Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.
Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih.Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah.Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men"Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan
"Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah
Aku tidak tahu bahwa, keputusan yang aku ambil 18 tahun yang lalu menjadi suatu hal yang aku sesali saat ini. Mas Fajar, seniorku di Kampus. Saat pertama kali melihatnya, netra coklat itu membuat aku jatuh ke dalamnya. Melupakan segala hal, mengesampingkan segala kemungkinan. Aku menginginkannya, sangat! Dan waktu memberi aku kesempatan untuk memilikinya, Aku tentu tidak akan melewatkan itu. Tanpa peduli bahwa dia yang mungkin saja tidak menginginkanku, aku menyanggupi permintaan kedua orang tua kami. Menikah diusia muda atas nama perjodohan. Aku pikir semuanya baik-baik saja, dia akan mencintai aku seiring waktu berjalan. Namun, kenyataan menyadarkan aku. Tidak ada cinta yang aku harapkan, netra coklat yang aku kagumi itu berubah arah menjadi menakutkan untuk aku pandangi. Bahkan, kehadiran Aluna diantara kami tidak menggoyahkan hatinya. Lalu siapa sebenarnya yang ada di hatinya? Adakah orang lain yang memilikinya? Mengapa kebersamaan kita, dan segala yang sudah aku korbankan u
"Tidak bisakah Mas Fajar memberi aku kebebasan?" "Aku juga ingin menghirup udara bebas di luar sana. Aku ingin melihat bagaimana siang berganti malam, aku ingin melihat manusia beraktivitas, aku..., Aku lelah menjadi peliharaanmu Mas," Mas Fajar berbalik, Ia kembali berjalan mendekatiku. "Kau lelah? Ingin dimengerti, hm?" Kembali aku rasakan jari-jemari Mas Fajar yang menari-nari di atas kulit wajahku. "Jangan lelah Mentari! Ini yang kau inginkan bukan? Bersamaku!" Aku memejamkan mata saat suara dengan frekuensi tinggi itu menyapa gendang telingaku. Seharusnya aku tidak perlu kaget lagi, aku sudah sering mendengarnya. Meskipun kenyataannya, aku masih belum terbiasa juga. "Pulanglah sayang, ingat untuk menjemput Aluna," Mas Fajar mendekatkan wajahnya dan berbisik, aku bahkan bisa merasakan sapuan hangat dari napasnya. "Satu lagi, tersenyumlah seperti namamu. Masih ada banyak wartawan di luar," Mas Fajar kemudian membuka pintu dan mempersilakan aku untuk pergi. Dan aku kembali
"Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah.Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan."Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan.Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Al
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
"Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah
"Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan
Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men
Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun
Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami
Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer
"Mas...." Pikiranku mulai melayang-layang, tentang Mbak Dian dan aku. "Tidak mungkin Mas," tolakku. Saat melihat tatapan mata Mas Fajar yang meyakinkan aku, seolah Ia tahu apa yang ada di dalam isi kepalaku."Dia sudah meninggal!" racauku.Aku berusaha menolak apa yang ada dalam pikiranku. Itu tidak mungkin, tapi mengapa aku malah merasa kalau sisi lain dari dalam diriku membenarkan hal itu.Aku menggigit jari telunjukku, merasakan bibirku yang bergetar diiringi napas berat yang memburu, aku mulai ketakutan. Dan aku kembali melakukan kebiasaan buruk yang sudah nyaris terkubur dalam-dalam, kebiasaan buruk yang sudah aku lupakan sejak lama."Tari, lihat Mas," lirih Mas Fajar menyadarkanku, tapi aku menepisnya. Aku seolah ditarik untuk masuk kembali ke lubang gelap yang nyaris terlupakan.Aku mencoba untuk berdiri dan menjauh dari Mas Fajar, tapi aku merasa lemah. Tubuhku terasa tidak bertenaga, seluruh pengelihatanku menggelap. A
Seperti yang dikatakan Mas Fajar, yang mengakui bahwa dirinya akan kehilangan pekerjaan. Dan benar saja, ternyata selama ini Mas Fajar tidak hanya lari dan bersembunyi dari aku. Tapi, juga dari kondisi perusahaan yang harus berada di ujung tanduk karena kasus ini.Tidak ada pilihan lain, Mas Fajar harus diasingkan selama beberapa waktu. Menunggu kondisi kembali membaik, dan kalaupun Mas Fajar kembali ke kantor, mungkin Mas Fajar tidak bisa lagi mendapati jabatannya yang lalu.Tapi untuk sementara waktu, kita sepakat untuk tidak memikirkan hal itu. Karena ada hal lain yang perlu kami pikirkan lebih jauh, tentang keluarga kami dan segala kepingan-kepingan kebenaran yang harus aku kumpulkan satu-persatu."Apa Aluna akan baik-baik saja Mas? Ini kali pertama aku jauh dari Aluna dalam waktu lama," cemasku, memikirkan Aluna yang pergi ke negeri kincir angin. Bersama dengan Bunda dan Baim, menghadiri acara keluarga Mas Fajar. Aluna adalah satu-satunya perwakilan y
Aku menatap Mas Fajar dan Aluna yang sedang belajar bersama, meski terlihat ada sekat yang masih menjadi penengah. Namun Mas Fajar tampak berusaha mendekati Aluna.Aku telat bangun karena kelelahan, sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Bagaimana mereka berdua kemudian bisa duduk bersama.Perlahan senyumku terbit, saat melihat Mas Fajar yang mencoba bersikap hangat pada Aluna yang masih berusaha memberi jarak.Aku beralih menatap Mas Fajar, membuat aku teringat dengan obrolan kami semalam. Saat Mas Fajar menceritakan beberapa hal, meski belum selesai dan belum jelas. Tapi kami hentikan dengan Mas Fajar yang berjanji akan melanjutkannya lagi."Mama sudah bangun?" tanya Aluna, Ia menyadari keberadaan aku yang berdiri menatap mereka."Ah iya." Aku berjalan mendekati mereka, mengusap rambutku yang masih terasa lembab sehabis keramas.Aku duduk di dekat Aluna, sehingga Aluna berada ditengah. Diantara aku dan Mas Fajar.