“Panties? Punya siapa?”
Istri mana yang tidak terkejut melihat pakaian dalam wanita entah milik siapa, tergeletak begitu menjijikkan di lantai kamarnya.
“Damian?” Nama suaminya lah yang terlintas di kepala. Siapa lagi yang tidur di kamar ini selain mereka berdua.
Karissa Asterin adalah dokter muda yang sibuk dengan jadwal praktek di rumah sakit semalaman. Pagi ini dia pulang berharap bisa segera membersikan diri dan menyiapkan sarapan untuk Damian, sebelum suaminya itu berangkat bekerja. Namun, dia sudah dibuat syok begitu membuka pintu kamar.
Bukan hanya pakaian dalam wanita berenda warna merah. Karissa juga bisa melihat jelas keadaan ranjangnya yang berantakan, selimut tergulung sembarangan, bantal jatuh ke lantai, terlebih di atas bantal putih itu ada bekas lipstik yang menempel. Lipstik itu jelas bukan miliknya. Warnanya terlalu terang. Karissa tidak pernah memakai warna seperti ini, bahkan di acara-acara formal sekalipun.
“D-Dia tidur dengan wanita lain?”
Mata Karissa mengerjap cepat saat jejak basah di kelopaknya mulai menggenang. Mulutnya pun terbuka demi meraih oksigen sebaik mungkin sebab rasa sesak mulai menyerang dadanya.
Selama tiga tahun pernikahan, hubungan mereka memang tidak baik, tapi Karissa tidak pernah berpikir Damian tega mengkhianatinya begini.
Meski dengan kaki yang lemah dan gemetaran, Karissa memilih untuk buru-buru mandi kemudian menuju dapur. Di sana sudah ada dua pelayan yang memasak.
“Nyonya, kami baru mengolah menu penutup,” ucap Martha, kepala pelayan di mansion ini yang membungkuk hormat. Dia paham kalau Tuan-nya hanya mau menu utama dimasak oleh Karisaa.
Karissa hanya menarik nafasnya dalam tanpa menjawab. Rasanya pagi ini dia sedang tidak ada tenaga untuk basa-basi. Usai memasak menu utama, sambil membiarkan pelayan lain membereskan meja makan. Karissa memanggil Martha.
“Martha, semalam siapa yang menginap?” tanyanya sembari menyeduh teh ramuan. Karissa selalu bicara lembut, selembut wajah dan perilakunya.
Martha, pelayan setia itu sejenak menatap wajah cantik majikannya yang pucat, tak sesegar biasanya. Rona ceria yang selalu tampil saat Damian ada di rumah juga hilang entah kemana.
Tak ada jawaban, Karissa pun menaikkan pandangannya. “Martha?”
Wanita paruh baya itu tersentak dari lamunannya. “Ah, emh ... Emma semalam ikut begadang di ruang baca bersama Tuan Damian.”
Emma adalah asisten pribadi Damian yang sudah bekerja hampir 3 tahun, tak lama setelah Karissa menikah dengan pria itu.
“Dia sudah pulang?” tanya Karissa menyembunyikan segala pikiran buruk dengan mengaduk isi cangkir. Padahal tangannya sendiri sudah mulai gemetaran mendengar nama Emma yang disebut oleh Martha.
“Ya, Emma pulang pukul lima tadi, Nyonya.”
“Lalu Damian?”
“Tuan ada di ruang baca.”
Saat begitu, langkah berat terdengar dari kejauhan. Berdasarkan ketukannya Karissa sudah bisa menerka kalau yang datang adalah Damian. Benar saja, aroma parfum Sandalwood yang maskulin mulai mendominasi udara begitu pria yang sudah rapi memakai jas lengkap itu masuk.
Dua pelayan termasuk Martha langsung membungkuk hormat pada pria yang baru saja duduk penuh kuasa di kursi paling ujung.
“Pagi, Tuan. Masakan Nyonya Karissa sudah tersaji. Selamat makan. Kami permisi.”
