Suara rintihan malam hari di sebuah jalanan yang gelap dengan jurang di salah satu sisi jalan tersebut membuat malam begitu mencekam.
"Bos ..." lirih pria yang memegangi lengan sebelah kanannya yang berdarah, pria itu bermandikan keringat malam dengan bau darah yang mengalih dari lengannya yang tertembak. "Tenanglah," ucap Arga mengikat kain putih di lengan asistennya, dia mengikatnya cukup kencang membuat asistennya yang bernama Domeng berteriak kesakitan, tapi hal itu dilakukan agar pendarahan di lengan Domeng tidak terlalu banyak. "Diamlah, atau kau akan kehabisan darah!" "Bos, tolong ... jangan tinggalkan aku." Domeng merintis seraya memegang lengan Arga yang hendak pergi setelah mengikat lengan Domeng. Wajahnya menunjukan permohonan dan juga ketakutan. Arga menepis tangan Domeng. "Jangan lemah!" Masalahnya mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang berusaha membunuh mereka. Domeng berteriak seraya menangis melihat punggung bosnya semakin menjauh, meninggalkannya di balik semak-semak. "ITU DIA!" Dua orang pria langsung menoleh dan segera menodongkan pistol tapi Arga lebih dulu menembaki mereka. DOR DOR Setelah dua pria itu tumbang kini Arga menembak salah satu lengan musuhnya yang tengah merangkak untuk mengambil pistol setelah sebelumnya kaki pria itu berhasil di lumpuhkan oleh tendangan Arga. "Aaaargghh!" jeritan kesakitan sudah menjadi hal biasa ditelinga Arga. Bau darah yang masuk ke indra penciumannya bukan hal yang menganggu untuk pria bernama lengkap Maharga Robinson tersebut. Arga menghela nafas panjang, akhirnya, akhirnya dia berhasil membunuh kelima musuh yang mengikuti mobilnya tadi. Dia hanya menyisakan satu pria yang masih hidup dengan tangan dan kaki yang terluka. Sedetik kemudian, mobil berhenti di belakang Arga dan empat pria keluar dari mobil tersebut. Arga menoleh. "Bawa pria yang masih hidup itu dan bawa Domeng ke Rumah Sakit, dia ada di belakang semak-semak!" "Baik, Tuan," mereka menjawab kompak dan segera mengikuti perintah Tuan nya. **** Kejadian tadi seakan menjadi angin lalu, kini pria jangkung itu kini sedang bersantai, duduk di salah satu meja cafe bersama kakeknya. Dia sesekali meneguk minuman beralcohol di tangannya. "Apa kau akan bertemu dalam keadaan mabuk dengan gadis yang akan menjadi istrimu, Arga?" Arga acuh, tidak menjawab sama sekali, selain memalingkan wajah ke arah lain dengan meneguk minumannya. "Arga!" sang kakek berbicara tegas. Arga mendengus kasar dan menyimpan minumannya dengan kasar di meja. "Aku harus ke Rumah Sakit, Domeng terluka." "Apa Domeng lebih penting dari calon istrimu?" "Menurutmu?" Arga menarik ujung bibirnya tersenyum seraya menaikan satu alisnya. Hal itu membuat sang kakek yang bernama lengkap Federic Robinson salah paham, senyuman Arga membuat Federic ngeri, bagaimana jika ada hubungan khusus antara cucu kesayangannya dan Domeng? Asisten gila, menurut Federic. "J-jangan bilang kau dan Domeng --- Argaaa!!" Belum selesai bicara Federic diharuskan berteriak sebab Arga tiba-tiba pergi meninggalkannya. "ARGA KEMBALI KAU!" Federic sampai berdiri meneriaki cucunya, tapi punggung Arga semakin menjauh dan pergi membuat rahang kakek tua itu menegang kesal. Dia mengusap wajahnya gusar, mengatur nafasnya akibat amarah yang hampir meledak. Arga terlalu keras kepala untuk Federic. Baru saja hendak masuk ke dalam mobil, tangan Arga di pegang oleh seseorang dari belakang, dia pun menoleh. "Tuan, bisakah kau membantuku?" ucap seorang gadis dengan gaun berwarna pink di atas lutut, wajahnya di poles make up yang cukup tebal tapi wajah sedihnya tampak terlihat