"Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.
Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah. Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. "Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan. Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Aluna juga sudah Mama siapkan," ujarku sedikit berteriak karena Aluna sudah tidak terlihat. Aku menghela napas, kemudian merapikan kamar putriku yang berantakan. Di rumah kami tidak ada asisten rumah tangga, alasannya karena Mas Fajar tidak menyukai jika ada orang lain di tempat-tempat pribadinya. Selain itu, ibu mertuaku juga melarangnya karena menurutnya itu adalah bagian dari pekerjaanku sebagai istri. "Aluna, Mama berganti pakaian dulu yah, hanya sebentar," ucapku saat melihat Mas Fajar dan Aluna yang sudah bersiap. Mengantar dan menjemput Aluna ke sekolah adalah tugasku. "Aku tidak ingin diantar oleh Mama, aku akan ikut dengan Ayah," ujar Aluna, membuat aku langsung menatap Mas Fajar. Sepertinya dia setuju saja. "Hari ini mama tidak boleh telat menjemputku!" Aluna memperingatkan sebelum masuk ke mobil ayahnya, aku hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Hingga mobil Mas Fajar meninggalkan halaman rumah. Saat aku hendak masuk ke dalam, beberapa ibu-ibu menghampiriku. Mereka menyapa dan mengajak aku mengobrol. "Kita ngobrolnya di dalam aja Bu, tidak enak kalau di luar," ujarku mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Tidak usah, kita ngobrol di sini aja," ujar mereka. Jadi aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mereka yang berada di luar pagar. "Habis dari mana Bu," sapaku basa-basi. "Habis belanja di toko sayur depan," ujar Bu Halimah. "Aku kok selama di sini tidak pernah melihat Mbak Tari pergi belanja," ujar Bu Ayu, Ia merupakan tetangga baru. Ia baru pindah ke sini beberapa bulan yang lalu. "Bu Ayu belum tau aja, Mbak Tari itu tidak belanja di toko-toko tepat kita biasa belanja. Iyakan Mbak, aku juga kadang maunya belanja di mall-mall gitu, tapi mau bagaimana lagi. Gaji suami tidak menjamin." "Suami-suami kita kalau mau dibandingkan dengan Mas Fajar sudah pasti bedah jauh. Mas Fajar itu sudah ganteng, baik, pekerja keras, punya jabatan bagus, tentu saja keluarganya jadi begitu harmonis. Beda sama kita, masih ribut gara-gara uang untuk beli beras tidak cukup." Aku hanya diam, tidak menanggapi. Biarkan ibu-ibu itu yang saling melemparkan ekspektasi tentang kehidupan aku, dan mendengarnya memuji-muji Mas Fajar, aku nyaris tertawa. Andai saja apa yang mereka katakan tentang Mas Fajar itu benar adanya, tentu aku akan menjadi orang paling beruntung. "Kemarin Mbak Tari dan Mas Fajar juga jadi trending topik, sebagai keluarga harmonis yang sangat menginspirasi. Mbak Tari bikin iri saja, doanya apa Bu, bagi dong." Aku hanya menanggapinya dengan tertawa santai. "Sampai hari ini mereka juga masih menduduki peringkat pertama di kolom pencarian, bagi tipsnya dong Mbak. Minimal yang membuat uang bulanan tahan aja deh sampai akhir bulan." Aku lagi-lagi hanya menanggapinya dengan tertawa, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dan ini merupakan kali pertama aku berkumpul dengan ibu-ibu tetanggaku, jadi wajar saja kalau aku terlihat sedikit kaku. "Tapi Mbak Tari harus hati-hati loh, Mas Fajar dijagain yang benar. Pelakor sekarang banyak tingkah." "Iya Mbak, ibarat kata kalau pohon semakin tinggi maka semakin kencang angin yang menerpanya. Begitu juga keluarga, semakin baik sebuah keluarga terlihat, maka semakin banyak orang-orang jahat yang mencoba masuk dan menghancurkannya." "Semoga tidak yah Bu." ujarku cepat, bagaimanapun aku masih gamang dengan isi hati Mas Fajar. Siapa sebenarnya pemilik hatinya? "Iya sih, Mas Fajar juga tidak mungkin tergoda." Pagi ini adalah pengalaman pertama aku mengobrol banyak hal dengan para tetangga, yang ternyata cukup menyita banyak energi. Meskipun begitu aku merasa ada yang beda, aku merasa hidup. Meskipun hanya mendengarkan keluh kesah mereka tentang beberapa hal, setidaknya aku merasa memiliki teman. Setelah membereskan rumah yang agak berantakan, aku kemudian berjalan ke belakang. Membawa keranjang cucian dan memisah-misahkannya. Mas Fajar tidak suka jika pakaiannya dicuci menggunakan mesin cuci, jadi untuk pakaian Mas Fajar aku mencucinya menggunakan tangan. "Ini bukan kemeja milik Mas Fajar." gumamku, aku memperhatikan dengan detail kemeja Mas Fajar, aku belum pernah melihatnya. Mas Fajar tidak begitu menyukai kemeja polos, dia lebih suka yang memiliki garis-garis tipis yang mendetail. "Benar, ini bukan kemeja Mas Fajar. Baunya juga berbeda." Aku bahkan menciumnya beberapa kali untuk memastikan. Mencoba memutar ingatanku tentang kemarin, Mas Fajar menggunakan kemeja berwarna biru tua. Kita memakai pakaian dengan warna yang senada, lalu dimana kemeja Mas Fajar yang dipakainya kemarin? Aku membongkar semua yang ada di dalam keranjang pakaian kotor, bahkan pada keranjang milik Aluna. Takutnya terselip tanpa aku sadari, namun hasilnya nihil. Kemeja itu memang tidak ada. "Benar, Mas Fajar memakai kemeja ini." Aku ingat, saat Mas Fajar mendekatiku setelah Ia makan malam bersama Aluna. Ia masih memakai pakaian kerjanya, dan kemeja ini yang Ia kenakan. "Apa dia berganti pakaian sebelum pulang?" Tiba-tiba kurasakan jantungku yang berdetak dengan cepat, ada ketakutan yang menghampiriku. Bahkan perbincangan tadi dengan para tetangga seolah terputar ulang dalam ingatanku. "Tidak! Mas Fajar tidak mungkin melakukan hal seperti itu, meskipun dia tidak pernah mengatakan mencintaiku, tapi dia juga tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain aku." Aku berusaha menyakinkan diriku sendiri, meskipun beberapa pikiran itu kembali dibantah oleh pikiranku. Apa mungkin Mas Fajar tidak bertemu dengan perempuan lain yang bisa membuatnya mengatakan cinta? Apa yang aku ketahui, sedangkan aku hanya menghabiskan waktu di rumah, mengantar dan menjemput Aluna. Berkunjung ke kantor Mas Fajar hanya saat ada acara penting, itupun sebagai formalitas belaka. "Apa yang kau lakukan di situ? Berlatih menjadi patung?" Mendengar suara Mas Fajar membuat aku menoleh, dan dia benar-benar ada di belakangku. "Mas Fajar." Aku sedikit mundur, melihat tatapan matanya yang menatapku tajam menandakan kalau ada kesalahan yang aku perbuat, tapi apa? "Mentari istriku tersayang, bukankah aku sudah sering katakan? Jangan keluar rumah jika aku sedang bekerja." "Seharusnya kau mendengarkan apa yang dikatakan suamimu bukan? Jadilah istri yang patuh." Setelah mengatakan itu, Mas Fajar segera berbalik dan melangkah menjauh. Aku bersandar, memegang mesin cuci sebagai tumpuan agar tubuhku tidak merosot ke lantai. Sedari tadi aku menahan napas, melihat Mas Fajar yang tiba-tiba muncul membuat aliran darahku terpompa dengan cepat. Tanganku menggenggam kuat kemeja Mas Fajar hingga kusut, haruskah aku menanyakan hal ini? "Mas Fajar!" Suaraku cukup tinggi memanggil Mas Fajar yang sudah memegang gagang pintu. "Apakah aku boleh bertanya? Semalam, Mas Fajar pulang jam berapa?" "Kenapa?" Mas Fajar menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya, "kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan," ujar Mas Fajar. Aku kembali mencegah Mas Fajar saat Ia hendak membuka pintu. "Mas, ini kemeja siapa? Ini jelas bukan kemeja Mas Fajar kan, lalu dimana kemeja Mas Fajar yang kemarin?" Aku sedikit meragukan pengelihatanku, saat melihat jemari Mas Fajar terlepas dari gagang pintu yang dipegangnya. Ia seolah kaget, namun hanya diam. "Jawab aku Mas," ucapku pelan, seperti sebuah permohonan.Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya."Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!""Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin
"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
"Mentari, ada apa nak?" Tanya Mama, saat ini kami sudah berbaring di atas ranjang.Aku sengaja tidur dengan Mama, sedangkan Mas Fajar tidur sendirian di kamarku. Rasanya aku ingin bercerita banyak hal pada Mama, membagi sedikit bebanku yang begitu menyakitkan. Namun aku kembali memilih untuk diam saja, Mama sedang tidak dalam keadaan baik. Aku takut Mama akan kepikiran dan berpengaruh pada kesehatannya."Katanya Mau program anak kedua, tapi tidurnya terpisah begini. Bagiamana bisa jadi," Mama terkekeh, sedangkan aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya yang semakin kurus.Untung saja tadi aku tidak benar-benar mengatakannya, kalau Mas Fajar memiliki anak dari perempuan lain. Itu Hanya ada dalam pikiranku, dan aku masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya. Jika tidak, maka akan panjang urusannya. Apalagi ada Mbak Mila dan Mak Yuni."Ada apa Tari, cerita sama Mama. Kalian baik-baik saja kan? Rumah tangga kalian juga baik-baik saja kan?" Mama mulai
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya."Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!""Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada