Sudah hampir satu minggu menghilang dari hadapan Karissa. Mobil Rolls-Royce Phamtom berwarna Hitam Metalik dengan ukiran serigala hitam khusus di bagian depan, akhirnya memasuki gerbang yang berdiri tinggi dan kokoh itu.
Damian menandatangani kertas dengan nama Luciano King Wilbert di sana. Lalu dia berikan pada Emma, asistennya yang duduk di samping.
“Katakan pada Tuan Axton, meeting besok ditunda,” ucap Damian.
Emma menoleh bingung. “Tapi, Tuan. Bukannya besok –“
“Aku ada urusan.” Damian langsung keluar begitu anak buah di luar membukakan pintu mobil.
“Siapkan makan siang,” titah pria bertubuh tinggi kekar kepada Martha seraya melangkah masuk ke mansion yang jarang dia tempati itu. Bila dihitung, paling banyak 10 hari dalam satu bulan Damian tidur di bangunan megah ini. Selebihnya pria itu mengurus bisnis di berbagai tempat.
Dua pelayan yang berdiri di depan pintu pun membungkuk patuh. “Baik, Tuan!”
Bukan hanya pelayan, Emma pun ikut mengurus makan siang Damian. Dia ke dapur, menghangatkan makanan. Saat dia hendak menyeduh teh ramuan untuk Damian, Emma tidak menemukannya.
“Minuman Tuan Damian mana?” tanya Emma melihat isi dalam wadah tradisional berwarna coklat tanah liat, kosong.
Teh itu memang sengaja Karissa ramu untuk menjaga stamina Damian, dan ternyata suaminya suka. Jadi setiap kali Damian memberi kabar akan pulang, Karissa selalu menyiapkannya.
“Nyonya Karissa tidak membuatkannya lagi. Tapi di lemari pendingin masih ada beberapa daun yang perlu diracik,” ucap Martha yang nampak tidak suka pada Emma.
Emma berusaha mencari di internet cara menyeduh teh tersebut. Setelah dirasa warnanya persis seperti yang biasa Karissa buatkan, dia pun membawa bersama dengan makanan yang sudah dihangatkan.
“Silahkan, Tuan. Sejak pagi Anda belum makan.”
Suara Emma membuat pandangan Damian yang semula fokus pada ponselnya jadi terangkat. Dahinya berkerut tajam mencari seseorang yang seharusnya menyiapkan makanan untuknya. Setau dia siang ini bukan jadwal praktek Karissa di rumah sakit.
“Mana Karissa? Kenapa justru kamu yang ada di sini?”
Karena Emma tak bisa menjawab, dia pun menoleh pada pelayan lain.
“Anda lupa, Tuan? Nyonya Karissa sejak tiga hari lalu pergi ke rumah orang tuanya,” jawab Martha mengingatkan kalau dia sempat memberi kabar soal kepergian Karissa.
Dengan garis rahang yang mulai mengetat dan atmosfer ruangan ikut menegang, Damian segera mengecek room chat Karissa. Ya, tidak ada pesan apapun selama beberapa hari kecuali dua panggilan tak terjawab yang waktu itu dia abaikan. Padahal biasanya istrinya sangat cerewet mengingatkannya makan dan menanyakan kapan pulang.
Derit kursi terdengar ketika Damian tiba-tiba berdiri.
“Tuan, sebaiknya Anda mengisi perut lebih dulu. Lalu ramuan ini juga supaya kondisi Anda tetap baik.” Emma yang lebih dari 7x24 jam bersama Damian tentu paham kalau tuannya sedang lelah dan lapar.
Damian menatap tajam Emma dan Martha yang berdiri bersebelahan, membuat keduanya reflek menunduk tak berani menatap sorot menusuk itu.
Dilihatnya cangkir berisi teh hangat. Damian mengangkat gelas itu, sayangnya dari aromanya saja tidak pas dengan ramuan yang biasa Karissa buatkan.
“Singkirkan semuanya.” Dia meletakkan kasar cangkir itu di meja sampai semua isi tumpah, kemudian berbalik pergi.
Saat melewati empat anak buah yang berjaga di depan ruangan, Damian segera memberi perintah tanpa menghentikan langkahnya.
“Bawa Karissa ke hadapanku sebelum petang. Atau kepala kalian yang aku ledakkan!”
***
Sekitar 3 jam berlalu, Karissa sampai di mansion. Dipastikan Tony yang selama beberapa hari ini mengawal majikannya di rumah Vincent, membawa mobil super ngebut jadi bisa sampai lebih cepat dari perkiraan.
“Mana Damian?” Wajah Karissa terlihat sangat kesal setelah Martha menyambutnya di depan pintu.
Saat dia sedang menemani ayahnya yang belum benar-benar sembuh, Damian justru memaksanya pulang dengan mengancam akan memberi hukuman tembak pada Tony. Parahnya lagi, bukan Damian sendiri yang menjemput.
“Tuan ada di lantai dua, Nyonya,” jawab Martha.
Saat hendak masuk ke dalam lift, Karissa sempat melihat Emma yang sedang berjalan ke arah ruang baca. Ah, Karissa tak peduli dengan asisten itu. Dia sudah ingin menjumpai Damian lalu menjambak pria itu bila perlu.
Bunyi lift menyentak lamunan Karissa. Dia meremas sisi gaun maroonnya lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Damian!" panggilnya keras begitu sampai di ruang terbuka lantai dua.
Damian mengangkat pandangan dari senjata api yang sedang dia bersihkan. Pria itu selalu segar dan rupawan seperti biasa. Apalagi kalau berdiri terlihat sekali tubuh tinggi kekarnya sangat mempesona. Ya, biasanya Karissa terpesona dengan sosok yang dia cintai itu. Namun, tidak kali ini. Bahkan sepertinya dia rela melepas Damian sekarang juga.
"Apa maksudmu memaksaku pulang? Aku bukan sedang pergi bermain, Damian! Aku masih ingin merawat ayahku!”
Damian hanya menatap datar wanita yang berdiri dengan bersungut-sungut. Wajah Karissa putih seperti porselen. Memiliki bentuk kecil tapi seksi, cantik juga lembut seperti putri kerajaan yang selalu dirawat dan dijaga.
Biasanya Karissa akan menatapnya penuh damba dan selalu menurut. Namun, kali ini akhirnya Damian melihat istrinya itu begitu emosi. Lalu, apa dia peduli? Tidak! Damian bahkan kembali menunduk guna membersikan senjata api memakai kain kecil lalu meniupnya.
"Pergi ke dapur, lakukan tugasmu,” ucap lelaki itu tanpa menatap.
Karissa terkekeh pilu. "Aku bukan pelayanmu!”
“Kamu istriku, jadi lakukan tugasmu.”
“Tsh!” Karissa tersenyum miring. “Mana ada suami yang meminta istri sahnya menggugurkan kandungan?” Senyuman itu memudar, berganti dengan tatapan jijik. “Kecuali kamu sudah memiliki anak dari wanita lain. Jadi tidak lagi menginginkan anak dariku.”
Damian hanya berhenti mengusap senjatanya, tapi berapa detik setelahnya belum juga merespo. Pria itu kini membuka laci kemudian meletakkan senjata di dalam.
“Diam? Jadi benar kamu sudah berselingkuh?” Mata Karissa mulai memerah ingin menangis karena teringat dengan pengkhianatan yang Damian lakukan. “Benar kamu sudah memiliki anak dengannya?”
“Kalau memang benar, kamu sungguh murahan! Mengobral hasratmu dengan wanita selain istri sendiri!”
Kali ini ucapan Karissa berhasil memancing serigala di dada Damian. Rahang pria itu mengeras, pun matanya yang menajam seperti seekor Elang yang baru menemukan mangsanya. "Mulutmu makin lancang sekarang. Kau lupa siapa aku?"
Karissa mengangkat dagunya tinggi. Rasa sakit akibat perlakuan suaminya serta luka batin yang semakin hari semakin menumpuk membuatnya berani berbicara.
"Siapa peduli? Kau saja tidak memiliki hati untuk menyambut anak kita di rahimku. Lalu dengan enaknya bercinta di kamar yang biasa kita tiduri. Orang sekeji dirimu apa masih harus aku hormati?”