jelas. Arga langsung menghempaskan tangannya yang di pegang gadis itu. "Siapa kau?" "Tuan, namaku Cherry, aku kesini ---" "Aku tidak punya urusan denganmu!" potong Arga. "Ya, aku tau, tapi aku memohon untuk meminta bantuan." Gadis itu merapatkan kedua tangannya untuk serius memohon kepada Arga. "Bantu aku, aku tidak mau di ---" "Jika kau meminta bantuan agar pergi dari tempat ini, masuk ke mobil sekarang, karena aku tidak punya waktu lagi!" Setelah mengatakan itu pun Arga masuk ke balik kemudi dan gadis bernama Cherry pun segera mengitari mobil, masuk dan duduk di samping Arga. Arga mendengus kasar, kenapa gadis ini harus duduk di depan, kenapa tidak di belakang saja. Tapi karena terburu-buru akhirnya dia membiarkan gadis itu dan mobil pun melaju pergi. "Aku benar-benar berterimakasih kepadamu, Tuan. Aku tadi hendak bertemu dengan pria yang akan menjadi suamiku, aku sangat tidak menginginkan pernikahan ini, ini perjodohan yang tidak diinginkan. Sekarang aku bisa kembali ke rumah dan mengatakan jika pria itu juga tidak mau menikah denganku." Cherry bisa bernafas lega, setidaknya dia tidak bertemu dengan calon suaminya. Gawat jika tadi dia bertemu dan ternyata pria itu ingin menikahi Cherry dan setuju dengan perjodohan ini. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan kepada kakeknya. Arga mengambil sebotol air di dashboard, dia membuka tutup botol air tersebut. "Siapa nama pria yang menjadi calon suamimu?" tanya Arga lalu meneguk air tersebut. "Maharga Robinson." Uhuk ... uhuk Arga langsung tersedak minumannya sendiri. Apa? Nama dirinya yang disebut? Tidak salahkah gadis ini? Maksud Arga, tidak salahkah kakeknya menjodohkan Arga dengan gadis bermake up tebal ini. "Tuan, apa kau baik-baik saja?" Cherry memberikan tissue kepada Arga, Arga mengambilnya dan membersihkan mulutnya. "Dimana rumahmu?" tanya Arga. "Komplek perumahan Indah kencana." "Aku akan mengantarmu sampai rumah dan katakan dengan jelas kepada kedua orang tuamu, jika Maharga Robinson menolak mentah-mentah perjodohan ini!" "Ya, aku memang akan mengatakan itu," jawab Cherry yang heran saat melihat wajah Arga. Mengapa Arga terlihat sangat kesal ketika mengatakan hal demikian seakan Arga juga tidak suka dengan perjodohan untuk Cherry. Si*l, bagaimana bisa aku menikah dengan gadis berwajah badut ini. Make upnya saja sangat tebal. Perjalanan mereka tidak lancar sama sekali, lagi dan lagi mobil Arga diikuti mobil asing di belakangnya. Cherry tidak sadar, dia bersikap biasa saja, asik menikmati pemandangan di luar mobil. Arga mendengus kasar melihat mobil di belakangnya dari spion. Dia akhirnya menginjak pedal gas dengan kuat membuat Cherry terkesiap kaget. "Eh ... eh ... kok ngebut." Cherry yang panik memegang seatbealtnya dengan erat. "Tuan, ada apa?" "Diamlah!" sentak Arga membuat Cherry terkesiap untuk yang kedua kalinya. Arga mencengkram stir dengan kuat, kedua alisnya mengerut dengan mata yang fokus pada jalanan di depan, suara decitan mobil akibat menyalip mobil yang lain terlalu keras membuat Cherry beberapa kali berteriak. Sangat gila, mobil ini seakan hendak mengantarkan Cherry ke akhirat. "Tuan, aku tidak mau mati." Cherry memohon dengan suara gemetar. "Aku juga bod*h!" sahut Arga. "Diamlah!" Cherry mengigit bibir bawahnya lalu mencoba melihat ke belakang. Sekarang, dia mengerti mengapa mobil ini melaju seperti sedang balapan. Cherry ingin bertanya, siapa yang mengikuti mereka, tapi dia terlalu takut untuk membuka suara. Alhasil dia hanya diam dalam ketakutan dan doa-doa yang dia panjatkan dalam hatinya, semoga dia masih bisa melihat matahari esok pagi. "Si*l!" gerutu Arga melihat seseorang di mobil itu menodongkan pistol, sepertinya dia hendak menembak ban mobil Arga agar oleng. Ciiittt. Semesta mendukung Arga malam ini, untungnya ketika peluru melesat dari mobil di belakang, ada belokan yang membuat Arga langsung membanting stir ke arah kanan dan menginjak pedal gas lebih kuat lagi. Mobil yang membuntuti Arga diisi dua orang pria. Mereka kebingungan, setelah mobil Arga berbelok, mengapa tiba-tiba mobilnya hilang. Pria di balik kemudi memukul stirnya dengan kesal. "Sial! Dia berhasil kabur!" "Harus kemana kita? Kiri, kanan atau lurus?" tanya pria yang lain melihat ada pertigaan di depan. "Kan ---" BRAKHHH Belum selesai pria itu berbicara dari arah kanan mobil Arga menabrak keras bagian kanan mobil musuh yang mengikutinya. Jangan tanya seberapa menjeritnya Cherry, gadis itu bahkan sampai tak sadarkan diri sekarang. Arga menghela nafas beberapa kali melihat mobil musuhnya sangat hancur padahal hanya di tabrak dari samping. Tidak sia-sia dia memodifikasi mobilnya di Amerika, mobilnya menjadi sangat kuat, bagian depannya hanya hancur sedikit. Kini Arga menoleh ke samping dan dia berdecak melihat gadis bermake up tebal itu tak sadarkan diri sekarang. #Bersambung.Kini yang terbaring di salah satu ruangan Rumah Sakit bukan hanya Domeng saja, melainkan ada ranjang yang lain di samping ranjang Domeng. Cherry, ya gadis itu di bawa ke Rumah Sakit. Alasan Arga tidak mengantarkan Cherry ke komplek perumahannya sebab dia tidak tahu nomor berapa rumah Cherry. Biarkan saja Cherry pulang sendiri dari Rumah Sakit, pikir Arga. Lagi pula Arga juga tidak mau bertemu keluarga Cherry dan jelas menolak perjodohan kakeknya dengan keluarga gadis bermakeup badut itu. Arga duduk sendirian di salah satu sofa, seperti biasa minuman beralcohol selalu ada di tangannya. Dia tengah menunggu Domeng dan Cherry sadar. Lima menit, sepuluh menit sampai setengah jam berlalu tidak ada dari mereka yang bangun membuat Arga mendengus kasar. Ingin sekali Arga melempar gelas wine di tangannya ke wajah mereka agar cepat sadar. Arga merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana, panggilan masuk dari Federic, dia berdecak dan memilih kembali mengantungi ponselnya. Lagi pula untuk
Kini yang terbaring di salah satu ruangan Rumah Sakit bukan hanya Domeng saja, melainkan ada ranjang yang lain di samping ranjang Domeng. Cherry, ya gadis itu di bawa ke Rumah Sakit. Alasan Arga tidak mengantarkan Cherry ke komplek perumahannya sebab dia tidak tahu nomor berapa rumah Cherry. Biarkan saja Cherry pulang sendiri dari Rumah Sakit, pikir Arga. Lagi pula Arga juga tidak mau bertemu keluarga Cherry dan jelas menolak perjodohan kakeknya dengan keluarga gadis bermakeup badut itu. Arga duduk sendirian di salah satu sofa, seperti biasa minuman beralcohol selalu ada di tangannya. Dia tengah menunggu Domeng dan Cherry sadar. Lima menit, sepuluh menit sampai setengah jam berlalu tidak ada dari mereka yang bangun membuat Arga mendengus kasar. Ingin sekali Arga melempar gelas wine di tangannya ke wajah mereka agar cepat sadar. Arga merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana, panggilan masuk dari Federic, dia berdecak dan memilih kembali mengantungi ponselnya. Lagi pula untuk
