"Coba jelaskan padaku, Adimas? Bagaimana mungkin kamu melakukan itu, jika kamu benar-benar mencintai aku?!" teriak Jelita histeris, bahkan tanpa sadar menjatuhkan payungnya. Seketika seluruh tubuhnya basah karena air hujan, tetapi ia tak peduli. Karena hatinya sudah terlampau panas mengalahkan dinginnya cuaca saat itu. Jelita tersenyum seringai saat Adimas tak mampu menjawab pertanyaan darinya. "Kenapa kamu diam? Gak bisa jawab, hah?!" "Aku khilaf, Jelita. Sampai sampai semuanya terjadi begitu saja, hingga aku berpikir harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Chintya." Jelita kembali terkekeh. Perlahan ia melangkah maju hingga mereka berhadapan dengan jarak yang tersisa beberapa jengkal. "Khilaf katamu? Khilaf? Ha!ha!ha!" Setelah tertawa keras seketika Jelita menghentikannya. ia menatap Adimas lalu mendorong dada pria itu sekeras mungkin dengan kedua tangannya. "Khilaf sampai hamil ya! Itu yang kamu sebut khilaf!" bentak Jelita. "Kalau kamu bisa memikirkan tanggu
"Maaf." Jelita mengerutkan keningnya saat sang suami tiba-tiba kembali meminta maaf padanya. Mark bahkan menghapus seluruh air mata yang mengalir di pipinya. Tatapannya terasa teduh, tak seperti biasanya. "Maaf untuk apa? Kamu tidak memiliki salah apapun padaku," jawab Jelita. "Tidak, saya banyak salah padamu. Terutama kejadian saat itu," ucapan yang dengar sangat tulus. Tanpa diduga Mark memeluk dirinya. Membekapnya dengan hangat sehingga membuat Jelita nyaris terbuai. Tetapi Jelita berusaha melepaskan diri, dan berkata sambil tersenyum, "Tidak apa-apa. Lagipula itu adalah kewajiban saya sebagai istri kamu." Bukannya menenangkan, jawaban dari Jelita semakin memukul nuraninya yang tersisa. Seberapa kejamkah dirinya yang terus merundung wanita itu? Dan berapa besar hal tak pantas yang telah ia lakukan pada Jelita. Semuanya bak dosa besar yang terasa semakin menyesakkan dada. Mark teringat kembali betapa menderita dan ketakutannya Jelita malam itu. Kini ia merasa lebi
"Dok, tolong istri saya, Dok!" seru Adimas panik. Dengan malas Zeya menghela napasnya, dan berusaha untuk tetap bersikap profesional. Zeya dan beberapa orang perawat membawa Chintya menuju ruang tindakan untuk segera memeriksakan kondisinya. 'Najis, najis! Tambah sial hari ini, harus nanganin Mak lampir kayak gini!' umpat Zeya bersumpah serapah dalam hati, dibalut senyuman ramah pada wajahnya. "Dek Koas, tolong ambilkan peralatan!" seru Dokter Kellin, seorang dokter kandungan yang baru saja menyelesaikan jam prakteknya hari itu. Zeya tersenyum seringai. Setidaknya penderitaan Chintya terasa bagaikan hiburan untuknya. Setiap kali Chintya merintih dan berteriak kesakitan, menjadi tontonan yang menarik bagi Zeya. 'Ah, seandainya bisa rekam, pasti aku rekam muka jeleknya itu!' "Zeya, saya harus menkonfirmasi keluarga pasien, tolong tenangkan pasien terlebih dahulu!" seru Dokter Kellin. Zeya menatap wajah Chintya hingga kedua mata mereka bertemu. Sontak saja Chintya terkej
"Kamu yakin berani sendirian di rumah?" tanya Mark sambil mempersiapkan barang-barang dan dimasukkan ke dalam koper dibantu oleh Jelita. Jelita mengangguk sambil terus melipat pakaian suaminya agar tidak berantakan, "Iya, gak masalah. Lagi pula paling juga lebih banyak waktu di rumah sakit daripada di sini." "Kalau sekiranya kamu takut, kamu bisa ke rumah temanmu itu. Atau ajak saja dia menginap di sini." Jelita menatap Mark seolah tak percaya. Ia pun menegaskan kembali pada suaminya. "Kamu yakin?" "Iya, aku gak masalah. Mungkin aku pergi ke Bandung sekitar 3 hari," jawab Mark. Mark teringat akan sesuatu lalu mengambil tas kerja mimiknya. Dikeluarkannya sebuah kotak kecil dan juga sebuah kartu berwarna hitam dari dalam dompetnya. "Jelita, aku paham kamu masih punya tabungan untuk hidup kamu. Tapi bagaimanapun aku sadar jika kau adalah tanggung jawabku, jadi tolong pergunakan ini untuk segala kebutuhanmu!" Mark meraih tangan Jelita dan memberikan kartu tersebut padanya. S
