Deg! Deg! Deg! Detak jantung Jelita kian semakin cepat, selaras dengan darahnya yang mulai mendidih. Jelita hanya tersenyum tenang, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosinya "Kesini, Sayang. Ayo sapa dulu, Om Chandra dan Mark," ucap Catherine begitu ramah hingga membuat Jelita merasa jijik. Ditambah tatapan wanita bernama Alice itu yang seakan mengejek dirinya, membuatnya kembali berasumsi sendiri akan kedatangan wanita itu. Makan malam dimulai, semua kini menikmati makan malam sambil sesekali bercengkrama. Namun tidak untuk Jelita. Jelita bukan hanya tidak nyaman karena merasa terjebak di tengah-tengah keluarga itu, tetapi juga merasa risih dengan tatapan Alice yang terus menerus mencuri pandang ke arah suaminya. "Alice, bagaimana study kamu?" tanya Chandra menyapa sekedarnya. "Dan bagaimana kabar orang tuamu? Sehat?" "Kebetulan tahun depan saya berniat lanjut S3 di Oxford, Sedangkan orang tua saya sehat, Om." "Sebenarnya saya benar-benar senang bisa bertemu dengan
"Gila, ini gila! Dia sudah tidak waras!" Sambil menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu asing baginya, Jelita berkali-kali bergumam sendiri. Ingatannya terus berputar di saat dirinya berdebat dengan Mark. Jelita memegang bibirnya, ia sama sekali tak percaya jika Mark mengecup bibirnya dalam keadaan sadar, bibir dari wanita yang selama ini dianggap rendahan. 'Bibir ini adalah bukti jika sampai kapanpun kamu adalah milikku! Mengerti!' "Maksudnya dia ngomong begitu tuh apa? Sinting aku rasa!" gumam jelita bermonolog sendiri, mengingat apa yang dikatakan Mark pada dirinya. "Masa bodo lah, setidaknya saat ini gak lagi serumah sama Mak Lampir blonde itu." Jelita berusaha memejamkan matanya. Setidaknya kini Mark memutuskan untuk menempatkan Jelita pada penthouse miliknya, tak peduli bagaimana pendapat Catherine. Jelita sama sekali tak menyangka jika permintaan cerainya akan membuatnya keluar dari rumah bak neraka itu. Tok! Tok! "Jelita, buka pintunya!" Jelita y
"Apa, sih?" Jelita bergumam dengan mata yang masih terpejam. Jelita mengerutkan keningnya kala sinar mentari yang masuk melalui sela jendela mulai terasa mengusik indra penglihatannya. Gadis itu pun berniat membalikkan tubuhnya tetapi, terasa ada sesuatu yang menahannya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Jelita terperanjat dan berteriak karena melihat Mark yang tengah tertidur sambil memeluk dirinya. "Aaaaaa! Pergi!" teriak Jelita tiba-tiba. Bruk! "Aduh!" Mark berteriak sesaat setelah terjatuh dari atas ranjang. Pria itu menyentuh pinggangnya yang terasa remuk akibat tendangan dari Jelita secara tiba-tiba. "Apa-apaan sih? Sakit tahu!" omel Mark dengan mata yang masih setengah terbuka. Jantung Jelita masih terasa berdebar kencang karena rasa terkejutnya, hingga napasnya terlihat terengah-engah dengan tangan yang terus menyentuh dadanya. "Kau ini sebenarnya dokter atau kuli? Kurasa dengan tenagamu itu, kau bisa mengangkat sekarung beras tanpa terbebani," cibir Mark la
"Apa-apaan mertuamu itu?!" Zeya yang pagi itu baru bertemu dengan Jelita tampak shock ketika mendengar cerita dari sahabatnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibu mertua sahabatnya itu tak segan untuk bermain tangan dan melukai Jelita. "Aku bilang apa, mending kamu cerai sajalah. Persetan sama keluarga angkatmu itu! Kamu harus mikirin diri kamu sendiri, Jelita! Mau sampai kapan kamu jadi tumbal!" seru Zeya kembali, seakan energinya tak habis-habis untuk menasehati Jelita. Zeya menyandarkan tubuhnya ke tembok sambil memijat keningnya. "Darah tinggi dan kolesterol kumat ini mah, dengar cerita kau!" gerutu Zeya yang hanya ditanggapi Jelita dengan tawanya. Jelita melihat jam pada layar ponselnya, lalu segera bangkit dari tempatnya duduk. "Zeya, aku ke poli dulu ya, dikit lagi mulai jadwal Dokter Veshal praktek." Seketika raut wajah Zeya berubah. Gadis yang sedari tadi mengeluh itu pun langsung tersenyum mengejek pada Jelita. "Cie sama Dokter Veshal, cie! Udah sih, gue bila
"Saya harap ini tidak akan terjadi lagi! Saya sudah sangat sibuk, jadi saya tidak. punya waktu lagi untuk mengusik hal remeh seperti ini." Mark mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras menahan kemarahan yang sudah berada di puncaknya. Ia meraih jas dan tas jinjingnya lalu berjalan menuju pintu keluar. "Mau kemana kamu? Ada yang ingin Mommy tanyakan padamu, Mark!" seru Catherine tiba-tiba, sebelum Mark betul-betul keluar dari dalam ruangannya. "Bukannya Mommy datang juga untuk menemuinya? Jadi saya pikir urusan ini sudah selesai," jawab Mark lalu kembali berjalan tanpa henti walaupun Catherine berkali-kali berteriak memanggil namanya. Mark mulai menyalakan mesin mobilnya, melakukannya tanpa tempat tujuan yang jelas. Yang di pikirannya saat ini adalah menghindari Alice dan ibunya yangs udah membuat harinya sudah suram sejak pagi. Satu jam lamanya, kini Mark sudah berada di suatu tempat. Tempat yang bahkan tak pernah dipikirkan sebagai tempat tujuan pelariannya. "Ng
