"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya.
"Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!" "Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin dengan pernyataanku barusan. Aku memilih diam, mencintai Mas Fajar adalah kebahagiaan tersendiri untukku, dan memiliki dia seutuhnya adalah harapan yang tak terhingga. Namun aku mulai sadar, aku tidak benar-benar bahagia. Mas Fajar hanyalah obsesiku yang mengharapkan bisa menyembuhkan aku dari luka yang diciptakan keluargaku. Aku meletakkan titik kebahagiaanku padanya, sehingga aku mewajarkan semua perlakuannya selama ini dan berpikir kalau aku baik-baik saja. Tapi nyatanya tidak, aku tidak bahagia. Aku tidak sembuh, tapi aku semakin terluka. Seseorang pernah berkata padaku, saat kau bisa merasakan indahnya dicintai maka kau juga akan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Tapi ternyata itu salah, aku tidak merasakan bagaimana indahnya dicintai dan hanya merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. "Semuanya sudah terlalu hancur Mas, jadi mari kita tinggalkan saja. Sudah tidak ada lagi bahan untuk membangun ulang pondasinya," Aku menatap Mas Fajar yang masih berdiri menatapku tajam. "Jangan meracau Tari! Tidak akan ada perceraian," Mas Fajar berteriak marah, wajahnya memerah dengan napas memburu, kedua tangannya terkepal kuat. Baru kali ini aku melihatnya dalam keadaan seperti ini, apa dia semarah itu. "Kenapa Mas?" Tanyaku, percakapan kami hanya terus berputar-putar disini, tanpa ada titik temu yang menjadi keputusan akhir. "Pikirkan tentang Aluna, sekarang dia sudah semester akhir. Dia sudah banyak mengeluh tentang tugas-tugasnya yang semakin banyak, sebentar lagi Ia juga akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Jangan membuat dia terbebani dengan masalah seperti ini, itu akan membuat mentalnya terganggu," Jadi karena hal itu, aku pikir Mas Fajar benar-benar ingin mencoba untuk mempertahankan rumah tangga kami. "Baiklah, kalau itu yang Mas Fajar inginkan. Mari terlihat baik-baik saja hingga Aluna masuk perguruan tinggi," "Hanya sampai saat itu kan Mas? Setelah itu mari kita akhiri semuanya," Aku meninggalkan Mas Fajar yang diam mematung setelah mendengar apa yang aku katakan. Aku menghampiri Aluna yang sedang menonton drama di ruang keluarga. Aku duduk di sebelahnya, dan Aluna kemudian berbaring menjadikan pahaku sebagai bantal. "Bagaimana sekolah Aluna? Tidak ada masalah kan?" Aku mengusap rambut Aluna yang berbaring di atas pahaku. "Lagi banyak tugas Ma, dan aku juga harus membagi waktu untuk les jadi sedikit kewalahan," ujar Aluna. Sudah beberapa bulan ini, Aluna ikut les untuk masuk perguruan tinggi. Ini juga tidak lepas dari peran Mas Fajar, dia memang selalu mengutamakan pendidikan. Sehingga Ia benar-benar ingin mempersiapkan Aluna agar siap dan bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. "Kalau begitu hari ini Aluna istirahat saja, bolos les sehari tidak apa-apa kan," Aku mengerti, Aluna pasti sudah cukup kelelahan. Setiap hari Ia harus mengikuti les, dari saat pulang sekolah hingga menjelang malam. Bahkan saat akhir pekan, Ia juga tidak bisa menikmati hari liburnya dengan baik karena les ini. "Benar Ma?" Tanya Aluna antusias. Aku hanya mengangguk. "Ayah sudah setuju?" Kali ini aku diam. "Tidak apa-apa kalau Aluna ingin istirahat dulu hari ini, tidak perlu ada les," Mas Fajar tiba-tiba muncul, Ia duduk di dekatku. Untung saja sofa ini lumayan panjang sehingga muat untuk kami bertiga, meskipun Aluna dalam posisi berbaring. "Yey, aku sayang Ayah sama Mama," Aluna bangun, memelukku dan Mas Fajar erat. "Aluna, bukankah cukup membosankan kalau hanya di rumah? Bagaiman kalau kita jalan-jalan," "Bagaimana sayang? Kita jarang punya waktu dan jalan-jalan bersama," Mas Fajar menatapku. Bukan lagi jarang, tapi kita memang tidak pernah pergi jalan-jalan bersama, kecuali untuk urusan pekerjaan yang harus disaksikan banyak orang. Jika inisiatif sendiri, tentu itu tidak akan pernah terlintas dalam