Karissa tak pernah bisa menolak Damian dari dulu maupun saat ini. Dia tahu bahwa pria itu adalah penyelamat hidupnya. Luka bakar selebar telapak tangan yang terlihat di punggung kekar Damian adalah saksi bisu dari pengorbanan itu, sebuah bukti nyata yang tak pernah Karissa sangkal. Karena itulah apapun perlakuan Damian, dia mencoba untuk menerimanya.
Namun, penerimaan itu sering kali terbalas oleh rasa perih.
"Kamu menikmatinya, kan, hm?" bisik Damian dengan suaranya rendah dan penuh ejekan usai keduanya bergelung di ranjang.
Karissa hanya menatap sayu pria yang masih berada di atasnya, enggan menjawab. Pria itu pun tersenyum miring, seolah mengolok. Nyatanya meski di awal Karissa menolak, tapi akhirnya ia luluh pada hasrat pria itu.
Desahan, keringat, dan panggilan-panggilan lirih Karissa saat memenuhi hasrat biologis mereka adalah hiburan bagi Damian. Selebihnya, dia tak peduli. Bahkan ketika Karissa terlihat mendesis kesakitan sambil memegang perut saat dia melepas penyatuan, Damian tetap tampak tak acuh.
Pria itu turun dari ranjang dengan santai, menyambar jubah sutra yang terlipat rapi di atas nakas. Sambil mengikat tali jubahnya, Damian melontarkan kalimat yang membuat dada Karissa sesak.
"Sudah aku duga kualitasmu menurun saat ada janin di perutmu. Itu sebabnya aku tak suka."
Karissa terkesiap, jemarinya mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. "Kamu lebih mementingkan hasratmu, Damian?" tanyanya dengan suara bergetar.
Damian tak menjawab. Ia melangkah ke arah balkon, berniat menikmati cerutu sambil memandangi langit sore. Namun, langkahnya terhenti saat pintu kamar diketuk. Dengan gerakan santai, Damian membuka pintu melihat Martha berdiri di sana dengan kepala tertunduk.
"Ada apa?" tanya Damian dingin.
"Tuan Hector datang berkunjung," jawab Martha, tak berani menatap Damian secara langsung, terutama saat tubuh majikannya masih basah oleh keringat.
Damian melirik ke arah Karissa sekilas. Semua penghuni mansion tahu betapa Hector, kakeknya, sangat menyayangi Karissa. Kedatangan pria tua itu jelas bukan untuknya, melainkan untuk cucu menantunya.
"Tuan Hector mendapat kabar bahwa Nyonya..." Martha melirik singkat ke arah Karissa sebelum kembali menunduk. "... Nyonya hamil."
Tatapan Damian berubah dingin penuh cemooh. Tanpa ada perkataan apapun, sorot itu sudah bisa menjelaskan apa yang ada dipikiran suaminya.
"A-Aku tidak memberitahu apa pun pada Opa Hector," kata Karissa cepat, suaranya penuh tekanan.
Damian mendengus pelan sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata lagi.
***
"Cucuku... oh, kenapa wajahmu pucat? Apa Damian tidak merawatmu dengan benar, hm?"
Suara Hector terdengar hangat saat pria tua itu berdiri di ruang tamu dengan tongkat kayu di tangannya. Meskipun usianya telah mencapai delapan puluh tahun, posturnya tetap gagah. Ia membuka satu tangannya, mengundang Karissa untuk mendekat.
"Aku baik-baik saja, Opa," jawab Karissa memaksakan senyuman sembari memeluk Hector sesaat.
"Apa Damian tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita hamil? Kalau tidak, aku akan menegurnya," katanya dengan nada setengah bercanda.
Karissa hanya bisa tersenyum tipis kemudian mengikuti Hector ketika pria itu mengarahkan untuk duduk bersama di sofa besar yang empuk.
"Sudah berapa lama?" tanya Hector menatap perut Karissa yang belum nampak buncit.
"Delapan minggu," jawab Karissa pelan.
“Ah, hahaha. Apa kamu tau? Aku sangat senang ketika mendengar kabar ini.” Hector tertawa kecil memperlihatkan pancaran bahagia di mata tua pria ini. “Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu tahu, Karissa, bayi ini adalah penerus keluarga kita. Aku tidak sabar menantikannya."
Reaksi seperti ini yang Karissa inginkan dari Damian. Namun, ternyata yang berbahagia adalah Hector sendiri.
“Opa,” panggil Karissa. Jemarinya yang mungil sibuk memilin satu sama lain, tanda ia tengah bergelut dengan keraguan.
Hector meletakkan cangkir teh yang baru saja disesapnya, lalu menatap Karissa lagi. "Iya, ada apa?"
"Sebelumnya aku minta maaf karena aku belum bisa menjadi menantu yang sempurna untuk keluarga ini. Mungkin karena itu juga Damian—"
“Ekhem!”
Suara deheman Damian memotong kalimat Karissa. Pria itu baru saja muncul, mengenakan kemeja kasual yang rapi. Ia berjalan santai lalu duduk di sofa single dekat istrinya.
"Bagaimana pengobatannya? Apa berjalan lancar?" Damian berbicara pada Hector dengan datar seperti biasa.
"Opa sakit?" tanya Karissa terkejut dengan kabar ini. Dia hanya tau kalau Hector terkenal pria yang tangguh dan jarang sakit.
Hector tersenyum kecil, lalu mengangguk ringan. "Ah, hanya penyakit tua. Jangan khawatir, Karissa." Pria tua itu mengusap lehernya yang terasa pegal. "Setiap malam opa takut tidur terlalu pulas. Siapa tahu, mungkin aku tak akan bisa melihat pagi lagi."
"Opa, jangan bicara seperti itu," Karissa menimpali dan matanya mulai berkaca-kaca.
Hector tertawa kecil, mencoba mengurangi kecemasan Karissa. "Yang penting kamu jaga kandunganmu, Karissa. Setidaknya sebelum opa meninggal, aku ingin melihat bayi kalian lahir. Aku ingin memeluk cucu buyutku yang cantik atau tampan."
Perkataan Hector membuat Karissa refleks menoleh ke arah Damian, berharap ia akan merespons dengan sesuatu yang hangat. Namun, pria itu tetap diam, ekpresinya datar tanpa emosi.
"Oh iya, tadi kamu mau bilang sesuatu?" Hector kembali menoleh ke Karissa, menanti kelanjutan pembicaraan yang sempat terputus.
Karissa tergagap. "E-eee... Tidak, Opa. Aku lupa tadi mau bilang apa," jawabnya dengan nada kikuk. Mana mungkin dia berkata akan mengajukan cerai di saat kesehatan Hector sedang tidak baik. Sedangkan, selama ini Hector sudah mengusahakan yang terbaik untuknya.
Pria yang wajahnya sudah penuh kerutan itu menyipitkan mata, seolah mencoba membaca pikiran Karissa. "Yakin? Tidak ada yang kamu sembunyikan?" tanyanya dengan suara rendah.
Karissa memaksakan tawa kecil. "Benar, Opa. Tidak ada apa-apa."
Perbincangan singkat itu berakhir saat matahari sudah terbenam. Mereka sempat makan malam sebelum akhirnya Hector memilih pergi karena ada urusan.
“Karissa, Opa ingatkan. Kalau Damian macam-macam, bilang padaku. Dia harus mendapat hukuman kalau sampai membuat kamu dan bayimu celaka.” Kalimat itu terucap sebelum mobil hitam pergi dari halaman luas di sana.
“Kamu selalu memintaku berhati-hati dalam berkata di depan ayahmu, karena dia memiliki penyakit jantung.”
Perkataan itu menarik netra Karissa untuk menoleh ke samping.
“Hati-hatilah berkata di depan Opa. Kalau dia terluka karena ucapanmu, aku pun akan melakukan hal yang sama pada ayahmu,” lanjut Damian dengan nada dinginnya.