"Ta, Jelita. Dia ngapain mejeng di sana? tanya Zeya yang tampak shock melihat penampang yang ada di hadapannya. "Sebelahnya siapa lagi, sore-sore mau Maghrib pakai kacamata hitam!" "Ya udah samperin aja, Yuk! Daripada makin rame di sini, kasihan kalau ada pasien datang," jawab Jelita, lalu berjalan terlebih dahulu dan disusul oleh Zeya di belakangnya. Gaya perlente khas konglomerat, dengan jas dan sepatu pantofel yang terlihat mengkilap. Berdiri tegap depan pintu unit gawat darurat, dengan dasi yang dibiarkan mengendur dan kancing kemeja yang terbuka dua buah. Wajah bulenya yang mencolok, dilengkapi mimik misterius khas para pemeran utama pria di novel romantis. "Ngapain ke sini?" tanya Jelita yang tentu saja menjadi sorot mata para wanita yang sedari tadi menonton sosok Mark. Mark mengangkat sebelah alisnya selaras dengan pergelangan tangannya yang dilingkari sebuah arloji. "sudah mau pukul 6 kamu baru keluar? Kamu tau gak kalau saya sudah menunggu 1 jam?" protes Mark.
"Jel, aku tuh penasaran deh. Sebenarnya apa sih yang mertua kamu kirim?" tanya Zeya sambil memakan keripik singkong kesukaannya. "Lihat aja sendiri," ucap Jelita. Jelita yang dari sore memilih menumpang di apartemen Zeya, kini meraih ponsel miliknya lalu diberikannya pada Zeya. Zeya seketika berteriak, "Dasar bule sarap, gila, sinting!" Umpatan demi umpatan keluar dari mulut gadis itu. Zeya bahkan bersumpah serapah setelah melihat pesan singkat dari Catherine yang mengatakan jika Catherine akan menjodohkan Alice dengan Mark karena mereka setara, berbeda dengan Jelita yang dianggap sebagai orang rendahan tanpa asal usul yang jelas. Jelita diibaratkan sebagai duri dalam daging, yang kehadirannya harus disingkirkan secepatnya. "Ya, kan? Orang tua macan apa yang sudah mencarikan lagi anaknya istri baru, saat usia pernikahan anaknya masih seumur jagung?" ucap Jelita sambil tersenyum kecil. Jelita meminum cola miliknya lalu menghela napas panjang. "Aku sudah capek, aku sudah mau
"Untunglah masih keburu." Jelita terlihat berlari terburu-buru, sambil terus memeriksa jam yang ada di tangannya. Langit pagi itu masih terlihat gelap dan aktivitas manusia pun belum sepenuhnya dimulai. Jelita segera menaiki lift yang langsung menghubungkan ke unit penthouse milik Mark, berusaha secepat mungkin untuk berganti pakaian dan langsung berangkat menuju rumah sakit. PIP! Suara akses pintu masuk pun berbunyi menandakan pintu telah terbuka. Baru saja Jelita melangkahkan kakinya di ruang tamu, pandangannya tertuju pada sosok yang tengah tertidur pulas sambil meringkuk kedinginan di atas sofa. "Loh kok malah tidur di sini sih? Kalau masuk angin bagaimana coba!" omel Jelita dan berjalan mendekati Mark yang belum menyadari kehadirannya. "Mark, bangun! Mark! Perlahan ia menggoyang-goyangkan bahu suaminya, sambil manggil nama Mark agar pria itu terbangun. Tetapi, hasilnya nihil. Mark hanya terusik sesaat lalu berbalik. "Astaga, ngebo banget tidurnya!" gerutu Jelita
Belaian di kepalanya terasa begitu lembut hingga membuatnya tersentak dan tersadar dari alam mimpi. Baru saja matanya terbuka, wajah tampan dengan senyuman lembut seketika menyambutnya. "Mark!" "Tidur lagi saja kalau kamu masih mengantuk," ucap Mark. Jelita seketika mengedarkan pandangannya. Ternyata dirinya dan Mark masih berada di dalam mobil. Tak sengaja Jelita melihat ke arah jam tangannya, dan kini waktu sudah berlalu selama 2 jam semenjak ia tertidur. "Ini kita baru sampai? Kok lama banget?!" tanyanya yang bahkan baru menyadari jika mesin mobil sudah dalam keadaan mati, bahkan supir yang mengantarkan mereka pun sepertinya sudah turun terlebih dahulu. Mark tertawa lalu mencubit hidung istrinya. "Bukan perjalanannya yang lama, tapi kamu yang tidurnya kelamaan." "Hah?!" Wajah Jelita yang terlihat bingung semakin menambah keras tawa Mark, yang akhirnya membuat Jelita kesal dan mencubit perut suaminya. "Bodo amat! Aku mau turun!" rajuk Jelita. Jelita pun turut dari
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany