“Apa aku hanya figuran di mata dirinya?”
Sekarang adalah musim salju ke-lima. Sama halnya dengan rasa cinta di hati Karissa untuk Damian yang mulai tumbuh sejak lima tahun yang lalu.
Damian sudah dianggap seperti dewa oleh keluarga Karissa karena perannya sebagai penyelamat hidup mereka. Kehadirannya dalam kehidupan Karissa bermula ketika ia menyelamatkan Karissa dan ayahnya dari kebakaran hebat, meski harus menderita luka bakar di punggung.
Tak berhenti di situ, Damian juga membantu melunasi hutang rumah sakit untuk biaya pengobatan jantung Vincent, ayah Karissa, serta membiayai kuliah kedokteran Karissa.
Seiring waktu, rasa terima kasih Karissa berubah menjadi cinta yang tulus pada Damian, terutama karena sikapnya yang hangat. Namun, segalanya berubah setelah mereka resmi menjadi suami istri. Karissa dibawa ke kota dan tinggal di sebuah mansion mewah, tetapi sikap Damian seketika berubah.
Tidak ada kehangatan sedikitpun di hubungan mereka. Sikap Damian teramat dingin dan lebih sering menyakiti. Jika bukan karena cinta dan balas budi, mungkin sudah lama Karissa memilih menyerah.
“Dokter Karissa!”
Panggilan dari Shiena membuat lamunan Karissa terhenti. Dia menatap sahabatnya yang berlari dari lobi rumah sakit dan menghampirinya. Sore itu mereka sama-sama baru berangkat bekerja.
“Bagaimana, apa suamimu sudah tau kalau kamu sedang hamil? Apa kejutannya berhasil?” tanya Shiena dengan nafas ngos-ngosan karena baru berlari.
Karissa tersenyum tipis lalu melanjutkan langkah. Rasanya enggan membahas soal suami gilanya itu.
Karissa Asterin adalah dokter bedah junior di rumah sakit ini. Semua orang tau kalau dia sudah menikah, tapi mereka tidak tau siapa suami Karissa. Dia pun tak mengerti, sejak awal menikah Damian terus merahasiakan hubungan mereka dari publik.
“Meeting dengan Ketua Dewan Direksi ditunda karena beliau sedang pergi ke luar negeri,” ucap kepala departemen bedah di ruangan.
Televisi di sana menampilkan sosok Damian yang sedang menerima penghargaan sebagai pengusaha terbaik lalu memberikan pidatonya di depan kamera. Ya, ketua dewan direksi itu adalah Damian Morgan. Pria berwibawa dan berkharisma yang sangat memukau di mata orang-orang.
Damian adalah seorang presiden direktur yang berkuasa penuh terhadap perusahaan properti terbesar di Eropa, King-WB Group. Selain itu dia dikenal sebagai seorang dermawan. Sering mengirim banyak donasi ke yayasan yang membutuhkan.
Sedangkan rumah sakit ini adalah miliknya setelah berhasil diakuisisi. Sebab itu pula Damian mengijinkan Karissa bekerja, tapi hanya di rumah sakit ini. Untuk apa? Jelas supaya wanita itu tetap berada di bawah kendalinya.
Karissa mencoba tak peduli dengan obrolan mereka yang terus mengelukan nama Damian. Dia pun memakai jas putih yang menggantung di lokernya dan berniat segera pergi. Sayangnya niatnya terhenti ketika mereka mulai membahas Emma.
“Lihat, menurut kalian apa Nona Emma pantas menjadi asisten Tuan Damian?” seorang tenaga medis yang ikut menonton mengatakan mengenai wanita yang ada di samping Damian.
“Penampilannya berkelas. Wajahnya juga nampak sekali dari kaum old money. Aku sering merasa heran, kenapa wanita secantik itu mau jadi pesuruh selama bertahun-tahun, ya?”
“Mungkin tidak kalau mereka sebenarnya ada hubungan?”
“Ah, aku sering membaca novel kisah office romance. Di mana bawahan ternyata istri sang PresDir.”
Shiena pun menimpali dengan santai. “Aku justru curiga dengan anak laki-laki yang umurnya tiga tahun itu.”
“Aku awalnya tidak percaya kalau Nona Emma semuda itu sudah memiliki anak tanpa suami.”
“Jangan-jangan itu adalah anak Tuan Damian?”
Mendengar obrolan mereka membuat dada Karissa memanas. Dia meremas kedua sisi jas putihnya dengan wajah yang mulai memucat.
Karissa hanya tau kalau Emma memang sudah memiliki anak sebab asisten tersebut pernah membawa ke mansion sesekali. Namun, perihal siapa ayahnya dia tidak pernah mencoba mencari tahu karena dia dan Emma tidak sedekat itu untuk mengobrolkan hal pribadi.
“Karissa, kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat?” Shiena menangkup kedua pipi Karissa dan terlihat khawatir.
Sebisa mungkin Karissa menyembunyikan dirinya yang ingin menangis saat ini. Mungkin karena efek sedang hamil jadi mudah menangis.
“Aku baik-baik saja. Aku harus segera memeriksa pasien.” Karissa tersenyum hambar kemudian buru-buru keluar.
***
Malam itu, Karissa berbaring di tempat tidur yang dingin dan kosong. Aroma parfum Damian yang samar masih tertinggal di ruangan sama sekali tidak lagi memberikan kenyamanan. Padahal biasanya Karissa sering sengaja menyemprotkan parfum maskulin itu ke permukaan ranjang kala dia merindukan Damian.
“Damian, apa yang sebenarnya terjadi?”
Bayangan pakaian dalam dan kondisi kamar kemarin pagi, lalu permintaan Damian untuk menggugurkan kandungan, juga siapa ayah dari anaknya Emma. Semua sungguh membuat perasaan Karissa tidak bisa tenang.
Ya, meskipun Damian tidak pernah kepergok terang-terangan bermain dengan wanita lain, tapi Karissa tidak bisa mengabaikan bukti-bukti kecil yang menumpuk. Dan nama Emma lah yang selalu muncul dalam dipikiran, si asisten yang selalu bersikap manis, hormat dan hangat di depannya.
Mata Karissa memejam, memaksa diri untuk istirahat. Saat begitu, ponselnya berbunyi. Dia pun segera membuka mungkin dari Damian. Rupanya bukan,
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Darla, adik ayahnya. Dia mengatakan kalau Vincent masuk rumah sakit karena jantungnya mendadak kumat.
Karissa begitu terkesiap. Dia pun menelfon Darla segera.
“Bibi, aku akan kirimkan sejumlah uang dan aku segera pergi ke sana!” ucap Karissa panik.
“Iya, kirimkan yang banyak. Aku tidak punya uang sepeserpun. Uang yang kamu kirim sudah habis untuk biaya pengobatan rutin dan renovasi rumah.”
“Tunggu sebentar. Aku akan memprosesnya.”
Ibunya sudah meninggal sejak Karissa terlahir di dunia ini. Jadi baginya, sang ayah adalah segalanya, satu-satunya yang Karissa miliki. Dengan terburu-buru perempuan itu mencoba login ke aplikasi m-banking. Namun, berkali-kali usahanya gagal.
“Damian? Apa dia memblokir kartu ini?”
Karissa memegang salah satu blackcard milik Damian yang digunakan untuk segala kebutuhannya. Biasanya semua lancar, tapi kenapa kali ini tidak bisa. Dia pun langsung mencoba menghubungi Damian.
Bukannya panggilan terangkat, sebuah pesan dari Emma justru yang masuk ke ponselnya.
"Nyonya Karissa, Pak Damian meminta saya menyampaikan bahwa dia sedang bekerja lembur malam ini dan tidak bisa diganggu. Saya harap Nyonya mengerti. Jangan lupa istirahat yang cukup. Selamat malam."
Karissa menggigit bibirnya. Pesan itu terdengar biasa, tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa salah. Bahkan pikirannya kini berputar kira-kira apa yang sedang Damian dan Emma lakukan di sana.
Tidak, lupakan soal mereka. kini fokus Karissa ada pada ayahnya. Setidaknya dia memiliki rekening berbeda berisi gajinya sebagai dokter. Hingga bisa mengirim sedikit uang untuk bibinya.
Wanita itu beranjak dari ranjang. Dia ambil mantel berwarna brown beserta tas kecilnya kemudian keluar.
“Nyonya malam-malam mau ke mana?” tanya Bibi Martha melihat majikannya terburu-buru begitu keluar dari lift di lantai satu.
“Aku akan pergi ke pinggir kota. Ayahku membutuhkan ku,” jawab Karissa tanpa menghentikan langkah tergesa-gesanya.
Martha terus mengikuti. “Tapi, Nyonya. Tuan Damian belum memberikan perintah pada kami.”
Ketika sampai di depan pintu utama, Karissa berbalik menatap Martha dengan tajam. “Apa yang kamu lakukan saat orang tuamu sakit? Sementara hanya tersisa dia yang ada di dunia ini!”
“Nyonya ... bukan begitu. Tuan Damian akan sangat marah kalau sampai tau.”
“Kalau begitu katakan saja padanya sekarang. Mungkin dengan ini dia bisa berhenti melakukan hal gila bersama asistennya itu!”
Selain dada, kepala Karissa juga rasanya ingin meledak jika teringat soal Damian. Bagaimana bisa di saat genting begini pria itu tidak mau diganggu. Belum lagi Damian menutup akses penarikan uang.
“Tuan Damian tidak mungkin melakukan hal itu, Nyonya. Anda salah paham.” Martha mencoba menenangkan.
Karissa tersenyum kecut. Bahkan kepala pelayan saja masih membela Damian padahal bukti sudah terpampang jelas dengan kedekatan Emma yang terus saja bersama Damian sekalipun sedang ada di mansion ini. Ya, waktu bersama Emma jauh lebih banyak ketimbang waktu Damian bersamanya.
“Aku akan tetap pergi. Sekalipun kalian melarangku menggunakan mobil di mansion ini, aku masih bisa memesan taksi!” tegas Karissa mutlak.
BERSAMBUNG
Sudah hampir satu minggu menghilang dari hadapan Karissa. Mobil Rolls-Royce Phamtom berwarna Hitam Metalik dengan ukiran serigala hitam khusus di bagian depan, akhirnya memasuki gerbang yang berdiri tinggi dan kokoh itu.Damian menandatangani kertas dengan nama Luciano King Wilbert di sana. Lalu dia berikan pada Emma, asistennya yang duduk di samping.“Katakan pada Tuan Axton, meeting besok ditunda,” ucap Damian.Emma menoleh bingung. “Tapi, Tuan. Bukannya besok –““Aku ada urusan.” Damian langsung keluar begitu anak buah di luar membukakan pintu mobil.“Siapkan makan siang,” titah pria bertubuh tinggi kekar kepada Martha seraya melangkah masuk ke mansion yang jarang dia tempati itu. Bila dihitung, paling banyak 10 hari dalam satu bulan Damian tidur di bangunan megah ini. Selebihnya pria itu mengurus bisnis di berbagai tempat.Dua pelayan yang berdiri di depan pintu pun membungkuk patuh. “Baik, Tuan!”Bukan hanya pelayan, Emma pun ikut mengurus makan siang Damian. Dia ke dapur, mengha
Karissa tak pernah bisa menolak Damian dari dulu maupun saat ini. Dia tahu bahwa pria itu adalah penyelamat hidupnya. Luka bakar selebar telapak tangan yang terlihat di punggung kekar Damian adalah saksi bisu dari pengorbanan itu, sebuah bukti nyata yang tak pernah Karissa sangkal. Karena itulah apapun perlakuan Damian, dia mencoba untuk menerimanya. Namun, penerimaan itu sering kali terbalas oleh rasa perih. "Kamu menikmatinya, kan, hm?" bisik Damian dengan suaranya rendah dan penuh ejekan usai keduanya bergelung di ranjang.Karissa hanya menatap sayu pria yang masih berada di atasnya, enggan menjawab. Pria itu pun tersenyum miring, seolah mengolok. Nyatanya meski di awal Karissa menolak, tapi akhirnya ia luluh pada hasrat pria itu. Desahan, keringat, dan panggilan-panggilan lirih Karissa saat memenuhi hasrat biologis mereka adalah hiburan bagi Damian. Selebihnya, dia tak peduli. Bahkan ketika Karissa terlihat mendesis kesakitan sambil memegang perut saat dia melepas penyatuan, Da
Ini adalah pertama kali Karissa bertemu dengan Aiden, pria kecil berumur tiga tahun yang ternyata sangat tampan. Terlihat sekali bukan anak dari kalangan biasa.Lamunan Karissa tersentak ketika Aiden berteriak memanggil Damian dengan sebutan ‘Daddy’ sambil berlari kemudian memeluk kaki panjang pria yang memiliki tinggi 190cm itu. Dia mendongak dengan matanya yang berkaca-kaca.“Mommy jahat, aku tidak mau dibawa ke rumah sakit. Daddy tolong aku.”“Daddy?” beo Karissa menatap nanar suaminya.Damian hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Dia justru membungkuk untuk mengangkat Aiden ke dalam gendongannya. Meski tidak menunjukkan ekspresi hangat di wajah Damian untuk Aiden, tetap saja hati Karissa bergejolak. Seolah dia sedang ditampar oleh kenyataan di depan mata mengenai gosip yang beredar.Aiden anak biologis Damian.Karissa bahkan masih mematung, hanya netranya saja yang bergerak memperhatikan Damian membawa Aiden ke ruang makan kemudian duduk bersama Emma di sana. Ketika Emma menyadari
Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—""Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.Buru-buru Karissa mengusap air m
King’s Premier Hospital pagi ini nampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat utama rumah sakit yang seharusnya diadakan minggu depan, tapi mendadak asisten Damian mengabarkan rapat dimajukan siang nanti.“Kepala Spesialis Bedah sedang pergi, jadi dia memerintahkan Karissa menggantikannya,” ucap Shienna begitu masuk ke ruang tim bedah.Karissa yang tengah membicarakan masalah pasien dengan dokter senior pun mendongak.“Aku?” beonya menunjuk ke diri sendiri. Mungkin dia salah dengar.“Iya, Karissa Asterin.”“Tapi –“ Karissa menatap ada dua dokter senior di ruangan dan bukan sedang masuk jadwal praktek mereka. “Aku kan hanya dokter residen bedah. Biasanya dokter senior yang menggantikannya.”Gadis dengan rambut keriting itu mendekati Karissa lalu menyerahkan berkas laporan bulanan departmen bedah. “Pak kepala sendiri yang beri perintah. Kita bisa apa?”“Kamu dokter residen senior juga, Karissa. Banyak hal yang kamu ketahui untuk dilaporkan di rapat nanti,” ujar salah satu dokter bedah se
“Patriarki? Suami tak tau diri? Kampungan? Jelek?”Sederet kata yang terucap dari para staff di ruang rapat tadi langsung keluar dari mulut dingin Damian saat Karissa baru saja datang.Damian bersandar pada sisi meja kerja lalu tangannya dilipat di dada. Sorot itu tajam, menuntut Karissa untuk menjelaskan apa maksud cacian yang dilontarkan oleh mereka tadi.Wanita itu sejenak menatap heran suaminya. Dia kemudian cukup santai untuk mengangkat kedua bahunya. “Kalau merasa tersinggung. Bukankah status kita di sini bukan suami istri. Bahkan sebentar lagi pun kita bukan siapa-siapa.” Karissa menatap Damian tanpa rasa gentar. Baru kali ini dia seberani ini tanpa rasa ragu.Bahkan ketika rahang Damian makin mengeras akibat perkataannya, Karissa tak peduli. Hatinya seperti mati rasa dari hari ke hari oleh sikap Damian.“Aku tidak memulai gosip apapun. Mereka menilai sesuai dengan apa yang aku kerjakan di sini. Jadi mungkin kamu yang perlu introspeksi diri, kenapa mereka bisa menganggap aku m