**** Satu minggu kemudian segala persiapan soal pernikahan pun selesai. Federic sudah mengatur semuanya, dua hari lagi pesta pernikahan akan digelar. Selama satu minggu ini Cherry masih menjaga toko laundry-nya. Dia berusaha sibuk agar tidak terlalu memikirkan pernikahannya dengan Arga. Dia masih mencuci baju-baju pelanggannya, menyetrika, melipat sampai di titik dia kelelahan dia pun istirahat, duduk sambil mengusap keringatnya dan Matteo pun datang membawa jus apel. "Ini, kakek buatkan jus kesukaanmu." Matteo menyodorkan jus itu kepada Cherry. Cherry mengambilnya tanpa mengucapkan terimakasih. Sudah satu minggu hubungan cucu dan kakek itu renggang, bahkan Cherry sudah tidak mengobrol lagi bersama Matteo, tidak seperti biasanya. Matteo tahu Cherry marah dan juga kecewa tapi Matteo berharap apa yang dikatakan Federic akan terjadi suatu saat nanti. Jika mereka akan berakhir saling mencintai. Ingin sekali Matteo meminta maaf karena tidak bisa menolak keinginan sahabatnya itu. Tap
Federic dan Matteo sudah duduk di meja makan menunggu pengantin baru turun dari kamarnya. Federic terus menatap ke atas, ke pintu kamar Arga. "Kenapa masih belum keluar ya, berapa ronde semalam mereka melakukannya." Matteo berdecak seraya menggelengkan kepala mendengar Federic yang terlalu blak-blakan. Hingga suara pintu terbuka membuat Matteo mendongak ke atas dan melihat cucunya sudah keluar bersama Arga. Federic mengembangkan senyuman di wajahnya, menaik turunkan alisnya kepada Matteo seakan berbicara lewat matanya jika pengantin baru yang mereka hendak intip semalam sudah keluar. Arga berjalan menuruni anak tangga diikuti Cherry di belakangnya. "Kau tampak kelelahan Cherry," seru Federic kala Cherry duduk bersama mereka. Federic menahan kedutan di ujung bibirnya saat bertanya seperti itu. Cherry tersenyum. "Iya, Grandpa." "Tidak apa-apa, pengantin baru memang seperti itu," lanjut Federic seraya terkekeh. Cherry tidak mengerti maksud Federic apa, dia hanya menatap bergantia
Tak lama kemudian dia kembali dengan segelas air di tangannya. Dia pun memberikannya kepada Arga."Aku masih penasaran kenapa kau tiba-tiba menerima perjodohan ini. Padahal aku sudah bermakeup sangat tebal agar kau ilfeel kepadaku!""Aku hanya menuruti keinginan grandpa." Arga pun meminum air tersebut."Aku yakin bukan itu alasannya!" Cherry pergi setelah menghentakkan kakinya kesal.Arga terdiam sendirian kini, dia tengah mengingat kejadian beberapa hari yang lalu dimana dia seharusnya mengintogerasi salah satu musuhnya yang masih selamat tapi saat pria itu berada di tahanan dia malah gantung diri tanpa sepengetahuan anak buah Arga.Padahal Arga penasaran, siapa sebenarnya yang suka sekali menganggu dirinya dan Domeng.Bukan sekali dua kali mereka berada dalam situasi yang bahaya tapi untungnya mereka pintar dan tidak lemah.Arga tak sadar mencengkram kuat gelas yang dia pegang hingga tangannya kembali melunak dengan kedatangan Matteo."Arga, Cherry dimana? Kenapa sendiri?"Arga meno
Arga dan Cherry kembali ke mansion. Cherry memberikan pisang kepada pelayan lalu menyusul Arga ke kamar."Arga!" teriak Cherry.Arga membuka kemejanya membuat Cherry yang baru masuk sontak membalikkan badan dengan menutup wajahnya."Apa? Aku lelah, jangan ganggu," seru Arga berjalan ke ranjang dan merebahkan diri di sana."Apa kau tidak mau mandi dulu.""Kau mengajakku mandi?" Arga tersenyum seraya menatap punggung Cherry yang masih membelakanginya."Aku menyuruh.""Mau bilang apa tadi?" tanya Arga."Aku mau kamar.""Kamar mana? Kau mau berbeda kamar denganku dan membuat grandpa marah.""Tapi seharusnya grandpa memaklumi, kita tidak saling menyukai jadi butuh waktu untuk sekamar.""Bod*h, tidak semudah itu memaklumi. Sudahlah, aku mau tidur." Arga pun bergerak memeluk guling dan membelakangi Cherry. Cherry hanya bisa menghembuskan nafas dan memilih keluar dari kamar.Arga yang memejamkam mata kembali membuka matanya setelah mendengar Cherry keluar dari kamar. Dia menarik tubuhnya bang
Arga tengah membaca buku di ranjang sementara Cherry hanya duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Ambilkan aku minum," seru Arga membuat Cherry menoleh kemudian matanya mendapati segelas air yang ada di meja samping ranjang."Itu air di meja," sahut Cherry.Arga menoleh dengan tidak ramah kepada Cherry. "Aku bilang ambilkan.""Ya tinggal ambil. Tanganmu pendek sampai tidak bisa mengambil gelas di meja?""Aku menyuruhmu."Cherry melebarkan matanya. Arga sengaja mempermainkan dirinya?"Apa gunanya kau menjadi istri, dari tadi hanya duduk saja!""Kau juga dari tadi duduk sambil baca buku.""Bisa tidak jangan suka membantah dan membalas ucapanku?"Cherry mendengus kasar dan dia pun beranjak dari duduknya, mengambil segelas air tersebut dan memberikannya kepada Arga. Arga meminumnya sampai habis kemudian memberikan gelas kosong itu kepada Cherry.Dia juga memberikan buku yang dia baca kepada gadis itu lalu memilih untuk tidur. Jangan tanya seberapa kesal Cherry sekarang.Pukul sebelas
"Benarkan, radang." Arga berjalan santai menghampiri mereka."Cherry sakit, kau tidak usah pergi ke kantor. Jaga istrimu.""Tapi grandpa ---""Tidak ada tapi-tapi!"Arga berdecak seraya memalingkan wajahnya."Cherry, grandpa harus ke kantor. Jangan khawatir, Arga akan menjagamu dengan baik.""Sebenarnya Cherry tidak apa-apa, Grandpa. Kalau Arga mau ke kantor tidak apa-apa.""Tidak. Kau sakit karena ulahnya, jadi dia harus menjagamu. Jangan lupa sarapan lalu minum obatnya ya."Cherry mengangguk. "Iya grandpa.""Jaga istrimu dengan baik!" Federic memperingati Arga dengan serius sebelum akhirnya dia keluar dari kamar."Mana yang bilang tidak akan menyusahkanku," seru Arga seraya tangan berlipat dada.Cherry berdecak seraya memutar bola matanya malas."Kalau melakukan sesuatu itu dipikir dulu!""Banyak bicara sekali. Kalau merasa keberatan pergilah ke kantor. Aku bisa men
"Darimana?" tanya Federic yang duduk di sofa melihat kedatangan Arga dari pintu masuk. "Meeting bersama klien," sahut Arga duduk di sofa bersama Federic. "Tidak mengabari Cherry? Tadi dia tanya grandpa kenapa kau belum pulang." "Lupa, aku sibuk grandpa." "Sesibuk apa sampai mengabaikan istri sendiri?"Arga menghela nafas panjang. "Maaf, grandpa. Lain kali aku akan mengabari Cherry. Aku ke atas dulu." Arga melengos pergi ke kamarnya membuat Federic hanya bisa menggelengkan kepala. "Aku dulu selalu mengabari istriku, bisa-bisanya dia lupa," gumam Federic. Arga membuka pintu kamar dan Cherry yang tengah tiduran di sofa sambil membaca buku segera bangun dan duduk. "Sudah pulang." "Hm." Hanya itu jawaban Arga. Arga mengambil baju di lemari dan melangkahkan kakinya untuk pergi mandi. Cherry hanya menaikkan alisnya melihat sikap acuh Arga. "Kenapa dia ..." gumamnya. Tapi Cherry kemb
Chef Rafka terdiam sendiri di ruangannya seraya menggulum senyum di wajahnya ketika membaca kembali isi whattsap nya bersama Cherry beberapa menit yang lalu. "Buah kesukaanku, ini aku Rafka." "Hahaha hallo Chef." "Jangan terlalu formal. Panggil Rafka aja, kita cuman beda satu tahun, Cher!" "Hehe rasanya aneh. Tapi oke deh Rafka." "Sedang apa?" "Tidak ada, hanya duduk saja. Kau sendiri?" "Aku sedang makan dirimu nih." "Hahaha hari ini aku juga belum memakan diriku. Lupa beli buah Cherry." "Aku ada banyak. Mau aku kirimkan ke rumahmu? Kirimkan saja alamatnya." "Tidak perlu Rafka. Aku bisa beli sendiri." "Huh, padahal aku ingin tau dimana rumahmu, aku lupa menanyakannya kemarin." "Rumahku tidak sebagus rumahmu Rafka." "Memangnya aku ada bertanya rumahmu bagus atau tidak?
Saat di Rumah Sakit, Chef Rafka memberikan nomor ponselnya ketika tahu jika Cherry berada di sekolah yang sama dengan dirinya saat SMA dulu."Ikhlas tidak?" tanya Arga melihat wajah cemberut Cherry. Cherry menjawab dengan anggukan kepala. "Jelek sekali mulut bebekmu itu!" gerutu Arga pelan tapi masih bisa didengar oleh Cherry. "Apa katamu?" "Apa? Aku tidak bilang apa-apa!" "Aku mendengarnya tau, nih makan!" Cherry menyuapi buah-buahannya dengan kasar ke mulut Arga membuat Arga melotot melihat sikap Cherry. Arga menahan amarah sambil mengunyah mangga di mulutnya sementara Cherry cekikikan melihat wajah kesal Arga. "Berani-beraninya kau bersikap seperti itu!" hardiknya setelah menelan habis buah di mulutnya. Arga menatap tajam dan dingin Cherry membuat bulu kuduk Cherry merinding seketika. Tunggu, kalau Arga marah biasanya dia akan menghukum Cherry dengan.Prang"Aaaaa .... Arga lepaskan!"
Arga membuka laptopnya, jari jemarinya sibuk diatas keyboard dan Cherry pun merebahkan dirinya di sofa setelah beberapa detik tidak ada suruhan lagi dari Arga. Arga mencoba mengecek cctv di rumahnya. Dia penasaran, apa yang di bicarakan kakeknya dan Mikeyla. Pria itu memasang earphone di telinganya. Dan mendengar Federic meminta Mikeyla untuk menjaga jarak dengan Arga mulai sekarang sebab Arga sudah menikah. Arga bisa melihat raut wajah kecewa Mikeyla bahkan secara terang-terangan Mikeyla mengatakan. "Grandpa tau, sedekat apa aku dan Arga dari dulu. Kenapa Grandpa menjodohkan Arga dengan perempuan lain? Bahkan grandpa tidak membahas ini denganku terlebih dahulu." "Key, Arga tersiksa setelah Keyla meninggalkan dia selama lima tahun. Grandpa ingin Arga mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kembali menata kehidupannya setelah Keyla meninggalkan Arga." "Grandpa tidak mengerti alasan aku pergi ke Italy ..." Arga melih
"Bos, kita cari kemana?" tanya Domeng seraya mendorong Arga yang duduk di kursi roda. "Kemana saja yang penting anak itu harus kembali sebelum Grandpa datang," jawab Arga seraya mengedarkan pandangannya. Saat Cherry keluar dari ruangan, dia lupa meninggalkan ponselnya di meja dan Federic menelpon Arga jika dia sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Arga tidak mau jika Federic datang, Cherry tidak ada bersamanya. Pasti Arga lah yang akan dimarahi Federic sebab Federic sudah mengatakan pada Arga jika Cherry lapar suruh Domeng yang membelikan makanan, jangan sampai gadis itu keluar sendiri. Arga hanya berpikir Cherry keluar tidak akan lama, jadi dia mengizinkan. "Bos, itu Cherry ..." Domeng menunjuk ke lantai bawah, dimana Cherry tengah mengobrol bersama seorang pria. Mereka terlihat akrab dan tertawa, Arga mengernyitkan dahinya. "Siapa dia Domeng?" Domeng menyipitkan matanya u
