Aku duduk diam sendirian, Aluna sudah tidur sejak tiga jam yang lalu. Sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam, Mas Fajar belum juga kembali.
Aku nyaris tertidur jika saja tidak mendengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah, itu suara mobil Mas Fajar. Tidak lama kemudian, kulihat Mas Fajar yang berjalan memasuki rumah. Dia tidak menyadari keberadaanku."Bisa kita bicara sebentar," ujarku, saat Mas Fajar sudah hampir melaluiku.Kulihat Mas Fajar cukup terkejut, namun pada akhirnya dia tetap duduk di dekatku. Mas Fajar terlihat kusut, dia bahkan masih mengenakan pakaian yang dia pakai dua hari yang lalu."Dari mana saja Mas?" Ujarku dingin, aku sudah memantapkan hati. Aluna juga mendukungku."Aku habis dari kota Merpati," aku menoleh, melihat Mas Fajar.Untuk apa dia ke kota itu? Aku memiliki kenangan yang buruk tentang kota itu. Tapi untuk apa juga, itu hanya kenanganku."Kenapa belum tidur?" Tanya MasAku tidak bisa tidur, aku sudah mencobanya dan tetap tidak bisa. Kucoba melepaskan tangan Mas Fajar yang melingkar di perutku, tapi sulit. Dia tetap bertenaga meski sudah terlelap."Aku ragu Mas, aku tidak lagi yakin dengan hubungan kita ini," ujarku pelan, kupandangi wajah Mas Fajar yang tampak damai saat tertidur.Mendengar semua yang dikatakan Mas Fajar membuat aku malah semakin ragu, sejak awal. Kami hanya mencoba untuk membangun sebuah keluarga, namun tidak ada komunikasi di dalamnya. Kita hanya mencoba meraba-raba tanpa ada yang mulai memastikan.Aku juga mulai ragu dengan diriku sendiri, apa Mas Fajar yang tidak memberi ruang untuk aku mengenalnya. Atau, aku yang tidak pernah mencoba mengetuk dan masuk ke dalamnya?"Mas, apakah semua yang kamu katakan itu benar atau tidak? Aku takut, ini hanya bagian dari kepalsuan kamu," semakin aku memikirkannya, semakin aku digerogoti rasa ragu.Aku ragu dengan semua yang disampaikan Mas Fajar, aku ragu dengan perasaanku, apakah aku benar-be
Aku masih gemetar, keringat dingin bahkan menguap dari dalam tubuhku. Jantungku terasa tidak berhenti berpacu dengan cepat, pikiranku hanya tertuju pada putriku, Aluna. Aku hanya bisa memanjatkan doa agar semuanya baik-baik saja."Aluna baik-baik saja, dia anak yang kuat," Mas Fajar yang juga masih begitu cemas berusaha menenangkan aku.Aluna, jatuh dari tangga saat Ia berlari kembali ke kamarnya. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi, tapi saat aku dan Mas Fajar berlari keluar. Aluna sudah tergeletak di lantai depan tangga dengan berlumuran darah."Mas, Aluna akan baik-baik saja kan?" Aku masih sangat cemas, sedari tadi dalam perjalanan ke sini. Aku bahkan tidak berhenti menangis, takut jika terjadi hal yang tidak aku inginkan."Aluna akan baik-baik saja, tenanglah," Mas Fajar menarikku ke dalam pelukannya. Cukup lama kami menunggu hingga dokter yang menangani Aluna keluar, Aku dan Mas Fajar segera berdiri dan menghampirinya."Bagaimana keadaan anak saya dok?" Tanyaku was-was."Ja
Mas Fajar menggenggam erat tanganku, membuat aku berhenti berjalan. "Ingin melihatnya? Kita bisa mengunjunginya bersama," ujar Mas Fajar. "Aku ingin melihat keadaan Aluna saja Mas. Kalau Mas ingin melihatnya, Mas bisa pergi dengan Jonathan," ujarku. Aku masih kepikiran dengan kondisi Aluna, aku tidak ingin dulu menambah beban pikiranku dengan yang lainnya. Aku tidak tahu siapa ibu Gabriel, dan bagaimana dia bisa mengenal Mas Fajar. Aku belum mau mengetahuinya, aku hanya ingin fokus dulu dengan Aluna. "Aluna belum sadar karena masih dalam pengaruh obat, Bunda juga bisa menunggu," ujar Mas Fajar Masih menahanku. "Kita lihat dia sebentar saja, dia tidak memiliki siapapun. Hanya kita," ujar Mas Fajar. Karena dia tidak memiliki siapapun, sehingga Mas Fajar selalu mengutamakannya? Memangnya dia siapa? "Mas, aku sedang tidak ingin bertengkar. Mas Fajar bisa pergi melihatnya sendiri jika memang Mas F
