"Kalian semua harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini!" Suara seorang wanita paruh baya terdengar lugas dengan wajah merah padam yang terlihat jelas pada kulit putihnya.
"M-maafkan anak kami, s-saya mohon maaf, Nyonya!" jawab Jimmy gugup.
"Kau pikir dengan meminta maaf semua ini akan selesai? Keluarga kalian benar-benar mencoreng nama baik keluarga Dinata! Lihat saja apa yang akan saya lakukan pada bisnis kalian!" ucap Catherine murka.
Jimmy dan Rieta terlihat pucat pasi menghadapi kemarahan pasangan Catherine dan Chandra Dinata. Perbuatan putri sulungnya yang kabur bersama pria lain saat hari pernikahannya membuat posisi keduanya berada diujung tanduk.
"Kami akan menarik seluruh saham yang kami tanam, saya sudah tidak peduli jika kalian akan jatuh miskin saat ini juga!" ancam Catherine kembali.
"J-jangan, Nyonya. Saya akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan putri saya. Saya mohon!" pinta Jimmy berlutut.
"Saya bersedia menggantikan posisi Kak Chintya untuk menikah." Jelita yang sedari tadi duduk terdiam sambil memegang secarik kertas surat itu pun mulai membuka suara. Kedua mata orang tuanya seketika berbinar, berbeda dengan Catherine yang terlihat tak senang.
Catherine berjalan mendekati Jelita lalu mencengkram kedua pipi gadis itu dengan tangan kanannya."Kamu?"
"Ya, Saya! Bukankah Anda butuh menyelamatkan nama baik keluarga Anda?" Jelita berucap dengan ekspresi wajah datar, kedua matanya masih terlihat memerah dengan perasaan sesak di dalam hati.
"Hah, apa kamu sadar kamu siapa? Kamu hanya anak pungut dari panti asuhan! Beraninya mengajukan pernikahan dengan keluarga Dinata!" pekik Catherine sinis.
Jelita menghela napasnya dan kembali menatap lekat sepasang lensa mata biru wanita berdarah Inggris itu. Jelita menjawab dengan lugas, "Saya adalah seorang dokter muda, prestasi akademik saya pun bagus. Saya tidak akan pernah mencoreng nama baik keluarga Anda hanya karena latar belakang saya."
"Beraninya!" geram Catherine sambil mengangkat tangan kanannya untuk bersiap menampar Jelita. Namun tiba-tiba Chandra menepuk pundak sang istri dan berkata, "Benar apa katanya, kita sudah tak punya waktu. Lagipula dia tidak seburuk itu, bahkan bisa lebih baik daripada Mark harus menikahi wanita yang telah mengandung anak dari pria lain."
"Terserah!" ucap Catherine terpaksa.
Catherine berjalan keluar ruangan dan memanggil seseorang dari ambang pintu. "Hey kau! Rias dia dengan baik, jangan sampai wajah lusuhnya itu terlihat," pekiknya lalu segera meninggalkan ruangan ganti pengantin dan disusul oleh suaminya.
Jelita hanya terduduk diam, sorot matanya kosong kedepan. Pundaknya ditepuk oleh Jimmy dan Rieta, pasangan yang mengadopsinya sejak Jelita berusia 14 tahun.
"Bagus, Nak! Berkatmu perusahaan kita tidak jadi terancam gulung tikar," ucap Jimmy senang.
"Betul! Biarkan saja Adimas bersama Chintya, toh kamu sudah mendapatkan seorang pria idaman. Sekarang kamu akan menjadi menantu keluarga Dinata!" seru Rieta.
Jelita hanya diam sambil meremas surat yang masih ia genggam. Hatinya terasa sakit, tetapi hutang budi membuat dirinya terkekang dan tak mampu menunjukkan emosinya.
***
"Sudah siap?" tanya penghulu saat melihat Chandra mulai memasuki ruangan dilaksanakannya akad nikah.
"Ya!" Chandra menjawab lugas dan tak lama terlihat sosok pengantin wanita yang didampingi oleh kedua orang tuanya. Seluruh perhatian tamu tertuju pada wajah cantik pengantin wanita, begitu pula dengan Mark yang langsung menoleh ke arah orang tuanya.
Chandra meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir, dan Mark pun kembali menghadap penghulu dengan raut wajahnya yang tenang.
Akad nikah pun berjalan dengan lancar, begitu pula dengan resepsi yang diadakan setelahnya. Seolah tak terjadi peristiwa apapun, semua tampak sempurna bak pernikahan impian walaupun bagi Jelita hanya sebuah kamuflase semata.
Brak!
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Pintu dibuka dengan kasar, mengangetkan keluarga kedua mempelai yang tengah beristirahat setelah pesta usai. Jelita bangkit dari tempatnya duduk dan memberikan selembar kertas yang telah terlihat kusut.
