"Dok, ada pasien CITO di IGD!" ucap seorang perawat yang tiba-tiba saja datang di ruang praktek Veshal. Dengan cepat Veshal bangkit lalu berkata, "Jelita, ikut saya!" "Baik, Dok!" jawab Jelita yang sebenarnya masih gugup untuk menangani gawat darurat terutama yang berhubungan dengan kehamilan. Pasien CITO adalah istilah untuk pasien kritis, yang harus didahulukan penanganannya. Dengan tergesa-gesa Dokter Veshal dan Jelita berlarian menuju ruang IGD dimana pasien dan keluarganya sudah menunggu. Baru saja mereka sampai, beberapa perawat dan dokter jaga segera menyambutnya, dan membawa menuju ranjang dimana pasien menunggu. "Usia kandungan 33 minggu, tekanan darahnya 180/120, kadar protein dalam urine tinggi, dan pasien mulai kehilangan kesadaran," ucap dokter jaga yang sudah mengecek tanda vital pasien tersebut. Hal yang tidak diinginkan pun muncul, pasien mulai mengalami kejang hingga membuat Jelita terlihat panik. "Jelita, pasang sudip lidah! Kamu bisa, kan?" seru Ves
NIIIT! "Dok, dokter," lirih Jelita dengan kedua telapak tangan yang menutupi mulutnya, saat monitor EKG menunjukkan garis lurus yang menandakan jika jantung pasien telah berhenti berdetak. Veshal menggelengkan kepalanya, lalu mulai memeriksa kondisi janin yang masih ada di dalam kandungan ibunya. "Dua-duanya tidak terselamatkan," ucap Veshal dengan wajahnya yang terlihat lelah. Kegagalan pertamanya dalam menyelamatkan pasien membuat seluruh tubuh jahitan bergetar. Rasa terkejutnya terlihat jelas dari raut wajahnya, Jelita mematung dan mengamati tubuh ibu hamil itu yang kini mulai ditutupi selimut putih. "Jelita," sapa Dokter Veshal yang mengetahui bagaimana perasaan Jelita Saat itu. Tanpa diduga Jelita memeluk Dokter Veshal. Air matanya runtuh, seakan dirinya adalah keluarga yang ditinggalkan. "S-saya tidak berguna, Dok. Se-selama ini saya berpikir jika saya mampu, tetapi ternyata saya bukanlah apa-apa," ucapnya di tengah-tengah tangisannya. Sedangkan Veshal hanya ters
"Dokter pernah sampai titik seperti itu?" tanya Jelita penasaran. Veshal mengangguk, lalu kembali menatap langit biru yang terlihat begitu teduh. "5 tahun lalu saya kehilangan calon istri saya, tepat di tangan saya sendiri," ungkap Veshal dengan senyuman getir. Veshal menghela napasnya, karena berusaha kembali mengungkit sesuatu yang sudah ia kubur begitu dalam. "Saat saya masih menjadi residen, saya mendapati seorang pasien IGD yang datang dalam kondisi terluka parah akibat kecelakaan, dan itu adalah kekasih saya sendiri. " Dia kecelakaan saat ingin pulang setelah melihat gedung yang akan menjadi tempat resepsi pernikahan kita 1 minggu lagi." Terasa kesakitan yang amat dalam di setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Veshal. Matanya pun terlihat kosong memandang langit, mimik wajah yang bahkan tak pernah ditujukan olehnya selama ini. "Saat itu saya sangat emosional. Namun, saya sadar jika harus tetap tenang, karena hari itu adalah hari besar, tidak ada dokter lain yan
"Kamu boleh menghinaku ataupun latar belakangku seperti yang sering kamu dan ibumu lakukan padaku. Tapi, jangan pernah ikut campur dengan pekerjaanku apalagi meremehkannya!" Suara perdebatan keduanya memecah keheningan pada lantai basement itu. Kedua mata Jelita terlihat memerah, menahan rasa kesal yang sedari tadi ia pendam. "Kamu bahkan tidak mengetahui bagaimana perjuanganku sampai ke titik ini! Kamu tidak mengetahui bagaimana sulitnya aku melewati semuanya!" seru Jelita sekali lagi dengan kedua tangannya yang mengepal erat. Jelita semakin mendekat, memangkas jarak di antara mereka berdua. Dengan berani ia mengetuk-ngetuk dada Mark dengan jari telunjuknya sambil berkata."Menjadi seorang dokter adalah impianku! Cita-citaku yang selama ini aku berusaha capai dengan cara apapun!" Harga dirinya yang tinggi membuat Mark hanya terdiam dengan tubuh yang masih berdiri dengan tegap. Mimik wajahnya sama sekali tak menyorotkan sebuah penyesalan dan kalian membuat Jelita meradang.
'Siapa sih?!' Mark mengerutu di dalam hati ya saat telepon mulai berdering beberapa kali. Dengan malas ia berusaha untuk berdiri tetapi segera dicegah oleh Jelita. "Biar aku saja!" Jelita berjalan mendekati telepon yang diletakkan di sudut ruang keluarga, lalu mengangkat gagangnya perlahan. "Hello!" Sedangkan Mark yang turut penasaran dan curiga mulai mengikuti Jelita. Berusaha menguping pembicaraan istrinya. "Tamu? Siapa namanya?" tanya Jelita. "Oh dia, ya sudah suruh langsung ke atas saja!" " Oke! Baik, terima kasih, Pak!" ucap Jelita mengakhiri sesi telepon tersebut dan kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Mark mengerutkan keningnya, bertanya-tanya siapakah yang akan datang sampai Jelita mengizinkan masuk, apakah Zeya? "Siapa?" tanya Mark dengan rasa penasaran yang diujung tanduk. Jelita menyunggingkan senyum seringai lalu berkata, "Nanti juga kamu tau!" Ting! Tong! Beberapa menit kemudian suara bel berbunyi menandakan tamu yang dimaksud sudah sampai
"Ada krim di bibirmu!" Salah tingkah, itulah yang kini Jelita rasakan ketika Mark dan mengusap lembut bibirnya. Entah mengapa perasaannya menjadi sangat aneh, seakan ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya. "K-kalau sudah selesai makannya nanti kamu simpan saja di dalam kulkas ya, a-aku mau tidur!" Jelita bahkan terbata-bata dalam berkata. Dia benar-benar telah dibuat kikuk, hingga membuat otaknya tidak dapat berpikir jernih. "Jelita, tunggu!" ucap Mark yang sontak menghentikan langkah Jelita. Susah payah Jelita berusaha untuk kembali bersikap Normal. Beberapa kali ia hembuskan napasnya, lalu tak sengaja membentak, "Ada apa lagi?" "Tidak, tidak jadi! Kau istirahat saja," ucap Mark yang entah mengapa nyalinya menjadi menciut, dan mengira Jelita semakin marah padanya. Sementara itu, dengan perasaan jengkel Alice terpaksa harus pergi dengan membawa tangan kosong. Harapannya untuk menghabiskan waktu berdua dengan Mark seketika kandas bagai ditelan bumi.Gadis itu
"Mark! Mark!" Suara Jelita menggelegar memenuhi seluruh sudut ruangan. Dengan wajah yang panik Jelita terus berlari ke sana ke sini, tak lupa membawa buket bunga dan juga surat permintaan maaf yang baru saja ia baca. "Duh, kemana sih ini orang?"ucapnya cemas. Jelita baru menyadari jika dirinya belum sepenuhnya menyelusuri penthouse megah tersebut. Karena kini ia sampai pada suatu ruangan asing, yang satu sisi dindingnya terbuat dari kaca yang tertutup gorden, dengan sebuah pintu kaca juga di tengahnya. "Mark!" serunya saat membuka gorden dan melihat suaminya tengah membaca buku disebuah gazebo yang berada dekat kolam renang pribadi. Jelita yang tergesa-gesa segera menghampiri Mark, lalu duduk di samping pria itu. "Aku ingin bicara sama kamu!" Mark menutup bukunya lalu meletakkan di sampingnya. Lensa matanya yang berwarna coklat kini menatap Jelita dengan seksama, "Silahkan saja!" "Jujurlah padaku! Kamu sedang sakit kronis, kan?" tanya Jelita langsung pada dugaannya.
"Yah, kenapa ini, Pak?" Zeya terlihat bingung saat motor ojek online yang dia naiki mulai tersendat-sendat sampai akhirnya benar-benar berhenti. Zeya perlahan turun dari motor tersebut, sambil berharap semoga dugaannya salah. Sementara pengemudi ojek online yang ditumpanginya pun mulai menepikan kendaraannya, lalu mencoba menyalakannya beberapa kali. "Maaf, Neng. Kayaknya motor saya mogok lagi," jawab pengemudi ojek online tersebut tersenyum sambil menggaruk-garuk bagian bawah kepalanya yang tak tertutup Helm. Seketika Zeya menepuk keningnya. "Waduh! Terus gimana dong, Pak? Bisa telat ini saya!" "Duh saya juga bingung, Neng.""Ya sudah deh! Eneng gak usah bayar, order ojek lagi aja atau naik angkot. Paling gak sampai sekilo lagi kok udah sampai," ucap pengemudi ojek online yang terdengar pasrah. Zeya yang kini meratapi nasibnya pun berceletuk sembarangan, "Sekilo? Kilogram atau apa, Bang?" "Ya, kilometer lah, Neng, " jawab pengemudi ojek online tersebut menanggapi. "Am