"Apa-apaan mertuamu itu?!" Zeya yang pagi itu baru bertemu dengan Jelita tampak shock ketika mendengar cerita dari sahabatnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibu mertua sahabatnya itu tak segan untuk bermain tangan dan melukai Jelita. "Aku bilang apa, mending kamu cerai sajalah. Persetan sama keluarga angkatmu itu! Kamu harus mikirin diri kamu sendiri, Jelita! Mau sampai kapan kamu jadi tumbal!" seru Zeya kembali, seakan energinya tak habis-habis untuk menasehati Jelita. Zeya menyandarkan tubuhnya ke tembok sambil memijat keningnya. "Darah tinggi dan kolesterol kumat ini mah, dengar cerita kau!" gerutu Zeya yang hanya ditanggapi Jelita dengan tawanya. Jelita melihat jam pada layar ponselnya, lalu segera bangkit dari tempatnya duduk. "Zeya, aku ke poli dulu ya, dikit lagi mulai jadwal Dokter Veshal praktek." Seketika raut wajah Zeya berubah. Gadis yang sedari tadi mengeluh itu pun langsung tersenyum mengejek pada Jelita. "Cie sama Dokter Veshal, cie! Udah sih, gue bila
"Saya harap ini tidak akan terjadi lagi! Saya sudah sangat sibuk, jadi saya tidak. punya waktu lagi untuk mengusik hal remeh seperti ini." Mark mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras menahan kemarahan yang sudah berada di puncaknya. Ia meraih jas dan tas jinjingnya lalu berjalan menuju pintu keluar. "Mau kemana kamu? Ada yang ingin Mommy tanyakan padamu, Mark!" seru Catherine tiba-tiba, sebelum Mark betul-betul keluar dari dalam ruangannya. "Bukannya Mommy datang juga untuk menemuinya? Jadi saya pikir urusan ini sudah selesai," jawab Mark lalu kembali berjalan tanpa henti walaupun Catherine berkali-kali berteriak memanggil namanya. Mark mulai menyalakan mesin mobilnya, melakukannya tanpa tempat tujuan yang jelas. Yang di pikirannya saat ini adalah menghindari Alice dan ibunya yangs udah membuat harinya sudah suram sejak pagi. Satu jam lamanya, kini Mark sudah berada di suatu tempat. Tempat yang bahkan tak pernah dipikirkan sebagai tempat tujuan pelariannya. "Ng
"Ta, Jelita. Dia ngapain mejeng di sana? tanya Zeya yang tampak shock melihat penampang yang ada di hadapannya. "Sebelahnya siapa lagi, sore-sore mau Maghrib pakai kacamata hitam!" "Ya udah samperin aja, Yuk! Daripada makin rame di sini, kasihan kalau ada pasien datang," jawab Jelita, lalu berjalan terlebih dahulu dan disusul oleh Zeya di belakangnya. Gaya perlente khas konglomerat, dengan jas dan sepatu pantofel yang terlihat mengkilap. Berdiri tegap depan pintu unit gawat darurat, dengan dasi yang dibiarkan mengendur dan kancing kemeja yang terbuka dua buah. Wajah bulenya yang mencolok, dilengkapi mimik misterius khas para pemeran utama pria di novel romantis. "Ngapain ke sini?" tanya Jelita yang tentu saja menjadi sorot mata para wanita yang sedari tadi menonton sosok Mark. Mark mengangkat sebelah alisnya selaras dengan pergelangan tangannya yang dilingkari sebuah arloji. "sudah mau pukul 6 kamu baru keluar? Kamu tau gak kalau saya sudah menunggu 1 jam?" protes Mark.
