Sudah hampir satu minggu menghilang dari hadapan Karissa. Mobil Rolls-Royce Phamtom berwarna Hitam Metalik dengan ukiran serigala hitam khusus di bagian depan, akhirnya memasuki gerbang yang berdiri tinggi dan kokoh itu.
Damian menandatangani kertas dengan nama Luciano King Wilbert di sana. Lalu dia berikan pada Emma, asistennya yang duduk di samping.
“Katakan pada Tuan Axton, meeting besok ditunda,” ucap Damian.
Emma menoleh bingung. “Tapi, Tuan. Bukannya besok –“
“Aku ada urusan.” Damian langsung keluar begitu anak buah di luar membukakan pintu mobil.
“Siapkan makan siang,” titah pria bertubuh tinggi kekar kepada Martha seraya melangkah masuk ke mansion yang jarang dia tempati itu. Bila dihitung, paling banyak 10 hari dalam satu bulan Damian tidur di bangunan megah ini. Selebihnya pria itu mengurus bisnis di berbagai tempat.
Dua pelayan yang berdiri di depan pintu pun membungkuk patuh. “Baik, Tuan!”
Bukan hanya pelayan, Emma pun ikut mengurus makan siang Damian. Dia ke dapur, menghangatkan makanan. Saat dia hendak menyeduh teh ramuan untuk Damian, Emma tidak menemukannya.
“Minuman Tuan Damian mana?” tanya Emma melihat isi dalam wadah tradisional berwarna coklat tanah liat, kosong.
Teh itu memang sengaja Karissa ramu untuk menjaga stamina Damian, dan ternyata suaminya suka. Jadi setiap kali Damian memberi kabar akan pulang, Karissa selalu menyiapkannya.
“Nyonya Karissa tidak membuatkannya lagi. Tapi di lemari pendingin masih ada beberapa daun yang perlu diracik,” ucap Martha yang nampak tidak suka pada Emma.
Emma berusaha mencari di internet cara menyeduh teh tersebut. Setelah dirasa warnanya persis seperti yang biasa Karissa buatkan, dia pun membawa bersama dengan makanan yang sudah dihangatkan.
“Silahkan, Tuan. Sejak pagi Anda belum makan.”
Suara Emma membuat pandangan Damian yang semula fokus pada ponselnya jadi terangkat. Dahinya berkerut tajam mencari seseorang yang seharusnya menyiapkan makanan untuknya. Setau dia siang ini bukan jadwal praktek Karissa di rumah sakit.
“Mana Karissa? Kenapa justru kamu yang ada di sini?”
Karena Emma tak bisa menjawab, dia pun menoleh pada pelayan lain.
“Anda lupa, Tuan? Nyonya Karissa sejak tiga hari lalu pergi ke rumah orang tuanya,” jawab Martha mengingatkan kalau dia sempat memberi kabar soal kepergian Karissa.
Dengan garis rahang yang mulai mengetat dan atmosfer ruangan ikut menegang, Damian segera mengecek room chat Karissa. Ya, tidak ada pesan apapun selama beberapa hari kecuali dua panggilan tak terjawab yang waktu itu dia abaikan. Padahal biasanya istrinya sangat cerewet mengingatkannya makan dan menanyakan kapan pulang.
Derit kursi terdengar ketika Damian tiba-tiba berdiri.
“Tuan, sebaiknya Anda mengisi perut lebih dulu. Lalu ramuan ini juga supaya kondisi Anda tetap baik.” Emma yang lebih dari 7x24 jam bersama Damian tentu paham kalau tuannya sedang lelah dan lapar.
Damian menatap tajam Emma dan Martha yang berdiri bersebelahan, membuat keduanya reflek menunduk tak berani menatap sorot menusuk itu.
Dilihatnya cangkir berisi teh hangat. Damian mengangkat gelas itu, sayangnya dari aromanya saja tidak pas dengan ramuan yang biasa Karissa buatkan.
“Singkirkan semuanya.” Dia meletakkan kasar cangkir itu di meja sampai semua isi tumpah, kemudian berbalik pergi.
Saat melewati empat anak buah yang berjaga di depan ruangan, Damian segera memberi perintah tanpa menghentikan langkahnya.
“Bawa Karissa ke hadapanku sebelum petang. Atau kepala kalian yang aku ledakkan!”
***
Sekitar 3 jam berlalu, Karissa sampai di mansion. Dipastikan Tony yang selama beberapa hari ini mengawal majikannya di rumah Vincent, membawa mobil super ngebut jadi bisa sampai lebih cepat dari perkiraan.
“Mana Damian?” Wajah Karissa terlihat sangat kesal setelah Martha menyambutnya di depan pintu.
Saat dia sedang menemani ayahnya yang belum benar-benar sembuh, Damian justru memaksanya pulang dengan mengancam akan memberi hukuman tembak pada Tony. Parahnya lagi, bukan Damian sendiri yang menjemput.
“Tuan ada di lantai dua, Nyonya,” jawab Martha.
Saat hendak masuk ke dalam lift, Karissa sempat melihat Emma yang sedang berjalan ke arah ruang baca. Ah, Karissa tak peduli dengan asisten itu. Dia sudah ingin menjumpai Damian lalu menjambak pria itu bila perlu.
Bunyi lift menyentak lamunan Karissa. Dia meremas sisi gaun maroonnya lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Damian!" panggilnya keras begitu sampai di ruang terbuka lantai dua.
Damian mengangkat pandangan dari senjata api yang sedang dia bersihkan. Pria itu selalu segar dan rupawan seperti biasa. Apalagi kalau berdiri terlihat sekali tubuh tinggi kekarnya sangat mempesona. Ya, biasanya Karissa terpesona dengan sosok yang dia cintai itu. Namun, tidak kali ini. Bahkan sepertinya dia rela melepas Damian sekarang juga.
"Apa maksudmu memaksaku pulang? Aku bukan sedang pergi bermain, Damian! Aku masih ingin merawat ayahku!”
Damian hanya menatap datar wanita yang berdiri dengan bersungut-sungut. Wajah Karissa putih seperti porselen. Memiliki bentuk kecil tapi seksi, cantik juga lembut seperti putri kerajaan yang selalu dirawat dan dijaga.
Biasanya Karissa akan menatapnya penuh damba dan selalu menurut. Namun, kali ini akhirnya Damian melihat istrinya itu begitu emosi. Lalu, apa dia peduli? Tidak! Damian bahkan kembali menunduk guna membersikan senjata api memakai kain kecil lalu meniupnya.
"Pergi ke dapur, lakukan tugasmu,” ucap lelaki itu tanpa menatap.
Karissa terkekeh pilu. "Aku bukan pelayanmu!”
“Kamu istriku, jadi lakukan tugasmu.”
“Tsh!” Karissa tersenyum miring. “Mana ada suami yang meminta istri sahnya menggugurkan kandungan?” Senyuman itu memudar, berganti dengan tatapan jijik. “Kecuali kamu sudah memiliki anak dari wanita lain. Jadi tidak lagi menginginkan anak dariku.”
Damian hanya berhenti mengusap senjatanya, tapi berapa detik setelahnya belum juga merespo. Pria itu kini membuka laci kemudian meletakkan senjata di dalam.
“Diam? Jadi benar kamu sudah berselingkuh?” Mata Karissa mulai memerah ingin menangis karena teringat dengan pengkhianatan yang Damian lakukan. “Benar kamu sudah memiliki anak dengannya?”
“Kalau memang benar, kamu sungguh murahan! Mengobral hasratmu dengan wanita selain istri sendiri!”
Kali ini ucapan Karissa berhasil memancing serigala di dada Damian. Rahang pria itu mengeras, pun matanya yang menajam seperti seekor Elang yang baru menemukan mangsanya. "Mulutmu makin lancang sekarang. Kau lupa siapa aku?"
Karissa mengangkat dagunya tinggi. Rasa sakit akibat perlakuan suaminya serta luka batin yang semakin hari semakin menumpuk membuatnya berani berbicara.
"Siapa peduli? Kau saja tidak memiliki hati untuk menyambut anak kita di rahimku. Lalu dengan enaknya bercinta di kamar yang biasa kita tiduri. Orang sekeji dirimu apa masih harus aku hormati?”
Cukup dengan dua langkah lebar Damian sudah bisa membuatnya mencengkeram rahang Karissa. "Hati-hati dengan ucapanmu, Karissa!"
Mata Karissa memejam merasakan sakit di rahang kecilnya. Berbanding terbalik dengan tangan Damian yang lebih besar dan kuat. "Aku sudah cukup sabar selama ini.”
Jemari-jemari panjang dan kekar itu makin mengeras. Damian tidak suka kalau Karissa menentang seperti ini.
Wanita itu pun kembali membuka matanya usai memantapkan keputusan. “Jadi, kali ini aku menyerah. Aku akan mengurus perceraian kita ke – akh!”
Karissa memekik ketika tubuhnya dihempas ke atas sofa.
Dia lepas jas hitam dan membuang sembarangan. Dengan cepat, dia langsung membungkuk dan menekan bahu Karissa supaya tidak kabur.
“Kau bilang apa? Cerai? Sampai mati pun aku akan tetap mengejarmu ke neraka untuk membayar kesalahanmu, Karissa!” Suara emosi Damian menggelegar.
“Kesalahan apa? Kamu selalu mengatakan kesalahan tapi kamu tidak pernah menjelaskan apa kesalahanku selama ini, Damian?!” teriak Karissa sambil menggerakkan bahunya supaya Damian bisa melepas.
Sorot Damian makin menajam, menatap hina perempuan di bawahnya ini. “Beginilah kelakuan manusia tidak tau diri. Aku memang jahat, tapi aku paham kesalahanku. Tidak sepertimu!”
Dengan kasar Damian merobeknya gaun sutra Karissa sampai bagian dada langsung terpampang jelas di depan mata.
"Jangan sentuh aku! Aku sudah tidak mau bersamamu lagi! Damian, berhenti! Perutku sedang sakit! Damian!”
Karissa tak pernah bisa menolak Damian dari dulu maupun saat ini. Dia tahu bahwa pria itu adalah penyelamat hidupnya. Luka bakar selebar telapak tangan yang terlihat di punggung kekar Damian adalah saksi bisu dari pengorbanan itu, sebuah bukti nyata yang tak pernah Karissa sangkal. Karena itulah apapun perlakuan Damian, dia mencoba untuk menerimanya. Namun, penerimaan itu sering kali terbalas oleh rasa perih. "Kamu menikmatinya, kan, hm?" bisik Damian dengan suaranya rendah dan penuh ejekan usai keduanya bergelung di ranjang.Karissa hanya menatap sayu pria yang masih berada di atasnya, enggan menjawab. Pria itu pun tersenyum miring, seolah mengolok. Nyatanya meski di awal Karissa menolak, tapi akhirnya ia luluh pada hasrat pria itu. Desahan, keringat, dan panggilan-panggilan lirih Karissa saat memenuhi hasrat biologis mereka adalah hiburan bagi Damian. Selebihnya, dia tak peduli. Bahkan ketika Karissa terlihat mendesis kesakitan sambil memegang perut saat dia melepas penyatuan, Da
Ini adalah pertama kali Karissa bertemu dengan Aiden, pria kecil berumur tiga tahun yang ternyata sangat tampan. Terlihat sekali bukan anak dari kalangan biasa.Lamunan Karissa tersentak ketika Aiden berteriak memanggil Damian dengan sebutan ‘Daddy’ sambil berlari kemudian memeluk kaki panjang pria yang memiliki tinggi 190cm itu. Dia mendongak dengan matanya yang berkaca-kaca.“Mommy jahat, aku tidak mau dibawa ke rumah sakit. Daddy tolong aku.”“Daddy?” beo Karissa menatap nanar suaminya.Damian hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Dia justru membungkuk untuk mengangkat Aiden ke dalam gendongannya. Meski tidak menunjukkan ekspresi hangat di wajah Damian untuk Aiden, tetap saja hati Karissa bergejolak. Seolah dia sedang ditampar oleh kenyataan di depan mata mengenai gosip yang beredar.Aiden anak biologis Damian.Karissa bahkan masih mematung, hanya netranya saja yang bergerak memperhatikan Damian membawa Aiden ke ruang makan kemudian duduk bersama Emma di sana. Ketika Emma menyadari
Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—""Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.Buru-buru Karissa mengusap air m
King’s Premier Hospital pagi ini nampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat utama rumah sakit yang seharusnya diadakan minggu depan, tapi mendadak asisten Damian mengabarkan rapat dimajukan siang nanti.“Kepala Spesialis Bedah sedang pergi, jadi dia memerintahkan Karissa menggantikannya,” ucap Shienna begitu masuk ke ruang tim bedah.Karissa yang tengah membicarakan masalah pasien dengan dokter senior pun mendongak.“Aku?” beonya menunjuk ke diri sendiri. Mungkin dia salah dengar.“Iya, Karissa Asterin.”“Tapi –“ Karissa menatap ada dua dokter senior di ruangan dan bukan sedang masuk jadwal praktek mereka. “Aku kan hanya dokter residen bedah. Biasanya dokter senior yang menggantikannya.”Gadis dengan rambut keriting itu mendekati Karissa lalu menyerahkan berkas laporan bulanan departmen bedah. “Pak kepala sendiri yang beri perintah. Kita bisa apa?”“Kamu dokter residen senior juga, Karissa. Banyak hal yang kamu ketahui untuk dilaporkan di rapat nanti,” ujar salah satu dokter bedah se
“Patriarki? Suami tak tau diri? Kampungan? Jelek?”Sederet kata yang terucap dari para staff di ruang rapat tadi langsung keluar dari mulut dingin Damian saat Karissa baru saja datang.Damian bersandar pada sisi meja kerja lalu tangannya dilipat di dada. Sorot itu tajam, menuntut Karissa untuk menjelaskan apa maksud cacian yang dilontarkan oleh mereka tadi.Wanita itu sejenak menatap heran suaminya. Dia kemudian cukup santai untuk mengangkat kedua bahunya. “Kalau merasa tersinggung. Bukankah status kita di sini bukan suami istri. Bahkan sebentar lagi pun kita bukan siapa-siapa.” Karissa menatap Damian tanpa rasa gentar. Baru kali ini dia seberani ini tanpa rasa ragu.Bahkan ketika rahang Damian makin mengeras akibat perkataannya, Karissa tak peduli. Hatinya seperti mati rasa dari hari ke hari oleh sikap Damian.“Aku tidak memulai gosip apapun. Mereka menilai sesuai dengan apa yang aku kerjakan di sini. Jadi mungkin kamu yang perlu introspeksi diri, kenapa mereka bisa menganggap aku m
Terdengar helaan napas dari sambungan telefon. “Aku tidak tau, sejak kemarin ayahmu mengkhawatirkanmu. Datanglah, besok adalah akhir pekan. Kamu bisa ke sini bersama Damian. Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja.”“T-Tapi ....” Karissa menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku memang ada rencana pulang untuk mengatakan sesuatu pada daddy.”“Sesuatu yang menggembirakan?”“Engh ... aku ....”Tidak sampai berucap, ponsel yang sebelumnya ada di genggaman Karissa kini sudah beralih ke tangan Damian.“Bibi Darla,” sapa Damian. Tidak ramah, tapi datar. Namun itu cukup membuat Darla sumringah di sana.“Damian? Ah, bibi rindu dengan kalian. Datanglah ke rumah besok akhir pekan. Mertuamu sakit-sakitan karena terlalu khawatir memikirkan putri satu-satunya.”“Ya, aku dan Karissa akan datang.”Karissa mendengar itu hanya menarik napasnya dalam-dalam. Sejak kapan Damian semudah ini mengiyakan keinginan keluarganya untuk datang ke rumah? Pria itu selalu ada cara untuk menolak dengan alasan sibuk.“Kamu i
Vincent terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Karissa dengan mata membola, menatap putrinya. “Ka-Kamu hamil, Karissa?” Tiga tahun menikah dengan Damian, akhirnya bisa mendengar kabar ini tentu Vincent terkejut dan bahagia.Karissa yang semula kaget dengan perkataan jujur Damian, perlahan dia pun tersenyum dan mengangguk. Tangannya juga ikut menyentuh perut yang masih belum terlalu terlihat membesar. “Iya, Daddy. Aku hamil.” Senyuman Vincent pun makin merekah. “Astaga, kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Dia segera berdiri, “Ini kabar baik! Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban dari Karissa, Vincent bergegas ke dapur. Darla yang baru saja keluar membawa nampan minuman, memandang Vincent dengan heran. “Vincent, ada apa?” Pria paruh baya yang setia memakai syal di leher itu menunjukkan wajah cerahnya. “Karissa hamil, Darla! Aku harus menyiapkan sesuatu untuknya.” Mata Darla ikut berbinar mendengar kabar itu. “Ya ampun, benar? Kalau begitu, kita harus memasak makanan yang seha
Kepergian Vincent dan Darla ke dapur bersamaan dengan suara dering panggilan masuk. Tentu membuat Karissa melirik pada ponsel milik Damian yang tergeletak di sofa, samping dirinya.Siapa lagi kalau bukan nama Emma yang terpampang di sana. Mungkin bila dihitung riwayat panggilan terbanyak di ponsel Damian, delapan puluh persen pasti berasal dari asistennya itu.“Tangan kananmu sedang diobati, biarkan saja dulu,” ucap Karissa yang kembali membalut telapak tangan Damian dengan kain kassa usai dibersihkan dan dioleh obat.Tak masalah bagi Damian, dia bisa mengambil benda pipih itu dengan tangan kirinya dan langsung mengangkat panggilan Emma tersebut.“Ya?” sahut Damian datar begitu ponsel menempel di daun telinganya.Rahang Damian seolah mengetat begitu mendengar sesuatu dari balik telefon. Dahinya pun mulai berkerut, diam, mendengarkan dengan seksama penjelasan Emma.“Di mana yang lain?” Damian kembali bersuara.“Hm, aku akan segera kesana – Argh ....” Damian mendadak mengeram pedih keti
“Tolong jangan lakukan apapun. Jangan ceritakan ini pada suamimu. Aku takut dia mengatakan pada Luciano dan berakhir nyawaku yang melayang.”Karissa sangat ingat tangan Shiena yang gemetaran ketika mengatakan semua.Karissa membuka matanya saat mendengar napas suaminya yang tenang di sampingnya.“Dia sudah tidur, kan?” tanyanya dalam hati.Karissa menoleh perlahan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajah lelaki itu. Luciano yang damai dalam tidur, namun tetap menyiratkan kegelapan yang tak pernah benar-benar hilang.Pelan, Karissa menyingkirkan tangan besar yang melingkar di perutnya.“Emh...” Luciano hanya merubah posissinya sedikit dan kembali terlelap.Karissa mulai bangkit, menahan napas agar tidak membangunkan pria itu. Tangannya terulur ke laci di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh benda lalu mengeluarkan.Kalung hitam yang diberikan oleh Ben dengan liontin berbentuk kepala serigala dan logo "W" terukir di dalamnya.Hatinya berdebar saat menatap benda itu di tel
Langkah Karissa terhenti ketika mendengar nama Luciano disebut. “Siapa yang berani menyebut nama itu di sini?” gumamnya.Saat ini, dia hendak mengambil jalan pintas menuju ke paviliun barat melewati taman yang sepi karena dekat dengan kamar jenazah. Dia penasaran dengan obrolan yang samar terdengar, Karissa pun mendekat.Orang yang pertama lihat adalah suaminya tengah meniupkan asapnya perlahan, lalu menyeringai sinis ke arah lawan bicaranya. "Damian, kamu di sini?" tanya Karissa memecah memecah keheningan. Keterkejutannya rupanya belum usai. Matanya membesar, napasnya tersengal melihat dua wajah identik yang terpampang di hadapannya."D-Damian? K-Kenapa kalian ada dua?!" Damian hanya menyeringai lebih lebar. Mata birunya bersinar seperti menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Karissa. "Permainan ini akan segera usai," bisik Damian rendah, terdengar berbahaya. Sebelum Karissa bisa bereaksi lebih jauh, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang. Sergio menghantam te
“Apa? Dokter Shiena diserang?”“Iya, Dok. Dia mengalami luka tusuk di perutnya. Wajahnya juga banyak memar karena dipukuli.”Pagi itu Karissa baru saja berangkat praktek. Siapa sangka pasien pertama yang menjadi tanggungjawabnya pagi ini adalah Shiena. Buru-buru dia memakai jas putih, diambilnya berkas yang diberikan oleh perawat untuk dia baca sebentar.“Tidak sampai operasi?” tanya Karissa membaca hasil tindakan kemarin.“Iya, Dok. Luka tidak sampai mengenai organ vital. Pendarahan juga bisa dihentikan. Jadi pasien cukup dijahit setelah pembersihan,” jawab perawat.Karissa mengangguk lalu bergegas pergi ke kamar rawat inap Shiena. Kedatangannya tentu membuat atensi Shiena dan Ben tertuju ke arah pintu.“Shiena ....” Karissa mempercepat langkahnya dan Ben reflek memundurkan kursi rodanya, memberi ruang untuk wanita itu mendekat.Di atas ranjang putih itu, Shiena terbaring dengan memar yang sangat kontras dengan kulit pucatnya. Selain memar, bibirnya sedikit sobek di sudut, dan ada pe
“Dua mafia besar memperbutkan kalung dengan makna cinta abadi.” Karissa mengeja salah satu judul artikel yang dia temukan.“Aku benar-benar penasaran. Huh, lagian dari mana Damian mendapatkan kalung ini? Pasti sangat mahal harganya.”Karissa sedang bersandar santai di sofa sambil menunggu artikel yang dia temukan itu terbuka. Aneh, kenapa loading-nya terlalu lama.“Apa internet sedang error?” Dia keluar ke balkon. Siapa tau cuaca mendung membuat signal internet jadi lelet.Saat artikel hampir terbuka tiba-tiba muncul notifikasi. “Halaman yang Anda buka tidak ditemukan.”Dia menggigit bibirnya kemudian membuka artikel lain. Hasilnya sama saja, halaman tidak bisa dibuka.“Apa HP-nya yang murahan?” gerutu Karissa membolak balikkan benda pipih itu. sedetik kemudian dia tersenyum smirk, mana mungkin suami dengan pemilik perusahaan raksasa itu memberikan barang murahan.Karena kesal, Karissa pun menyerah. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan muncul di notif bar layar benda pipih tersebut.[Ak
“Kau tak sanggup meninggalkannya karena terlalu mencintainya?” Vincent bisa melihat itu. Tatapan cinta Karissa terhadap suaminya nampak nyata.Sesungguhnya Vincent juga tidak tega. Namun bagaimana lagi. Pada akhirnya Karissa pun akan tersakiti. Bukan hanya hati, tapi juga fisik. Atau bahkan nyawa yang jadi taruhan.Karissa menunduk. “Aku pasti akan meninggalkannya,” jawabnya ragu.Pria paruh baya dengan beberapa keriput yang mulai nampak itu hanya menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia sudah mendengar jawaban yang dia inginkan, dan itu cukup untuk saat ini.Dia mengangkat tangannya lalu mengusap kepala putrinya. Hal itu cukup membuat hati Karissa kembali merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.“Kau sangat cantik meski sedang mengandung. Persis seperti ibumu.” Vincent sengaja mengalihkan topik pembicaraan demi merubah suasana hati ibu hamil ini.Karissa mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis. “Benarkah?”Vincent mengangguk samar. “Mulai sekarang daddy akan selalu
Vincent mendekati putrinya dan melepas kasar genggaman Karissa pada Aiden untuk dia gantikan. Membuat pria kecil itu nyaris terjatuh kalau saja pengasuh tidak menangkapnya.“Kita pergi. Seharusnya dari dulu daddy membawamu sebelum kamu sakit terlalu dalam,” ucap Vincent lalu menarik tangan Karissa.Aiden yang kebingungan akhirnya ikut bicara. “Apa aku berbuat salah, Tuan?” ucapnya masih dengan sisa sesegukan.Suara kecil itu membuat sekitar seketika membeku.“Aku tiba-tiba dipukul oleh nona itu.” Aiden menunjuk ke arah Darla. “Lalu Tuan memarahi Aunty. Apa karena aku memanggil dia Daddy? Kalau begitu aku tidak akan memanggilnya daddy lagi.”Karissa mana tega melihat sorot sendu Aiden. Dilepasnya genggaman ayahnya, tapi tak bisa.“Dad,” panggil Karissa dengan sorot permohonan.Dia sebenarnya heran, sebelum kejadian ini pun ayahnya sudah memintanya pergi dari kehidupan suaminya. Jadi terkesan kondisi ini terburu-buru bagi Karissa.“Damian sudah memberiku bukti tes DNA, Dad. Aiden bukan a
“Dulu kamu datang sebagai orang baru dalam kehidupan kami. Menjadi penyelamat dalam segala hal. Bahkan mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan Karissa.”Luciano hanya diam memperhatikan mertuanya yang sudah mulai bicara.“Seharusnya aku sudah curiga sejak dulu, kalau ada maksud di balik sikap baikmu itu pada kami. Bawa tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dari pemuda asing itu,” lanjut Vincent.Luciano membuka telapak tangan dari siku yang bersandar di bahu kursi. “Memang begitu.”Jawaban blak-blakan pria di depannya membuat Vincent makin menajamkan matanya.“Sejak awal, saya sudah mengincar Karissa. Seorang gadis cantik yang cocok untuk saya jadikan teman hidup,” jawab Luciano santai.Tatapan tajam Vincent pun meredup seketika. “Hanya itu?”Luciano jadi menaikkan satu alisnya. Jemarinya pun mengetuk-ngetuk ujung bahu sofa sambil mengamati mertuanya.“Pertanyaan Anda sejak tadi cukup menunjukkan, kalau ada yang sedang Anda sembunyikan, Tuan Vincent.”Tidak salah lagi. Aura pri
“P-Pergi? Kenapa, Dad?” Karissa terkesiap dengan ajakan Vincent yang mendadak.Pria paruh baya itu mencoba tetap tenang, meski dia sangat mengkhawatirkan masa depan Karissa. Apalagi ada bayi di kandungan yang pasti akan jadi incaran musuh setelah lahir nanti.Vincent meremas telapak Karissa, menyalurkan keinginananya tanpa bisa menjelasakan apapun. “Daddy hanya ingin kamu hidup tenang. Mungkin sekarang Damian nampak menyenangkan, tapi entah ke depannya. Daddy tak akan rela anak dan cucu daddy mendapat perlakuan buruk dari keluarga ini.”Bola mata bening itu bergerak bingung memperhatikan air muka ayahnya.“Aku bisa mengatasinya, Dad,” jawab Karissa kemudian. Meski kaku, dia tetap mencoba untuk tersenyum. “Apalagi ada Opa Hector yang selalu melindungiku. Dia sering memarahi Damian kalau ketahuan membuatku menangis.”“Ah, saat ini Opa Hector sedang ada di ibukota. Sebaiknya daddy dan opa bertemu dan saling mengenal.”“Dia baik padamu?” Vincent menaikkan satu alisnya tak percaya.Karissa
“Dia anak dari ketua mafia terbesar di Italia,” jawab Darla santai sambil menusuk daging asap lalu memakannya.Karissa lebih dulu mengusap punggung Vincent yang duduk di sebelahnya setelah tersedak tadi.“Siapa namanya?” tanya Karissa masih penasaran.“Hentikan obrolan tidak penting ini. Damian sudah memberimu hadiah itu, artinya itu sudah jadi milikmu dan tidak perlu ditanya asal usul yang sudah terlewat puluhan tahun lalu.”Darla tidak mau mendengarkan Vincent. Dia tetap bicara. “Aku betulan lupa namanya. Hanya tau asal negaranya. Kamu cari saja di internet. Lelangnya cukup melegenda, jadi pasti ada.”Karissa akhirnya mengangguk samar lalu melanjutkan makannya.Setelah selesai, Darla pergi ke taman ditemani beberapa pengawal. Sedangkan Vincent lebih dulu melihat-lihat di ruang terbuka seberang ruang makan sambil menunggu Karissa.Langkah Vincent terhenti saat melihat lukisan besar di tengan ruangan. Lukisan dua pria beda generasi.“Tuan Luther, maafkan saya. Saya kurang teliti dan t