Cukup dengan dua langkah lebar Damian sudah bisa membuatnya mencengkeram rahang Karissa. "Hati-hati dengan ucapanmu, Karissa!"
Mata Karissa memejam merasakan sakit di rahang kecilnya. Berbanding terbalik dengan tangan Damian yang lebih besar dan kuat. "Aku sudah cukup sabar selama ini.”
Jemari-jemari panjang dan kekar itu makin mengeras. Damian tidak suka kalau Karissa menentang seperti ini.
Wanita itu pun kembali membuka matanya usai memantapkan keputusan. “Jadi, kali ini aku menyerah. Aku akan mengurus perceraian kita ke – akh!”
Karissa memekik ketika tubuhnya dihempas ke atas sofa.
Dia lepas jas hitam dan membuang sembarangan. Dengan cepat, dia langsung membungkuk dan menekan bahu Karissa supaya tidak kabur.
“Kau bilang apa? Cerai? Sampai mati pun aku akan tetap mengejarmu ke neraka untuk membayar kesalahanmu, Karissa!” Suara emosi Damian menggelegar.
“Kesalahan apa? Kamu selalu mengatakan kesalahan tapi kamu tidak pernah menjelaskan apa kesalahanku selama ini, Damian?!” teriak Karissa sambil menggerakkan bahunya supaya Damian bisa melepas.
Sorot Damian makin menajam, menatap hina perempuan di bawahnya ini. “Beginilah kelakuan manusia tidak tau diri. Aku memang jahat, tapi aku paham kesalahanku. Tidak sepertimu!”
Dengan kasar Damian merobeknya gaun sutra Karissa sampai bagian dada langsung terpampang jelas di depan mata.
"Jangan sentuh aku! Aku sudah tidak mau bersamamu lagi! Damian, berhenti! Perutku sedang sakit! Damian!”
Karissa tak pernah bisa menolak Damian dari dulu maupun saat ini. Dia tahu bahwa pria itu adalah penyelamat hidupnya. Luka bakar selebar telapak tangan yang terlihat di punggung kekar Damian adalah saksi bisu dari pengorbanan itu, sebuah bukti nyata yang tak pernah Karissa sangkal. Karena itulah apapun perlakuan Damian, dia mencoba untuk menerimanya. Namun, penerimaan itu sering kali terbalas oleh rasa perih. "Kamu menikmatinya, kan, hm?" bisik Damian dengan suaranya rendah dan penuh ejekan usai keduanya bergelung di ranjang.Karissa hanya menatap sayu pria yang masih berada di atasnya, enggan menjawab. Pria itu pun tersenyum miring, seolah mengolok. Nyatanya meski di awal Karissa menolak, tapi akhirnya ia luluh pada hasrat pria itu. Desahan, keringat, dan panggilan-panggilan lirih Karissa saat memenuhi hasrat biologis mereka adalah hiburan bagi Damian. Selebihnya, dia tak peduli. Bahkan ketika Karissa terlihat mendesis kesakitan sambil memegang perut saat dia melepas penyatuan, Da
Ini adalah pertama kali Karissa bertemu dengan Aiden, pria kecil berumur tiga tahun yang ternyata sangat tampan. Terlihat sekali bukan anak dari kalangan biasa.Lamunan Karissa tersentak ketika Aiden berteriak memanggil Damian dengan sebutan ‘Daddy’ sambil berlari kemudian memeluk kaki panjang pria yang memiliki tinggi 190cm itu. Dia mendongak dengan matanya yang berkaca-kaca.“Mommy jahat, aku tidak mau dibawa ke rumah sakit. Daddy tolong aku.”“Daddy?” beo Karissa menatap nanar suaminya.Damian hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Dia justru membungkuk untuk mengangkat Aiden ke dalam gendongannya. Meski tidak menunjukkan ekspresi hangat di wajah Damian untuk Aiden, tetap saja hati Karissa bergejolak. Seolah dia sedang ditampar oleh kenyataan di depan mata mengenai gosip yang beredar.Aiden anak biologis Damian.Karissa bahkan masih mematung, hanya netranya saja yang bergerak memperhatikan Damian membawa Aiden ke ruang makan kemudian duduk bersama Emma di sana. Ketika Emma menyadari
Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—""Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.Buru-buru Karissa mengusap air m
King’s Premier Hospital pagi ini nampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat utama rumah sakit yang seharusnya diadakan minggu depan, tapi mendadak asisten Damian mengabarkan rapat dimajukan siang nanti.“Kepala Spesialis Bedah sedang pergi, jadi dia memerintahkan Karissa menggantikannya,” ucap Shienna begitu masuk ke ruang tim bedah.Karissa yang tengah membicarakan masalah pasien dengan dokter senior pun mendongak.“Aku?” beonya menunjuk ke diri sendiri. Mungkin dia salah dengar.“Iya, Karissa Asterin.”“Tapi –“ Karissa menatap ada dua dokter senior di ruangan dan bukan sedang masuk jadwal praktek mereka. “Aku kan hanya dokter residen bedah. Biasanya dokter senior yang menggantikannya.”Gadis dengan rambut keriting itu mendekati Karissa lalu menyerahkan berkas laporan bulanan departmen bedah. “Pak kepala sendiri yang beri perintah. Kita bisa apa?”“Kamu dokter residen senior juga, Karissa. Banyak hal yang kamu ketahui untuk dilaporkan di rapat nanti,” ujar salah satu dokter bedah se
“Patriarki? Suami tak tau diri? Kampungan? Jelek?”Sederet kata yang terucap dari para staff di ruang rapat tadi langsung keluar dari mulut dingin Damian saat Karissa baru saja datang.Damian bersandar pada sisi meja kerja lalu tangannya dilipat di dada. Sorot itu tajam, menuntut Karissa untuk menjelaskan apa maksud cacian yang dilontarkan oleh mereka tadi.Wanita itu sejenak menatap heran suaminya. Dia kemudian cukup santai untuk mengangkat kedua bahunya. “Kalau merasa tersinggung. Bukankah status kita di sini bukan suami istri. Bahkan sebentar lagi pun kita bukan siapa-siapa.” Karissa menatap Damian tanpa rasa gentar. Baru kali ini dia seberani ini tanpa rasa ragu.Bahkan ketika rahang Damian makin mengeras akibat perkataannya, Karissa tak peduli. Hatinya seperti mati rasa dari hari ke hari oleh sikap Damian.“Aku tidak memulai gosip apapun. Mereka menilai sesuai dengan apa yang aku kerjakan di sini. Jadi mungkin kamu yang perlu introspeksi diri, kenapa mereka bisa menganggap aku m
Terdengar helaan napas dari sambungan telefon. “Aku tidak tau, sejak kemarin ayahmu mengkhawatirkanmu. Datanglah, besok adalah akhir pekan. Kamu bisa ke sini bersama Damian. Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja.”“T-Tapi ....” Karissa menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku memang ada rencana pulang untuk mengatakan sesuatu pada daddy.”“Sesuatu yang menggembirakan?”“Engh ... aku ....”Tidak sampai berucap, ponsel yang sebelumnya ada di genggaman Karissa kini sudah beralih ke tangan Damian.“Bibi Darla,” sapa Damian. Tidak ramah, tapi datar. Namun itu cukup membuat Darla sumringah di sana.“Damian? Ah, bibi rindu dengan kalian. Datanglah ke rumah besok akhir pekan. Mertuamu sakit-sakitan karena terlalu khawatir memikirkan putri satu-satunya.”“Ya, aku dan Karissa akan datang.”Karissa mendengar itu hanya menarik napasnya dalam-dalam. Sejak kapan Damian semudah ini mengiyakan keinginan keluarganya untuk datang ke rumah? Pria itu selalu ada cara untuk menolak dengan alasan sibuk.“Kamu i
