“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.
“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.
“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”
Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”
“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.
“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.
“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, terus siapa yang jaga? Lagian gue juga enggak punya pengalaman ngurus bayi.” Siska mengembalikan lagi bayi itu pada Bima. “Mas Bima aja. Anak baru ngalah kenapa.”
“Lah kok gue lagi, gue juga tinggal sendirian.”
“Mas Bima kan punya tunangan, kalau lagi tugas titip aja anak ini sama tunangan Mas Bima.”
“Haish.” Bima mengusap wajahnya sambil memandang Siti yang sudah dia masukkan ke dalam sel. Agak menyesal sih sebetulnya. Ajeng dengan predikatnya sebagai anak konglomerat mana mau berbagi tugas menjaga bayi. Bisa-bisa bayi ini enggak diawasi karena dia sibuk ke salon atau mobile dengan teman-teman sosialitanya. Tapi enggak ada salahnya kan mencoba. “Ya udah deh. Gue yang bawa.”
Apa yang dibayangkan Bima pun terjadi. Setelah pulang, Bima yang lapar harus menunda makannya karena bayi itu terus menangis. Bima menggendongnya, tapi tetap saja si bayi menangis. Diambilnya botol susu dari tas si bayi yang tadi berada di mobil. Sebentar saja dia diam, begitu susunya habis si bayi pun kembali menangis. Bima mencari stok susu lagi di dalam tas, sayangnya orang tua si bayi tidak menyediakan cadangan lagi sehingga Bima kelimpungan mendiamkan si kecil yang ia panggil, “Montok.”
“Cup ... cup ... cup ... udah diem dong. Kepala gue mau pecah nih denger tangisan bayi.” Tak tahan akhirnya Bima menelepon Ajeng, meminta pertolongan kekasihnya untuk membelikan susu bayi. Sejak dua hari yang lalu Bima memang belum sempat bertemu Ajeng. Apalagi bercerita kalau dia sudah dipindah tugaskan ke korlantas. Ajeng pasti kecewa, maka dari itu Bima berusaha menyembunyikan jabatannya sekarang.
Tak lama Ajeng datang dan terkejut melihat bayi di rumah Bima. “Bayi beneran?!”
“Ya iya lah Yang, masa gerak-gerak begini dikira boneka.”
“Aku pikir susu bayinya buat ponakan kamu.” Ajeng mengeluarkan kotak susu dari dalam tas belanjaannya.
“Tolong buatin susu ya, Yang. Aku enggak ngerti cara buatnya.” Bima membolak-balikkan kotak mencari petunjuk pembuatan susu.
“Kok aku sih, aku kan belum punya anak mana ngerti.”
“Kamu kan perempuan bisanya punya naluri keibuan.”
Ajeng memutar bola matanya ke atas. Demi sang kekasih akhirnya dia mau membuatkan susu meski hanya menerka-nerka tingkat suhu dan takaran susunya. Setelah kenyang menyusu akhirnya si Montok tenang juga. Bima meletakkan si Montok di atas kasurnya, kemudian menghampiri Ajeng untuk memeluk kekasihnya melepas rindu. Baru juga mau bermanja, si Montok kembali menangis lebih kencang dari sebelumnya.
“Haduh, Montok kenapa lagi sih.” Tak jadilah Bima dekat-dekat dengan Ajeng. Dia malah menimang si montok lagi.
Ajeng tak senang hati apalagi belakangan ini Bima terlampau sibuk dengan pekerjaannya. Seharusnya hari ini menjadi hari menyenangkan untuk mereka. Di luar dugaan, tampaknya Ajeng harus mengalah lagi gara-gara bayi. Bukan bayi mereka, bukan juga bayi sepupu mereka, melainkan bayi orang yang belum pernah Ajeng kenal.
“Coba kamu periksa pampersnya, Bim.” celetuk Ajeng sambil cemberut.
Benar saja, ketika membuka celana si Montok tercium bau tidak sedap yang membuat lapar Bima hilang sekejap. Dia tidak kuasa kalau harus membuka mengganti popok Montok apa lagi membersihkan kotorannya.
