"Eh Alice, mau kemana kau? Ini tolong di fotocopy" seru Yesi yang menyodorkan beberapa dokumen pada Alice. Namun, lagi-lagi ya Alice mengabaikannya. Sikap Mark yang mengusirnya seperti itu sangat membuat dirinya kesal. Tak ada satupun pekerjaannya yang diselesaikan dengan baik, karena memang niat awal Alice memaksa bekerja di sana hanya untuk mendekati Mark. "Gak bisa begini, aku tidak terima!" serunya jengkel. "Kamu harus tetap jadi milik aku, karena tidak ada satupun pria lain yang lebih layak mendampingi aku selain kamu!" Alice masuk ke dalam lift yang kosong sambil merancang suatu strategi di dalam otaknya yang licik. Hingga ia telah sampai di lantai dasar, Alice segera mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. "Hallo, Mom! Alice mau bicara sesuatu tentang rencana kita! *** "Capek!" keluh Zeya setelah dirinya keluar dari ruang poli. Gadis itu menguruti kakinya, yang terasa pegal karena terlalu lama berdiri. "Kenapa sih, Zey? Jompo amat," ledek Jelita lal
"Coba jelaskan padaku, Adimas? Bagaimana mungkin kamu melakukan itu, jika kamu benar-benar mencintai aku?!" teriak Jelita histeris, bahkan tanpa sadar menjatuhkan payungnya. Seketika seluruh tubuhnya basah karena air hujan, tetapi ia tak peduli. Karena hatinya sudah terlampau panas mengalahkan dinginnya cuaca saat itu. Jelita tersenyum seringai saat Adimas tak mampu menjawab pertanyaan darinya. "Kenapa kamu diam? Gak bisa jawab, hah?!" "Aku khilaf, Jelita. Sampai sampai semuanya terjadi begitu saja, hingga aku berpikir harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Chintya." Jelita kembali terkekeh. Perlahan ia melangkah maju hingga mereka berhadapan dengan jarak yang tersisa beberapa jengkal. "Khilaf katamu? Khilaf? Ha!ha!ha!" Setelah tertawa keras seketika Jelita menghentikannya. ia menatap Adimas lalu mendorong dada pria itu sekeras mungkin dengan kedua tangannya. "Khilaf sampai hamil ya! Itu yang kamu sebut khilaf!" bentak Jelita. "Kalau kamu bisa memikirkan tanggu
"Maaf." Jelita mengerutkan keningnya saat sang suami tiba-tiba kembali meminta maaf padanya. Mark bahkan menghapus seluruh air mata yang mengalir di pipinya. Tatapannya terasa teduh, tak seperti biasanya. "Maaf untuk apa? Kamu tidak memiliki salah apapun padaku," jawab Jelita. "Tidak, saya banyak salah padamu. Terutama kejadian saat itu," ucapan yang dengar sangat tulus. Tanpa diduga Mark memeluk dirinya. Membekapnya dengan hangat sehingga membuat Jelita nyaris terbuai. Tetapi Jelita berusaha melepaskan diri, dan berkata sambil tersenyum, "Tidak apa-apa. Lagipula itu adalah kewajiban saya sebagai istri kamu." Bukannya menenangkan, jawaban dari Jelita semakin memukul nuraninya yang tersisa. Seberapa kejamkah dirinya yang terus merundung wanita itu? Dan berapa besar hal tak pantas yang telah ia lakukan pada Jelita. Semuanya bak dosa besar yang terasa semakin menyesakkan dada. Mark teringat kembali betapa menderita dan ketakutannya Jelita malam itu. Kini ia merasa lebi
"Dok, tolong istri saya, Dok!" seru Adimas panik. Dengan malas Zeya menghela napasnya, dan berusaha untuk tetap bersikap profesional. Zeya dan beberapa orang perawat membawa Chintya menuju ruang tindakan untuk segera memeriksakan kondisinya. 'Najis, najis! Tambah sial hari ini, harus nanganin Mak lampir kayak gini!' umpat Zeya bersumpah serapah dalam hati, dibalut senyuman ramah pada wajahnya. "Dek Koas, tolong ambilkan peralatan!" seru Dokter Kellin, seorang dokter kandungan yang baru saja menyelesaikan jam prakteknya hari itu. Zeya tersenyum seringai. Setidaknya penderitaan Chintya terasa bagaikan hiburan untuknya. Setiap kali Chintya merintih dan berteriak kesakitan, menjadi tontonan yang menarik bagi Zeya. 'Ah, seandainya bisa rekam, pasti aku rekam muka jeleknya itu!' "Zeya, saya harus menkonfirmasi keluarga pasien, tolong tenangkan pasien terlebih dahulu!" seru Dokter Kellin. Zeya menatap wajah Chintya hingga kedua mata mereka bertemu. Sontak saja Chintya terkej
"Kamu yakin berani sendirian di rumah?" tanya Mark sambil mempersiapkan barang-barang dan dimasukkan ke dalam koper dibantu oleh Jelita. Jelita mengangguk sambil terus melipat pakaian suaminya agar tidak berantakan, "Iya, gak masalah. Lagi pula paling juga lebih banyak waktu di rumah sakit daripada di sini." "Kalau sekiranya kamu takut, kamu bisa ke rumah temanmu itu. Atau ajak saja dia menginap di sini." Jelita menatap Mark seolah tak percaya. Ia pun menegaskan kembali pada suaminya. "Kamu yakin?" "Iya, aku gak masalah. Mungkin aku pergi ke Bandung sekitar 3 hari," jawab Mark. Mark teringat akan sesuatu lalu mengambil tas kerja mimiknya. Dikeluarkannya sebuah kotak kecil dan juga sebuah kartu berwarna hitam dari dalam dompetnya. "Jelita, aku paham kamu masih punya tabungan untuk hidup kamu. Tapi bagaimanapun aku sadar jika kau adalah tanggung jawabku, jadi tolong pergunakan ini untuk segala kebutuhanmu!" Mark meraih tangan Jelita dan memberikan kartu tersebut padanya. S
"Zey, tolong Zey!" Adimas tumbang tepat setelah Jelita berbalik dan bermaksud untuk menghindarinya. Kini ia pun dibawa menuju unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan. "Udahlah, Ta. Kita tinggal aja, toh disini banyak perawat, biar aja mereka yang jagain!" seru Zeya yang sangat malas melihat wajah Adimas. Jelita mengangguk, lalu belum juga ia melangkahkan kakinya. Mereka mendengar suara yang berasal dari Adimas. "Jelita, Jelita," gumam Adimas mengigau, memanggil-manggilnya terus menerus. "Zey, aku di sini dulu deh. Daripada kayak begini di dengar orang lain, malah nanti jadi gosip baru lagi," ucap Jelita. Zeya mengangguk, yang dikatakan Jelita memang ada benarnya. Jelita sudah terlalu banyak tersandung gosip tidak jelas. Kasihan jika ia kembali mendapat kesempatan gosip gara-gara lelaki busuk seperti Adimas. "Aku temani deh, gak sampai hati aku biarin kamu sama manusia kampret kayak dia," ujar Zeya yang sekali.lagi membuat Jelita tersenyum. Sudah hampir 30 menit mere
"Jelita, ikut saya visite pasien!" seru Veshal setelah ia menyelesaikan jadwal prakteknya. Jelita mengangguk lalu mempersiapkan apa saja mereka butuhkan untuk mengunjungi para pasien yang Dokter Veshal tangani. Hati ini Jelita lebih banyak diam, seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat di tanpa membaginya kepada orang lain. "Kalau kamu sedang kurang sehat, istirahat dulu saja,"ucap Veshal. Jelita menggelengkan kepalanya. Ia merasa sudah diperlakukan sangat spesial, bahkan sering membuat beberapa koas lainnya merasa iri. "Tidak! Tidak apa-apa, saya sehat kok, Dok!" "Sungguh? Tolong katakan apapun kamu merasa tidak enak badan," tegas Veshal. Jelita kembali mengangguk, "Baik, Dok!" Jelita dan Dokter Veshal mulai memasuki ruang inap pasien satu persatu. Ketidakhadiran Dokter Kellin yang sejak hari itu mengambil cuti untuk satu minggu kedepan, membuat sebagian pasien yang ditanganinya pun dialihkan kepada Dokter Veshal. "Jelita, apa gak sebaiknya kamu istirahat saja? Biar saya
Prang! "M-maaf, Zeya. Tanganku lemas," ucap Jelita saat ingin meminum secangkir teh hangat di rumah Zeya. Dengan sabar Zeya mengambil kotak obat dan juga perlengkapan untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Kamu gak apa-apa, kan? Tuh lihat kakimu kena air panas!" seru Zeya. "Gak apa-apa kok," jawab Jelita lemas Sejak kejadian di rumah sakit, Dokter Veshal dan Zeya memutuskan untuk membawa Jelita ke rumah Zeya. Setidaknya ia meminta Zeya untuk menemani Jelita yang sedang dalam kondisi mental yang buruk. Setelah itu Dokter Veshal kembali ke rumah sakit, tetapi pria itu tetap meminta informasi perkembangan Jelita dari Zeya, apapun yang terjadi. "Ta, kamu istirahat aja. Beberapa hari kamu nginap disini saja," ucap Zeya dengan tatapan khawatir. Jelita mengangguk, dan masih merasa lemas bahkan hanya untuk membuka mulutnya. Bukan raganya yang lelah, tetapi hatinya yang sudah terlalu lelah. Hari ini terasa berat untuknya, yang bahkan sudah terbiasa menjad
Belaian di kepalanya terasa begitu lembut hingga membuatnya tersentak dan tersadar dari alam mimpi. Baru saja matanya terbuka, wajah tampan dengan senyuman lembut seketika menyambutnya. "Mark!" "Tidur lagi saja kalau kamu masih mengantuk," ucap Mark. Jelita seketika mengedarkan pandangannya. Ternyata dirinya dan Mark masih berada di dalam mobil. Tak sengaja Jelita melihat ke arah jam tangannya, dan kini waktu sudah berlalu selama 2 jam semenjak ia tertidur. "Ini kita baru sampai? Kok lama banget?!" tanyanya yang bahkan baru menyadari jika mesin mobil sudah dalam keadaan mati, bahkan supir yang mengantarkan mereka pun sepertinya sudah turun terlebih dahulu. Mark tertawa lalu mencubit hidung istrinya. "Bukan perjalanannya yang lama, tapi kamu yang tidurnya kelamaan." "Hah?!" Wajah Jelita yang terlihat bingung semakin menambah keras tawa Mark, yang akhirnya membuat Jelita kesal dan mencubit perut suaminya. "Bodo amat! Aku mau turun!" rajuk Jelita. Jelita pun turut dari
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany