Kini yang terbaring di salah satu ruangan Rumah Sakit bukan hanya Domeng saja, melainkan ada ranjang yang lain di samping ranjang Domeng.
Cherry, ya gadis itu di bawa ke Rumah Sakit. Alasan Arga tidak mengantarkan Cherry ke komplek perumahannya sebab dia tidak tahu nomor berapa rumah Cherry. Biarkan saja Cherry pulang sendiri dari Rumah Sakit, pikir Arga. Lagi pula Arga juga tidak mau bertemu keluarga Cherry dan jelas menolak perjodohan kakeknya dengan keluarga gadis bermakeup badut itu. Arga duduk sendirian di salah satu sofa, seperti biasa minuman beralcohol selalu ada di tangannya. Dia tengah menunggu Domeng dan Cherry sadar. Lima menit, sepuluh menit sampai setengah jam berlalu tidak ada dari mereka yang bangun membuat Arga mendengus kasar. Ingin sekali Arga melempar gelas wine di tangannya ke wajah mereka agar cepat sadar. Arga merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana, panggilan masuk dari Federic, dia berdecak dan memilih kembali mengantungi ponselnya. Lagi pula untuk apa Federic menelpon, gadis yang akan dijodohkan Federic kini malah bersamanya, terbaring di salah satu ranjang. Dan Arga juga sedang malas mendengar ocehan kakeknya yang panjang lebar sambil berteriak membuat telinganya kerap kali berdengung sakit. Arga menoleh mendengar suara erangan yang tak lain suara itu berasal dari Domeng. Arga diam memperhatikan mata Domeng yang kebingungan, menatap setiap sudut ruangan sampai matanya mendapati sosok bosnya yang duduk dengan wajah datar di sofa. "Bos --- aaarghh." Dia meringis ketika hendak bangun sebab tangannya yang diperban. "Diamlah." Arga berdiri dan berjalan menghampiri Domeng tapi tatapan Domeng dibuat terkejut kala melihat seorang gadis terbaring di sebelahnya. "Astaga bos ... ini siapa?" seingat Domeng dia di bawa ke Rumah Sakit sendirian tanpa ada gadis di dalam mobil. Apa gadis ini salah satu anak musuh yang berhasil disandera? "Jangan tanya, biarkan saja dia bangun dan pergi nanti. Bagaimana dengan tanganmu?" tanya Arga yang kini sudah berdiri di dekat ranjang. Bukannya menjawab, mata Domeng malah menatap dari atas sampai bawah tubuh Cherry. Gadis ini siapa? Dimana lukanya? Dia terlihat baik-baik saja, Domeng terus bertanya dalam hatinya. Dug. "Arrggh, sakit bos." Lagi, Domeng merintih kesakitan ketika Arga menendang ranjang mengakibatkan pergerakan di tangan Domeng. "Untuk apa kau menatapnya, tidakkah kau jijik dengan make up tebalnya!" "Bos aku serius, dia siapa? Apa kau berhasil menyandera anak orang yang hampir membunuh kita?" "Tidak ada orang jahat memiliki putri berwajah badut seperti dia!" Benar juga, Domeng baru sadar jika wajah gadis yang tak sadarkan di sampingnya ini make up nya sangat tebal. Cocok dijuluki wajah badut. "Kau sudah sadar dan terlihat baik-baik saja. Aku akan pergi." "Bos," panggil Domeng, ketika Arga berbalik badan. "Bagaimana dengan gadis ini , Bos?" Domeng kembali menatap Cherry. Arga mendengus kasar dan berbalik. "Suruh saja dia pergi setelah sadar. Lagipula dia baik-baik saja!" "Namanya siapa, Bos?" tanya Domeng ketika Arga baru saja memegang knop pintu. "Nama buah yang aku benci!" seru Arga lalu pergi. "Nama buah yang bos benci?" gumam Domeng berpikir keras kemudian matanya membulat sempurna. "Cherry?" Ya, Domeng ingat Bos nya sangat membenci buah Cherry. **** Mobil Federic berhenti disalah satu rumah sederhana di komplek perumahan Indah kencana. Rumah itu satu-satunya rumah sederhana yang ada di komplek tersebut sebab rumah yang lain terlihat megah. Di depan rumah tersebut ada spanduk bertuliskan Laundry Cherry. Ya, Federic bertamu ke rumah Cherry. Kakek Cherry adalah sahabatnya saat sekolah dulu, dia bernama Matteo. Federic menekan bel dua kali dan seorang pria tua pun membuka pintu, karena matanya sedikit buram dia tidak bisa melihat jelas siapa yang bertamu. Matteo pun berjalan menuju gerbang rumahnya dengan tongkat di tangannya. "Federic." "Hai Matteo," teriak Federic dengan tersenyum sumringah. "Astaga malam-malam seperti ini." Matteo segera menggeser gerbang rumahnya. "Ayo masuk ... ayo masuk ..." "Hei, sudahlah. Jangan dibuka terlalu lebar," ucap Federic karena Matteo masih saja menggeser gerbang rumahnya. "Mobilmu di luar saja?" "Aku tidak akan lama di sini. Sudah, ayo bicara di dalam saja." Keduanya pun tertawa dan masuk ke dalam rumah. Mereka seumuran tapi dalam hal kesehatan tentu saja Federic lebih sehat dan bugar dibandingkan Matteo yang jalan saja sudah harus memakai tongkat. Hal itu disebabkan Matteo jarang berolahraga dan jarang mengkonsumsi makanan sehat seperti yang dilakukan Federic. Mereka duduk di ruang tamu. "Astaga ... aku lupa tidak membawakan minum, tunggu sebentar ya." Federic menahan Matteo yang hendak berdiri. "Hei, hei, sudahlah duduk saja. Aku ini bukan tamu, kau masih saja sungkan kepadaku." "Bagaimana mungkin aku tidak memperlakukan tamu spesial dengan baik. Apalagi presdir nya Robinson grup. Tunggu ya sebentar." Federic berdecak seraya menggelengkan kepala. Di lihat dari jalannya yang kesusahan saja Matteo masih saja memperlakukan Federic seperti tamu. Tidak lama kemudian Matteo menyimpan teh kesukaan Federic di meja. "Aku sudah bilang tidak perlu repot-repot, Matteo." "Tidak repot. Minumlah." Federic mengangguk dan mengambil cangkir teh tersebut. Setelah meneguknya dia pun kembali menyimpan cangkir teh itu. "Begini Matteo, aku ingin meminta maaf soal cucuku, dia belum bertemu dengan cucumu." "Loh, bukannya cucumu itu menolak perjodohan ini?" tanya Matteo sebab satu jam yang lalu dia mendapatkan sms dari Cherry jika Maharga menolak perjodohan. "Hah? Menolak bagaimana?" Federic tertawa. "Bertemu dengan Cherry saja belum." "T-tapi ---- sebentar." Matteo mengambil ponselnya di meja dan memperlihatkan pesan yang di kirim Cherry satu jam yang lalu. Cherry : Kakek, Tuan Maharga tidak mau menikah denganku. "Loh, bagaimana cucumu bisa berkata seperti itu. Jelas-jelas mereka tidak bertemu." Keduanya akhirnya diam, mencoba berpikir. "Sepertinya Cherry juga tidak mau menikah dengan cucuku, Matteo." "Ya, aku juga berpikir seperti itu, Federic. Bagaimana kalau kita gagalkan saja perjodohan ini." "Tidak! Tidak bisa! Saat sekolah dulu aku dan kau sudah berjanji akan menjadi besan." Dulu Federic dan Matteo berjanji akan menjodohkan anak mereka. Tapi keduanya sempat lost contact saat kuliah sampai punya anak membuat kedua anak mereka menikah dengan pilihannya masing-masing dan perjodohan itu kini akan dilanjutkan oleh cucu mereka. "Federic, itu janji lama. Jangan dipaksa jika tidak bisa." Matteo aneh, bisa-bisanya Federic tidak lupa dengan janji mereka saat sekolah dulu. Padahal bisa saja dulu hanya candaan belaka. "Tidak, Matteo. Aku khawatir Arga menikah dengan perempuan yang tidak jelas asal usul keluarganya. Kau tau sendiri banyak sekali yang ingin menghancurkan perusahaanku. Jika bersama cucumu, aku akan merasa tenang." Matteo menghela nafas. Bukan hanya Federic yang mencoba memaksa Arga untuk menerima perjodohan ini. Tapi Matteo juga melakukan hal yang sama sebab Matteo sangat ingin ada pria yang bisa menjaga cucunya dengan baik. Apalagi Cherry harta istimewa Matteo selepas anak itu ditinggalkan kedua orang tuanya. Bersambung**** Satu minggu kemudian segala persiapan soal pernikahan pun selesai. Federic sudah mengatur semuanya, dua hari lagi pesta pernikahan akan digelar. Selama satu minggu ini Cherry masih menjaga toko laundry-nya. Dia berusaha sibuk agar tidak terlalu memikirkan pernikahannya dengan Arga. Dia masih mencuci baju-baju pelanggannya, menyetrika, melipat sampai di titik dia kelelahan dia pun istirahat, duduk sambil mengusap keringatnya dan Matteo pun datang membawa jus apel. "Ini, kakek buatkan jus kesukaanmu." Matteo menyodorkan jus itu kepada Cherry. Cherry mengambilnya tanpa mengucapkan terimakasih. Sudah satu minggu hubungan cucu dan kakek itu renggang, bahkan Cherry sudah tidak mengobrol lagi bersama Matteo, tidak seperti biasanya. Matteo tahu Cherry marah dan juga kecewa tapi Matteo berharap apa yang dikatakan Federic akan terjadi suatu saat nanti. Jika mereka akan berakhir saling mencintai. Ingin sekali Matteo meminta maaf karena tidak bisa menolak keinginan sahabatnya itu. Tap
Federic dan Matteo sudah duduk di meja makan menunggu pengantin baru turun dari kamarnya. Federic terus menatap ke atas, ke pintu kamar Arga. "Kenapa masih belum keluar ya, berapa ronde semalam mereka melakukannya." Matteo berdecak seraya menggelengkan kepala mendengar Federic yang terlalu blak-blakan. Hingga suara pintu terbuka membuat Matteo mendongak ke atas dan melihat cucunya sudah keluar bersama Arga. Federic mengembangkan senyuman di wajahnya, menaik turunkan alisnya kepada Matteo seakan berbicara lewat matanya jika pengantin baru yang mereka hendak intip semalam sudah keluar. Arga berjalan menuruni anak tangga diikuti Cherry di belakangnya. "Kau tampak kelelahan Cherry," seru Federic kala Cherry duduk bersama mereka. Federic menahan kedutan di ujung bibirnya saat bertanya seperti itu. Cherry tersenyum. "Iya, Grandpa." "Tidak apa-apa, pengantin baru memang seperti itu," lanjut Federic seraya terkekeh. Cherry tidak mengerti maksud Federic apa, dia hanya menatap bergantia
Suara rintihan malam hari di sebuah jalanan yang gelap dengan jurang di salah satu sisi jalan tersebut membuat malam begitu mencekam. "Bos ..." lirih pria yang memegangi lengan sebelah kanannya yang berdarah, pria itu bermandikan keringat malam dengan bau darah yang mengalih dari lengannya yang tertembak. "Tenanglah," ucap Arga mengikat kain putih di lengan asistennya, dia mengikatnya cukup kencang membuat asistennya yang bernama Domeng berteriak kesakitan, tapi hal itu dilakukan agar pendarahan di lengan Domeng tidak terlalu banyak. "Diamlah, atau kau akan kehabisan darah!" "Bos, tolong ... jangan tinggalkan aku." Domeng merintis seraya memegang lengan Arga yang hendak pergi setelah mengikat lengan Domeng. Wajahnya menunjukan permohonan dan juga ketakutan. Arga menepis tangan Domeng. "Jangan lemah!" Masalahnya mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang berusaha membunuh mereka. Domeng berteriak seraya menangis melihat punggung bosnya semakin menjauh, meninggalkannya di bali
Kini yang terbaring di salah satu ruangan Rumah Sakit bukan hanya Domeng saja, melainkan ada ranjang yang lain di samping ranjang Domeng. Cherry, ya gadis itu di bawa ke Rumah Sakit. Alasan Arga tidak mengantarkan Cherry ke komplek perumahannya sebab dia tidak tahu nomor berapa rumah Cherry. Biarkan saja Cherry pulang sendiri dari Rumah Sakit, pikir Arga. Lagi pula Arga juga tidak mau bertemu keluarga Cherry dan jelas menolak perjodohan kakeknya dengan keluarga gadis bermakeup badut itu. Arga duduk sendirian di salah satu sofa, seperti biasa minuman beralcohol selalu ada di tangannya. Dia tengah menunggu Domeng dan Cherry sadar. Lima menit, sepuluh menit sampai setengah jam berlalu tidak ada dari mereka yang bangun membuat Arga mendengus kasar. Ingin sekali Arga melempar gelas wine di tangannya ke wajah mereka agar cepat sadar. Arga merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana, panggilan masuk dari Federic, dia berdecak dan memilih kembali mengantungi ponselnya. Lagi pula untuk