Damian hanya menjawab dengan tatapan singkat, itu sudah cukup membuat mereka pergi. Sementara di dapur, Karissa menarik nafas panjang untuk menetralkan kekacauan di hati dan pikiran. Dibawanya secangkir teh ramuan ke meja makan.
Damian Morgan, dia adalah wujud karya seni Tuhan yang paling sempurna. Bertubuh tinggi, kekar dan tegap. Wajahnya pun simetris, kuat, dan penuh wibawa. Hanya saja, auranya terlalu dingin membuat siapapun yang berada disekitarnya merasa terintimidasi jika ditatapnya.
Seperti saat ini, Karissa merasakan ada tatapan dingin yang menusuknya ketika dia menyiapkan isi piring sang suami tanpa menyapa bahkan tanpa senyuman.
Ya, Damian memperhatikan perubahan itu dan merasa aneh.
Setelah piring Damian terisi, giliran Karissa duduk lalu mengurus isi piringnya sembari bertanya, “Kamar kita kenapa berantakan?”
Damian lebih dulu menyesap teh ramuan khas buatan Karissa. “Karena untuk tidur,” jawabnya datar.
“Sendirian?” tanya Karissa lagi menatap cemas dengan jawaban jujur sang suami.
Namun, yang ada justru sorot tajam Damian sebagai jawabannya. Hal itu tentu membuat Karissa meneguk salivanya susah payah.
“Aku hanya bertanya, karena tidak biasanya kamar nampak begitu berantakan. Kecuali ....”
“Masih pagi, kamu ingin memainkan drama apa?”
Karissa ingin langsung menjawab, hanya saja tenggorokannya tercekat. Sungguh dia sebenarnya takut dengan reaksi Damian kalau pembahasan ini berlanjut. Pria itu bisa saja mencekik atau menarik dan mengurungnya di kamar kalau sampai mengusik ketenangannya. Sayangnya, Karissa tak bisa lagi menahan diri.
“A-Aku melihat kekacauan yang tak biasanya. Panties, lipstik dan aroma parfum wanita lain di kamar. Semalam kamu baru melakukan apa?”
Damian meletakkan gelas dengan kasar hingga terdengar bunyi dentingan yang membuat Karissa memejamkan matanya sejenak, ditarik nafas itu lalu kembali menatap wajah pria yang mulai nampak emosi. Namun, Karissa tak peduli kali ini.
“Damian, kamu melakukannya dengan siapa?"
"Katakan." Suara Damian makin dingin, penuh penekanan. "Apa sebenarnya yang ingin kamu tuduhkan, huh? Bukankah seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu tidak pulang semalam?”
Damian tau Karissa ada jadwal praktek. Namun, biasanya sang istri meluangkan waktu untuk menyambut kedatangannya. Jarang-jarang Damian ada di rumah, pria itu mengurus bisnisnya di dalam dan luar negeri. Karenanya, selama Damian pulang ke mansion, Karissa selalu melayani dengan maksimal. Dia akan selalu melakukan yang terbaik meski Damian hanya bisa bersikap dingin padanya.
Sedangkan semalam, dia tidak menemukan Karissa di mansion.
“Tapi bukan berarti kamu bebas bercinta dengan wanita lain di ranjang kita, Damian!” Karissa mulai menaikkan intonasi bicara bersamaan dengan rasa panas di dada yang makin menggeliat.
Terlebih melihat Damian sama sekali tidak menjawab dengan benar satu pun pertanyaannya.
“Damian? Kamu diam karena tak bisa menjawabnya, hm?”
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Karissa?” ucap Damian menurunkan nada, tapi tidak dengan tatapannya. Sorot itu penuh rencana keji kalau saja pembahasan ini masih dilanjutkan.
“Jadi kamu menganggap aku yang mengujimu? Bukankah di sini aku yang sudah terlalu bersabar?” Mata Karissa makin memerah dan basah. Akibat rasa takut dan sakit di dada saat teringat semua sikap buruk Damian.
Mood Damian sedang buruk hari ini, tapi Karissa makin memperkeruh suasana hatinya. Hal itu sukses membuat rahang pria itu mengetat dan tangannya mengepal mendengar semua ocehan istrinya.
“Sekarang katakan, kamu dengan dia memang sering melakukan – hkkkk!” Suara Karissa tercekat ketika Damian berdiri dan langsung mencengkeram rahangnya.
Pria itu membungkuk tepat di atasnya membuat Karissa mulai ketakutan dan kesulitan bernapas.
“Aku tidak suka semua tuduhanmu, Karissa!” desisnya.
Mata Karissa makin memerah dan buram karena buliran kristal bening yang menetes makin deras. Tidak, itu bukan senjata ampuh untuk membuat Damian memberikan belas kasih. Pria itu masih mencengkeram rahang Karissa dengan tatapan tajamnya.
Sampai satu kalimat kembali terucap dari mulut Karissa. “D-Damian, aku hamil.”
Beberapa detik, jantung Karissa berdebar kencang saat iris mata hitam pekat sang suami tak bisa diartikan. Wajah Damian tetap dingin, tak menunjukkan sedikit pun kegembiraan atau keterkejutan yang Karissa harapkan.
Sampai pria itu melepas kasar cengkeramannya hingga wajah Karissa terlempar ke samping.
“Berapa lama?” tanyanya penuh intimidasi dengan posisi masih sedikit membungkuk dan tangan satunya mengepal di atas meja.
“H-Hampir dua bulan. Aku baru yakin setelah memeriksakan diri kemarin.” Karissa mendongak.
“Berapa lama kamu berhenti meminum pil penunda kehamilan?” Damian memperjelas pertanyaannya dengan tatapan seperti belati yang menusuk. Tentu dia menyalahkan Karissa karena bisa sampai hamil begini.
Mulut Karissa terbuka, tapi dia bingung untuk menjawab. Selama tiga tahun menikah, Damian memang terus memintanya rutin meminum pil itu dengan alasan mereka sama-sama sibuk dan tidak mau memiliki anak lebih dulu.
“O-Opa Hector terus menanyakan cucu, jadi –“
"Gugurkan," sela Damian tanpa ragu, seraya menegakkan posisi berdirinya.
“A-Apa?” tanya Karissa pelan, mungkin dia salah dengar.
Sorot dingin Damian kini bercampur dengan tatapan merendahkan. "Aku tidak menginginkan anak. Buang saja janin itu."
Hati Karissa mencelos. Selama ini, ia tahu suaminya tak pernah bersikap baik padanya, namun ia tak pernah membayangkan bahwa Damian bisa sekejam ini terhadap darah dagingnya sendiri.
“Apa kamu gila, Damian?” Gigi Karissa sampai menggertak penuh emosi dan rasa sakit.
Tak ada jawaban, pria itu justru mengangkat tangan kirinya guna melihat jam tangan high-tech quart yang melingkar begitu elegan di sana.
“Lima jam lagi kamu ada jadwal praktek.” Damian kembali menjatuhkan pandang pada Karissa.
“Jadi kamu bisa langsung ke ruang obsgyn dan meminta tindakan aborsi,” lanjutnya.
Mata Karissa membelalak sempurna. "Aku tidak akan menggugurkan bayiku. Ini anak kita, Damian!" teriaknya, tapi Damian masih nampak tak acuh. Pria itu justru mulai melangkah pergi.
“Damian mau ke mana? Kita belum selesai bicara!”
Langkah tegas itu terhenti sejenak. Dia hanya menoleh tipis.
“Aku akan pergi selama tujuh hari. Setelah aku kembali, aku harap sudah tidak ada lagi nyawa di perutmu,” ucap Damian datar lalu melanjutkan langkahnya pergi.