pikiran Mas Fajar. Mungkin Ia mengajak untuk jalan-jalan hanya karena Aluna membuat rekaman aktivitas kami, jika tidak maka aku tidak yakin. "Benarkah? Kalau begitu aku akan bersiap-siap, Ayah dan Mama juga harus segera bersiap-siap agar kita bisa segera berangkat," Aluna yang antusias sudah hendak pergi ke kamarnya, namun kemudian kembali lagi. "Tapi ayah, kita akan kemana?" Tanya Aluna, aku juga memikirkan hal yang sama, kita akan pergi kemana. "Pantai," Mas Fajar menoleh dan menatapku, "Mama kamu suka pantai, jadi ayo kita ke pantai," Kenapa akhir-akhir ini banyak hal mengejutkan yang ditunjukkan Mas Fajar? Dari mana dia tahu kalau aku suka ke pantai? Itu adalah kebiasaan lamaku, saat aku masih sekolah hingga tahun pertamaku saat kuliah. Aku suka pergi ke pantai sendirian, benar-benar sendiri. Hingga tidak ada yang tahu kalau aku menyukai pantai, karena aku juga tidak pernah menceritakannya pada siapa pun. "Ayo bersiap, kalau kita terlalu lama maka kita akan sampai di pantai terlalu siang. Cuacanya akan sangat panas, kulitmu akan memerah," Bukannya bergerak, aku malah semakin diam. Kenapa Mas Fajar menjadi cerewet dan perhatian. Ini tidak akan baik untuk kesehatan jantungku, kemana sikap cuek dan tidak pedulinya yang selama ini Ia tunjukkan? Dan, bagaiman dia tahu semua itu. Sangat aneh bukan, aku yang memiliki kulit sensitif akan sangat mudah berubah warna menjadi merah saat terpapar sinar matahari terlalu lama, karena itu aku menghindarinya. "Kenapa hanya diam, ayo," Mas Fajar menarikku masuk ke kamar. Ah, iya. Aku melupakannya, kita sedang diawasi kamera milik Aluna yang merekam. Tentu saja Mas Fajar harus memperhatikan tiap gerakannya agar tidak ada yang aneh, sepertinya Mas Fajar sudah bisa menjadi pemain film. Ia sangat pandai berakting. *** "Sangat melelahkan," aku merebahkan diri di atas sofa. Aku baru saja selesai membersihkan diri, Aluna sepertinya masih membersihkan diri di kamarnya. Sedangkan Mas Fajar, dia sudah ada di ruang kerjanya. "Hari ini menyenangkan ya Ma," Aluna datang dengan membawa handuk kecil yang digunakannya untuk mengeringkan rambut. "Iya, hari ini menyenangkan. Sini biar Mama bantu Aluna mengeringkan rambut," Aluna kemudian duduk di depanku, Ia tidak duduk di sofa agar memudahkan aku untuk mengeringkan rambutnya. Hari ini aku sejenak melupakan masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku. Bermain di pantai bersama dengan Aluna dan Mas Fajar begitu menyenangkan, melihat Mas Fajar yang memainkan peran dengan begitu natural, seolah tidak ada kepalsuan di dalamnya. Kami sudah seperti keluarga yang paling bahagia saja. Lamunanku yang mengingat saat di pantai tadi buyar saat sebuah tangan menyentuh tanganku yang berada di atas kepala Aluna, itu tangan Mas Fajar. Dia sudah duduk di dekatku, mengambil alih kegiatanku mengeringkan rambut Aluna. "Kenapa melamun?" Mas Fajar menatapku dan bertanya, tangannya tetap mengeringkan rambut Aluna dengan handuk. "Ayah, hari ini sangat menyenangkan kan?" Aluna mendongak melihat Ayahnya. Sedangkan Mas Fajar hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian Ia meminta Aluna untuk tidak mendongak agar memudahkannya mengeringkan rambut Aluna. Semua itu tidak lepas dari pandanganku, hingga Mas Fajar kembali menoleh dan menatapku. "Aluna," "Iya Ayah, ada apa?" "Bagaimana menurutmu dengan seorang adik?" Tanya Mas Fajar pada Aluna, namun Ia tidak melepaskan pandangannya dari diriku yang tentu saja terkejut dengan apa yang dikatakannya barusan. Apakah Mas Fajar ingin memberitahukan pada Aluna tentang anak laki-laki itu?"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