Saat begitu ponsel Damian berbunyi. Nama Emma sudah langsung bisa Karissa lihat saat pria itu hendak mengangkat panggilannya.
“Iya, aku ke sana,” jawab Damian singkat dan tetap dingin ketika seseorang bicara di sambungan telefon.
“Kemana?” cegah Karissa menahan tangan Damian yang akan pergi.
“Aiden sakit.” Damian melanjutkan langkahnya saat Karissa terpaku mendengar nama anak itu. Aiden adalah anaknya Emma.
“Aku dokter! Aku bisa mengobatinya!”Ini adalah pertama kali Karissa bertemu dengan Aiden, pria kecil berumur tiga tahun yang ternyata sangat tampan. Terlihat sekali bukan anak dari kalangan biasa.Lamunan Karissa tersentak ketika Aiden berteriak memanggil Damian dengan sebutan ‘Daddy’ sambil berlari kemudian memeluk kaki panjang pria yang memiliki tinggi 190cm itu. Dia mendongak dengan matanya yang berkaca-kaca.“Mommy jahat, aku tidak mau dibawa ke rumah sakit. Daddy tolong aku.”“Daddy?” beo Karissa menatap nanar suaminya.Damian hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Dia justru membungkuk untuk mengangkat Aiden ke dalam gendongannya. Meski tidak menunjukkan ekspresi hangat di wajah Damian untuk Aiden, tetap saja hati Karissa bergejolak. Seolah dia sedang ditampar oleh kenyataan di depan mata mengenai gosip yang beredar.Aiden anak biologis Damian.Karissa bahkan masih mematung, hanya netranya saja yang bergerak memperhatikan Damian membawa Aiden ke ruang makan kemudian duduk bersama Emma di sana. Ketika Emma menyadari
Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—""Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.Buru-buru Karissa mengusap air m
King’s Premier Hospital pagi ini nampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat utama rumah sakit yang seharusnya diadakan minggu depan, tapi mendadak asisten Damian mengabarkan rapat dimajukan siang nanti.“Kepala Spesialis Bedah sedang pergi, jadi dia memerintahkan Karissa menggantikannya,” ucap Shienna begitu masuk ke ruang tim bedah.Karissa yang tengah membicarakan masalah pasien dengan dokter senior pun mendongak.“Aku?” beonya menunjuk ke diri sendiri. Mungkin dia salah dengar.“Iya, Karissa Asterin.”“Tapi –“ Karissa menatap ada dua dokter senior di ruangan dan bukan sedang masuk jadwal praktek mereka. “Aku kan hanya dokter residen bedah. Biasanya dokter senior yang menggantikannya.”Gadis dengan rambut keriting itu mendekati Karissa lalu menyerahkan berkas laporan bulanan departmen bedah. “Pak kepala sendiri yang beri perintah. Kita bisa apa?”“Kamu dokter residen senior juga, Karissa. Banyak hal yang kamu ketahui untuk dilaporkan di rapat nanti,” ujar salah satu dokter bedah se
“Patriarki? Suami tak tau diri? Kampungan? Jelek?”Sederet kata yang terucap dari para staff di ruang rapat tadi langsung keluar dari mulut dingin Damian saat Karissa baru saja datang.Damian bersandar pada sisi meja kerja lalu tangannya dilipat di dada. Sorot itu tajam, menuntut Karissa untuk menjelaskan apa maksud cacian yang dilontarkan oleh mereka tadi.Wanita itu sejenak menatap heran suaminya. Dia kemudian cukup santai untuk mengangkat kedua bahunya. “Kalau merasa tersinggung. Bukankah status kita di sini bukan suami istri. Bahkan sebentar lagi pun kita bukan siapa-siapa.” Karissa menatap Damian tanpa rasa gentar. Baru kali ini dia seberani ini tanpa rasa ragu.Bahkan ketika rahang Damian makin mengeras akibat perkataannya, Karissa tak peduli. Hatinya seperti mati rasa dari hari ke hari oleh sikap Damian.“Aku tidak memulai gosip apapun. Mereka menilai sesuai dengan apa yang aku kerjakan di sini. Jadi mungkin kamu yang perlu introspeksi diri, kenapa mereka bisa menganggap aku m
Terdengar helaan napas dari sambungan telefon. “Aku tidak tau, sejak kemarin ayahmu mengkhawatirkanmu. Datanglah, besok adalah akhir pekan. Kamu bisa ke sini bersama Damian. Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja.”“T-Tapi ....” Karissa menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku memang ada rencana pulang untuk mengatakan sesuatu pada daddy.”“Sesuatu yang menggembirakan?”“Engh ... aku ....”Tidak sampai berucap, ponsel yang sebelumnya ada di genggaman Karissa kini sudah beralih ke tangan Damian.“Bibi Darla,” sapa Damian. Tidak ramah, tapi datar. Namun itu cukup membuat Darla sumringah di sana.“Damian? Ah, bibi rindu dengan kalian. Datanglah ke rumah besok akhir pekan. Mertuamu sakit-sakitan karena terlalu khawatir memikirkan putri satu-satunya.”“Ya, aku dan Karissa akan datang.”Karissa mendengar itu hanya menarik napasnya dalam-dalam. Sejak kapan Damian semudah ini mengiyakan keinginan keluarganya untuk datang ke rumah? Pria itu selalu ada cara untuk menolak dengan alasan sibuk.“Kamu i
Vincent terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Karissa dengan mata membola, menatap putrinya. “Ka-Kamu hamil, Karissa?” Tiga tahun menikah dengan Damian, akhirnya bisa mendengar kabar ini tentu Vincent terkejut dan bahagia.Karissa yang semula kaget dengan perkataan jujur Damian, perlahan dia pun tersenyum dan mengangguk. Tangannya juga ikut menyentuh perut yang masih belum terlalu terlihat membesar. “Iya, Daddy. Aku hamil.” Senyuman Vincent pun makin merekah. “Astaga, kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Dia segera berdiri, “Ini kabar baik! Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban dari Karissa, Vincent bergegas ke dapur. Darla yang baru saja keluar membawa nampan minuman, memandang Vincent dengan heran. “Vincent, ada apa?” Pria paruh baya yang setia memakai syal di leher itu menunjukkan wajah cerahnya. “Karissa hamil, Darla! Aku harus menyiapkan sesuatu untuknya.” Mata Darla ikut berbinar mendengar kabar itu. “Ya ampun, benar? Kalau begitu, kita harus memasak makanan yang seha
Kepergian Vincent dan Darla ke dapur bersamaan dengan suara dering panggilan masuk. Tentu membuat Karissa melirik pada ponsel milik Damian yang tergeletak di sofa, samping dirinya.Siapa lagi kalau bukan nama Emma yang terpampang di sana. Mungkin bila dihitung riwayat panggilan terbanyak di ponsel Damian, delapan puluh persen pasti berasal dari asistennya itu.“Tangan kananmu sedang diobati, biarkan saja dulu,” ucap Karissa yang kembali membalut telapak tangan Damian dengan kain kassa usai dibersihkan dan dioleh obat.Tak masalah bagi Damian, dia bisa mengambil benda pipih itu dengan tangan kirinya dan langsung mengangkat panggilan Emma tersebut.“Ya?” sahut Damian datar begitu ponsel menempel di daun telinganya.Rahang Damian seolah mengetat begitu mendengar sesuatu dari balik telefon. Dahinya pun mulai berkerut, diam, mendengarkan dengan seksama penjelasan Emma.“Di mana yang lain?” Damian kembali bersuara.“Hm, aku akan segera kesana – Argh ....” Damian mendadak mengeram pedih keti
Hari sudah berganti. Seharusnya pagi ini Damian datang untuk menjemputnya. Namun, sampai jam sembilan suaminya tak kunjung datang. Memberi kabar pun tidak.“Harusnya aku tidak berharap banyak padanya,” gumam Karissa sambil memandang ke jendela kaca.Salju sudah tidak terlalu tebal, orang-orang bahkan terlihat mulai melakukan aktifitas di luar sana. Tidak seperti kemarin ketika salju dan angin beradu cukup lebat dan cepat. Jadi memang tak ada alasan Damian terlambat menjemput.“Kamu yakin hubungan kalian baik-baik saja?”Pertanyaan Vincent menarik atensi Karissa. Dia menarik napas panjang kemudian duduk di kursi kayu dekat perapian, disusul sang ayah yang ikut menggeser kursinya supaya lebih dekat dengan Karissa.“Jujur pada Daddy,” ucap Vincent lagi dengan sorot tulusnya.Bibir ibu hamil itu tersenyum, menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. “Hal apa yang membuat Daddy bertanya seperti itu untuk kedua kalinya? Bukankah semalam aku sudah menjawabnya.”Tangan Karissa terulur untuk men
“Damian sudah pulang?” tanya Karissa pada pengawal yang berjaga di depan kamarnya.“Belum, Nyonya,” jawab salah satu dari dua orang di sana.Karissa baru saja selesai mengurus Aiden. Sejak dia pulang ke mansion pagi tadi, Aiden sering rewel menanyakan Damian. Tidak biasanya. Sampai sekarang, pukul 10 malam akhirnya Aiden bisa tidur setelah minum obat. Itu pun sangat sulit membujuk.“Ada yang Anda butuhkan, Nyonya?” tanya penjaga karena Karissa masih diam berdiri di lorong antara kamar utama dan kamar Aiden.“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Damian? Kalian tidak mungkin tidak tau apa-apa.” Karissa memperhatikan gelagat dua pria itu. sayangnya mereka justru bingung.“Kami tidak mendengar apapun, Nyonya. Kami hanya tau Tuan Damian pergi bekerja seperti biasa.”Apa yang dikatakan penjaga ini tidak ada yang salah. Lagi pula sudah biasa kan Damian pulang malam, bahkan tak pulang berhari-hari. Hanya saja, kenapa Karissa merasa tak tenang. Ditambah Aiden yang seolah ikut merasakan ada sesu
Ben menatap Karissa dengan mata berkilat. Senyum liciknya juga melengkung samar ketika perempuan di depannya mulai meminum jeruk hangat yang dia buat.“Habiskan, Karissa. Jika kurang, aku bisa membuatkannya lagi,” ucap Ben, kemudian dia meminum minumannya sendiri dengan tenang.“Kak ....” Panggilan dari kamar menarik atensi mereka berdua.Karissa yang sudah menghabiskan setengah gelas berniat beranjak.“Biar aku saja. Kamu habiskan makanan dan minumannya,” cegah Ben.Baiklah, Karissa menurut. Dia kembali memakan sup sambil sesekali melihat ke arah pintu. Sangat berharap Shiena tidak kenapa-kenapa di sana.“Aku jadi rindu Daddy,” gumamnya.Dia ingat ibunya yang telah tiada, jadinya ingat sang ayah di sana. Apa kabar ayahnya? Sejak dia mengirim uang 2 milyar, Darla tak pernah lagi menghubunginya. Vincent pun hanya mengabarkan seperlunya.Lalu Damian.Entah mengapa sejak dia merasa kepala tiba-tiba pusing, hatinya terus merasa resah dan terus memikirkan suaminya itu.“Untuk apa aku mengkh