“Kamu meminta istrimu menggugurkan kandungan, sedangkan kamu akan pergi bersenang-senang dengan selingkuhanmu? Kamu tidak waras, Damian!” teriak Karissa berdiri cepat dengan tangan mengepal sayangnya Damian tidak lagi menghiraukan.
Dia tau apa yang terucap di mulut Damian adalah mutlak, tapi perintah ini terlalu menyakitkan.
“Apa aku hanya figuran di mata dirinya?”Sekarang adalah musim salju ke-lima. Sama halnya dengan rasa cinta di hati Karissa untuk Damian yang mulai tumbuh sejak lima tahun yang lalu. Damian sudah dianggap seperti dewa oleh keluarga Karissa karena perannya sebagai penyelamat hidup mereka. Kehadirannya dalam kehidupan Karissa bermula ketika ia menyelamatkan Karissa dan ayahnya dari kebakaran hebat, meski harus menderita luka bakar di punggung. Tak berhenti di situ, Damian juga membantu melunasi hutang rumah sakit untuk biaya pengobatan jantung Vincent, ayah Karissa, serta membiayai kuliah kedokteran Karissa. Seiring waktu, rasa terima kasih Karissa berubah menjadi cinta yang tulus pada Damian, terutama karena sikapnya yang hangat. Namun, segalanya berubah setelah mereka resmi menjadi suami istri. Karissa dibawa ke kota dan tinggal di sebuah mansion mewah, tetapi sikap Damian seketika berubah.Tidak ada kehangatan sedikitpun di hubungan mereka. Sikap Damian teramat dingin dan lebih se
Sudah hampir satu minggu menghilang dari hadapan Karissa. Mobil Rolls-Royce Phamtom berwarna Hitam Metalik dengan ukiran serigala hitam khusus di bagian depan, akhirnya memasuki gerbang yang berdiri tinggi dan kokoh itu.Damian menandatangani kertas dengan nama Luciano King Wilbert di sana. Lalu dia berikan pada Emma, asistennya yang duduk di samping.“Katakan pada Tuan Axton, meeting besok ditunda,” ucap Damian.Emma menoleh bingung. “Tapi, Tuan. Bukannya besok –““Aku ada urusan.” Damian langsung keluar begitu anak buah di luar membukakan pintu mobil.“Siapkan makan siang,” titah pria bertubuh tinggi kekar kepada Martha seraya melangkah masuk ke mansion yang jarang dia tempati itu. Bila dihitung, paling banyak 10 hari dalam satu bulan Damian tidur di bangunan megah ini. Selebihnya pria itu mengurus bisnis di berbagai tempat.Dua pelayan yang berdiri di depan pintu pun membungkuk patuh. “Baik, Tuan!”Bukan hanya pelayan, Emma pun ikut mengurus makan siang Damian. Dia ke dapur, mengha
Karissa tak pernah bisa menolak Damian dari dulu maupun saat ini. Dia tahu bahwa pria itu adalah penyelamat hidupnya. Luka bakar selebar telapak tangan yang terlihat di punggung kekar Damian adalah saksi bisu dari pengorbanan itu, sebuah bukti nyata yang tak pernah Karissa sangkal. Karena itulah apapun perlakuan Damian, dia mencoba untuk menerimanya. Namun, penerimaan itu sering kali terbalas oleh rasa perih. "Kamu menikmatinya, kan, hm?" bisik Damian dengan suaranya rendah dan penuh ejekan usai keduanya bergelung di ranjang.Karissa hanya menatap sayu pria yang masih berada di atasnya, enggan menjawab. Pria itu pun tersenyum miring, seolah mengolok. Nyatanya meski di awal Karissa menolak, tapi akhirnya ia luluh pada hasrat pria itu. Desahan, keringat, dan panggilan-panggilan lirih Karissa saat memenuhi hasrat biologis mereka adalah hiburan bagi Damian. Selebihnya, dia tak peduli. Bahkan ketika Karissa terlihat mendesis kesakitan sambil memegang perut saat dia melepas penyatuan, Da
Ini adalah pertama kali Karissa bertemu dengan Aiden, pria kecil berumur tiga tahun yang ternyata sangat tampan. Terlihat sekali bukan anak dari kalangan biasa.Lamunan Karissa tersentak ketika Aiden berteriak memanggil Damian dengan sebutan ‘Daddy’ sambil berlari kemudian memeluk kaki panjang pria yang memiliki tinggi 190cm itu. Dia mendongak dengan matanya yang berkaca-kaca.“Mommy jahat, aku tidak mau dibawa ke rumah sakit. Daddy tolong aku.”“Daddy?” beo Karissa menatap nanar suaminya.Damian hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Dia justru membungkuk untuk mengangkat Aiden ke dalam gendongannya. Meski tidak menunjukkan ekspresi hangat di wajah Damian untuk Aiden, tetap saja hati Karissa bergejolak. Seolah dia sedang ditampar oleh kenyataan di depan mata mengenai gosip yang beredar.Aiden anak biologis Damian.Karissa bahkan masih mematung, hanya netranya saja yang bergerak memperhatikan Damian membawa Aiden ke ruang makan kemudian duduk bersama Emma di sana. Ketika Emma menyadari
Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—""Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.Buru-buru Karissa mengusap air m
King’s Premier Hospital pagi ini nampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat utama rumah sakit yang seharusnya diadakan minggu depan, tapi mendadak asisten Damian mengabarkan rapat dimajukan siang nanti.“Kepala Spesialis Bedah sedang pergi, jadi dia memerintahkan Karissa menggantikannya,” ucap Shienna begitu masuk ke ruang tim bedah.Karissa yang tengah membicarakan masalah pasien dengan dokter senior pun mendongak.“Aku?” beonya menunjuk ke diri sendiri. Mungkin dia salah dengar.“Iya, Karissa Asterin.”“Tapi –“ Karissa menatap ada dua dokter senior di ruangan dan bukan sedang masuk jadwal praktek mereka. “Aku kan hanya dokter residen bedah. Biasanya dokter senior yang menggantikannya.”Gadis dengan rambut keriting itu mendekati Karissa lalu menyerahkan berkas laporan bulanan departmen bedah. “Pak kepala sendiri yang beri perintah. Kita bisa apa?”“Kamu dokter residen senior juga, Karissa. Banyak hal yang kamu ketahui untuk dilaporkan di rapat nanti,” ujar salah satu dokter bedah se
“Patriarki? Suami tak tau diri? Kampungan? Jelek?”Sederet kata yang terucap dari para staff di ruang rapat tadi langsung keluar dari mulut dingin Damian saat Karissa baru saja datang.Damian bersandar pada sisi meja kerja lalu tangannya dilipat di dada. Sorot itu tajam, menuntut Karissa untuk menjelaskan apa maksud cacian yang dilontarkan oleh mereka tadi.Wanita itu sejenak menatap heran suaminya. Dia kemudian cukup santai untuk mengangkat kedua bahunya. “Kalau merasa tersinggung. Bukankah status kita di sini bukan suami istri. Bahkan sebentar lagi pun kita bukan siapa-siapa.” Karissa menatap Damian tanpa rasa gentar. Baru kali ini dia seberani ini tanpa rasa ragu.Bahkan ketika rahang Damian makin mengeras akibat perkataannya, Karissa tak peduli. Hatinya seperti mati rasa dari hari ke hari oleh sikap Damian.“Aku tidak memulai gosip apapun. Mereka menilai sesuai dengan apa yang aku kerjakan di sini. Jadi mungkin kamu yang perlu introspeksi diri, kenapa mereka bisa menganggap aku m
Terdengar helaan napas dari sambungan telefon. “Aku tidak tau, sejak kemarin ayahmu mengkhawatirkanmu. Datanglah, besok adalah akhir pekan. Kamu bisa ke sini bersama Damian. Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja.”“T-Tapi ....” Karissa menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku memang ada rencana pulang untuk mengatakan sesuatu pada daddy.”“Sesuatu yang menggembirakan?”“Engh ... aku ....”Tidak sampai berucap, ponsel yang sebelumnya ada di genggaman Karissa kini sudah beralih ke tangan Damian.“Bibi Darla,” sapa Damian. Tidak ramah, tapi datar. Namun itu cukup membuat Darla sumringah di sana.“Damian? Ah, bibi rindu dengan kalian. Datanglah ke rumah besok akhir pekan. Mertuamu sakit-sakitan karena terlalu khawatir memikirkan putri satu-satunya.”“Ya, aku dan Karissa akan datang.”Karissa mendengar itu hanya menarik napasnya dalam-dalam. Sejak kapan Damian semudah ini mengiyakan keinginan keluarganya untuk datang ke rumah? Pria itu selalu ada cara untuk menolak dengan alasan sibuk.“Kamu i
Nyaman.Satu kata itu sudah cukup menggambarkan perasaan Karissa saat ini. Matanya masih terpejam, tapi kesadarannya mulai kembali. Rasanya ia belum ingin membuka mata karena pelukan ini begitu nyaman dan hangat. Satu lagi, harum, Karissa suka. "Damian? Aku tidak sedang bermimpi, kan?" tebaknya dalam hati. Meski belum membuka mata, ia sudah mengenali aroma parfum maskulin suaminya. Perlahan, Karissa membuka matanya. Benar, Damian masih terlelap, mendengkur halus sambil memeluknya erat. Kenapa? Tumben. Yang ia ingat, semalam ia mual-mual dan pusing juga perutnya kencang. Setelah itu, ia tertidur usai Damian membersihkan tubuhnya.Tiga tahun lamanya mereka menikah, meskipun baru saja bercinta semalaman, Karissa tidak pernah bangun dalam pelukan Damian seperti ini. Jadi, apakah perlakuan Damian sekarang adalah anugrah atau karena ada Opa Hector di mansion?Tidur Damian terusik saat Karissa mencoba bergerak ringan untuk meregangkan otot.“Kau di sini?” Karissa melepas pelukan Damian kemu
“Nyonya, sebaiknya Anda jangan dulu membahas soal perceraian,” ucap Martha dengan nada hormat dan hati-hati.Karissa hanya menghela napas panjang sambil mengaduk bubur yang sedang dia masak di dalam panci. Rasanya dia lelah memikirkan soal rumah tangganya yang tak jelas ini.Setelah kekacauan akibat permintaan perceraian dia di depan Hector dan Damian, sang kakek pun memilih bermalam di mansion. Katanya tidak enak badan dan ingin dirawat oleh cucunya, Karissa. Jadilah kini wanita hamil itu menyiapkan bubur untuk hidangan makan malam sebelum meminum obat.“Saya mendengar kalau Tuan Hector ada gejala stroke karena hipertensi. Saya harap Nyonya bisa bersabar lagi.”“Semua menghawatirkan mereka. Tapi tidak ada satupun yang menghawatirkanku,” lirih Karissa masih dengan ekspresi datar dan lelahnya.Martha pun jadi merasa serba salah. “Nyonya ... bukan begitu.” Sungguh dia menyayangi Karissa seperti anaknya sendiri.“Martha, apa kamu bisa antar ini ke kamar opa? Perutku sedikit mual.”Sebena