"Zey, tolong Zey!" Adimas tumbang tepat setelah Jelita berbalik dan bermaksud untuk menghindarinya. Kini ia pun dibawa menuju unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan. "Udahlah, Ta. Kita tinggal aja, toh disini banyak perawat, biar aja mereka yang jagain!" seru Zeya yang sangat malas melihat wajah Adimas. Jelita mengangguk, lalu belum juga ia melangkahkan kakinya. Mereka mendengar suara yang berasal dari Adimas. "Jelita, Jelita," gumam Adimas mengigau, memanggil-manggilnya terus menerus. "Zey, aku di sini dulu deh. Daripada kayak begini di dengar orang lain, malah nanti jadi gosip baru lagi," ucap Jelita. Zeya mengangguk, yang dikatakan Jelita memang ada benarnya. Jelita sudah terlalu banyak tersandung gosip tidak jelas. Kasihan jika ia kembali mendapat kesempatan gosip gara-gara lelaki busuk seperti Adimas. "Aku temani deh, gak sampai hati aku biarin kamu sama manusia kampret kayak dia," ujar Zeya yang sekali.lagi membuat Jelita tersenyum. Sudah hampir 30 menit mere
"Jelita, ikut saya visite pasien!" seru Veshal setelah ia menyelesaikan jadwal prakteknya. Jelita mengangguk lalu mempersiapkan apa saja mereka butuhkan untuk mengunjungi para pasien yang Dokter Veshal tangani. Hati ini Jelita lebih banyak diam, seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat di tanpa membaginya kepada orang lain. "Kalau kamu sedang kurang sehat, istirahat dulu saja,"ucap Veshal. Jelita menggelengkan kepalanya. Ia merasa sudah diperlakukan sangat spesial, bahkan sering membuat beberapa koas lainnya merasa iri. "Tidak! Tidak apa-apa, saya sehat kok, Dok!" "Sungguh? Tolong katakan apapun kamu merasa tidak enak badan," tegas Veshal. Jelita kembali mengangguk, "Baik, Dok!" Jelita dan Dokter Veshal mulai memasuki ruang inap pasien satu persatu. Ketidakhadiran Dokter Kellin yang sejak hari itu mengambil cuti untuk satu minggu kedepan, membuat sebagian pasien yang ditanganinya pun dialihkan kepada Dokter Veshal. "Jelita, apa gak sebaiknya kamu istirahat saja? Biar saya
Prang! "M-maaf, Zeya. Tanganku lemas," ucap Jelita saat ingin meminum secangkir teh hangat di rumah Zeya. Dengan sabar Zeya mengambil kotak obat dan juga perlengkapan untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Kamu gak apa-apa, kan? Tuh lihat kakimu kena air panas!" seru Zeya. "Gak apa-apa kok," jawab Jelita lemas Sejak kejadian di rumah sakit, Dokter Veshal dan Zeya memutuskan untuk membawa Jelita ke rumah Zeya. Setidaknya ia meminta Zeya untuk menemani Jelita yang sedang dalam kondisi mental yang buruk. Setelah itu Dokter Veshal kembali ke rumah sakit, tetapi pria itu tetap meminta informasi perkembangan Jelita dari Zeya, apapun yang terjadi. "Ta, kamu istirahat aja. Beberapa hari kamu nginap disini saja," ucap Zeya dengan tatapan khawatir. Jelita mengangguk, dan masih merasa lemas bahkan hanya untuk membuka mulutnya. Bukan raganya yang lelah, tetapi hatinya yang sudah terlalu lelah. Hari ini terasa berat untuknya, yang bahkan sudah terbiasa menjad
"Tuan Mark ...." Nicky menggantungkan perkataannya, dia benar-benar tak tega menyampaikan kabar buruk tersebut, saat hubungan Jelita dan Mark baru saja mulai membaik. Jelita meremas kuat ujung bajunya, wajahnya menantikan dengan cemas kelanjutan dari kabar tersebut. "Kenapa? Kenapa kamu berhenti?" tanya Jelita lembut. Sudah payah Nicky menelan salivanya saat tenggorokannya kini terasa tercekik. Pria itu pun mau tidak mau, harus kembali berkata, "Tuan Mark dalam keadaan koma." Tubuh Jelita terhuyung ke belakang, kepalanya tiba-tiba terasa berputar. Pria yang baru saja pagi itu memberikannya sebuah cincin pernikahan, kini tengah berjuang di antara hidup dan mati. "Antar saya ke sana, saya mohon!" pinta Jelita. Kini Nicky, Jelita, bahkan Zeya pun bersiap menuju Bandung. Mereka memilih menggunakan supir untuk mengantar, daripada celaka karena perasaan yang tengah kacau balau. "Ta, are you ok?" tanya Zeya entah untuk ke berapa kalinya saat itu. Kondisi Jelita yang kembali seper