Berdasarkan keterangan dokter setelah pemeriksaan, cedera pada tulang belakang Aluna tidak parah. Hanya saja untuk penyembuhan kemungkinan diperlukan waktu tiga sampai enam bulan. Dan untuk sementara, Aluna harus menggunakan kursi roda. Selama satu minggu ini, Aluna belum pernah masuk ke sekolah dengan keterangan sakit. Mas Fajar juga tidak menghabiskan banyak waktu kerja, Ia lebih banyak menemani Aluna. Berusaha merebut kembali hatinya. Aku dan Mas Fajar sudah menjelaskan tentang Gabriel dan ibunya, termasuk kesalahpahaman yang membuat aku hampir berpisah dengan Mas Fajar. Namun, Aluna masih terlihat enggan untuk berbaikan dengan Mas Fajar, bahkan padaku juga. "Mas, kamu belum berangkat ke kantor?" tanyaku, kulihat Mas Fajar yang masih duduk di sebelah ranjang pasien tempat Aluna tertidur. "Mas menunggu Aluna bangun, Mas mau pamit dulu sebelum bekerja," ujar Mas Fajar. Mas Fajar termasuk cepat menunjukkan be
Aku mendorong kembali kursi roda Aluna, dengan hati yang mulai tidak karuan. Apa aku yang terlalu mudah percaya dengan Mas Fajar, atau Aluna yang terlalu kritis akan masalah kecil yang disadarinya?"Mama, bisa kita pergi ke ruang ICU?" Tanya Aluna, aku menatapnya dengan gamang."Untuk apa?" Jawabku, ada perasaan tak menentu dalam diriku. Aku tidak bisa mengartikannya sebagai apa, aku hanya merasakan resah dan gelisah."Aku ingin melihat perempuan itu Ma, perempuan yang dikasihani oleh Ayah," ujar Aluna, aku segera menegurnya. Itu terdengar tidak sopan, apalagi jika di dengar oleh orang yang bersangkutan secara langsung."Tidak boleh bilang begitu, itu tidak sopan," ujarku memperingati. Aluna hanya tersenyum masam, namun Ia mengangguk menyetujui.Aku beralih, mengambil arah yang berbeda dengan jalan menuju ruang perawatan Aluna. Aku juga penasaran dengan keadaan Mbak Dian, ibu Gabriel. "Maaf Nyonya, tapi ruangan Non Aluna tidak m
Mas Fajar menunduk dalam, Ia terlihat bingung sendiri. "Mas tahu, kamu melihat Mas di ruang ICU tadi," ujarnya pelan."Mas tidak pergi ke kantor, Jonathan sudah mewakili Mas untuk perpanjangan kontrak kerja sama itu. Setelah itu dia datang ke sini, membawa Gabriel. Katanya Gabriel merindukan Mas, dan dia juga ingin bertemu dengan ibunya," ujar Mas Fajar berusaha menjelaskan.Aku hanya mengangguk mengerti, aku tidak tahu lagi. Yang mana kata-kata Mas Fajar yang harus aku percaya, dia selalu bisa memberi alasan. Sehingga aku mulai sulit mengetahui, yang mana alasan yang sesuai dengan kebenaran, atau memang hanya sebagai alasan untuk mengelabui."Oh, iya Mas," ujarku mengangguk, seolah sangat percaya dengan apa yang dikatakannya."Kamu tidak marah kan?" Tanya Mas Fajar, Ia menatapku memastikan."Tidak," jawabku. Aku tersenyum meyakinkannya, untuk apalagi aku marah? Buang-buang tenaga."Mas Fajar bisa di sini sebentar, jaga Aluna. Ak
"Mas, bukankah lebih baik jika Mas mengatakan yang sebenarnya?" Aku sengaja mengajak Mas Fajar berbicara, hanya berdua. "Apalagi Tari! Mas sudah mengatakan yang sebenarnya. Kenapa kamu sangat sulit untuk percaya pada Mas," desis Mas Fajar, Ia melepas tangannya dari tanganku."Aku merasa kalau Mas Fajar tidak jujur, ada yang berusaha Mas Fajar sembunyikan dari aku," aku menatap Mas Fajar, dia yang berusaha menghindari tatapan mataku membuat aku semakin yakin. Mas Fajar tidak benar-benar terbuka dengan aku."Ini yang Mas tidak suka dari kamu, mengapa Mas merasa malas menceritakan semuanya. Karena kamu tidak pernah mau percaya, kamu selalu saja menaruh curiga pada Mas. Dari dulu, hingga sekarang," kilah Mas Fajar, Ia lalu meninggalkan aku sendirian.Aku menatap punggung Mas Fajar yang semakin menjauh. Kali ini aku akan mengalah, tidak. Selama ini aku memang selalu mengalah untuknya.Haruskah aku kembali mengalah, atau bisakah aku melawan? T
Aku menoleh ke belakang, melihat seorang pria dengan tubuh tinggi yang tersenyum kepadaku. Senyuman yang sama, yang aku lihat di kantin rumah sakit. Apa yang dia lakukan di sini? Dan, Bibi? Mengapa dia memanggilku demikian?"Selamat ulang tahun, Bibi," Ia kembali memberikan ucapan yang sama, dengan senyum manisnya yang khas."Baim? Apa yang kau lakukan di sini?" Aku menoleh, melihat Mas Fajar yang mendekatinya. Mereka saling bersalaman dan berpelukan sekilas.Mas Fajar mengenalnya, pria yang aku temui di kantin rumah sakit. Bagaimana mereka bisa saling mengenal."Baim? Siapa Fajar?" Bunda mendekati mereka, menanyakan sosok Baim yang sepertinya masih asing dalam ingatannya."Baim Bun, Cucu pertama Paman Liam yang sedang di rawat di ICU sekarang," ujar Mas Fajar menjelaskan. Aku yang ikut mendengarkan mulai paham, pria itu adalah keluarga Mas Fajar, Baim.Apa dia sudah mengenalku sebelumnya? Aku bahkan memutar ingatanku saat di kan
"Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah
"Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan
Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men
Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun
Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami
Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer
"Mas...." Pikiranku mulai melayang-layang, tentang Mbak Dian dan aku. "Tidak mungkin Mas," tolakku. Saat melihat tatapan mata Mas Fajar yang meyakinkan aku, seolah Ia tahu apa yang ada di dalam isi kepalaku."Dia sudah meninggal!" racauku.Aku berusaha menolak apa yang ada dalam pikiranku. Itu tidak mungkin, tapi mengapa aku malah merasa kalau sisi lain dari dalam diriku membenarkan hal itu.Aku menggigit jari telunjukku, merasakan bibirku yang bergetar diiringi napas berat yang memburu, aku mulai ketakutan. Dan aku kembali melakukan kebiasaan buruk yang sudah nyaris terkubur dalam-dalam, kebiasaan buruk yang sudah aku lupakan sejak lama."Tari, lihat Mas," lirih Mas Fajar menyadarkanku, tapi aku menepisnya. Aku seolah ditarik untuk masuk kembali ke lubang gelap yang nyaris terlupakan.Aku mencoba untuk berdiri dan menjauh dari Mas Fajar, tapi aku merasa lemah. Tubuhku terasa tidak bertenaga, seluruh pengelihatanku menggelap. A
Seperti yang dikatakan Mas Fajar, yang mengakui bahwa dirinya akan kehilangan pekerjaan. Dan benar saja, ternyata selama ini Mas Fajar tidak hanya lari dan bersembunyi dari aku. Tapi, juga dari kondisi perusahaan yang harus berada di ujung tanduk karena kasus ini.Tidak ada pilihan lain, Mas Fajar harus diasingkan selama beberapa waktu. Menunggu kondisi kembali membaik, dan kalaupun Mas Fajar kembali ke kantor, mungkin Mas Fajar tidak bisa lagi mendapati jabatannya yang lalu.Tapi untuk sementara waktu, kita sepakat untuk tidak memikirkan hal itu. Karena ada hal lain yang perlu kami pikirkan lebih jauh, tentang keluarga kami dan segala kepingan-kepingan kebenaran yang harus aku kumpulkan satu-persatu."Apa Aluna akan baik-baik saja Mas? Ini kali pertama aku jauh dari Aluna dalam waktu lama," cemasku, memikirkan Aluna yang pergi ke negeri kincir angin. Bersama dengan Bunda dan Baim, menghadiri acara keluarga Mas Fajar. Aluna adalah satu-satunya perwakilan y
Aku menatap Mas Fajar dan Aluna yang sedang belajar bersama, meski terlihat ada sekat yang masih menjadi penengah. Namun Mas Fajar tampak berusaha mendekati Aluna.Aku telat bangun karena kelelahan, sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Bagaimana mereka berdua kemudian bisa duduk bersama.Perlahan senyumku terbit, saat melihat Mas Fajar yang mencoba bersikap hangat pada Aluna yang masih berusaha memberi jarak.Aku beralih menatap Mas Fajar, membuat aku teringat dengan obrolan kami semalam. Saat Mas Fajar menceritakan beberapa hal, meski belum selesai dan belum jelas. Tapi kami hentikan dengan Mas Fajar yang berjanji akan melanjutkannya lagi."Mama sudah bangun?" tanya Aluna, Ia menyadari keberadaan aku yang berdiri menatap mereka."Ah iya." Aku berjalan mendekati mereka, mengusap rambutku yang masih terasa lembab sehabis keramas.Aku duduk di dekat Aluna, sehingga Aluna berada ditengah. Diantara aku dan Mas Fajar.