“Yang, dia pup!” Seru Bima memencet hidungnya.
“Ya, kamu bersihin dong. Kan dia tanggung jawab kamu.” Dari pada berurusan dengan bayi kotor lebih baik Ajeng pulang. Gadis itu mengambil tasnya di dekat Bima.
“Loh kamu mau ke mana?”
“Aku masih ada acara sama temen-temen.”
“Emang enggak bisa ditunda? Sebentar lagi aku ada tugas malem. Enggak bisa nitip jagain si Montok sebentar?”
Ajeng berdecap sambil melipat tangan di dada. “Enggak bisa. Acaraku juga penting. Kamu aja ya yang urus, atau kasih aja temen-temenmu yang bisa urus.”
“Tapi ...” Belum juga selesai bicara, Ajeng sudah melambaikan tangan ke Bima sambil berlalu.
Bima mendengkus di depan si Montok. “Hedeh, ini gara-gara lu, Ajeng jadi ngambek. Harusnya hari ini gue bisa pacaran. Malah harus ngurusin bayi bau.”
Mau tak mau, dengan berat hati Bima membersihkan kotoran si Montok sebisanya. Hitung-hitung latihan sebelum punya anak. Anggaplah pernikahannya dengan Ajeng akan segera terlaksana, toh kalau dia sudah jadi Bapak harus melakukan tugas seperti ini dengan sukarela. Bima melamuni nasib rumah tangganya nanti. Sepertinya dia harus menyewa babysiter kelak agar tidak bersusah-susah seperti sekarang. Babysiter? Oh iya! Kenapa baru terpikir olehnya.
“Heh, anak baru ...minggir lu, di situ tempat tidur gue!”
Sementara di dalam sel tahanan, Siti yang tengah meringkuk di tendang oleh seorang wanita berperawakan besar. Siti duduk dan menatap si wanita besar dengan pandangan tidak senang.
“Wah, nantangin. Heh Nek! Jangan pikir gue iba ya sama Nenek kempot. Lebih baik Nenek nurut dari pada tulangnya gue patahin!”
Siti mendengkus, memiringkan bibirnya ke atas, menatap nyalang wanita tinggi besar di depannya. “Saya bukan Nenek-nenek!”
Sontak beberapa tahanan wanita di dalam sel ikut tertawa.
“Terus lu siapa? Oo lu ngerasa muda?! Ngerasa kuat gitu buat ngelawan gue?!” Si wanita besar langsung menarik pakaian Siti hendak memukul tapi tangan Siti tidak kalah gesit menahan pukulannya.
Siti membisik mengucap mantra berkali-kali yang membuat si wanita besar merinding. “Hasamanna thnahina anaralimaninanni. Venha manaintana. Abyatvaha khovusta.”
Sang wanita besar mengarahkan seluruh tenaganya mendorong Siti kuat-kuat sampai tubuh Siti terperosok ke lantai. Dia mundur selangkah dan menyuruh anak buahnya untuk memukuli Siti. Menarik rambutnya dan menendang Siti berkali-kali. Tiba-tiba di tengah kegaduhan terdengar suara nyaring peluit.
“Woi, ada apa ini ribut-ribut!” Polisi datang melerai pengeroyokan Siti. Sontak para perempuan itu menghambur menjauhi Siti.
“Hah, dia lagi yang bikin ribut.” Bima berkacak pinggang di luar sel. “Ayo, Do cepet ke luarin dia.”
Siti ditarik Edo ke luar sel menghadap Bima. kepalanya menengadah menatap Bima penuh tanda tanya.
“Kamu mau dihukum atau mau bebas?” tanya Bima spontan.
“Bebas,” jawab Siti lesu.
“Makannya jangan buat masalah terus.” Siti tidak menjawab, hanya bisa menunduk. Ya, di depan Bima, hanya di depan Bima—Siti menjadi wanita penurut.
“Mulai hari ini kamu bebas dari sel karena saya yang jadi penjamin kamu. Tapi ada syarat kebebasannya.” Perkataan Bima membuat Siti mengadakan kepala kembali.
“Apa syaratnya?” parau Siti bertanya.
“Ikut saya!” Bima menggerakkan jemarinya menyuruh Siti untuk mengikutinya.
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti
“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.“Mungkin halusinasi, Pak.”“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l
“Sebenarnya buat apa kamu bawa saya ke mari?” Siti memerhatikan sekeliling kamar mewah yang baru saja disewa Bima. Atensinya beralih ke jendela lebar tempat lampu-lampu gedung menyala. “Ini.” Bima memberikan beberapa lembar kertas pada Siti dan perempuan itu hanya bisa membolak-balikan kertas sampai Bima menunjukkan gambar kolom padanya. “Paraf di sini.”“Paraf?” tanya Siti masih bingung.“Tulis nama kamu di sini.”“Kamu mau bodohi saya? Saya sudah bilang kan saya enggak bisa baca dan tulis dengan gaya huruf jaman sekarang.” Ketus Siti.“Oke, pakai gambar juga enggak apa.” Siti menulis namanya dengan huruf sanskerta dan membuat Bima terbengong dibuatnya. “Wah, kamu enggak bisa baca tulis tapi bisa huruf sanskerta?”Siti tidak menanggapi dia terus menulis, lalu menjeda gerakkannya. “Sebentar, ini sebetulnya surat apa?”“Surat kontrak kerja sama selama setahun.”“Setahun?!” Siti ingin protes tapi dia terburu membubuhkan namanya di kertas itu. “ Kerja sama apa?”“Kerja sama membantu p
Bima berlari begitu mendengar teriakan dari gaget-nya. Dia sedikit heran mengapa yang dia dengar adalah teriakan laki-laki bukannya Siti. Bima mengikuti arah pendeteksi GPS, menaiki lift untuk sampai ke kamar nomor 111.“Setan!” teriak Dalton begitu Siti memegangi terus tangannya. Sekilas bayangan muncul lagi ketika Siti memegang Daton. Lelaki itu mendorong tubuh si kembar satu persatu, dan para penjaga Dalton menyeret si kembar masuk ke dalam sebuah kamar kosong.“Lukisan perempuan. Di kamar berwarna hijau, jendela terhalang besi. Suara bising jalanan, lampu-lampu kota, rumah prostitusi. Hemm ... kau menyembunyikan gadis kembar.” Siti membengis, menggeram dengan suara beratnya. Dihempaskannya tangan Dalton. “Kembalikan dia ....”“Ba-baik! Ampun ... saya mohon ampun. Akan saya lepaskan mereka.” Dalton berlutut di depan Siti. Tanpa Siti sadari lelaki itu mengambil sesuatu di kolong tempat tidur. Suatu benda yang dia lemparkan ke arah Siti. Sebuah vas bunga yang nyaris mengenai Siti
“Dia kemarin yang ngasuh Montok, kan kamu enggak mau jagain. Jadi aku sewa orang lain untuk jaga.”“Mana bayinya?!” Ajeng tengah melihat-lihat ke belakang tubuh Bima. Berusaha mencari keberadaan bayi itu.“Bayinya udah pulang.” Bima bersiap pada kemungkinan terburuk, tapi tidak. Dia tidak pernah gagal dalam meluluhkan hati wanita apalagi Ajeng.“Udah pulang?!” mata Ajeng semakin membelalak, sontak dia mendorong tubuh Bima dan memukul-mukulinya. “Kalau begitu kenapa perempuan itu masih di rumah ini?! Dia masuk ke kamar kamu lagi?!” Ajeng menunjuk Siti yang baru saja masuk ke dalam kamar Bima. Ya karena memang cuma ada satu kamar di rumah ini.“Aku tidur di luar kok, Yang. Tenang aja. Kami ... kami terlibat kerja sama. Maksudnya dia masih di sini karena bantuin aku kerja.”“Jadi kamu kasih kamar kamu buat dia?!” Ternyata pembahasan Ajeng tidak bisa move on dari kamar. Terang saja dia cemburu--selama mereka berhubungan, Ajeng tak sekalipun menginap di rumah atau pun memiliki hak di kama