Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l
“Sebenarnya buat apa kamu bawa saya ke mari?” Siti memerhatikan sekeliling kamar mewah yang baru saja disewa Bima. Atensinya beralih ke jendela lebar tempat lampu-lampu gedung menyala. “Ini.” Bima memberikan beberapa lembar kertas pada Siti dan perempuan itu hanya bisa membolak-balikan kertas sampai Bima menunjukkan gambar kolom padanya. “Paraf di sini.”“Paraf?” tanya Siti masih bingung.“Tulis nama kamu di sini.”“Kamu mau bodohi saya? Saya sudah bilang kan saya enggak bisa baca dan tulis dengan gaya huruf jaman sekarang.” Ketus Siti.“Oke, pakai gambar juga enggak apa.” Siti menulis namanya dengan huruf sanskerta dan membuat Bima terbengong dibuatnya. “Wah, kamu enggak bisa baca tulis tapi bisa huruf sanskerta?”Siti tidak menanggapi dia terus menulis, lalu menjeda gerakkannya. “Sebentar, ini sebetulnya surat apa?”“Surat kontrak kerja sama selama setahun.”“Setahun?!” Siti ingin protes tapi dia terburu membubuhkan namanya di kertas itu. “ Kerja sama apa?”“Kerja sama membantu p
Bima berlari begitu mendengar teriakan dari gaget-nya. Dia sedikit heran mengapa yang dia dengar adalah teriakan laki-laki bukannya Siti. Bima mengikuti arah pendeteksi GPS, menaiki lift untuk sampai ke kamar nomor 111.“Setan!” teriak Dalton begitu Siti memegangi terus tangannya. Sekilas bayangan muncul lagi ketika Siti memegang Daton. Lelaki itu mendorong tubuh si kembar satu persatu, dan para penjaga Dalton menyeret si kembar masuk ke dalam sebuah kamar kosong.“Lukisan perempuan. Di kamar berwarna hijau, jendela terhalang besi. Suara bising jalanan, lampu-lampu kota, rumah prostitusi. Hemm ... kau menyembunyikan gadis kembar.” Siti membengis, menggeram dengan suara beratnya. Dihempaskannya tangan Dalton. “Kembalikan dia ....”“Ba-baik! Ampun ... saya mohon ampun. Akan saya lepaskan mereka.” Dalton berlutut di depan Siti. Tanpa Siti sadari lelaki itu mengambil sesuatu di kolong tempat tidur. Suatu benda yang dia lemparkan ke arah Siti. Sebuah vas bunga yang nyaris mengenai Siti
“Dia kemarin yang ngasuh Montok, kan kamu enggak mau jagain. Jadi aku sewa orang lain untuk jaga.”“Mana bayinya?!” Ajeng tengah melihat-lihat ke belakang tubuh Bima. Berusaha mencari keberadaan bayi itu.“Bayinya udah pulang.” Bima bersiap pada kemungkinan terburuk, tapi tidak. Dia tidak pernah gagal dalam meluluhkan hati wanita apalagi Ajeng.“Udah pulang?!” mata Ajeng semakin membelalak, sontak dia mendorong tubuh Bima dan memukul-mukulinya. “Kalau begitu kenapa perempuan itu masih di rumah ini?! Dia masuk ke kamar kamu lagi?!” Ajeng menunjuk Siti yang baru saja masuk ke dalam kamar Bima. Ya karena memang cuma ada satu kamar di rumah ini.“Aku tidur di luar kok, Yang. Tenang aja. Kami ... kami terlibat kerja sama. Maksudnya dia masih di sini karena bantuin aku kerja.”“Jadi kamu kasih kamar kamu buat dia?!” Ternyata pembahasan Ajeng tidak bisa move on dari kamar. Terang saja dia cemburu--selama mereka berhubungan, Ajeng tak sekalipun menginap di rumah atau pun memiliki hak di kama
“Ya yatha mam Prapadyante tams thathaiwa bhajamy aham mama Vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.”Ajeng merinding mendengar Siti terus mengucapkan kalimat yang tidak dia pahami. Dia merasa salah telah cemburu buta pada gadis aneh nan misterius seperti Siti. Benar kata Bima perempuan itu aneh dan mungkin saja dia sedang kerasukan sekarang. Kerasukan?! Bagaimana ini?! Ajeng mengambil segelas air di atas nakas dan menyiramkannya ke wajah Siti.Bukannya berhenti, Siti semakin menggeram. Dia tahu mantranya kini tidak berguna untuk memusnahkan Ajeng dari kehidupan Bima. Namun dia punya cara lain. Sambil mendengkus Siti menjerat leher Ajeng. Ajeng semakin panik. Dia nyaris menangis berusaha terus menarik tangan Siti yang sampai ke puncak lehernya Darah seakan naik ke kepalanya, dan Ajeng mulai kesulitan bernapas.“Dika jedeng sapunika!” Siti mengencangkan cekikannya sampai kaki Ajeng terangkat dari lantai. Wajahnya membiru, mulutnya mulai terbuka mencari udara. Matanya mendelik ke atas
“Apa kamu mau pindah lagi?!” Ajeng terkejut ketika Bima melihat-lihat brosur apartemen. “Iya sekalian sewa saru untuk Siti di sebelah.” “Kamu gila ya Bim, masa cewek kayak gitu kamu biarin tinggal di apartemen. Di sebelah kamu lagi.” Bima menjauhkan brosur dari wajahnya. “Kan kamu yang suruh biar dia cepet pindah.” “Ya tapi enggak di sebelah juga. Apalagi kalau kita sudah nikah dan satu rumah. Aku enggak mau tetanggan sama cewek gila itu.” “Jeng, aku udah terlanjur terikat kerja sama dengan dia, dan dalam surat itu aku yang harus menjamin keselamatan dia.” “Ya kamu batalin aja kerja samanya susah amat!” Bima mengusap wajahnya, permintaan Ajeng membuat dia pening. “Jeng, dikit lagi mungkin aku bisa mendapat simpati Pak Gunadi lalu bisa kembali ke tugas lamaku. Apa kamu mau aku tetap jadi polantas?” Ajeng mendengkus sebal. Kenapa harus perempuan gila itu yang membuat Bima ketergantungan dan sepertinya Siti sengaja menekan Bima dengan surat perjanjian mereka. “Tahu lah Bim, kamu b
Sebuah rumah sakit kepolisian menjadi tempat kunjungan Bima hari ini. Dia datang menemui kenalannya seorang analis kesehatan. Bima tak sabar menunggu hasilnya di bagian resepsionis dia langsung masuk ke dalam ruangan lab saat Ragil sedang bekerja. “Duh, bro ... main masuk aja.” Ragil melepaskan kaca matanya dan membawa Bima ke luar. “Jadi apa hasil labnya sudah ke luar?” “Ini.” Dia memberikan kertas dengan tulisan yang Bima sedikit mengerti. “Positif?” Bima menjauhkan kertas itu dari wajahnya. “Tetra hydrocanabinol.” Bima tercengang mengetahuinya. “Seperti pada ganja?” “Iya. Termasuk psikotropika.” Siang itu juga setelah dari rumah sakit, Bima meminta Siti mempertemukannya dengan Loli di sekolah, agar bocah itu mengantarkannya ke penjual permen batangan. Bocah polos itu segera menunjuk tukang mainan dorong di samping gerbang sekolah. Si Tukang sedang sibuk melayani kerumunan bocah yang tengah membeli permennya, sejenak lelaki setengah baya itu melirik ke samping tepat ketika