"Tidak bisakah Mas Fajar memberi aku kebebasan?"
"Aku juga ingin menghirup udara bebas di luar sana. Aku ingin melihat bagaimana siang berganti malam, aku ingin melihat manusia beraktivitas, aku..., Aku lelah menjadi peliharaanmu Mas," Mas Fajar berbalik, Ia kembali berjalan mendekatiku. "Kau lelah? Ingin dimengerti, hm?" Kembali aku rasakan jari-jemari Mas Fajar yang menari-nari di atas kulit wajahku. "Jangan lelah Mentari! Ini yang kau inginkan bukan? Bersamaku!" Aku memejamkan mata saat suara dengan frekuensi tinggi itu menyapa gendang telingaku. Seharusnya aku tidak perlu kaget lagi, aku sudah sering mendengarnya. Meskipun kenyataannya, aku masih belum terbiasa juga. "Pulanglah sayang, ingat untuk menjemput Aluna," Mas Fajar mendekatkan wajahnya dan berbisik, aku bahkan bisa merasakan sapuan hangat dari napasnya. "Satu lagi, tersenyumlah seperti namamu. Masih ada banyak wartawan di luar," Mas Fajar kemudian membuka pintu dan mempersilakan aku untuk pergi. Dan aku kembali melakukan hal gila ini. Mengikuti semua perintahnya, tersenyum sepanjang jalan. Meskipun ada beberapa wartawan yang mencoba mendekat untuk mengorek informasi, namun segera dicegah oleh beberapa pengawal yang mengantarku. Hingga tiba di parkiran, aku tidak sengaja berpapasan dengan Jonathan. Dia adalah sekretaris pribadi Mas Fajar. Dia menyapaku dengan menundukkan kepalanya. Namun, anak laki-laki yang di dekatnya mengalihkan perhatianku. "Paman, dia siapa?" Ucapnya, masih ada nada cadel yang tersisa. Kulihat Jonathan memintanya untuk diam, "maaf Nyonya, dia keponakan saya," ucap Jonathan. Ia kemudian kembali menunduk sebelum berlalu meninggalkan aku yang masih diam. Aku merasa tidak asing dengan wajah anak laki-laki itu. Samar-samar kudengar suara anak laki-laki itu, "Apakah ayah akan senang aku datang?" Jadi ayahnya bekerja di sini juga? Pikirku. Kemudian aku menggelengkan kepala, mengembalikan pikiranku ke tempat semula. Lagipula aku tidak tahu siapa mereka, jadi tidak ada hubungannya denganku. Aku segera masuk ke dalam mobil, aku harus menjemput Aluna. Jam pulangnya sudah lewat beberapa menit, dia pasti sudah menunggu. Ya, dan pada akhirnya aku membuat Aluna merajuk kerena terlalu lama menjemputnya. Kami sampai di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, saat menjemput Aluna, dia sudah tidak ada di sekolahnya. Dia menumpang pada temannya ke tempat les, karena aku telat menjemputnya. Karena itu pula Ia marah padaku, Ia bahkan mendiamkan aku sedari tadi. "Aluna, makan dulu nak. Mama sudah buatkan ayam goreng mentega kesukaan kamu," aku mengetuk pintu kamar Aluna yang Ia kunci dari dalam. Cukup lama, dan tidak ada jawaban sedikitpun dari putriku itu. Dia memang sangat keras seperti ayahnya, dan mungkin karena memiliki kesamaan itu, mereka jadi saling mendukung. Saat Mas Fajar pulang dan mengetahui kalau aku telat menjemput Aluna, hingga Ia merajuk dan melewatkan makan malam, maka aku akan menjadi sasarannya. "Aluna," Aku masih berusaha membujuknya, bagaimana pun hari ini sudah cukup melelahkan. Aku tidak bisa lagi menghadapi kemarahan Mas Fajar saat dia kembali sebentar. Jika dipikir-pikir, aku merasa tidak pernah dihargai dalam rumah ini. Baik suami, maupun putriku. "Aluna, Mama tunggu di bawah yah. Kamu harus makan," ujarku. Aku sudah lelah membujuknya. Aku kembali turun ke ruang keluarga. Duduk di sofa dan menonton televisi yang tidak begitu menarik. Apakah ini masih pantas disebut ruang keluarga? Bahkan tidak ada kehangatan keluarga di ruangan ini, hanya aku sendirian yang selalu menempatinya. Waktu yang terus berputar dalam keheningan membuat mataku perlahan terpejam, aku tertidur dalam keadaan duduk di atas sofa. Menunggu Mas Fajar kembali dan juga menunggu Aluna untuk turun dan makan malam. "Pukul sebelas," gumamku pelan, mataku masih setengah terpejam saat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam lewat beberapa menit. Aku terbangun saat mendengar suara dentingan sendok yang beradu terdengar nyaring. Tidak lama kemudian terdengar suara gelak tawa yang sangat aku kenali. Aku berdiri, melangkahkan kakinya ke arah ruang makan, aku yakin suaranya berasal dari sana. Dugaanku benar, saat melihat Mas Fajar dan Aluna sedang makan bersama. Mereka sesekali bercanda hingga tawa lepas itu keluar begitu saja. Tidak ada sandiwara di dalamnya, dan aku merasa iri melihatnya. "Kenapa kau berdiri di situ?" Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini, hingga aku tidak menyadari kalau mereka sudah selesai. Aluna bahkan melaluiku dan kembali ke kamarnya tanpa aku sadari. "Kau ini kebiasaan, kalau ditanya hanya diam," decak Mas Fajar. "Aku dengar kau telat menjemput Aluna, bahkan seperti itu saja kau tidak becus melakukannya," Mas Fajar kemudian meninggalkan aku setelah mengatakan itu. Aku memejamkan mata sejenak, kurasakan perutku yang nyeri. Aku belum makan sejak siang tadi. Aku melangkah ke arah meja makan, melihat makanan yang tersisa. "Bukannya mereka makan ayam goreng mentega?" Gumamku, aku melihatnya dengan jelas tadi. Tapi, kenapa ayam goreng mentega buatanku masih utuh, tidak ada kurangnya sedikit pun. Aku kemudian berjalan ke dapur, dan melihat tempat sampah. "Hahaha," Entah aku harus berekspresi seperti apa, aku mencoba untuk tertawa saat sebutir air mataku jatuh tanpa bisa aku cegah. Mas Fajar bukanlah tipe orang yang begitu peduli hingga mengingat makanan kesukaan seseorang, termasuk Aluna. Melihat tempat makanan dari sebuah resto kesukaan Aluna membuat aku mengerti, Aluna yang memintanya pada Mas Fajar. Aku kembali kemeja makan, mengambil piring dan mengisinya dengan nasi yang juga masih utuh seperti semula. Aku juga harus mengisi perutku dengan makanan, aku harus menghabiskan ayam goreng mentega yang aku buat agar tidak terbuang sia-sia. Berusaha menelannya meskipun dadaku terasa sesak, dan sialnya air mataku juga menyertai."Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah.Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan."Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan.Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Al
Aku duduk sendiri dibalut sepi, pikiranku melayang-layang memikirkan tentang Mas Fajar. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dan itu membuat aku tidak tenang.Memang bodoh, aku akui kalau aku bodoh. Aku bahkan masih mencintainya dengan sangat, padahal dia tidak pernah mencintai aku. Aku tidak pernah memiliki hatinya, dan sekarang aku malah ketakutan sendiri. Takut jika ada orang lain yang bisa memenangkan hatinya, dan itu bukan aku. "Haruskah aku menyusulnya?" Aku masih berseteru dengan pikiranku. Aku tahu, Mas Fajar mengawasi aku meski pun tidak secara langsung. Tapi aku yakin, ada orang suruhannya yang akan selalu mengintai setiap pergerakanku."Aku akan pergi," putusku akhirnya. Dari pada pusing sendiri, lebih baik aku menyusul Mas Fajar ke kantornya kan.Aku segera bersiap. Cukup lama, bagaimanapun aku harus tampil maksimal jika ke kantor Mas Fajar. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuat isu yang menggemparkan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama karena pada
Aku sengaja membuang muka saat Mas Fajar mengambil tempat untuk duduk di dekatku. Aluna sengaja memindahkan sofa kecil lalu duduk di hadapan kami. Untuk pertama kalinya, ruangan keluarga ini terisi dengan lengkap. Bolehkah aku berharap? Keluarga kami akan baik-baik saja, dan apa yang aku lihat siang tadi hanyalah mimpi belaka."Mama masih sedih?" tanya Aluna, Ia menatapku dengan sorot mata yang menggambarkan rasa bersalah."Tidak sayang, Mama hanya lelah. Hari ini cukup melelahkan," ujarku disertai senyuman."Baiklah, jadi seperti ini. Aku diberikan tugas oleh guruku. Yaitu merekam aktivitas aku dan keluarga dari pagi hari hingga malam." Aku melirik Mas Fajar sekilas, lalu kembali membuang muka. Melihatnya saat ini sudah membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimana caranya kalau aku harus kembali berakting lagi, menampilkan keluarga harmonis kami dalam rekaman Aluna. Apa aku bisa melakukannya kali ini? Sedangkan ada luka yang harus diobati, sudah cukup menyakitkan saat harus berpura-pur
"Pagi sayang." Aku diam mematung, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.Aku menyentuh pipiku, masih tersisa rasa hangat yang menjalar dari bekas ciuman Mas Fajar. Apa-apaan ini, kenapa dia berubah jadi seperti ini. Apa kepalanya terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan sebagian ingatannya? Mas Fajar bahkan tersenyum melihatku, tangannya melingkar di pinggangku."Selamat pagi Mama, baru kali ini Mama telat bangun." Aluna memelukku, lalu mengecup pipiku, sama seperti yang dilakukan Mas Fajar. Ada apa dengan mereka? "Mama, Ayah sudah menyiapkan sarapan, ayo kita sarapan." Aluna menarik tanganku menuju ruang makan. Aku masih diam, masih belum memahami apa yang terjadi. Dan apa yang dikatakan Aluna barusan? Mas Fajar menyiapkan sarapan? Aku tidak yakin, dapur adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi Mas Fajar di rumah ini, jika ingin makan pun Ia hanya perlu menunggu di ruang makan."Aluna, kamu tidak ke sekolah nak?" tanyaku, Aluna sepertinya sudah selesai mandi pag
"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya."Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!""Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," "Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. "Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin
"Sayang, aku pergi dulu," Mas Fajar mencium keningku sebelum Ia masuk ke dalam mobilnya. Ia berangkat bekerja bersama dengan Aluna, jadi aku tidak perlu lagi mengantar Aluna ke sekolah.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Ia lakukan, tiba-tiba berubah menjadi hangat dan seakan menyayangiku. Padahal sudah satu minggu berlalu, dan Aluna tidak pernah lagi merekam aktivitas kami. Namun Mas Fajar tetap mempertahankan perannya.Tapi aku tidak peduli lagi, semuanya sudah terlalu abu-abu. Kita sudah terlalu hancur untuk kembali bersatu, yang harus aku lakukan sekarang adalah mencaritahu. Jika Mas Fajar tidak ingin memberitahuku, maka aku akan mencaritahu sendiri.Aku sudah membuat rencana, aku akan berpura-pura pergi ke Mall dan keluar dari sana tanpa diketahui siapapun. Terutama sopir dan para pengawal Mas Fajar yang selalu mengintaiku. Dan semoga aku bisa melakukannya."Aku harus membawa baju ganti," gumamku, mempersiapkan semua yang aku perlukan. Setelah itu aku pergi, aku sengaja mengirim
Aku duduk sendirian di tepi pantai, melihat dengan jelas gelombang-gelombang ombak yang berlomba-lomba untuk sampai. Aku kembali, aku melakukan ini lagi setelah sekian lama tidak melakukannya. Aku pernah mengatakannya kan, aku menyukai pantai.Aku sengaja menonaktifkan ponselku, agar tidak ada yang menghubungiku. Jika dipikir-pikir, mengapa aku jadi begitu berharap untuk dicari. Mereka mungkin tidak menyadari ketidakhadiranku.Benar, aku belum pulang ke rumah setelah bertemu dengan Mbak Ajeng. Aku hanya duduk di sini selama berjam-jam, mencoba memulihkan tenagaku. Aku harus kembali terlihat baik-baik saja saat kembali ke rumah, dan itu membutuhkan tenaga yang lebih banyak."Ayo kembali Mentari, tidak lama lagi. Kau hanya perlu bertahan hingga Aluna masuk ke perguruan tinggi," aku menyemangati diriku sendiri.Aku berdiri, bagaimana pun aku harus kembali ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan malam, seharusnya Aluna sudah ada di rumah. Aku bahkan me
Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan keluar, membangunkan Aluna yang harus bersiap untuk sekolah. Aku menyadari, Mas Fajar tidak pulang. Namun aku tidak lagi peduli. "Aluna, bangun nak," aku membangunkan Aluna yang masih tertidur. Setelah membangunkan Aluna, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Setelah itu aku juga bersiap, aku harus mengantar Aluna ke sekolah. Aku juga sekalian mengemas beberapa pakaianku ke dalam koper, sepertinya aku perlu liburan. Jika diingat-ingat, setelah menikah aku belum pernah pergi berlibur. Aku hanya terus terkurung di dalam rumah besar yang tidak bernyawa ini. Menyedihkan sekali hidupku selama ini. "Mama mau pergi?" Saat masih memasukkan beberapa keperluanku ke dalam koper, Aluna muncul di ambang pintu kamar. "Iya sayang, Mama harus mengunjungi nenek. Kemarin Mama dapat kabar kalau nenek sedang kurang sehat," kali ini aku tidak berbohong, ak
"Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah
"Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan
Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men
Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun
Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami
Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer
"Mas...." Pikiranku mulai melayang-layang, tentang Mbak Dian dan aku. "Tidak mungkin Mas," tolakku. Saat melihat tatapan mata Mas Fajar yang meyakinkan aku, seolah Ia tahu apa yang ada di dalam isi kepalaku."Dia sudah meninggal!" racauku.Aku berusaha menolak apa yang ada dalam pikiranku. Itu tidak mungkin, tapi mengapa aku malah merasa kalau sisi lain dari dalam diriku membenarkan hal itu.Aku menggigit jari telunjukku, merasakan bibirku yang bergetar diiringi napas berat yang memburu, aku mulai ketakutan. Dan aku kembali melakukan kebiasaan buruk yang sudah nyaris terkubur dalam-dalam, kebiasaan buruk yang sudah aku lupakan sejak lama."Tari, lihat Mas," lirih Mas Fajar menyadarkanku, tapi aku menepisnya. Aku seolah ditarik untuk masuk kembali ke lubang gelap yang nyaris terlupakan.Aku mencoba untuk berdiri dan menjauh dari Mas Fajar, tapi aku merasa lemah. Tubuhku terasa tidak bertenaga, seluruh pengelihatanku menggelap. A
Seperti yang dikatakan Mas Fajar, yang mengakui bahwa dirinya akan kehilangan pekerjaan. Dan benar saja, ternyata selama ini Mas Fajar tidak hanya lari dan bersembunyi dari aku. Tapi, juga dari kondisi perusahaan yang harus berada di ujung tanduk karena kasus ini.Tidak ada pilihan lain, Mas Fajar harus diasingkan selama beberapa waktu. Menunggu kondisi kembali membaik, dan kalaupun Mas Fajar kembali ke kantor, mungkin Mas Fajar tidak bisa lagi mendapati jabatannya yang lalu.Tapi untuk sementara waktu, kita sepakat untuk tidak memikirkan hal itu. Karena ada hal lain yang perlu kami pikirkan lebih jauh, tentang keluarga kami dan segala kepingan-kepingan kebenaran yang harus aku kumpulkan satu-persatu."Apa Aluna akan baik-baik saja Mas? Ini kali pertama aku jauh dari Aluna dalam waktu lama," cemasku, memikirkan Aluna yang pergi ke negeri kincir angin. Bersama dengan Bunda dan Baim, menghadiri acara keluarga Mas Fajar. Aluna adalah satu-satunya perwakilan y
Aku menatap Mas Fajar dan Aluna yang sedang belajar bersama, meski terlihat ada sekat yang masih menjadi penengah. Namun Mas Fajar tampak berusaha mendekati Aluna.Aku telat bangun karena kelelahan, sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Bagaimana mereka berdua kemudian bisa duduk bersama.Perlahan senyumku terbit, saat melihat Mas Fajar yang mencoba bersikap hangat pada Aluna yang masih berusaha memberi jarak.Aku beralih menatap Mas Fajar, membuat aku teringat dengan obrolan kami semalam. Saat Mas Fajar menceritakan beberapa hal, meski belum selesai dan belum jelas. Tapi kami hentikan dengan Mas Fajar yang berjanji akan melanjutkannya lagi."Mama sudah bangun?" tanya Aluna, Ia menyadari keberadaan aku yang berdiri menatap mereka."Ah iya." Aku berjalan mendekati mereka, mengusap rambutku yang masih terasa lembab sehabis keramas.Aku duduk di dekat Aluna, sehingga Aluna berada ditengah. Diantara aku dan Mas Fajar.