Terdengar helaan napas dari sambungan telefon. “Aku tidak tau, sejak kemarin ayahmu mengkhawatirkanmu. Datanglah, besok adalah akhir pekan. Kamu bisa ke sini bersama Damian. Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja.”“T-Tapi ....” Karissa menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku memang ada rencana pulang untuk mengatakan sesuatu pada daddy.”“Sesuatu yang menggembirakan?”“Engh ... aku ....”Tidak sampai berucap, ponsel yang sebelumnya ada di genggaman Karissa kini sudah beralih ke tangan Damian.“Bibi Darla,” sapa Damian. Tidak ramah, tapi datar. Namun itu cukup membuat Darla sumringah di sana.“Damian? Ah, bibi rindu dengan kalian. Datanglah ke rumah besok akhir pekan. Mertuamu sakit-sakitan karena terlalu khawatir memikirkan putri satu-satunya.”“Ya, aku dan Karissa akan datang.”Karissa mendengar itu hanya menarik napasnya dalam-dalam. Sejak kapan Damian semudah ini mengiyakan keinginan keluarganya untuk datang ke rumah? Pria itu selalu ada cara untuk menolak dengan alasan sibuk.“Kamu i
Vincent terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Karissa dengan mata membola, menatap putrinya. “Ka-Kamu hamil, Karissa?” Tiga tahun menikah dengan Damian, akhirnya bisa mendengar kabar ini tentu Vincent terkejut dan bahagia.Karissa yang semula kaget dengan perkataan jujur Damian, perlahan dia pun tersenyum dan mengangguk. Tangannya juga ikut menyentuh perut yang masih belum terlalu terlihat membesar. “Iya, Daddy. Aku hamil.” Senyuman Vincent pun makin merekah. “Astaga, kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Dia segera berdiri, “Ini kabar baik! Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban dari Karissa, Vincent bergegas ke dapur. Darla yang baru saja keluar membawa nampan minuman, memandang Vincent dengan heran. “Vincent, ada apa?” Pria paruh baya yang setia memakai syal di leher itu menunjukkan wajah cerahnya. “Karissa hamil, Darla! Aku harus menyiapkan sesuatu untuknya.” Mata Darla ikut berbinar mendengar kabar itu. “Ya ampun, benar? Kalau begitu, kita harus memasak makanan yang seha
“Damian sudah pulang?” tanya Karissa pada pengawal yang berjaga di depan kamarnya.“Belum, Nyonya,” jawab salah satu dari dua orang di sana.Karissa baru saja selesai mengurus Aiden. Sejak dia pulang ke mansion pagi tadi, Aiden sering rewel menanyakan Damian. Tidak biasanya. Sampai sekarang, pukul 10 malam akhirnya Aiden bisa tidur setelah minum obat. Itu pun sangat sulit membujuk.“Ada yang Anda butuhkan, Nyonya?” tanya penjaga karena Karissa masih diam berdiri di lorong antara kamar utama dan kamar Aiden.“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Damian? Kalian tidak mungkin tidak tau apa-apa.” Karissa memperhatikan gelagat dua pria itu. sayangnya mereka justru bingung.“Kami tidak mendengar apapun, Nyonya. Kami hanya tau Tuan Damian pergi bekerja seperti biasa.”Apa yang dikatakan penjaga ini tidak ada yang salah. Lagi pula sudah biasa kan Damian pulang malam, bahkan tak pulang berhari-hari. Hanya saja, kenapa Karissa merasa tak tenang. Ditambah Aiden yang seolah ikut merasakan ada sesu
Ben menatap Karissa dengan mata berkilat. Senyum liciknya juga melengkung samar ketika perempuan di depannya mulai meminum jeruk hangat yang dia buat.“Habiskan, Karissa. Jika kurang, aku bisa membuatkannya lagi,” ucap Ben, kemudian dia meminum minumannya sendiri dengan tenang.“Kak ....” Panggilan dari kamar menarik atensi mereka berdua.Karissa yang sudah menghabiskan setengah gelas berniat beranjak.“Biar aku saja. Kamu habiskan makanan dan minumannya,” cegah Ben.Baiklah, Karissa menurut. Dia kembali memakan sup sambil sesekali melihat ke arah pintu. Sangat berharap Shiena tidak kenapa-kenapa di sana.“Aku jadi rindu Daddy,” gumamnya.Dia ingat ibunya yang telah tiada, jadinya ingat sang ayah di sana. Apa kabar ayahnya? Sejak dia mengirim uang 2 milyar, Darla tak pernah lagi menghubunginya. Vincent pun hanya mengabarkan seperlunya.Lalu Damian.Entah mengapa sejak dia merasa kepala tiba-tiba pusing, hatinya terus merasa resah dan terus memikirkan suaminya itu.“Untuk apa aku mengkh
Kini Damian akan mengetahui siapa yang sudah menguntit Karissa akhir-akhir ini.Hampir saja Damian menarik masker pria itu, lebih dulu ada sebuah pukulan dari benda berat menghantam belakang kepalanya dengan hebat.“Aggh!”Dengan rasa sakit yang luar biasa itu Damian masih sempat berbalik ke belakang untuk melawan. Sialnya, musuh dengan wajah tertutup masker itu langsung melempar bubuk bius ke wajah Damian.Meski Damian langsung menutup hidung dengan tangan, tetap saja sudah ada bubuk dosis tinggi yang terhirup. Membuat tenaga pria itu perlahan meredup. Kaki yang biasa kuat, kini hanya bisa sempoyongan saat berusaha menggapai orang itu.Sampai pandangan matanya memudar. Tak lama, Damian pun ambruk tak sadarkan diri.***Sementara di rumah duka, entah kenapa Karissa tersentak karena belakang kepalanya mendadak berdenyut.“Kamu kenapa, Karissa?” tanya Ben yang ada di samping perempuan itu.Karissa m
Sekelebat bayangan hitam membuat sudut mata tajam Damian melirik ke kanan, hanya saja dia tidak menghentikan langkahnya menuju mobil.“Waspada ke arah jam tiga,” ucap Damian pada pengawal yang ada di belakangnya, tanpa menoleh.Meski banyak mobil di parkiran, tapi instingnya terlalu kuat untuk memastikan ada yang sedang mengintainya terlalu dekat.Pengawal itu pun segera memberi kabar pada anak buah lain di area sana melalui earpiece yang menempel di masing-masing anak buah.Tak lama, sebelum pintu mobil dibuka, anak buahnya sudah mendekat lalu menunjukkan foto yang dikirim oleh anak buah yang lain.“Siapa?” gumamnya sembari memperbesar gambar di layar.Dari postur tubuh tinggi besar, memastikan kalau yang sedang mengawasinya adalah seorang pria. Dia memakai topi dan masker. Lalu coat tebal dengan warna serba hitam.Damian jadi ingat, Tony pernah melaporkan ada seseorang yang memberikan Karissa ice cream tiba-tiba. Dia pun mengetuk sekali kaca mobil. Tony yang di dalam pun segera kelua
Suara Karissa membuat Damian mengangkat pandangannya. Dilirik lagi layar ponsel di genggamannya, loading 98%, bersamaan dengan langkah kaki Karissa yang makin mendekat.“Kamu sangat mencurigakan,” ucap Karissa lagi dari belakang.Dalam satu gerakan, Damian melepas boxspy dan melempar ponsel Ben ke tong sampah tepat di samping kaki kanannya.Berbalik dengan tenang sembari memasukkan dua tangan ke dalam saku celana sekaligus benda kecil dalam genggamannya tadi, Damian menatap wajah cantik Karissa dengan alis tebalnya yang menukik samar."Kenapa? Kamu takut aku menghilang?"“Memangnya siapa yang berani menculik seorang Damian Morgan? Aku hanya khawatir kamu melakukan hal aneh.”Damian tiba-tiba maju satu langkah, lalu satu tangannya menarik pinggang sang istri. “Aneh seperti ini?” bisiknya.Karissa yang panik seketika mendorong dada bidang Damian. “Aku menyesal bertemu denganmu di sini.” Wanita cantik bergaun hitam tersebut memilih buru-buru masuk ke toilet wanita yang ada di sebelah kiri
“Jadi Anda salah satu korban diledakan kapal saat itu? Saya hanya mendengar sedikit ada kecelakaan di pelabuhan. Tak menyangka kalau keluarga dari staff di rumah sakit saya turut menjadi korban,” ucap Damian datar.Melihat kakaknya tak merespon, hanya menatap Damian. Shiena pun langsung memecah ketegangan. “Kak, ini Tuan Damian. Kepala rumah sakit tempatku bekerja.” Sebuah kehormatan atas datangnya orang tertinggi di tempatnya bekerja.Sebab, selama ini Damian tak pernah hadir di acara duka maupun acara pesta keluarga staff medis. Jadi Shiena tidak mau meninggalkan kesan buruk untuk Damian.“Terimakasih atas kedatangan Anda, Tuan.”Ben mengulurkan tangan, tapi tidak Damian sambut. Pria yang berdiri menjulang tinggi itu hanya menurunkan kepalanya sedikit. “Saya turut berduka cita.”“Tidak, sopan!” gumam Ben lirih sambil menundukkan kepalanya.Shiena lantas menyentuh lengan kanan Karissa dan menunjukkan pada Ben."Aku belum pernah cerita ke kakak. Dia ini Karissa, sahabat sekaligus reka
“Aku masuk lebih dulu, ya?” Karissa ingin kali ini saja Damian menurut.Wanita itu melihat ke area sana. Funeral Home di pinggir dataran benua Eropa itu begitu ramai oleh staff medis dan pelayat lain yang datang mengulurkan tangan sebagai tanda belasungkawa pada keluarga Shiena.“Ada dokter senior juga.”“Turunlah lebih dulu.”Bibir Karissa pun tersenyum tipis karena Damian tak memaksa. “Terimakasih.”Hadir mengenakan dress tertutup serba hitam, Karissa yang turun dari Rolls-Royce hitam dikawal oleh empat bodyguard bertubuh kekar menuju pintu masuk. Dia melanjutkan langkahnya sendiri mendekati altar duka, tempat monumen kecil jenazah ibunda Shiena berada.Di ujung sana, manik mata Karissa dapat melihat begitu jelas bagaimana lemasnya Shiena yang terduduk di kursi paling depan, berhadapan langsung dengan peti mati ibunya.Hati Karissa teriris pilu tatkala Shiena menengok ke arahnya dengan tatapan kosong juga kantung matanya yang menghitam juga sembab."Karissa, ibuku ..." lirih Shiena
“Akh ....” Karissa terkesiap ketika Damian tiba-tiba meremas kedua sisi panggulnya dengan tangan lebar itu.“Kau sedang cari ayah pengganti bayiku?” tanyanya tajam.Damian tentu ingat gerutuan Karissa malam itu yang sedang mengumpatnya di depan pengawal, mengenai ayah baru untuk anak mereka. Meski Luciano adalah dirinya sendiri, tetap saja Damian tak rela istrinya mengagumi lelaki lain.“I-Ini tangan kamu lepas dulu.” Karissa melepas tangan Damian yang sedang menyentuhnya. Kemudian dia menggeser posisi supaya mereka tidak terlalu dekat.“Aku mana ada selingkuh. A-Aku butuh kontak Luciano karena ada kebutuhan,” cetus Karissa sambil merapikan dress akibat tangan kekar yang baru menyentuhnya.Damian memiringkan kepalanya. Menyorot lekat netra Karissa yang memancarkan keraguan. "Untuk?"Netra Karissa jadi sendu melihat ke arah lain, membayangkan posisi Shiena saat ini. “Ibu Shiena baru saja meninggal.”“Apa hubungannya dengan Luciano?”Pertanyaan Damian merubah tatapan sendu Karissa jadi t
Karissa membaca tes DNA terbaru. Hasilnya sesuai dengan apa yang suaminya katakan waktu itu, Aiden bukan anak biologis Damian.“Hidupku sebercanda ini kah? Entah mana yang harus aku percaya.”“Hati Anda lebih percaya yang mana, Nyonya?” tanya Martha yang sejak tadi berdiri di samping Karissa.Wanita dengan dress selutut itu hanya menghela napas sembari meletakkan kertas dan amplop berlogo resmi di kursi kosong sampingnya. Pandangannya kini lurus ke depan, melihat Aiden yang mulai memiliki banyak tenaga untuk berlarian mengejar kelinci di atas rerumputan.Sudah satu minggu Karissa di mansion. Kerjaannya hanya merawat Aiden, merawat diri, juga merawat kelinci-kelinci. Bosan, tentu.Dia sudah mengatakan pada kepala departemen untuk mencabut cutinya. Namun, bukan mendapatkan jadwal praktek lagi, Karissa justru diberi tambahan jadwal merawat Aiden setiap harinya. Yang artinya, Karissa sekarang murni sebagai dokter pribadi yang bekerja langsung di rumah pasien bukan di rumah sakit.“Dia sang