"Jel, aku tuh penasaran deh. Sebenarnya apa sih yang mertua kamu kirim?" tanya Zeya sambil memakan keripik singkong kesukaannya. "Lihat aja sendiri," ucap Jelita. Jelita yang dari sore memilih menumpang di apartemen Zeya, kini meraih ponsel miliknya lalu diberikannya pada Zeya. Zeya seketika berteriak, "Dasar bule sarap, gila, sinting!" Umpatan demi umpatan keluar dari mulut gadis itu. Zeya bahkan bersumpah serapah setelah melihat pesan singkat dari Catherine yang mengatakan jika Catherine akan menjodohkan Alice dengan Mark karena mereka setara, berbeda dengan Jelita yang dianggap sebagai orang rendahan tanpa asal usul yang jelas. Jelita diibaratkan sebagai duri dalam daging, yang kehadirannya harus disingkirkan secepatnya. "Ya, kan? Orang tua macan apa yang sudah mencarikan lagi anaknya istri baru, saat usia pernikahan anaknya masih seumur jagung?" ucap Jelita sambil tersenyum kecil. Jelita meminum cola miliknya lalu menghela napas panjang. "Aku sudah capek, aku sudah mau
"Untunglah masih keburu." Jelita terlihat berlari terburu-buru, sambil terus memeriksa jam yang ada di tangannya. Langit pagi itu masih terlihat gelap dan aktivitas manusia pun belum sepenuhnya dimulai. Jelita segera menaiki lift yang langsung menghubungkan ke unit penthouse milik Mark, berusaha secepat mungkin untuk berganti pakaian dan langsung berangkat menuju rumah sakit. PIP! Suara akses pintu masuk pun berbunyi menandakan pintu telah terbuka. Baru saja Jelita melangkahkan kakinya di ruang tamu, pandangannya tertuju pada sosok yang tengah tertidur pulas sambil meringkuk kedinginan di atas sofa. "Loh kok malah tidur di sini sih? Kalau masuk angin bagaimana coba!" omel Jelita dan berjalan mendekati Mark yang belum menyadari kehadirannya. "Mark, bangun! Mark! Perlahan ia menggoyang-goyangkan bahu suaminya, sambil manggil nama Mark agar pria itu terbangun. Tetapi, hasilnya nihil. Mark hanya terusik sesaat lalu berbalik. "Astaga, ngebo banget tidurnya!" gerutu Jelita
"Dok, ada pasien CITO di IGD!" ucap seorang perawat yang tiba-tiba saja datang di ruang praktek Veshal. Dengan cepat Veshal bangkit lalu berkata, "Jelita, ikut saya!" "Baik, Dok!" jawab Jelita yang sebenarnya masih gugup untuk menangani gawat darurat terutama yang berhubungan dengan kehamilan. Pasien CITO adalah istilah untuk pasien kritis, yang harus didahulukan penanganannya. Dengan tergesa-gesa Dokter Veshal dan Jelita berlarian menuju ruang IGD dimana pasien dan keluarganya sudah menunggu. Baru saja mereka sampai, beberapa perawat dan dokter jaga segera menyambutnya, dan membawa menuju ranjang dimana pasien menunggu. "Usia kandungan 33 minggu, tekanan darahnya 180/120, kadar protein dalam urine tinggi, dan pasien mulai kehilangan kesadaran," ucap dokter jaga yang sudah mengecek tanda vital pasien tersebut. Hal yang tidak diinginkan pun muncul, pasien mulai mengalami kejang hingga membuat Jelita terlihat panik. "Jelita, pasang sudip lidah! Kamu bisa, kan?" seru Ves
NIIIT! "Dok, dokter," lirih Jelita dengan kedua telapak tangan yang menutupi mulutnya, saat monitor EKG menunjukkan garis lurus yang menandakan jika jantung pasien telah berhenti berdetak. Veshal menggelengkan kepalanya, lalu mulai memeriksa kondisi janin yang masih ada di dalam kandungan ibunya. "Dua-duanya tidak terselamatkan," ucap Veshal dengan wajahnya yang terlihat lelah. Kegagalan pertamanya dalam menyelamatkan pasien membuat seluruh tubuh jahitan bergetar. Rasa terkejutnya terlihat jelas dari raut wajahnya, Jelita mematung dan mengamati tubuh ibu hamil itu yang kini mulai ditutupi selimut putih. "Jelita," sapa Dokter Veshal yang mengetahui bagaimana perasaan Jelita Saat itu. Tanpa diduga Jelita memeluk Dokter Veshal. Air matanya runtuh, seakan dirinya adalah keluarga yang ditinggalkan. "S-saya tidak berguna, Dok. Se-selama ini saya berpikir jika saya mampu, tetapi ternyata saya bukanlah apa-apa," ucapnya di tengah-tengah tangisannya. Sedangkan Veshal hanya ters
"Dokter pernah sampai titik seperti itu?" tanya Jelita penasaran. Veshal mengangguk, lalu kembali menatap langit biru yang terlihat begitu teduh. "5 tahun lalu saya kehilangan calon istri saya, tepat di tangan saya sendiri," ungkap Veshal dengan senyuman getir. Veshal menghela napasnya, karena berusaha kembali mengungkit sesuatu yang sudah ia kubur begitu dalam. "Saat saya masih menjadi residen, saya mendapati seorang pasien IGD yang datang dalam kondisi terluka parah akibat kecelakaan, dan itu adalah kekasih saya sendiri. " Dia kecelakaan saat ingin pulang setelah melihat gedung yang akan menjadi tempat resepsi pernikahan kita 1 minggu lagi." Terasa kesakitan yang amat dalam di setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Veshal. Matanya pun terlihat kosong memandang langit, mimik wajah yang bahkan tak pernah ditujukan olehnya selama ini. "Saat itu saya sangat emosional. Namun, saya sadar jika harus tetap tenang, karena hari itu adalah hari besar, tidak ada dokter lain yan