"Mark! Mark!" Suara Jelita menggelegar memenuhi seluruh sudut ruangan. Dengan wajah yang panik Jelita terus berlari ke sana ke sini, tak lupa membawa buket bunga dan juga surat permintaan maaf yang baru saja ia baca. "Duh, kemana sih ini orang?"ucapnya cemas. Jelita baru menyadari jika dirinya belum sepenuhnya menyelusuri penthouse megah tersebut. Karena kini ia sampai pada suatu ruangan asing, yang satu sisi dindingnya terbuat dari kaca yang tertutup gorden, dengan sebuah pintu kaca juga di tengahnya. "Mark!" serunya saat membuka gorden dan melihat suaminya tengah membaca buku disebuah gazebo yang berada dekat kolam renang pribadi. Jelita yang tergesa-gesa segera menghampiri Mark, lalu duduk di samping pria itu. "Aku ingin bicara sama kamu!" Mark menutup bukunya lalu meletakkan di sampingnya. Lensa matanya yang berwarna coklat kini menatap Jelita dengan seksama, "Silahkan saja!" "Jujurlah padaku! Kamu sedang sakit kronis, kan?" tanya Jelita langsung pada dugaannya.
"Yah, kenapa ini, Pak?" Zeya terlihat bingung saat motor ojek online yang dia naiki mulai tersendat-sendat sampai akhirnya benar-benar berhenti. Zeya perlahan turun dari motor tersebut, sambil berharap semoga dugaannya salah. Sementara pengemudi ojek online yang ditumpanginya pun mulai menepikan kendaraannya, lalu mencoba menyalakannya beberapa kali. "Maaf, Neng. Kayaknya motor saya mogok lagi," jawab pengemudi ojek online tersebut tersenyum sambil menggaruk-garuk bagian bawah kepalanya yang tak tertutup Helm. Seketika Zeya menepuk keningnya. "Waduh! Terus gimana dong, Pak? Bisa telat ini saya!" "Duh saya juga bingung, Neng.""Ya sudah deh! Eneng gak usah bayar, order ojek lagi aja atau naik angkot. Paling gak sampai sekilo lagi kok udah sampai," ucap pengemudi ojek online yang terdengar pasrah. Zeya yang kini meratapi nasibnya pun berceletuk sembarangan, "Sekilo? Kilogram atau apa, Bang?" "Ya, kilometer lah, Neng, " jawab pengemudi ojek online tersebut menanggapi. "Am
"Kalian berdua ini kenapa sih? Kok merinding!" Yesi menatap curiga. Kedua matanya memicing melihat Nicky yang datang dengan tersenyum sumringah seakan baru saja memenangkan sebuah lotre. "Ada deh, Kepo!" seru Nicky dengan gayanya yang menyebalkan. "Eh, tapi apa maksud kau berdua?" "Ada deh! Kepo!" seru Yesi membalikkan perkataan Nicky kembali. "Ya elah, gitu aja ngambek," protes Nicky. "Makan siang aku traktir deh!" Bujukan Nicky membuat Yesi tergoda. Makan siang gratis lumayan untuk menghemat pengeluarannya. Yesi pun menegaskannya kembali, "Bener ya?!" "Iya serius! Tenang aja kamu mau makan apapun aku bayarin! Yesi tersenyum dan mengangkat ibu jarinya tanpa menyetujui tawaran dari Nicky. Sebelumnya Yesi memastikan jika tidak ada yang mendengarkannya, terutama Alice si wanita aneh dan sinting itu. "Tadi, semua karyawan disapa sambil tersenyum begini!" ungkap Yesi sambil menirukan senyuman Mark yang buat shock. Sontak Nicky membulatkan matanya sambil memegangi dadany
"Eh Alice, mau kemana kau? Ini tolong di fotocopy" seru Yesi yang menyodorkan beberapa dokumen pada Alice. Namun, lagi-lagi ya Alice mengabaikannya. Sikap Mark yang mengusirnya seperti itu sangat membuat dirinya kesal. Tak ada satupun pekerjaannya yang diselesaikan dengan baik, karena memang niat awal Alice memaksa bekerja di sana hanya untuk mendekati Mark. "Gak bisa begini, aku tidak terima!" serunya jengkel. "Kamu harus tetap jadi milik aku, karena tidak ada satupun pria lain yang lebih layak mendampingi aku selain kamu!" Alice masuk ke dalam lift yang kosong sambil merancang suatu strategi di dalam otaknya yang licik. Hingga ia telah sampai di lantai dasar, Alice segera mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. "Hallo, Mom! Alice mau bicara sesuatu tentang rencana kita! *** "Capek!" keluh Zeya setelah dirinya keluar dari ruang poli. Gadis itu menguruti kakinya, yang terasa pegal karena terlalu lama berdiri. "Kenapa sih, Zey? Jompo amat," ledek Jelita lal
"Coba jelaskan padaku, Adimas? Bagaimana mungkin kamu melakukan itu, jika kamu benar-benar mencintai aku?!" teriak Jelita histeris, bahkan tanpa sadar menjatuhkan payungnya. Seketika seluruh tubuhnya basah karena air hujan, tetapi ia tak peduli. Karena hatinya sudah terlampau panas mengalahkan dinginnya cuaca saat itu. Jelita tersenyum seringai saat Adimas tak mampu menjawab pertanyaan darinya. "Kenapa kamu diam? Gak bisa jawab, hah?!" "Aku khilaf, Jelita. Sampai sampai semuanya terjadi begitu saja, hingga aku berpikir harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Chintya." Jelita kembali terkekeh. Perlahan ia melangkah maju hingga mereka berhadapan dengan jarak yang tersisa beberapa jengkal. "Khilaf katamu? Khilaf? Ha!ha!ha!" Setelah tertawa keras seketika Jelita menghentikannya. ia menatap Adimas lalu mendorong dada pria itu sekeras mungkin dengan kedua tangannya. "Khilaf sampai hamil ya! Itu yang kamu sebut khilaf!" bentak Jelita. "Kalau kamu bisa memikirkan tanggu
"Maaf." Jelita mengerutkan keningnya saat sang suami tiba-tiba kembali meminta maaf padanya. Mark bahkan menghapus seluruh air mata yang mengalir di pipinya. Tatapannya terasa teduh, tak seperti biasanya. "Maaf untuk apa? Kamu tidak memiliki salah apapun padaku," jawab Jelita. "Tidak, saya banyak salah padamu. Terutama kejadian saat itu," ucapan yang dengar sangat tulus. Tanpa diduga Mark memeluk dirinya. Membekapnya dengan hangat sehingga membuat Jelita nyaris terbuai. Tetapi Jelita berusaha melepaskan diri, dan berkata sambil tersenyum, "Tidak apa-apa. Lagipula itu adalah kewajiban saya sebagai istri kamu." Bukannya menenangkan, jawaban dari Jelita semakin memukul nuraninya yang tersisa. Seberapa kejamkah dirinya yang terus merundung wanita itu? Dan berapa besar hal tak pantas yang telah ia lakukan pada Jelita. Semuanya bak dosa besar yang terasa semakin menyesakkan dada. Mark teringat kembali betapa menderita dan ketakutannya Jelita malam itu. Kini ia merasa lebi
"Dok, tolong istri saya, Dok!" seru Adimas panik. Dengan malas Zeya menghela napasnya, dan berusaha untuk tetap bersikap profesional. Zeya dan beberapa orang perawat membawa Chintya menuju ruang tindakan untuk segera memeriksakan kondisinya. 'Najis, najis! Tambah sial hari ini, harus nanganin Mak lampir kayak gini!' umpat Zeya bersumpah serapah dalam hati, dibalut senyuman ramah pada wajahnya. "Dek Koas, tolong ambilkan peralatan!" seru Dokter Kellin, seorang dokter kandungan yang baru saja menyelesaikan jam prakteknya hari itu. Zeya tersenyum seringai. Setidaknya penderitaan Chintya terasa bagaikan hiburan untuknya. Setiap kali Chintya merintih dan berteriak kesakitan, menjadi tontonan yang menarik bagi Zeya. 'Ah, seandainya bisa rekam, pasti aku rekam muka jeleknya itu!' "Zeya, saya harus menkonfirmasi keluarga pasien, tolong tenangkan pasien terlebih dahulu!" seru Dokter Kellin. Zeya menatap wajah Chintya hingga kedua mata mereka bertemu. Sontak saja Chintya terkej
"Kamu yakin berani sendirian di rumah?" tanya Mark sambil mempersiapkan barang-barang dan dimasukkan ke dalam koper dibantu oleh Jelita. Jelita mengangguk sambil terus melipat pakaian suaminya agar tidak berantakan, "Iya, gak masalah. Lagi pula paling juga lebih banyak waktu di rumah sakit daripada di sini." "Kalau sekiranya kamu takut, kamu bisa ke rumah temanmu itu. Atau ajak saja dia menginap di sini." Jelita menatap Mark seolah tak percaya. Ia pun menegaskan kembali pada suaminya. "Kamu yakin?" "Iya, aku gak masalah. Mungkin aku pergi ke Bandung sekitar 3 hari," jawab Mark. Mark teringat akan sesuatu lalu mengambil tas kerja mimiknya. Dikeluarkannya sebuah kotak kecil dan juga sebuah kartu berwarna hitam dari dalam dompetnya. "Jelita, aku paham kamu masih punya tabungan untuk hidup kamu. Tapi bagaimanapun aku sadar jika kau adalah tanggung jawabku, jadi tolong pergunakan ini untuk segala kebutuhanmu!" Mark meraih tangan Jelita dan memberikan kartu tersebut padanya. S