat Mark yang sudah mengenakan pakaian kerjanya, dan pria itu pun berlalu begitu saja tanpa menyapa. Jelita hanya bisa menghela napasnya, seorang wanita paruh baya berjalan mendekatinya, menatapnya dengan sorot mata penuh iba. "Nyonya Jelita, perkenalan saya Marni. Bisa panggil saja Bi Marni," ucapnya memperkenalkan diri. "Boleh saya bantu membawa dan merapihkan koper-kopernya?" Jelita mengangguk dan tersenyum. Dia lega setidaknya ada 1 orang di dalam rumah itu yang mau berbicara dengan dirinya. "Mohon bantuannya ya, Bi Marni." Sementara di ruang makan Mark hanya menikmati sarapannya tanpa berbicara sepatah katapun. Hanya dentingan alat makan yang beradu menjadi satu-satunya suara yang memecah kesunyian ruang itu. "Selamat pagi, maaf saya terlambat." Jelita tersenyum sesaat dirinya sampai di ruang makan. Jelita mulai menarik sebuah kursi tetapi segera dihentikan oleh Catherine. "Mau apa kamu?" "Sarapan, Tante," jawab Jelita. "Kamu, mau makan di sini?" Catherine tertawa kecil lalu meletakkan garpu yang sedari tadi ia genggam. Wanita paruh baya itu kembali menatap Jelita, salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Heh, dengar ya! Meja makan ini hanya khusus keluarga Dinata. Kalau kamu mau makan bisa makan di dapur saja." "Tapi saya juga ...,"ucap Jelita yang seketika dipotong oleh Catherine. "Kau ini hanya dibolehkan makan disini saat ada tamu. Lebih baik kau berkaca, kamu hanyalah istri pengganti yang sama sekali tidak pantas untuk masuk kedalam keluarga kami." Kedua tangan Jelita mengepal, gadis itu mengigit bibir bagian bawah dengan gemetar. Perkataan Catherine telah melukai harga dirinya. Tak pernah ia merasa serendah ini walaupun dulu kerap kali Chintya merundung dirinya. "Baiklah, saya minta maaf telah mengganggu." Jelita memilih pergi. Tanpa memakan apapun ia segera mengambil perlengkapan kerjanya dan pergi dari rumah yang tak menerima kehadirannya. "Catherine, ucapanmu keterlaluan!" seru Chandra yang sudah tidak tahan dengan ucapan istrinya. "Kalau tidak diingatkan, dia akan lupa akan posisinya di rumah ini! Sayang, kau tidak ada niat untuk menjadikan wanita itu menantu kita selamanya, kan?" Perdebatan kedua orang tuanya membuat napsu makan Mark hilang. Mark menyudahi sarapannya. Pria itu meletakkan alat makannya di atas piring lalu bangkit. "Saya berangkat dulu." Segera ia mengambil tas miliknya dan melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Langkah kakinya sejenak terhenti saat dirinya melihat Jelita tengah berdiri di ambang pintu seakan tengah menunggu sesuatu. Jelita yang melihat suaminya pun berjalan mendekat lalu mengulurkan tangannya ke arah Mark, ia bermaksud untuk mencium tangan suaminya. Mark yang hanya terdiam membuat suasananya menjadi canggung. Jelita menarik kembali tangannya, dan berkata, "Aku pamit pergi kerja dulu, mungkin pulangnya agak malam." Wajah Mark mendekati telinga Jelita lalu berbisik, "Lain kali tidak perlu melakukan hal yang sia-sia, karena aku tak pernah sedikitpun menganggapmu istriku, mengerti!""Jelita! Oi Jelita!"Jelita menoleh saat namanya dipanggil seseorang. Terlihat seorang wanita mendekat padanya sambil berlari tergopoh-gopoh. "Ada berita penting!""Apa sih? Kamu itu kebiasaan lari-larian di koridor.""Duh penting banget ini, sampai aku pikir harus kasih tau kamu secara langsung!" seru wanita yang bernama Zeya. Zeya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, lalu gadis itu segera menarik Jelita ke sebuah sisi yang terdapat kursi tunggu."Ada apaan sih? Kok kamu panik banget?" tanya Jelita penasaran.Dengan cepat Zeya menarik Jelita untuk duduk tepat di sebelahnya lalu berbicara setengah berbisik, "Kemarin loh! Kemarin!Kening Jelita berkerut. "Kemarin apa?""Kemarin, kan aku habis visit bareng Dokter Lydia. Eh, tau gak siapa yang habis aku lihat keluar dari poli obgyn?" Keduanya saling bertatapan seakan tengah menerka. Kening Jelita berkerut menunggu Zeya kembali berbicara. "Si Chintya sama Adimas!"Kedua mata Jelita m