Mark Dinata, pria yang kini mengemban jabatan sebagai CEO Dinata Group sekaligus pewaris perusahaan retail dan provider itu menatap Jelita dengan dingin.
"Bacalah," ucap Jelita tenang.
Mark segera meraih surat tersebut lalu membacanya, semakin lama ia baca maka rahangnya kian mengeras. "Siapa pria itu?"
Hening, tidak ada yang menjawab. Kedua orang tua Chintya terdiam dan terus menunduk.
"Kenapa diam?" Mark menatap Jelita dengan tajam, sebelum bertanya lagi, "Siapa dia?"
Jelita menghela napasnya dan berkata, "Dia, tunanganku."
"Entah apa yang dipikirkan bajingan itu. Bisa-bisanya dengan cari licik dia mengambil Chintya dan menukarnya dengan wanita sepertimu." Tatapan Mark terasa dingin, dia sama sekali tidak peduli akan perasaan wanita yang telah menjadi istrinya. Pria itupun pergi begitu saja meninggalkan semua orang dengan amarah yang masih meluap di dalam hatinya, dan disusul dengan kedua orang tuanya. "Jelita, kamu sudah melakukan yang terbaik. Tidak sia-sia kami membesarkanmu," ucap Jimmy bangga. "Lalu, ayah mohon. Tolong kamu jaga sikapmu di sana, walau sekalipun mereka bersikap buruk padamu. Semua demi kebaikan keluarga kita." "Ya, terima kasih sudah membesarkan dan menyekolahkan saya sampai saat ini, Ayah tidak perlu khawatir akan diriku." Jelita tersenyum kecut lalu bangkit dari duduknya. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar ruangan, dan bersiap untuk ikut pulang bersama keluarga barunya. *** "Mom, kenapa saya harus satu kamar dengan dia?" Baru saja Jelita menginjakkan kakinya di dalam kediam
"Jelita! Oi Jelita!"Jelita menoleh saat namanya dipanggil seseorang. Terlihat seorang wanita mendekat padanya sambil berlari tergopoh-gopoh. "Ada berita penting!""Apa sih? Kamu itu kebiasaan lari-larian di koridor.""Duh penting banget ini, sampai aku pikir harus kasih tau kamu secara langsung!" seru wanita yang bernama Zeya. Zeya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, lalu gadis itu segera menarik Jelita ke sebuah sisi yang terdapat kursi tunggu."Ada apaan sih? Kok kamu panik banget?" tanya Jelita penasaran.Dengan cepat Zeya menarik Jelita untuk duduk tepat di sebelahnya lalu berbicara setengah berbisik, "Kemarin loh! Kemarin!Kening Jelita berkerut. "Kemarin apa?""Kemarin, kan aku habis visit bareng Dokter Lydia. Eh, tau gak siapa yang habis aku lihat keluar dari poli obgyn?" Keduanya saling bertatapan seakan tengah menerka. Kening Jelita berkerut menunggu Zeya kembali berbicara. "Si Chintya sama Adimas!"Kedua mata Jelita m
"Siapa yang kau sebut istriku?" "M-maafkan saya, Pak!""Jangan bicara sembarangan. Dia bukanlah istriku," ucap Mark dan berlalu. Yesi tertekan lalu mengikuti Mark dari belakang, sesekali ia menolehkan kepalanya seakan memastikan kondisi Jelita yang hanya terdiam di tempat.Jelita melirik ke kanan dan ke kiri, terlihat beberapa perawat bahkan keluarga pasien berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya. Kakinya terasa berat, Jelita bak sebuah tontonan menarik yang hanya berdiam diri di tengah pertunjukan."Jelita, ikut saya!" ucap seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Jelita. Gadis itu menoleh, melihat sosok pria yang selalu baik pada dirinya."Baik, Dok!"Dengan wajah yang tertunduk, Jelita terus mengikuti langkah kaki Dokter Veshal. Kini mereka telah sampai di sebuah kantin rumah sakit, beruntung suasana hari itu tidak cukup ramai."Minumlah terlebih dahulu! Saya perhatikan, kamu sama sekali belum beristirahat." Veshal memberikan sebotol air mineral dingin pada Jelita. Dokter spesiali
Suara tangisan yang terdengar lirih kian menyadarkan Mark yang baru saja bangun pagi itu. Ranjang yang berantakan dengan noda darah pada seprai yang berasal dari keduanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria itu."Bibi! Bi Marni!" teriak Mark gusar. Beberapa kali ia berteriak, memanggil nama kepala pembantu rumahnya."Ya, Den!" sahut Marni yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah Mark."Bawa dia keluar! Saya tidak ingin dia menginjakkan kakinya di kamar saya lagi!" titah Mark murka."Baik, Den!" jawab Marni.Segera Marni menghampiri Jelita yang masih gemetaran. Sementara beberapa orang pembantu rumah tangga lainnya membereskan barang-barang Jelita. Marni menggiring Jelita menuju ruang keluarga, lalu memberikan segelas air untuk Jelita.Pandangannya tertuju pada pundak dan lengan Jelita yang memar. Marni memeluk Jelita, berusaha menenangkan hati nyonya mudanya yang malang, walaupun pikirannya terus bertanya-tanya.'Ya Gusti, apa yang sudah dilakukan Aden sampai nyonya seperti
"Zeya, bisa bicara sebentar?"Zeya yang tengah menulis sebuah laporan seketika menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Oh iya, Dok."Zeya dengan tenang mengikuti Veshal dari belakang, menuju sebuah ruangan tempat Veshal bekerja."Silahkan, duduk!" seru Veshal mempersilahkan setelah mereka sampai di ruang poli kandungan yang sudah sepi."Ada apa, dok?" tanya Zeya."Saya dengar sudah 2 hari Jelita gak masuk karena sakit. Sebenarnya ia sakit apa? Saya berusaha menghubunginya sejak tadi, tapi sama sekali tidak dijawab.""Maaf, saya tidak tahu, Dok. Telepon ataupun pesan singkat saya juga sama sekali tidak dijawab oleh Jelita." Zeya tampak ragu dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan dari Veshal.Sejujurnya hatinya turut gelisah dengan kondisi Jelita yang tak seperti biasanya, karena Jelita tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jelita sosok pekerja keras, yang akan tetap bekerja sekalipun kesehatannya tengah menurun."Saya cuma mau menkonfirmasi saja. Karena saya tidak ingin nilai
"Ada apa ya, Dok?" tanya seorang pria yang merasa terusik karena Veshal yang sedari tadi menatapnya dengan tajam."Oh maaf, Pak. Saya cuma mau memberitahukan jika kondisi kandungan istri Anda sangat lemah. Pastikan Ibu Chintya beristirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi setiap harinya. Tolong jaga istri Anda!" seru Veshal yang terpaksa senyum ramah dengan nada suara menekan.Veshal yang belum memahami permasalahan Jelita hanya bisa berusaha tak tenggelam dalam opininya sendiri. Walaupun ingin sekali ia memukul pria yang dikenalnya sebagai tunangan Jelita."Baiklah, saya akan resepkan obat penguat kandungan. Lalu saya ingatkan sekali lagi, tolong jaga istrinya agar tidak mengalami flek lagi.""Terima kasih, Dokter!" jawab Adimas seraya meraih kertas yang berisikan resep obat dari Veshal.Chintya dan Adimas berdiri dan berjalan menuju pintu keluar ruangan."J-jelita!" seru Adimas gugup.Seketika Veshal menoleh, melihat Jelita yang hanya tersenyum masam pada Adimas dan Chint
"Jadi disini mereka tinggal?"Sedikit kaca mobilnya terbuka, membuat Mark bisa melihat dengan jelas sebuah rumah yang terlihat sepi, bahkan tidak ada 1 orang penjaga keamanan pun yang berjaga.Tak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah tersebut, dan keluarlah pria muda dari dalam mobil untuk membuka pagar.Mark menyipitkan matanya, berfokus pada wajah pria muda itu. Setelah memastikan sesuatu Mark keluar dari mobilnya, dan berjalan mendekati pria tersebut."Adimas!" ucapnya sambil menepuk pundak Adimas yang tengah kesulitan membuka gerbang rumahnya yang sedikit macet.Adimas menoleh dan sontak sebuah pukulan melesat tepat mengenai wajahnya."Apa-apaan ini?!""Brengsek! Dimana Chintya?" Mark mencengkram kerah baju Adimas. Wajahnya memerah menahan gejolak amarah yang telah lama terpendam.Sekali lagi Mark memukul Adimas dan mengenai hidungnya sampai mengeluarkan darah."Cukup! Apa-apaan ini?!" teriak Chintya yang baru saja keluar dari mobil.Wanita itu segera memisahk
"Sialan!"Kedua rahang yang mengeras hingga urat-urat pada lehernya terlihat jelas di kulit pria yang berwarna putih itu. Sorot matamu makin terlihat tajam penuh dendam mengingat penghina yang baru saja ia terima.Sebuah penghinaan pertama yang didapatkannya, sungguh telah menjatuhkan harga dirinya langsung ke jurang terdalam."Hahaha wanita sial," umpat Mark diiringi suara tawanya yang terdengar menakutkan.Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, segera ia menjawab sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal."Ya, baik saya akan kesana," jawabnya lalu mengakhiri panggilan telepon itu.Dengan kecepatan tinggi Mark mengalihkan arah mobilnya, menuju suatu tempat agar dapat sampai secepat mungkin.***"Sebenarnya kenapa saya harus kesini?" ucap Mark bermonolog sendiri.Pikirannya yang kacau tiba-tiba membuat dirinya kini tanpa sadar berada di area parkir sebuah rumah sakit. Pria itu mengusap kasar wajahnya dan sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya."Lebih baik pergi? Buang-bua