Kini Damian akan mengetahui siapa yang sudah menguntit Karissa akhir-akhir ini.Hampir saja Damian menarik masker pria itu, lebih dulu ada sebuah pukulan dari benda berat menghantam belakang kepalanya dengan hebat.“Aggh!”Dengan rasa sakit yang luar biasa itu Damian masih sempat berbalik ke belakang untuk melawan. Sialnya, musuh dengan wajah tertutup masker itu langsung melempar bubuk bius ke wajah Damian.Meski Damian langsung menutup hidung dengan tangan, tetap saja sudah ada bubuk dosis tinggi yang terhirup. Membuat tenaga pria itu perlahan meredup. Kaki yang biasa kuat, kini hanya bisa sempoyongan saat berusaha menggapai orang itu.Sampai pandangan matanya memudar. Tak lama, Damian pun ambruk tak sadarkan diri.***Sementara di rumah duka, entah kenapa Karissa tersentak karena belakang kepalanya mendadak berdenyut.“Kamu kenapa, Karissa?” tanya Ben yang ada di samping perempuan itu.Karissa m
Sekelebat bayangan hitam membuat sudut mata tajam Damian melirik ke kanan, hanya saja dia tidak menghentikan langkahnya menuju mobil.“Waspada ke arah jam tiga,” ucap Damian pada pengawal yang ada di belakangnya, tanpa menoleh.Meski banyak mobil di parkiran, tapi instingnya terlalu kuat untuk memastikan ada yang sedang mengintainya terlalu dekat.Pengawal itu pun segera memberi kabar pada anak buah lain di area sana melalui earpiece yang menempel di masing-masing anak buah.Tak lama, sebelum pintu mobil dibuka, anak buahnya sudah mendekat lalu menunjukkan foto yang dikirim oleh anak buah yang lain.“Siapa?” gumamnya sembari memperbesar gambar di layar.Dari postur tubuh tinggi besar, memastikan kalau yang sedang mengawasinya adalah seorang pria. Dia memakai topi dan masker. Lalu coat tebal dengan warna serba hitam.Damian jadi ingat, Tony pernah melaporkan ada seseorang yang memberikan Karissa ice cream tiba-tiba. Dia pun mengetuk sekali kaca mobil. Tony yang di dalam pun segera kelua
Suara Karissa membuat Damian mengangkat pandangannya. Dilirik lagi layar ponsel di genggamannya, loading 98%, bersamaan dengan langkah kaki Karissa yang makin mendekat.“Kamu sangat mencurigakan,” ucap Karissa lagi dari belakang.Dalam satu gerakan, Damian melepas boxspy dan melempar ponsel Ben ke tong sampah tepat di samping kaki kanannya.Berbalik dengan tenang sembari memasukkan dua tangan ke dalam saku celana sekaligus benda kecil dalam genggamannya tadi, Damian menatap wajah cantik Karissa dengan alis tebalnya yang menukik samar."Kenapa? Kamu takut aku menghilang?"“Memangnya siapa yang berani menculik seorang Damian Morgan? Aku hanya khawatir kamu melakukan hal aneh.”Damian tiba-tiba maju satu langkah, lalu satu tangannya menarik pinggang sang istri. “Aneh seperti ini?” bisiknya.Karissa yang panik seketika mendorong dada bidang Damian. “Aku menyesal bertemu denganmu di sini.” Wanita cantik bergaun hitam tersebut memilih buru-buru masuk ke toilet wanita yang ada di sebelah kiri
“Jadi Anda salah satu korban diledakan kapal saat itu? Saya hanya mendengar sedikit ada kecelakaan di pelabuhan. Tak menyangka kalau keluarga dari staff di rumah sakit saya turut menjadi korban,” ucap Damian datar.Melihat kakaknya tak merespon, hanya menatap Damian. Shiena pun langsung memecah ketegangan. “Kak, ini Tuan Damian. Kepala rumah sakit tempatku bekerja.” Sebuah kehormatan atas datangnya orang tertinggi di tempatnya bekerja.Sebab, selama ini Damian tak pernah hadir di acara duka maupun acara pesta keluarga staff medis. Jadi Shiena tidak mau meninggalkan kesan buruk untuk Damian.“Terimakasih atas kedatangan Anda, Tuan.”Ben mengulurkan tangan, tapi tidak Damian sambut. Pria yang berdiri menjulang tinggi itu hanya menurunkan kepalanya sedikit. “Saya turut berduka cita.”“Tidak, sopan!” gumam Ben lirih sambil menundukkan kepalanya.Shiena lantas menyentuh lengan kanan Karissa dan menunjukkan pada Ben."Aku belum pernah cerita ke kakak. Dia ini Karissa, sahabat sekaligus reka