Seorang pria tua ber-jas merald lengkap dengan tongkat kayu di tangannya, berdiri di tengah ruangan. Di mana sebuah lukisan besar tergantung di dinding utama.“20 tahun lalu, kamu sudah jadi orang yang aku pilih.”Lukisan itu menggambarkan Hector muda dengan jas hitam rapi, berdiri gagah di samping cucu kecilnya yang mengenakan setelan serupa. Ekspresi mereka sama-sama dingin, tegas, dan tanpa senyum. Lukisan itu membawa Hector ke masa lalu, kenangan akan dedikasinya membentuk pria kecil itu untuk menjadi penerus yang ia banggakan, meskipun dengan harga yang mahal.“Opa.”Suara lembut itu memecah keheningan. Hector berbalik perlahan, sampai dia menemukan wanita cantik berjalan mendekat.“Kamu selalu cantik dan mahal, Karissa,” puji Hector memperhatikan Karissa yang mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut yang disanggul rapi. Karissa tersenyum tipis, tapi senyumnya itu tidak menyembunyikan rasa perih yang mengendap di hatinya.“Bagaimana kabar opa?” tanya Karissa setelah
Bagai burung yang terperangkap dalam sangkar emas. Istilah itu cocok untuk kondisi Karissa sekarang. Berada di mansion megah, tapi dia tak bisa kemana-mana. Martha memang menyiapkan makanan yang lezat. Obat dan vitamin ibu hamil. Serta membantu Karissa mengganti perban di kaki akibat goresan pecahan piring semalam.Namun, dirinya benar-benar tidak diperbolehkan keluar dari kamar walau hanya satu langkah. Ponsel juga disita. Argh! Karissa sudah ingin sekali marah. Apalagi teringat tugasnya di rumah sakit.“Tiga tahun pernikahan, aku baru dikaruniai anak.” Karissa yang tengah berdiri di balkon kamarnya pun menunduk sembari mengusap perut. “Mungkin karena sekarang Tuhan telah yakin, kalau aku dan bayiku ini sudah cukup kuat menghadapi orang macam Damian.”Matanya yang sayu itu beralih ke arah gerbang megah di kejauhan, di mana ada satu patung kepala serigala hitam di ujung atas gerbang.Sejenak Karissa larut dengan pemandangan yang memang sejak dulu seperti itu. Di halaman bahkan sampai
Sebuah tamparan menggema di ruang kecil rumah sederhana di pinggiran kota tepatnya daerah perkebunan anggur. Darla nyaris terjatuh ke lantai kalau saja dia tidak berpegangan pada nakas.Vincent menatap adiknya dengan mata memerah emosi.“Bagaimana bisa kamu memaksa Karissa melunasi hutang-hutangmu itu!” bentar Vincent.Darla menyentuh pipinya yang panas lalu kembali berdiri tegak untuk membalas sorot tajam kakaknya dengan sorot yang sama.“Kamu pikir aku berhutang untuk siapa? Untuk pengobatanmu dan semua kebutuhanmu, Kak!”“Kebutuhanku atau berfoya-foya dengan teman-temanmu itu?” Vincent tersenyum miring. Setelah tertangkap basah sering mentraktir teman dan kencan dengan beberapa pria menggunakan uang bulanan yang Karissa kirim, Darla masih saja berkilah.“Kamu sok baik di depan Damian supaya apa? Supaya rekening berjalanmu tidak berhenti?” Nada Vincent makin meninggi membuat Darla mulai sedikit gugup.Meski tahu perkataan Vincent benar, Darla merasa kesal. Dia lelah hidup berkecukup
Nafas Karissa tercekat ketika Damian menyadari ada satu perhiasan yang hilang dari jemarinya. Terlebih ketika dia hendak menyembunyikan tangannya, Damian segera mencekal erat.“Mana cincin pernikahan kita?” tanyanya begitu dingin, menciptakan atmosfer ruangan yang mulai menegangkan.Sebisa mungkin Karissa menahan diri untuk tidak menunjukkan ketegangannya. Dia tersenyum tipis, seolah mengejek pria di depannya.“Cincin pernikahan? Untuk apa? Bukankah kita akan segera bercerai?”“Apa yang kamu lakukan pada cincin itu?”Karissa berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa. “Itu milikku, aku lakukan apapun bukan urusanmu,” tegasnya.“Katakan dimana cincin itu!” desis Damian menajamkan sorot matanya serta mengercangkan cengkeraman di pergelangan tangan Karissa hingga nyaris meremukkan tulang kecil itu.“Aku membuangnya,” jawab Karissa asal.Damian melepas kasar tangan Karissa. Segera pula dia berdiri bersamaan dengan tangannya yang begitu mudah melempar meja di depannya.Karissa memekik kaget,
