“Ya yatha mam Prapadyante tams thathaiwa bhajamy aham mama Vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.”Ajeng merinding mendengar Siti terus mengucapkan kalimat yang tidak dia pahami. Dia merasa salah telah cemburu buta pada gadis aneh nan misterius seperti Siti. Benar kata Bima perempuan itu aneh dan mungkin saja dia sedang kerasukan sekarang. Kerasukan?! Bagaimana ini?! Ajeng mengambil segelas air di atas nakas dan menyiramkannya ke wajah Siti.Bukannya berhenti, Siti semakin menggeram. Dia tahu mantranya kini tidak berguna untuk memusnahkan Ajeng dari kehidupan Bima. Namun dia punya cara lain. Sambil mendengkus Siti menjerat leher Ajeng. Ajeng semakin panik. Dia nyaris menangis berusaha terus menarik tangan Siti yang sampai ke puncak lehernya Darah seakan naik ke kepalanya, dan Ajeng mulai kesulitan bernapas.“Dika jedeng sapunika!” Siti mengencangkan cekikannya sampai kaki Ajeng terangkat dari lantai. Wajahnya membiru, mulutnya mulai terbuka mencari udara. Matanya mendelik ke atas
“Apa kamu mau pindah lagi?!” Ajeng terkejut ketika Bima melihat-lihat brosur apartemen. “Iya sekalian sewa saru untuk Siti di sebelah.” “Kamu gila ya Bim, masa cewek kayak gitu kamu biarin tinggal di apartemen. Di sebelah kamu lagi.” Bima menjauhkan brosur dari wajahnya. “Kan kamu yang suruh biar dia cepet pindah.” “Ya tapi enggak di sebelah juga. Apalagi kalau kita sudah nikah dan satu rumah. Aku enggak mau tetanggan sama cewek gila itu.” “Jeng, aku udah terlanjur terikat kerja sama dengan dia, dan dalam surat itu aku yang harus menjamin keselamatan dia.” “Ya kamu batalin aja kerja samanya susah amat!” Bima mengusap wajahnya, permintaan Ajeng membuat dia pening. “Jeng, dikit lagi mungkin aku bisa mendapat simpati Pak Gunadi lalu bisa kembali ke tugas lamaku. Apa kamu mau aku tetap jadi polantas?” Ajeng mendengkus sebal. Kenapa harus perempuan gila itu yang membuat Bima ketergantungan dan sepertinya Siti sengaja menekan Bima dengan surat perjanjian mereka. “Tahu lah Bim, kamu b
Sebuah rumah sakit kepolisian menjadi tempat kunjungan Bima hari ini. Dia datang menemui kenalannya seorang analis kesehatan. Bima tak sabar menunggu hasilnya di bagian resepsionis dia langsung masuk ke dalam ruangan lab saat Ragil sedang bekerja. “Duh, bro ... main masuk aja.” Ragil melepaskan kaca matanya dan membawa Bima ke luar. “Jadi apa hasil labnya sudah ke luar?” “Ini.” Dia memberikan kertas dengan tulisan yang Bima sedikit mengerti. “Positif?” Bima menjauhkan kertas itu dari wajahnya. “Tetra hydrocanabinol.” Bima tercengang mengetahuinya. “Seperti pada ganja?” “Iya. Termasuk psikotropika.” Siang itu juga setelah dari rumah sakit, Bima meminta Siti mempertemukannya dengan Loli di sekolah, agar bocah itu mengantarkannya ke penjual permen batangan. Bocah polos itu segera menunjuk tukang mainan dorong di samping gerbang sekolah. Si Tukang sedang sibuk melayani kerumunan bocah yang tengah membeli permennya, sejenak lelaki setengah baya itu melirik ke samping tepat ketika
Bima sedang berhitung bagaimana caranya cepat sampai ke Batam, naik helikopterkah? Mana mau instansi repot-repot menurunkan heli untuk agen gadungan macam dia. Bima menghela napas, sekarang dia kembali berpikir bagaimana kalau di tunda saja pekerjaan ini? lebih baik dia kembali ke gedung mumpung masih di Jakarta, selesaikan akad dulu, baru berangkat ke Batam. Lagi-lagi menghela napas, rasanya tidak mungkin juga Ajeng akan memakluminya. Dia pasti menahan Bima untuk tidak pergi ke mana-mana.Sedari tadi Bima memandangi jendela pesawat yang belum terbang juga. Raut bimbang itu membuat Siti menyadari kalau Bima memang tengah memikirkan kekasihnya.“Kamu mikirin Ajeng?”“Ya.” Jawab Bima.“Kamu berencana pergi? Serahkan saja pekerjaan ini pada Mena.”“Andai saja semudah itu.”“Kamu tahu, kalau seorang perempuan sungguh-sungguh mencintai lelaki, dia akan melakukan apa pun termasuk bersabar menunggu. Percayalah, kalau dia memang ditakdirkan untukmu dia akan menerimamu dengan lapang dada. Kita
Siti keluar dari mobil dengan berjalan jongkok, lalu merangkak untuk bersembunyi di balik tembok selagi terjadi baku tembak antara Bima dengan para algojo mafia. Dia melihat sekeliling tempat si mafia itu bersembunyi. Pria berkulit hitam itu berpindah ke dalam mobil sang anak buah untuk mengecohkan polisi. Tanpa takut Siti berlari menantang peluru yang beterbangan demi menghadang si mafia yang ingin melarikan diri. Dia mengambil pistol yang tergeletak di tanah milik algojo sang mafia yang tumbang. Meski ragu-ragu Siti menekan pemicu—dia sering mengamati Bima menggunakan benda ini dan sekarang hanya tinggal mempraktikkannya. Kaca mobil di depannya pecah akibat peluru yang dibidikkan Siti. Papeto terkejut dia berhenti menyalakan mesin mobilnya sejurus polisi berdatangan mengepung sang mafia.“Angkat tangan! Keluar dari mobil sekarang juga!” Seru polisi pada Papeto yang tidak bisa berkutik lagi.Siti menurunkan pistolnya saat Bima menepuk pundaknya sambil berkata, “keren.” Lelaki itu bar
Bima terkekeh melihat wajah kaget Siti. Dia beralih menghempaskan tubuh ke kasur. Melipat tangan di belakang kepala.“Kenapa kamu tidur di sini?!” Siti menengok pada Bima.“Kita kan sudah nikah, jadi ya ini kamar bersama.”“Kamu pikir saya mau!” perempuan itu membelalak lagi, terus menggerutu kemudian, “belum mandi sudah naik tempat tidur!”Bima terbangun menyamping dan menyanggah kepalanya dengan satu tangan. “Kamu mau saya mandi? Berati malam ini kamu berharap kita berhubungan sumi istri? Wah harusnya saya mandi dulu.” Bima beringsut duduk sembari memasang tampang berpikir.Sebetulnya apa yang dipikirkan Bima, bukankah harusnya dia sedih tidak jadi menikahi Ajeng, atau memang dia menjadikan Siti sebagai bahan hiburan sementara untuk meringankan kesedihannya. Siti terus mengikuti pikiran negatifnya. Perempuan itu segera memukuli Bima dengan bantal.“Aduh, sakit!” Bima memegangi tangan Siti sembari tertawa.“Kenapa kamu malah tertawa?” rengut Siti kemudian.“Enggak kenapa-kenapa. Say
“Halo, Ajeng ... maaf ya aku telepon pas kamu lagi sibuk-sibuknya. Aku kira enggak bakal diangkat.” Sahabat Ajeng bernama Farah menelepon saat Ajeng sedang membakar kartu undangan pernikahannya.“Enggak kok aku lagi enggak sibuk.” Ajeng menopang dagu sembari duduk memandangi api yang menghanguskan kartu-kartu itu.“Maaf ya kemarin aku enggak bisa datang ke acara akad kamu, beneran deh kemarin aku sibuk banget. Eh, kamu lagi ganti baju pengantin ya.”“Baju pengantin apanya. Orang aku enggak jadi nikah sama Bima. Enggak perlu minta maaf juga enggak bisa dateng, Far. Emang semuanya sudah batal kok.”“Hah! Masa sih? kamu bercanda?!”“Masa aku bercanda sama hal sakral.”“Serius Ajeng, aku sekarang lagi ada di resepsi pernikahan kamu dan Bima. Aku baru aja dateng. Aku pikir kamu lagi ganti pakaian. Lihat pelaminannya cuma ada Bima sama orang tuanya, tapi pestanya tetep ada kok.”“Yang bener ?!” Ajeng berdiri saking terkejutnya. Dia tidak menyangka Bima akan tetap melangsungkan resepsi perni
“Cium ... cium ... cium ....”“Yaaa!”Semua orang memekik begitu Bima mencium pengantinnya di depan tamu undangan. Tak terkecuali Ajeng yang baru saja datang. Darahnya mendidih, seketika memuncak hingga ujung kepala, matanya melebar menyaksikan Bima melepaskan pagutannya dan tersenyum kepada penyihir yang hampir saja membunuhnya. Ajeng tidak menyangka Bima bisa berubah 380 derajat, yang tadinya hanya mencintai Ajeng kini malah berbalik menikahi perempuan laknat itu. Siti menyukai hal mistis, dia bisa menerawang dan mungkin saja dia melakukan hal-hal curang untuk membuat Bima jatuh cinta padanya. Ya, Ajeng meyakini kalau Siti mempunyai ilmu pelet dan jampi-jampi yang bisa membuat hubungan Ajeng dan Bima hancur seperti sekarang. Dia benar-benar tidak terima!Siti geram dengan sikap Bima, meski tadi Loli sudah memperingatkan akan ada acara mencium pengantin setelah lempar bunga. Tetap saja Siti merasa Bima tengah mengambil kesempatan. Tanpa pikir panjang dia menginjak kaki Bima saat mere