Arga meminta Domeng membelikan makanan untuk Mikeyla. Alhasil perempuan itu pun duduk di sofa menikmati spageti dengan mata sesekali mendelik ke arah Cherry yang tengah membantu Arga menyiapkan makan siangnya. Cherry membantu membuka makan siang yang barusan dibawakan oleh perawat. Sementara Domeng sudah pergi entah kemana"Tidak suka pepaya juga?" tanya Cherry melihat Arga menggeser piring berisi beberapa potong buah pepaya. Arga menggeleng sebagai jawaban lalu meminum secangkir teh. Cherry berdecak. "Sepertinya kau orang pemilih. Kirain cuman Cherry aja buah yang engga suka.""Kau saja yang makan." Arga menyodorkan piring tersebut. "Yasudah." Cherry pun dengan senang hati menerima piring itu. Dia duduk di atas ranjang bersama Arga dan memakan buah pepayanya. Mikeyla mencengkram kuat sendok di tangannya melihat mereka sarapan bersama di atas ranjang seakan melupakan Mikeyla yang juga ada di ruangan itu. Apalagi Mik
"Loh bukannya kau tidak suka Cherry, Ar?" "Tapi kan Cherry yang ini manusia," sahut Cherry pelan membuat Domeng mengembungkan pipinya menahan tawa. "Bercanda ..." Mikeyla mengelus lengan Cherry dengan tertawa kecil membuat Arga menarik ujung bibirnya tersenyum. "Oh iya, Cherry dulu kuliah dimana?" tanya Mikeyla. "C-Cherry ---" Cherry menatap Mikeyla kemudian Arga. Bagaimana menjelaskannya kalau Cherry tidak meneruskan pendidikannya sampai kuliah. Mikeyla menaikkan alisnya menunggu jawaban. "Dia tidak kuliah, tapi dia pintar menggambar." Arga yang menjawab. "Oh iya? Menggambar apa?" "Beberapa desain pakaian. Cherry berharap bisa menjadi desainer dan membuat brand sendiri." Cherry tersenyum saat menjelaskannya. Mikeyla menahan tawanya sampai kedua pipinya setengah menggembung. "Cher, yakin?" Wajah Cherry berubah menjadi datar melihat Mikeyla tertawa seakan tengah meledeknya. "
Pagi harinya, Cherry meregangkangkan otot-ototnya dan perlahan membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah Arga yang sudah bangun sambil sarapan. Merasa malu karena Arga bangun lebih dulu, Cherry segera menarik tubuhnya untuk duduk. Kalau Arga sudah sarapan berarti tadi ada perawat masuk dan memberikan sarapan untuk Arga. Dan dia melihat Cherry tidur. "K-kau sudah bangun ya ..." "Menurutmu?" sahut Arga tanpa menoleh ke arah Cherry dan menikmati sarapannya. Cherry cengengesan sambil menggaruk kepalanya. "Maaf Cherry telat bangun." Arga tidak menjawab. Tapi Cherry merasa aneh, kenapa tiba-tiba ada selimut yang menyampir di tubuhnya. "I-ini selimutmu?" tanya Cherry pada Arga. "Menurutmu?" Arga balik bertanya dan masih sama, tanpa melihat ke arah Cherry, dia sedang menikmati sup. "Jadi semalam kau tidak pakai selimut?" "Menurutmu?" Che
Federic dan Domeng pulang dari Rumah Sakit meninggalkan Arga dan Cherry. Cherry duduk di sofa dan asik sendiri menonton film di ponselnya. Sementara Arga diam bak patung menatap langit-langit kamar, tidak ada obrolan dan tidak diajak mengobrol oleh Cherry. Bahkan ia berpikir Cherry menganggapnya patung tidak bernyawa. Bahkan ditanya Arga butuh sesuatu saja tidak, ditanya Arga mau makan sesuatu juga tidak, hal itu membuat Arga mendengus kasar apalagi mendengar suara cekikikan Cherry. "Berisik sekali, kau ini sedang menjaga orang sakit!" hardik Arga membuat tawa Cherry berhenti. "Ya kan Arga diam dari tadi, masa Cherry juga harus ikutan diam sih!" Cherry mengerucutkan bibirnya. "Kau saja tidak bertanya apapun, bagaimana aku bicara!" Cherry terdiam, benar juga. Alhasil dia mengantungi ponselnya lalu berjalan mendekati ranjang Arga. "Kalau begitu, Cherry mau tanya sesuatu." Arga berdehem dengan maksud membolehkan Cher