"Siapa yang kau sebut istriku?" "M-maafkan saya, Pak!""Jangan bicara sembarangan. Dia bukanlah istriku," ucap Mark dan berlalu. Yesi tertekan lalu mengikuti Mark dari belakang, sesekali ia menolehkan kepalanya seakan memastikan kondisi Jelita yang hanya terdiam di tempat.Jelita melirik ke kanan dan ke kiri, terlihat beberapa perawat bahkan keluarga pasien berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya. Kakinya terasa berat, Jelita bak sebuah tontonan menarik yang hanya berdiam diri di tengah pertunjukan."Jelita, ikut saya!" ucap seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Jelita. Gadis itu menoleh, melihat sosok pria yang selalu baik pada dirinya."Baik, Dok!"Dengan wajah yang tertunduk, Jelita terus mengikuti langkah kaki Dokter Veshal. Kini mereka telah sampai di sebuah kantin rumah sakit, beruntung suasana hari itu tidak cukup ramai."Minumlah terlebih dahulu! Saya perhatikan, kamu sama sekali belum beristirahat." Veshal memberikan sebotol air mineral dingin pada Jelita. Dokter spesiali
Suara tangisan yang terdengar lirih kian menyadarkan Mark yang baru saja bangun pagi itu. Ranjang yang berantakan dengan noda darah pada seprai yang berasal dari keduanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria itu."Bibi! Bi Marni!" teriak Mark gusar. Beberapa kali ia berteriak, memanggil nama kepala pembantu rumahnya."Ya, Den!" sahut Marni yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah Mark."Bawa dia keluar! Saya tidak ingin dia menginjakkan kakinya di kamar saya lagi!" titah Mark murka."Baik, Den!" jawab Marni.Segera Marni menghampiri Jelita yang masih gemetaran. Sementara beberapa orang pembantu rumah tangga lainnya membereskan barang-barang Jelita. Marni menggiring Jelita menuju ruang keluarga, lalu memberikan segelas air untuk Jelita.Pandangannya tertuju pada pundak dan lengan Jelita yang memar. Marni memeluk Jelita, berusaha menenangkan hati nyonya mudanya yang malang, walaupun pikirannya terus bertanya-tanya.'Ya Gusti, apa yang sudah dilakukan Aden sampai nyonya seperti
"Zeya, bisa bicara sebentar?"Zeya yang tengah menulis sebuah laporan seketika menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Oh iya, Dok."Zeya dengan tenang mengikuti Veshal dari belakang, menuju sebuah ruangan tempat Veshal bekerja."Silahkan, duduk!" seru Veshal mempersilahkan setelah mereka sampai di ruang poli kandungan yang sudah sepi."Ada apa, dok?" tanya Zeya."Saya dengar sudah 2 hari Jelita gak masuk karena sakit. Sebenarnya ia sakit apa? Saya berusaha menghubunginya sejak tadi, tapi sama sekali tidak dijawab.""Maaf, saya tidak tahu, Dok. Telepon ataupun pesan singkat saya juga sama sekali tidak dijawab oleh Jelita." Zeya tampak ragu dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan dari Veshal.Sejujurnya hatinya turut gelisah dengan kondisi Jelita yang tak seperti biasanya, karena Jelita tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jelita sosok pekerja keras, yang akan tetap bekerja sekalipun kesehatannya tengah menurun."Saya cuma mau menkonfirmasi saja. Karena saya tidak ingin nilai
"Ada apa ya, Dok?" tanya seorang pria yang merasa terusik karena Veshal yang sedari tadi menatapnya dengan tajam."Oh maaf, Pak. Saya cuma mau memberitahukan jika kondisi kandungan istri Anda sangat lemah. Pastikan Ibu Chintya beristirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi setiap harinya. Tolong jaga istri Anda!" seru Veshal yang terpaksa senyum ramah dengan nada suara menekan.Veshal yang belum memahami permasalahan Jelita hanya bisa berusaha tak tenggelam dalam opininya sendiri. Walaupun ingin sekali ia memukul pria yang dikenalnya sebagai tunangan Jelita."Baiklah, saya akan resepkan obat penguat kandungan. Lalu saya ingatkan sekali lagi, tolong jaga istrinya agar tidak mengalami flek lagi.""Terima kasih, Dokter!" jawab Adimas seraya meraih kertas yang berisikan resep obat dari Veshal.Chintya dan Adimas berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan."J-jelita!" seru Adimas gugup.Seketika Veshal menoleh, melihat Jelita yang hanya tersenyum masam pada Adimas dan Chint
"Jadi disini mereka tinggal?"Sedikit kaca mobilnya terbuka, membuat Mark bisa melihat dengan jelas sebuah rumah yang terlihat sepi, bahkan tidak ada 1 orang penjaga keamanan pun yang berjaga.Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah tersebut, dan keluarlah pria muda dari dalam mobil untuk membuka pagar.Mark menyipitkan matanya, berfokus pada wajah pria muda itu. Setelah memastikan sesuatu Mark keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekati pria tersebut."Adimas!" ucapnya sambil menepuk pundak Adimas yang tengah kesulitan membuka gerbang rumahnya yang sedikit macet.Adimas menoleh dan sontak sebuah pukulan melesat tepat mengenai wajahnya."Apa-apaan ini?!""Brengsek! Dimana Chintya?" Mark mencengkram kerah baju Adimas. Wajahnya memerah menahan gejolak amarah yang telah lama terpendam.Sekali lagi Mark memukul Adimas dan mengenai hidungnya sampai mengeluarkan darah."Cukup! Apa-apaan ini?!" teriak Chintya yang baru saja keluar dari mobil.Wanita itu segera memisahk
"Sialan!"Kedua rahang yang mengeras hingga urat-urat pada lehernya terlihat jelas di kulit pria yang berwarna putih itu. Sorot matamu makin terlihat tajam penuh dendam mengingat penghina yang baru saja ia terima.Sebuah penghinaan pertama yang didapatkannya, sungguh telah menjatuhkan harga dirinya langsung ke jurang terdalam."Hahaha wanita sial," umpat Mark diiringi suara tawanya yang terdengar menakutkan.Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, segera ia menjawab sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal."Ya, baik saya akan kesana," jawabnya lalu mengakhiri panggilan telepon itu.Dengan kecepatan tinggi Mark mengalihkan arah mobilnya, menuju suatu tempat agar dapat sampai secepat mungkin.***"Sebenarnya kenapa saya harus kesini?" ucap Mark bermonolog sendiri.Pikirannya yang kacau tiba-tiba membuat dirinya kini tanpa sadar berada di area parkir sebuah rumah sakit. Pria itu mengusap kasar wajahnya dan sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya."Lebih baik pergi? Buang-bua
"Hati-hati di jalan, kalau seandainya kamu belum sehat lebih baik istirahat dulu,." Dengan bibir yang terasa berat, setengah hati Veshal harus melepaskan Jelita untuk pergi bersama Mark.Raut wajahnya kian terlihat khawatir, takut jika Mark akan melakukan sesuatu yang buruk pada Jelita."Terima kasih Dok, Zeya. Nanti saya akan memberi kabar," jawab Jelita tersenyum.Tatapan mata Veshal pada Jelita, membuat Mark merasa tidak nyaman. Dengan cepat ia segera menutup pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih."Dasar orang sinting, gak punya sopan santun," gerutu Zeya kesal karena sikap Mark yang terlihat kasar, angkuh dan seenaknya Veshal hanya tersenyum kecil dan berkata, "Zeya, saya ingin menanyakan sesuatu padamu."***Sementara itu mobil listrik berwarna hitam metalik itu berjalan cepat membelah gemerlap malam ibukota. sejak tadi tak ada satupun pembicaraan yang terlontar antara Mark dan Jelita, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing."Terima kasih sudah menjempu