“Aku masuk lebih dulu, ya?” Karissa ingin kali ini saja Damian menurut.Wanita itu melihat ke area sana. Funeral Home di pinggir dataran benua Eropa itu begitu ramai oleh staff medis dan pelayat lain yang datang mengulurkan tangan sebagai tanda belasungkawa pada keluarga Shiena.“Ada dokter senior juga.”“Turunlah lebih dulu.”Bibir Karissa pun tersenyum tipis karena Damian tak memaksa. “Terimakasih.”Hadir mengenakan dress tertutup serba hitam, Karissa yang turun dari Rolls-Royce hitam dikawal oleh empat bodyguard bertubuh kekar menuju pintu masuk. Dia melanjutkan langkahnya sendiri mendekati altar duka, tempat monumen kecil jenazah ibunda Shiena berada.Di ujung sana, manik mata Karissa dapat melihat begitu jelas bagaimana lemasnya Shiena yang terduduk di kursi paling depan, berhadapan langsung dengan peti mati ibunya.Hati Karissa teriris pilu tatkala Shiena menengok ke arahnya dengan tatapan kosong juga kantung matanya yang menghitam juga sembab."Karissa, ibuku ..." lirih Shiena
“Akh ....” Karissa terkesiap ketika Damian tiba-tiba meremas kedua sisi panggulnya dengan tangan lebar itu.“Kau sedang cari ayah pengganti bayiku?” tanyanya tajam.Damian tentu ingat gerutuan Karissa malam itu yang sedang mengumpatnya di depan pengawal, mengenai ayah baru untuk anak mereka. Meski Luciano adalah dirinya sendiri, tetap saja Damian tak rela istrinya mengagumi lelaki lain.“I-Ini tangan kamu lepas dulu.” Karissa melepas tangan Damian yang sedang menyentuhnya. Kemudian dia menggeser posisi supaya mereka tidak terlalu dekat.“Aku mana ada selingkuh. A-Aku butuh kontak Luciano karena ada kebutuhan,” cetus Karissa sambil merapikan dress akibat tangan kekar yang baru menyentuhnya.Damian memiringkan kepalanya. Menyorot lekat netra Karissa yang memancarkan keraguan. "Untuk?"Netra Karissa jadi sendu melihat ke arah lain, membayangkan posisi Shiena saat ini. “Ibu Shiena baru saja meninggal.”“Apa hubungannya dengan Luciano?”Pertanyaan Damian merubah tatapan sendu Karissa jadi t
Karissa membaca tes DNA terbaru. Hasilnya sesuai dengan apa yang suaminya katakan waktu itu, Aiden bukan anak biologis Damian.“Hidupku sebercanda ini kah? Entah mana yang harus aku percaya.”“Hati Anda lebih percaya yang mana, Nyonya?” tanya Martha yang sejak tadi berdiri di samping Karissa.Wanita dengan dress selutut itu hanya menghela napas sembari meletakkan kertas dan amplop berlogo resmi di kursi kosong sampingnya. Pandangannya kini lurus ke depan, melihat Aiden yang mulai memiliki banyak tenaga untuk berlarian mengejar kelinci di atas rerumputan.Sudah satu minggu Karissa di mansion. Kerjaannya hanya merawat Aiden, merawat diri, juga merawat kelinci-kelinci. Bosan, tentu.Dia sudah mengatakan pada kepala departemen untuk mencabut cutinya. Namun, bukan mendapatkan jadwal praktek lagi, Karissa justru diberi tambahan jadwal merawat Aiden setiap harinya. Yang artinya, Karissa sekarang murni sebagai dokter pribadi yang bekerja langsung di rumah pasien bukan di rumah sakit.“Dia sang