Vincent terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Karissa dengan mata membola, menatap putrinya. “Ka-Kamu hamil, Karissa?” Tiga tahun menikah dengan Damian, akhirnya bisa mendengar kabar ini tentu Vincent terkejut dan bahagia.Karissa yang semula kaget dengan perkataan jujur Damian, perlahan dia pun tersenyum dan mengangguk. Tangannya juga ikut menyentuh perut yang masih belum terlalu terlihat membesar. “Iya, Daddy. Aku hamil.” Senyuman Vincent pun makin merekah. “Astaga, kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Dia segera berdiri, “Ini kabar baik! Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban dari Karissa, Vincent bergegas ke dapur. Darla yang baru saja keluar membawa nampan minuman, memandang Vincent dengan heran. “Vincent, ada apa?” Pria paruh baya yang setia memakai syal di leher itu menunjukkan wajah cerahnya. “Karissa hamil, Darla! Aku harus menyiapkan sesuatu untuknya.” Mata Darla ikut berbinar mendengar kabar itu. “Ya ampun, benar? Kalau begitu, kita harus memasak makanan yang seha
Kepergian Vincent dan Darla ke dapur bersamaan dengan suara dering panggilan masuk. Tentu membuat Karissa melirik pada ponsel milik Damian yang tergeletak di sofa, samping dirinya.Siapa lagi kalau bukan nama Emma yang terpampang di sana. Mungkin bila dihitung riwayat panggilan terbanyak di ponsel Damian, delapan puluh persen pasti berasal dari asistennya itu.“Tangan kananmu sedang diobati, biarkan saja dulu,” ucap Karissa yang kembali membalut telapak tangan Damian dengan kain kassa usai dibersihkan dan dioleh obat.Tak masalah bagi Damian, dia bisa mengambil benda pipih itu dengan tangan kirinya dan langsung mengangkat panggilan Emma tersebut.“Ya?” sahut Damian datar begitu ponsel menempel di daun telinganya.Rahang Damian seolah mengetat begitu mendengar sesuatu dari balik telefon. Dahinya pun mulai berkerut, diam, mendengarkan dengan seksama penjelasan Emma.“Di mana yang lain?” Damian kembali bersuara.“Hm, aku akan segera kesana – Argh ....” Damian mendadak mengeram pedih keti
“Damian sudah pulang?” tanya Karissa pada pengawal yang berjaga di depan kamarnya.“Belum, Nyonya,” jawab salah satu dari dua orang di sana.Karissa baru saja selesai mengurus Aiden. Sejak dia pulang ke mansion pagi tadi, Aiden sering rewel menanyakan Damian. Tidak biasanya. Sampai sekarang, pukul 10 malam akhirnya Aiden bisa tidur setelah minum obat. Itu pun sangat sulit membujuk.“Ada yang Anda butuhkan, Nyonya?” tanya penjaga karena Karissa masih diam berdiri di lorong antara kamar utama dan kamar Aiden.“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Damian? Kalian tidak mungkin tidak tau apa-apa.” Karissa memperhatikan gelagat dua pria itu. sayangnya mereka justru bingung.“Kami tidak mendengar apapun, Nyonya. Kami hanya tau Tuan Damian pergi bekerja seperti biasa.”Apa yang dikatakan penjaga ini tidak ada yang salah. Lagi pula sudah biasa kan Damian pulang malam, bahkan tak pulang berhari-hari. Hanya saja, kenapa Karissa merasa tak tenang. Ditambah Aiden yang seolah ikut merasakan ada sesu
Ben menatap Karissa dengan mata berkilat. Senyum liciknya juga melengkung samar ketika perempuan di depannya mulai meminum jeruk hangat yang dia buat.“Habiskan, Karissa. Jika kurang, aku bisa membuatkannya lagi,” ucap Ben, kemudian dia meminum minumannya sendiri dengan tenang.“Kak ....” Panggilan dari kamar menarik atensi mereka berdua.Karissa yang sudah menghabiskan setengah gelas berniat beranjak.“Biar aku saja. Kamu habiskan makanan dan minumannya,” cegah Ben.Baiklah, Karissa menurut. Dia kembali memakan sup sambil sesekali melihat ke arah pintu. Sangat berharap Shiena tidak kenapa-kenapa di sana.“Aku jadi rindu Daddy,” gumamnya.Dia ingat ibunya yang telah tiada, jadinya ingat sang ayah di sana. Apa kabar ayahnya? Sejak dia mengirim uang 2 milyar, Darla tak pernah lagi menghubunginya. Vincent pun hanya mengabarkan seperlunya.Lalu Damian.Entah mengapa sejak dia merasa kepala tiba-tiba pusing, hatinya terus merasa resah dan terus memikirkan suaminya itu.“Untuk apa aku mengkh
Kini Damian akan mengetahui siapa yang sudah menguntit Karissa akhir-akhir ini.Hampir saja Damian menarik masker pria itu, lebih dulu ada sebuah pukulan dari benda berat menghantam belakang kepalanya dengan hebat.“Aggh!”Dengan rasa sakit yang luar biasa itu Damian masih sempat berbalik ke belakang untuk melawan. Sialnya, musuh dengan wajah tertutup masker itu langsung melempar bubuk bius ke wajah Damian.Meski Damian langsung menutup hidung dengan tangan, tetap saja sudah ada bubuk dosis tinggi yang terhirup. Membuat tenaga pria itu perlahan meredup. Kaki yang biasa kuat, kini hanya bisa sempoyongan saat berusaha menggapai orang itu.Sampai pandangan matanya memudar. Tak lama, Damian pun ambruk tak sadarkan diri.***Sementara di rumah duka, entah kenapa Karissa tersentak karena belakang kepalanya mendadak berdenyut.“Kamu kenapa, Karissa?” tanya Ben yang ada di samping perempuan itu.Karissa m
Sekelebat bayangan hitam membuat sudut mata tajam Damian melirik ke kanan, hanya saja dia tidak menghentikan langkahnya menuju mobil.“Waspada ke arah jam tiga,” ucap Damian pada pengawal yang ada di belakangnya, tanpa menoleh.Meski banyak mobil di parkiran, tapi instingnya terlalu kuat untuk memastikan ada yang sedang mengintainya terlalu dekat.Pengawal itu pun segera memberi kabar pada anak buah lain di area sana melalui earpiece yang menempel di masing-masing anak buah.Tak lama, sebelum pintu mobil dibuka, anak buahnya sudah mendekat lalu menunjukkan foto yang dikirim oleh anak buah yang lain.“Siapa?” gumamnya sembari memperbesar gambar di layar.Dari postur tubuh tinggi besar, memastikan kalau yang sedang mengawasinya adalah seorang pria. Dia memakai topi dan masker. Lalu coat tebal dengan warna serba hitam.Damian jadi ingat, Tony pernah melaporkan ada seseorang yang memberikan Karissa ice cream tiba-tiba. Dia pun mengetuk sekali kaca mobil. Tony yang di dalam pun segera kelua
Suara Karissa membuat Damian mengangkat pandangannya. Dilirik lagi layar ponsel di genggamannya, loading 98%, bersamaan dengan langkah kaki Karissa yang makin mendekat.“Kamu sangat mencurigakan,” ucap Karissa lagi dari belakang.Dalam satu gerakan, Damian melepas boxspy dan melempar ponsel Ben ke tong sampah tepat di samping kaki kanannya.Berbalik dengan tenang sembari memasukkan dua tangan ke dalam saku celana sekaligus benda kecil dalam genggamannya tadi, Damian menatap wajah cantik Karissa dengan alis tebalnya yang menukik samar."Kenapa? Kamu takut aku menghilang?"“Memangnya siapa yang berani menculik seorang Damian Morgan? Aku hanya khawatir kamu melakukan hal aneh.”Damian tiba-tiba maju satu langkah, lalu satu tangannya menarik pinggang sang istri. “Aneh seperti ini?” bisiknya.Karissa yang panik seketika mendorong dada bidang Damian. “Aku menyesal bertemu denganmu di sini.” Wanita cantik bergaun hitam tersebut memilih buru-buru masuk ke toilet wanita yang ada di sebelah kiri
“Jadi Anda salah satu korban diledakan kapal saat itu? Saya hanya mendengar sedikit ada kecelakaan di pelabuhan. Tak menyangka kalau keluarga dari staff di rumah sakit saya turut menjadi korban,” ucap Damian datar.Melihat kakaknya tak merespon, hanya menatap Damian. Shiena pun langsung memecah ketegangan. “Kak, ini Tuan Damian. Kepala rumah sakit tempatku bekerja.” Sebuah kehormatan atas datangnya orang tertinggi di tempatnya bekerja.Sebab, selama ini Damian tak pernah hadir di acara duka maupun acara pesta keluarga staff medis. Jadi Shiena tidak mau meninggalkan kesan buruk untuk Damian.“Terimakasih atas kedatangan Anda, Tuan.”Ben mengulurkan tangan, tapi tidak Damian sambut. Pria yang berdiri menjulang tinggi itu hanya menurunkan kepalanya sedikit. “Saya turut berduka cita.”“Tidak, sopan!” gumam Ben lirih sambil menundukkan kepalanya.Shiena lantas menyentuh lengan kanan Karissa dan menunjukkan pada Ben."Aku belum pernah cerita ke kakak. Dia ini Karissa, sahabat sekaligus reka
“Aku masuk lebih dulu, ya?” Karissa ingin kali ini saja Damian menurut.Wanita itu melihat ke area sana. Funeral Home di pinggir dataran benua Eropa itu begitu ramai oleh staff medis dan pelayat lain yang datang mengulurkan tangan sebagai tanda belasungkawa pada keluarga Shiena.“Ada dokter senior juga.”“Turunlah lebih dulu.”Bibir Karissa pun tersenyum tipis karena Damian tak memaksa. “Terimakasih.”Hadir mengenakan dress tertutup serba hitam, Karissa yang turun dari Rolls-Royce hitam dikawal oleh empat bodyguard bertubuh kekar menuju pintu masuk. Dia melanjutkan langkahnya sendiri mendekati altar duka, tempat monumen kecil jenazah ibunda Shiena berada.Di ujung sana, manik mata Karissa dapat melihat begitu jelas bagaimana lemasnya Shiena yang terduduk di kursi paling depan, berhadapan langsung dengan peti mati ibunya.Hati Karissa teriris pilu tatkala Shiena menengok ke arahnya dengan tatapan kosong juga kantung matanya yang menghitam juga sembab."Karissa, ibuku ..." lirih Shiena
“Akh ....” Karissa terkesiap ketika Damian tiba-tiba meremas kedua sisi panggulnya dengan tangan lebar itu.“Kau sedang cari ayah pengganti bayiku?” tanyanya tajam.Damian tentu ingat gerutuan Karissa malam itu yang sedang mengumpatnya di depan pengawal, mengenai ayah baru untuk anak mereka. Meski Luciano adalah dirinya sendiri, tetap saja Damian tak rela istrinya mengagumi lelaki lain.“I-Ini tangan kamu lepas dulu.” Karissa melepas tangan Damian yang sedang menyentuhnya. Kemudian dia menggeser posisi supaya mereka tidak terlalu dekat.“Aku mana ada selingkuh. A-Aku butuh kontak Luciano karena ada kebutuhan,” cetus Karissa sambil merapikan dress akibat tangan kekar yang baru menyentuhnya.Damian memiringkan kepalanya. Menyorot lekat netra Karissa yang memancarkan keraguan. "Untuk?"Netra Karissa jadi sendu melihat ke arah lain, membayangkan posisi Shiena saat ini. “Ibu Shiena baru saja meninggal.”“Apa hubungannya dengan Luciano?”Pertanyaan Damian merubah tatapan sendu Karissa jadi t
Karissa membaca tes DNA terbaru. Hasilnya sesuai dengan apa yang suaminya katakan waktu itu, Aiden bukan anak biologis Damian.“Hidupku sebercanda ini kah? Entah mana yang harus aku percaya.”“Hati Anda lebih percaya yang mana, Nyonya?” tanya Martha yang sejak tadi berdiri di samping Karissa.Wanita dengan dress selutut itu hanya menghela napas sembari meletakkan kertas dan amplop berlogo resmi di kursi kosong sampingnya. Pandangannya kini lurus ke depan, melihat Aiden yang mulai memiliki banyak tenaga untuk berlarian mengejar kelinci di atas rerumputan.Sudah satu minggu Karissa di mansion. Kerjaannya hanya merawat Aiden, merawat diri, juga merawat kelinci-kelinci. Bosan, tentu.Dia sudah mengatakan pada kepala departemen untuk mencabut cutinya. Namun, bukan mendapatkan jadwal praktek lagi, Karissa justru diberi tambahan jadwal merawat Aiden setiap harinya. Yang artinya, Karissa sekarang murni sebagai dokter pribadi yang bekerja langsung di rumah pasien bukan di rumah sakit.“Dia sang