“Cincin itu pasti kembali,” gumam Karissa sambil mengusap jemari yang kosong.Tadi, karena paksaan dari Darla yang mengirim foto kondisi rumah berantakan akibat diserang oleh gerombolan anak buah rentenir. Karissa dengan berat hati menjadikan cincin pernikahannya sebagai jaminan.Wajahnya masih tidak tenang meski sudah mengirim uang dua milyar lunas pada Darla. Namun, kekosongan jemarinya seolah membuat hatinya ikut kosong.“Dia ngga akan tau aku gadai cincin itu. Dia juga tak pernah memperhatikanku.”Karissa menarik napas panjang, melihat dirinya di cermin wastafel toilet ruang kerja departemen bedah. Sampai seseorang mengejutkannya.“Hei!” Siapa lagi kalau bukan Sienna.“Aku mencarimu di jam makan siang. Keluar dengan siapa? Suamimu?” tanyanya.“Ada urusan sedikit,” jawab Karissa sembari merapikan pakaiannya.Sienna mengangguk-angguk saja. Dia datang ke toilet hanya untuk mencuci tangan kemudian keduanya berjalan keluar ruangan.“Kamu tau, para anak buah Luciano itu sudah pulang. Pa
Karissa meremas ponselnya sambil berdiri gelisah di depan ruang kepala koperasi rumah sakit. Dari semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi ayahnya di rumah.Kenapa saat dia di sana Vincent dan Darla tidak menceritakan apapun soal hutang piutang? Apalagi hutang itu dalam jumlah yang sangat besar. Kalau begini dia bisa apa?Ditariknya napas itu dalam-dalam. Satu-satunya jalan adalah mencoba mengajukan pinjaman pada koperasi rumah sakit.“Paling tidak aku bica meminta seperempatnya,” gumam Karissa meyakinkan diri.Diketuk pintu itu. Pagi ini biasanya Tuan Raulf masih ada di ruangan, belum keliling ke kantor koperasi pusat di gedung selatan rumah sakit.“Masuk!” sahut seseorang dari dalam.Karissa sekali lagi mengatur napasnya barulah dia masuk.“Dokter Karissa?” Pria paruh baya yang memakai kaca mata itu tersenyum hangat. “Silahkan duduk,” tunjuknya pada kursi di depan meja kerjanya.“Maaf mengganggu, Tuan Raulf,” ucap Karissa seraya duduk di kursi kayu itu.“Iya, bagaimana
“Nyonya, jika Anda lelah. Anda bisa tidur di kamar sebelah. Biasanya Tuan Damian tidur di sana jika sedang menginap.”Ucapan Emma membuat gerakan jemari Karissa yang semula sedang mengusap dahi Aiden jadi terhenti. Dia menoleh ke belakang dengan dahi berkerut pun jantungnya berdebar kencang.“Damian sering menginap?” tanyanya sedikit terbata.“Jangan salah paham, Nyonya. Tuan Damian sering rindu pada Aiden hingga dia pun memilih menginap di sini,” jawab Emma berusaha menyembunyikan senyuman samarnya.Dada Karissa bergemuruh. Kakinya juga jadi terasa berat untuk berdiri. Meski begitu Karissa tetap berusaha untuk beranjak dari kursi lalu berdiri tegap. Dia tidak mau terlihat lemah di depan wanita ini.“Jadilah perempuan yang tau diri, Emma.” Karissa mendekat setelah meraih tas dokternya. “Beginikah sikap seseorang yang sudah dibantu? Lalu sengaja menusuk orang yang sudah membantunya.”Emma menggeleng cepat seolah dia merasa begitu bersalah. “Tidak, Nyonya. Maaf, saya tidak bermaksud apap