Setahun berlalu, Siti memberi waktu untuk Kumbang berpikir, ya mungkin dia akan berpikir dan tersadar jika Siti adalah wanita si buruk rupa yang sebenarnya sangat Kumbang cintai. Cinta pasti akan membawa Kumbang kembali kepada Siti. Dia meyakini itu sampai rasa rindunya tidak dapat terbendung lagi. Siti pun memutuskan untuk menengok Kumbang di kampung halamannya.
Siti tahu penampilannya pasti akan menarik perhatian. Dia menutupi segala keburukan yang ada pada tubuhnya dengan jubah. Menutupi wajahnya dengan kerudung berwarna hijau yang dililitkan dari hidung sampai leher. Beberapa malam Siti datang ke desa Umayang hanya untuk menengok kumbang dari kejauhan. Setelah dia memastikan Kumbang baik-baik saja, hatinya pun lega untuk meninggalkan.
Saat Siti hendak pulang, dia melihat seorang gadis yang sedang dicekik oleh siluman berkekuatan hitam. Siluman itu menghirup sari pati sang gadis hingga kulitnya menjadi kisut. Sontak Siti berlari bermaksud mengusir siluman jahat tadi.
“Lepaskan dia!” seru Siti Lampir mengacungkan tongkat saktinya.
Sang siluman yang melihat mata dari tongkat Siti menyala, seketika ketakutan setengah mati. Dia tahu tongkat sakti itu adalah tanda pemilik dunia kegelapan. Sang siluman pun sekejap menghilang, melepaskan tubuh gadis lunglai yang terjatuh di tanah.
Siti segera menghampiri gadis malang itu dan memeriksa keadaannya. “Syukurlah kau masih hidup.”
Gadis itu tersadar lantas merangkak mundur merasa terancam. Sosok yang dia jumpai bahkan lebih menyeramkan dari wajah siluman tadi. Sang gadis pun menggigil ketakutan.
“Rupanya engkau dedemit itu!” Siti menoleh ke belakang, tepat pada warga yang mengerubunginya.
Beberapa pemuda datang membawa sang gadis, beberapa lagi datang meningkahi Siti. “Serang penyihir itu!”
Pastilah Siti menghindar dia tidak ingin melukai orang-orang yang tengah menyerangnya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Janganlah kalian Main hakim sendiri! Saya tidak seperti apa yang kalian tuduhkan! Kalian akan menyesal bila melawan saya!”
“Jangan dengarkan apa kata dia! Ayo serang!” Salah satu warga berseru dengan dialek khas Minang lantas mereka berlari menghajar Siti dengan benda apa pun yang dibawa.
Siti mengeluarkan jurusnya melihat banyaknya orang yang datang menyerbu melibaskan Ruduih dan menyisipkan piraik di sela jari mereka. Adu silek pun tak bisa dielakkan, satu-persatu warga tumbang walau hanya adu keterampilan bela diri.
“Itu dia Ki, dia terlihat sangat sakti.” Seseorang datang lagi, sepertinya dia adalah orang berilmu di kampung ini. Adu kekuatan antara Siti dan seorang lelaki bernama Ki Manang pun terjadi. Siti bisa saja melawan dengan tongkat saktinya tapi lagi-lagi dia memilih menghindar alih-alih mencelakai banyak orang.
“Ada apa ini?!” Siti berhenti mendengar suara seseorang di balik tubuh Ki Manang. Suara khas yang sangat Siti rindui. Kelengahan Siti dimanfaatkan Ki Manang, dengan ilmunya Ki manang berhasil menangkap Siti.
“Penyihir ini, dia yang selama ini membuat ricuh kampung kita! Membunuh perawan, dan menculik bayi-bayi!” kata Ki Manang masih memegangi tubuh Siti.
“Itu tidak benar Datuk! Datuk ingat pada saya kan? Datuk tahu saya tidak mungkin melakukannya.” Siti membuka selendang dari mulutnya agar Kumbang dapat mengenalinya lagi.
Lelaki itu mengernyitkan dahi. “Oo rupanyo engkau ... penyihir yang pernah menculik Awak!”
Siti terkesiap. “Itu tidak benar, saya hanya berusaha menolong Datuk.”
Ki Manang memegang bahu Kumbang seraya menunjuk tongkat sakti milik Siti. “Jangan terkecoh padanya. Lihat, dia memiliki tongkat Serintil. Artinya dialah generasi penerus kesaktian Nenek tua itu! Namanya Lampir. Dia dan pasukannya yang telah membunuh Inyiak-inyak muda dan menculik gadis-gadis untuk dijadikan tumbal! Kau harus ingat Kumbang, kau baru saja memiliki seorang putri. Bila kita membiarkannya pergi maka nasib keturunan-keturunan kita akan terancam.”
Seorang putri?! Benak Siti bertanya-tanya. Rupanya kurun waktu setahun Kumbang sudah melupakan dirinya? Sulit di percaya. Namun begitu Kumbang menoleh ke belakang, pada seorang perempuan yang tengah menggendong bayi dalam dekapan. Barulah Siti tersadar.
“Mala, bawa pulang Seruni, Cepat!” seru Kumbang pada perempuan berkulit putih itu.
Bukan main sakit hatinya Siti. Rasanya dia ingin menghilang cepat-cepat dan menangis. Bagaimana mungkin setelah apa yang Siti lakukan pada Kumbang, lelaki itu tega begitu saja melupakan dirinya.
“Kenapa Datuk tega sekali mengkhianati Siti?!” Air mata Siti berlinang.
“Apa maksud kau Lampir?! jangan kau sebut-sebut lagi nama gadis suci itu untuk melunakkan hatiku!”
“Saya memanglah Siti! Wanita yang Datuk cintai!”
“Siti sudah hilang ditelan bumi! Mungkin kau juga yang telah melenyapkannya! Ki Manang, ayo segera kita tangkap dia!”
Kumbang dan Ki Manang mengejar Siti yang mulai merasa terancam. Dia menghindar namun Kumbang berhasil menangkapnya, menyeretnya, memukulnya tanpa ampun, bahkan mengerahkan kekuatan saktinya untuk melumpuhkan Siti hingga lunglai merangkaki tanah. Para warga berdatangan membawa obor api, mengelilingi Siti yang tengah keletihan. Sakit hatinya begitu membekas mencabik-cabik seluruh jiwa. Amarahnya kini lebih membara dari api yang disulurkan ke rumput melingkari dirinya.
“Bunuh dia!” Sorak-sorai penduduk menghakiminya. Kebodohan, hasutan tanpa mencari kebenaran. Mereka membuat Siti bagai penjahat berat yang harus menerima ganjaran dari apa yang tidak pernah Siti kerjakan.
Siti mencoba bangkit, dibiarkannya amarah menguasai dirinya. Dia bisa saja memusnahkan semua orang yang ada di sini. Tapi tidak sekarang ... tidak secepat itu. Dia harus membuat Kumbang merasakan sakit seperti yang dia rasakan. Siti mengangkat tongkat sakti setinggi-tingginya lalu menancapkan ujung tongkat itu ke tanah. Tanah berumput pendek itu meretak, asap gelap keluar dari bawah kaki Siti menjadi kabut tebal menyelimuti desa Umayang. Para warga terbatuk-batuk, berhamburan mencari perlindungan. Pada saat itulah, dengan kekuatannya Siti lenyap dari pandangan.
Siti menerobos ranting-ranting bergantungan menutupi muka gua. Menyibak tanaman liar merembet menutupi pandangan, mengenyahkan sarang laba-laba di atas kepalanya. Dia berjalan cepat menuju Serintil.
“Kembalikan wujud saya, Nek!” Siti menarik Serintil tanpa tata kerama.
“Aku sudah mengingatkanmu jauh-jauh hari Lampir! Nasi sudah menjadi bubur, kau yang memilih takdirmu, kau juga yang harus menghadapinya.”
“Tapi Saya tidak bisa hidup terus-terusan mendapat tuduhan, menghadapi orang-orang yang selalu memperolok saya. Tidak satu pun yang sudi mendengarkan, mereka melihat penampilan buruk saya lantas menuduh membabi-buta tanpa mencari tahu kebenarannya.”
“Begitulah kehidupan manusia, Lampir ... mereka munafik! Mereka memujamu bila kau cantik, bila kau terlihat sempurna, tapi bila kau tidak punya kedudukan, miskin dan buruk rupa. Lihat apa yang dilakukan mereka! Aku hanya mencoba membuka pikiranmu Lampir ... apa yang kau kejar-kejar selama ini hanya fatamorgana, aku membuka penglihatanmu ... bahwasanya mereka hanya tersenyum palsu padamu, mereka semua berpura-pura. Tidak ada ketulusan dikehidupan manusia.”
Siti kembali tersedu-sedu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Lalu apa yang harus saya lakukan? Rasanya sakit, Nek ... saya belum pernah merasakan sesakit ini. Apalagi begitu mengetahui Kumbang telah menikahi perempuan lain.”
Serintil mencengkam kedua pundak Siti, menatapnya tajam. “Berhenti merengek! Kau tidak perlu belas kasihan siapa pun. Kau tidak perlu pengakuan manusia! Kau tidak perlu mengemis cinta pada lelaki busuk itu! Kau adalah Lampir ... penguasa kegelapan! Kau bisa menghancurkan mereka semua yang telah menghinakanmu! Bunuh mereka Lampir! Binasakan semua orang yang telah menyakitimu!”
Sejak saat itu, saat semua orang menganggapnya adalah penyihir jahat--Lampir benar-benar mengikuti saran Serintil. Tidak ada gunanya menjadi manusia baik, bila tidak ada yang mempercayai dirinya adalah makhluk baik. Untuk apa ilmu yang dia pelajari selama ini kalau bukan untuk menguasai dunia. Menyingkirkan manusia-manusia munafik, lelaki hidung belang dan para penguasa yang tamak harta. Tak terkecuali menyingkirkan semua orang yang menyakiti hatinya. Malam itu Siti menyelinap ke desa Umayang mengendap ke rumah Kumbang dan keluarga kecilnya. Melihat kekasihnya yang jahanam itu bersenda gurau dengan istri dan anaknya. Luntur sudah rasa cinta berganti kebencian yang tersirat dalam gelap bola mata Siti. “Datuk! Datuk!” seseorang mengetuk pintu rumah Kumbang. “Ada apa? Kenapa napas kau naik turun begitu?” tanya Kumbang saat mengetahui pemuda di depan pintu membungkuk memegangi lutut seolah telah menempuh jarak yang jauh untuk sampai. “Tadi, ada warga yang melihat Mak Lampir terbang mem
“Heh gelandangan, senaknya aja tidur di depan ruko! Pergi! Pergi sana!” teriakan lelaki gempal membangunkan pagi Siti yang terasa dingin. Dia mengucak mata terus terduduk belum sepenuhnya tersadar sampai si lelaki mengambil sapu dan memukulkan gagang sapu tadi ke lantai sambil berseru menggelegar, “disuruh pergi malah bengong! Lu tuli?! Cepetan pergi sana!” Mau tak mau Siti bangkit dari lantai. Dia mengikuti langkah kakinya entah ke mana tak ada tujuan. Teringat apa yang dikatakan oleh Nenek Serintil, bahwasanya dunia itu memanglah kejam. Manusia-manusia itu baik pada orang-orang berduit. Orang-orang yang mempunyai harta dan takhta, dan semua itu telah lenyap darinya. Perut Siti mulai tidak bersahabat. Lupalah dia belum makan sejak kemarin siang. Dilihatnya tukang jajanan di sepanjang jalan, lantas Siti meraba kantong bajunya yang bolong hingga jari-jari tangannya terlihat dari luar. Malang nian nasib mantan putri Champa dan penguasa kegelapan. Tak ada cara lain baginya untuk mengeny
“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bim
“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, te
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti
“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.“Mungkin halusinasi, Pak.”“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim