Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.
Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan meSaat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
"Mentari, ada apa nak?" Tanya Mama, saat ini kami sudah berbaring di atas ranjang.Aku sengaja tidur dengan Mama, sedangkan Mas Fajar tidur sendirian di kamarku. Rasanya aku ingin bercerita banyak hal pada Mama, membagi sedikit bebanku yang begitu menyakitkan. Namun aku kembali memilih untuk diam saja, Mama sedang tidak dalam keadaan baik. Aku takut Mama akan kepikiran dan berpengaruh pada kesehatannya."Katanya Mau program anak kedua, tapi tidurnya terpisah begini. Bagiamana bisa jadi," Mama terkekeh, sedangkan aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya yang semakin kurus.Untung saja tadi aku tidak benar-benar mengatakannya, kalau Mas Fajar memiliki anak dari perempuan lain. Itu Hanya ada dalam pikiranku, dan aku masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya. Jika tidak, maka akan panjang urusannya. Apalagi ada Mbak Mila dan Mak Yuni."Ada apa Tari, cerita sama Mama. Kalian baik-baik saja kan? Rumah tangga kalian juga baik-baik saja kan?" Mama mulai
Aku tidak tahu bahwa, keputusan yang aku ambil 18 tahun yang lalu menjadi suatu hal yang aku sesali saat ini. Mas Fajar, seniorku di Kampus. Saat pertama kali melihatnya, netra coklat itu membuat aku jatuh ke dalamnya. Melupakan segala hal, mengesampingkan segala kemungkinan. Aku menginginkannya, sangat! Dan waktu memberi aku kesempatan untuk memilikinya, Aku tentu tidak akan melewatkan itu. Tanpa peduli bahwa dia yang mungkin saja tidak menginginkanku, aku menyanggupi permintaan kedua orang tua kami. Menikah diusia muda atas nama perjodohan. Aku pikir semuanya baik-baik saja, dia akan mencintai aku seiring waktu berjalan. Namun, kenyataan menyadarkan aku. Tidak ada cinta yang aku harapkan, netra coklat yang aku kagumi itu berubah arah menjadi menakutkan untuk aku pandangi. Bahkan, kehadiran Aluna diantara kami tidak menggoyahkan hatinya. Lalu siapa sebenarnya yang ada di hatinya? Adakah orang lain yang memilikinya? Mengapa kebersamaan kita, dan segala yang sudah aku korbankan u
"Tidak bisakah Mas Fajar memberi aku kebebasan?" "Aku juga ingin menghirup udara bebas di luar sana. Aku ingin melihat bagaimana siang berganti malam, aku ingin melihat manusia beraktivitas, aku..., Aku lelah menjadi peliharaanmu Mas," Mas Fajar berbalik, Ia kembali berjalan mendekatiku. "Kau lelah? Ingin dimengerti, hm?" Kembali aku rasakan jari-jemari Mas Fajar yang menari-nari di atas kulit wajahku. "Jangan lelah Mentari! Ini yang kau inginkan bukan? Bersamaku!" Aku memejamkan mata saat suara dengan frekuensi tinggi itu menyapa gendang telingaku. Seharusnya aku tidak perlu kaget lagi, aku sudah sering mendengarnya. Meskipun kenyataannya, aku masih belum terbiasa juga. "Pulanglah sayang, ingat untuk menjemput Aluna," Mas Fajar mendekatkan wajahnya dan berbisik, aku bahkan bisa merasakan sapuan hangat dari napasnya. "Satu lagi, tersenyumlah seperti namamu. Masih ada banyak wartawan di luar," Mas Fajar kemudian membuka pintu dan mempersilakan aku untuk pergi. Dan aku kembali
"Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah.Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan."Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan.Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Al
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
"Mentari, ada apa nak?" Tanya Mama, saat ini kami sudah berbaring di atas ranjang.Aku sengaja tidur dengan Mama, sedangkan Mas Fajar tidur sendirian di kamarku. Rasanya aku ingin bercerita banyak hal pada Mama, membagi sedikit bebanku yang begitu menyakitkan. Namun aku kembali memilih untuk diam saja, Mama sedang tidak dalam keadaan baik. Aku takut Mama akan kepikiran dan berpengaruh pada kesehatannya."Katanya Mau program anak kedua, tapi tidurnya terpisah begini. Bagiamana bisa jadi," Mama terkekeh, sedangkan aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya yang semakin kurus.Untung saja tadi aku tidak benar-benar mengatakannya, kalau Mas Fajar memiliki anak dari perempuan lain. Itu Hanya ada dalam pikiranku, dan aku masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya. Jika tidak, maka akan panjang urusannya. Apalagi ada Mbak Mila dan Mak Yuni."Ada apa Tari, cerita sama Mama. Kalian baik-baik saja kan? Rumah tangga kalian juga baik-baik saja kan?" Mama mulai
"Masih ada yang ingin dibeli?" Aku menatap jengah laki-laki yang duduk di sebelahku, Mas Fajar."Tidak ada," aku memilih untuk melihat ke luar kaca. Sekarang kami ada di dalam mobil Mas Fajar, yang akan membawa kami menuju kampung halamanku.Setelah pertengkaran tadi, Mas Fajar menarik ucapannya. Dan sekarang Ia malah mengikutiku, katanya ingin menjenguk ibu mertuanya. Alasan, Ia mana pernah peduli."Mas, lebih baik Mas Fajar tidak usah pergi deh. Aku sudah mengatakan pada Aluna kalau dia tidak perlu ikut karena Mas Fajar juga tidak pergi," Ujarku, masih mencari cara agar Mas Fajar tidak ikut dan menghancurkan rencanaku untuk liburan tanpa memikirkannya."Tidak masalah, Bunda akan datang ke rumah dan menemaninya," ujar Mas Fajar. Tadi dia memang menghubungi ibunya, yaitu ibu mertuaku untuk datang ke rumah dan menginap selama beberapa hari."Tapi Mas, Aluna tidak begitu dekat dengan Bunda," aku hanya takut Aluna merasa tidak nyaman saat be
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya."Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!""Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada