"Bagaimana menurut, Anda?" Sebuah pertanyaan terlontar untuk pria yang termenung di tengah-tengah agenda pentingnya. Pikirannya melayang, seakan jiwa dan tubuhnya tak berada pada tempat yang sama. "Bagaimana, Tuan Mark?" ucap wanita berkacamata yang tengah berprestasi. Yesi dan Nicky saling berpandangan, seolah tengah berbicara melalui bahasa gerakan tubuh. Nicky segera menginjak kaki Mark cukup keras untuk membawa kembali kesadarannya yang sedari tadi berlalu lalang tanpa arah. "Aw!" pekik Mark yang seketika tertahan karena baru menyadari situasi. Mark sontak merapihkan jas yang ia kenakan lalu melihat ke arah arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Maaf sebelumnya, karena saya kurang sehat, jadi saya mohon izin untuk menyudahi meeting ini dan akan kembali mengatur ulang jadwal pertemuan berikutnya." "Loh, loh, loh, aduh kerjaan lagi!" gumam Yesi lirih. Nasib buruk baginya pagi itu, karena sikap Mark yang tidak seperti biasanya dan terkesan tak profesional, a
Prang! "Maaf, Mbak. Saya kurang hati-hati." Seorang pelayan terlihat panik kala minuman yang ia bawa jatuh dan mengenai pakaian Jelita. Bukannya membela Jelita, Catherine murka dan langsung membentak, "Jelita! Kamu ini benar-benar gak becus ya! Saya, kan bilang kalau kamu harus jaga hati-hati barang belanjaan saya!" Sikap Catherine sontak membuat Jelita terkejut. Ia sama sekali tidak memahami mengapa harus diam disalahkan, padahal sejak tadi ia hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata pun. "Kamu pikir ini berapa harganya? Heh, asal kau tahu, harga dirimu saja tak mampu melampaui harga tas yang saya beli!" bentak Catherine yang cenderung merendahkan. Kini cerita kembali merasa sebagai sebuah objek tontonan menarik, di mana setiap tatapan mata yang memandangnya terasa pedih menusuk hati. Jelita menggigit bibir bagian bawahnya, menahan semua penghinaan yang semakin hari semakin keterlaluan. "Apa salah saya? Sejak tadi saya hanya diam," ucap Jelita berusaha membela dir
Deg! Deg! Deg! Detak jantung Jelita kian semakin cepat, selaras dengan darahnya yang mulai mendidih. Jelita hanya tersenyum tenang, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosinya "Kesini, Sayang. Ayo sapa dulu, Om Chandra dan Mark," ucap Catherine begitu ramah hingga membuat Jelita merasa jijik. Ditambah tatapan wanita bernama Alice itu yang seakan mengejek dirinya, membuatnya kembali berasumsi sendiri akan kedatangan wanita itu. Makan malam dimulai, semua kini menikmati makan malam sambil sesekali bercengkrama. Namun tidak untuk Jelita. Jelita bukan hanya tidak nyaman karena merasa terjebak di tengah-tengah keluarga itu, tetapi juga merasa risih dengan tatapan Alice yang terus menerus mencuri pandang ke arah suaminya. "Alice, bagaimana study kamu?" tanya Chandra menyapa sekedarnya. "Dan bagaimana kabar orang tuamu? Sehat?" "Kebetulan tahun depan saya berniat lanjut S3 di Oxford, Sedangkan orang tua saya sehat, Om." "Sebenarnya saya benar-benar senang bisa bertemu dengan
"Gila, ini gila! Dia sudah tidak waras!" Sambil menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu asing baginya, Jelita berkali-kali bergumam sendiri. Ingatannya terus berputar di saat dirinya berdebat dengan Mark. Jelita memegang bibirnya, ia sama sekali tak percaya jika Mark mengecup bibirnya dalam keadaan sadar, bibir dari wanita yang selama ini dianggap rendahan. 'Bibir ini adalah bukti jika sampai kapanpun kamu adalah milikku! Mengerti!' "Maksudnya dia ngomong begitu tuh apa? Sinting aku rasa!" gumam jelita bermonolog sendiri, mengingat apa yang dikatakan Mark pada dirinya. "Masa bodo lah, setidaknya saat ini gak lagi serumah sama Mak Lampir blonde itu." Jelita berusaha memejamkan matanya. Setidaknya kini Mark memutuskan untuk menempatkan Jelita pada penthouse miliknya, tak peduli bagaimana pendapat Catherine. Jelita sama sekali tak menyangka jika permintaan cerainya akan membuatnya keluar dari rumah bak neraka itu. Tok! Tok! "Jelita, buka pintunya!" Jelita y
"Apa, sih?" Jelita bergumam dengan mata yang masih terpejam. Jelita mengerutkan keningnya kala sinar mentari yang masuk melalui sela jendela mulai terasa mengusik indra penglihatannya. Gadis itu pun berniat membalikkan tubuhnya tetapi, terasa ada sesuatu yang menahannya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Jelita terperanjat dan berteriak karena melihat Mark yang tengah tertidur sambil memeluk dirinya. "Aaaaaa! Pergi!" teriak Jelita tiba-tiba. Bruk! "Aduh!" Mark berteriak sesaat setelah terjatuh dari atas ranjang. Pria itu menyentuh pinggangnya yang terasa remuk akibat tendangan dari Jelita secara tiba-tiba. "Apa-apaan sih? Sakit tahu!" omel Mark dengan mata yang masih setengah terbuka. Jantung Jelita masih terasa berdebar kencang karena rasa terkejutnya, hingga napasnya terlihat terengah-engah dengan tangan yang terus menyentuh dadanya. "Kau ini sebenarnya dokter atau kuli? Kurasa dengan tenagamu itu, kau bisa mengangkat sekarung beras tanpa terbebani," cibir Mark la
"Apa-apaan mertuamu itu?!" Zeya yang pagi itu baru bertemu dengan Jelita tampak shock ketika mendengar cerita dari sahabatnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibu mertua sahabatnya itu tak segan untuk bermain tangan dan melukai Jelita. "Aku bilang apa, mending kamu cerai sajalah. Persetan sama keluarga angkatmu itu! Kamu harus mikirin diri kamu sendiri, Jelita! Mau sampai kapan kamu jadi tumbal!" seru Zeya kembali, seakan energinya tak habis-habis untuk menasehati Jelita. Zeya menyandarkan tubuhnya ke tembok sambil memijat keningnya. "Darah tinggi dan kolesterol kumat ini mah, dengar cerita kau!" gerutu Zeya yang hanya ditanggapi Jelita dengan tawanya. Jelita melihat jam pada layar ponselnya, lalu segera bangkit dari tempatnya duduk. "Zeya, aku ke poli dulu ya, dikit lagi mulai jadwal Dokter Veshal praktek." Seketika raut wajah Zeya berubah. Gadis yang sedari tadi mengeluh itu pun langsung tersenyum mengejek pada Jelita. "Cie sama Dokter Veshal, cie! Udah sih, gue bila
"Saya harap ini tidak akan terjadi lagi! Saya sudah sangat sibuk, jadi saya tidak. punya waktu lagi untuk mengusik hal remeh seperti ini." Mark mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras menahan kemarahan yang sudah berada di puncaknya. Ia meraih jas dan tas jinjingnya lalu berjalan menuju pintu keluar. "Mau kemana kamu? Ada yang ingin Mommy tanyakan padamu, Mark!" seru Catherine tiba-tiba, sebelum Mark betul-betul keluar dari dalam ruangannya. "Bukannya Mommy datang juga untuk menemuinya? Jadi saya pikir urusan ini sudah selesai," jawab Mark lalu kembali berjalan tanpa henti walaupun Catherine berkali-kali berteriak memanggil namanya. Mark mulai menyalakan mesin mobilnya, melakukannya tanpa tempat tujuan yang jelas. Yang di pikirannya saat ini adalah menghindari Alice dan ibunya yangs udah membuat harinya sudah suram sejak pagi. Satu jam lamanya, kini Mark sudah berada di suatu tempat. Tempat yang bahkan tak pernah dipikirkan sebagai tempat tujuan pelariannya. "Ng
"Ta, Jelita. Dia ngapain mejeng di sana? tanya Zeya yang tampak shock melihat penampang yang ada di hadapannya. "Sebelahnya siapa lagi, sore-sore mau Maghrib pakai kacamata hitam!" "Ya udah samperin aja, Yuk! Daripada makin rame di sini, kasihan kalau ada pasien datang," jawab Jelita, lalu berjalan terlebih dahulu dan disusul oleh Zeya di belakangnya. Gaya perlente khas konglomerat, dengan jas dan sepatu pantofel yang terlihat mengkilap. Berdiri tegap depan pintu unit gawat darurat, dengan dasi yang dibiarkan mengendur dan kancing kemeja yang terbuka dua buah. Wajah bulenya yang mencolok, dilengkapi mimik misterius khas para pemeran utama pria di novel romantis. "Ngapain ke sini?" tanya Jelita yang tentu saja menjadi sorot mata para wanita yang sedari tadi menonton sosok Mark. Mark mengangkat sebelah alisnya selaras dengan pergelangan tangannya yang dilingkari sebuah arloji. "sudah mau pukul 6 kamu baru keluar? Kamu tau gak kalau saya sudah menunggu 1 jam?" protes Mark.