"Mentari, ada apa nak?" Tanya Mama, saat ini kami sudah berbaring di atas ranjang.Aku sengaja tidur dengan Mama, sedangkan Mas Fajar tidur sendirian di kamarku. Rasanya aku ingin bercerita banyak hal pada Mama, membagi sedikit bebanku yang begitu menyakitkan. Namun aku kembali memilih untuk diam saja, Mama sedang tidak dalam keadaan baik. Aku takut Mama akan kepikiran dan berpengaruh pada kesehatannya."Katanya Mau program anak kedua, tapi tidurnya terpisah begini. Bagiamana bisa jadi," Mama terkekeh, sedangkan aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya yang semakin kurus.Untung saja tadi aku tidak benar-benar mengatakannya, kalau Mas Fajar memiliki anak dari perempuan lain. Itu Hanya ada dalam pikiranku, dan aku masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya. Jika tidak, maka akan panjang urusannya. Apalagi ada Mbak Mila dan Mak Yuni."Ada apa Tari, cerita sama Mama. Kalian baik-baik saja kan? Rumah tangga kalian juga baik-baik saja kan?" Mama mulai
Aku tidak tahu bahwa, keputusan yang aku ambil 18 tahun yang lalu menjadi suatu hal yang aku sesali saat ini. Mas Fajar, seniorku di Kampus. Saat pertama kali melihatnya, netra coklat itu membuat aku jatuh ke dalamnya. Melupakan segala hal, mengesampingkan segala kemungkinan. Aku menginginkannya, sangat! Dan waktu memberi aku kesempatan untuk memilikinya, Aku tentu tidak akan melewatkan itu. Tanpa peduli bahwa dia yang mungkin saja tidak menginginkanku, aku menyanggupi permintaan kedua orang tua kami. Menikah diusia muda atas nama perjodohan. Aku pikir semuanya baik-baik saja, dia akan mencintai aku seiring waktu berjalan. Namun, kenyataan menyadarkan aku. Tidak ada cinta yang aku harapkan, netra coklat yang aku kagumi itu berubah arah menjadi menakutkan untuk aku pandangi. Bahkan, kehadiran Aluna diantara kami tidak menggoyahkan hatinya. Lalu siapa sebenarnya yang ada di hatinya? Adakah orang lain yang memilikinya? Mengapa kebersamaan kita, dan segala yang sudah aku korbankan u
"Tidak bisakah Mas Fajar memberi aku kebebasan?" "Aku juga ingin menghirup udara bebas di luar sana. Aku ingin melihat bagaimana siang berganti malam, aku ingin melihat manusia beraktivitas, aku..., Aku lelah menjadi peliharaanmu Mas," Mas Fajar berbalik, Ia kembali berjalan mendekatiku. "Kau lelah? Ingin dimengerti, hm?" Kembali aku rasakan jari-jemari Mas Fajar yang menari-nari di atas kulit wajahku. "Jangan lelah Mentari! Ini yang kau inginkan bukan? Bersamaku!" Aku memejamkan mata saat suara dengan frekuensi tinggi itu menyapa gendang telingaku. Seharusnya aku tidak perlu kaget lagi, aku sudah sering mendengarnya. Meskipun kenyataannya, aku masih belum terbiasa juga. "Pulanglah sayang, ingat untuk menjemput Aluna," Mas Fajar mendekatkan wajahnya dan berbisik, aku bahkan bisa merasakan sapuan hangat dari napasnya. "Satu lagi, tersenyumlah seperti namamu. Masih ada banyak wartawan di luar," Mas Fajar kemudian membuka pintu dan mempersilakan aku untuk pergi. Dan aku kembali
"Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah.Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan."Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan.Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Al
"Mentari, ada apa nak?" Tanya Mama, saat ini kami sudah berbaring di atas ranjang.Aku sengaja tidur dengan Mama, sedangkan Mas Fajar tidur sendirian di kamarku. Rasanya aku ingin bercerita banyak hal pada Mama, membagi sedikit bebanku yang begitu menyakitkan. Namun aku kembali memilih untuk diam saja, Mama sedang tidak dalam keadaan baik. Aku takut Mama akan kepikiran dan berpengaruh pada kesehatannya."Katanya Mau program anak kedua, tapi tidurnya terpisah begini. Bagiamana bisa jadi," Mama terkekeh, sedangkan aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya yang semakin kurus.Untung saja tadi aku tidak benar-benar mengatakannya, kalau Mas Fajar memiliki anak dari perempuan lain. Itu Hanya ada dalam pikiranku, dan aku masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya. Jika tidak, maka akan panjang urusannya. Apalagi ada Mbak Mila dan Mak Yuni."Ada apa Tari, cerita sama Mama. Kalian baik-baik saja kan? Rumah tangga kalian juga baik-baik saja kan?" Mama mulai
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya."Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!""Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada