“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.
“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”
“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”
Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”
Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.
“Mungkin halusinasi, Pak.”
“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”
“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh lebih tenang sekarang. Saya Cuma kasih resep vitamin untuk dedeknya ya Pak.” Dokter menulis resep pada secarik kertas lantas memberikannya pada Bima.
“Terima kasih, Dok,” balas Bima yang sebetulnya kurang puas dengan jawaban dokter mengenai hidung ajaib Siti.
Sepanjang jalan mengantar Siti dan Montok pulang, Bima berusaha mengenyahkan pikiran anehnya tentang hidung Siti. Buat apa memikirkan sesuatu yang tidak berguna sementara masalah Bima semakin menumpuk. Terutama setelah Si Montok datang dan wanita aneh itu berada di rumahnya. Mau tidak mau Bima harus menyelidiki kasus pembunuhan keluarga si Montok sendirian dari pada mengandalkan Toni. Dia harus berani mengambil risiko bila ingin kembali ke perkerjaan lamanya ketimbang pasrah menjadi polisi jalanan.
“Kita enggak jadi pulang?” Siti melihat ke jendela mobil tempat mereka berhenti di sebuah gedung institusi negara.
“Kita ke sini sebentar.”
Bima mengajak Siti memasuki gedung itu. Gedung yang sibuk dengan orang-orang di meja kerjanya, kertas menumpuk dan seriap komputer menyala. Entah mengapa Bima mengajaknya ke mari, yang jelas saat ini lelaki itu sedang berdebat dengan perempuan berwajah judes.
“Masalahnya tiba-tiba saja ada yang datang ke rumah saya, tanpa mengabari dulu. Mereka bilang mereka keluarga Rafa.”
“Hari ini kami enggak mengutus orang ke rumahmu loh. Keluarga Rafa juga masih dalam proses penyelidikan makannya belum kami himbau untuk mengambil Rafa. Terus, kamu tangkap orangnya?”
“Enggak, dia terburu kabur.”
“Halah, kebiasaanmu itu mudah melepaskan bandit.” Perempuan itu memegangi dahinya.
“Saya ke sini mau minta data-data kasus Rafa.”
“Ya enggak bisa lah, Ini kan bukan wilayahmu lagi.”
“Kalau kerja kalian terlalu lama keselamatan Rafa semakin terancam. Saya punya saksi mata yang melihat bagaimana penjahatnya melakukan aksinya.”
“Siapa saksi matanya?” tanya wanita itu ketus.
“Ini.” Bima menarik Siti yang tengah bingung sendiri.
“Dia ada di TKP?”
“Enggak ada, tapi dia bisa melihat kejadian itu dengan jelas.”
“Lihat dari mana? Mata batin? Dukun?” wanita itu tertawa menanggapi Bima. “Bim, Bim ... kayak enggak punya kerjaan aja kamu, bawa-bawa dukun.”
Tentu Bima sudah tahu, dia akan dianggap orang gila bila mengatakan bagai mana dia tahu orang tua Rafa dibunuh. Rasanya mustahil masih mempercayai hal-hal klenik di era kemajuan teknologi. Entah sejenis manusia apa si Siti, indigokah, supranaturalkah, barang kali mutan seperti di film-film Amerika. Orang tak akan percaya sampai Bima menunjukkan buktinya.
“Dia ...” Siti menunjuk satu foto dari map yang terbuka. “Dia pelakunya.”
Wanita itu mengangkat sebelah alisnya, atensinya ikut tertuju pada foto itu. “Memang sidik jari yang tersisa pada ban mobil menunjukkan sidik jari laki-laki ini. Tapi sayangnya kita enggak bisa mengorek informasi karena dia sudah mati. Dia tukang kebun orang tua Rafa yang ikut di dalam kecelakaan mobil.”
“Serius?” Bima menarik kursi lantas duduk di depan Mena, wanita bertampang angkuh tadi.
“Tunggu, dari mana kamu tahu?” tanya Mena menilik Siti, penasaran.
“Sudah kubilang kan, dia bisa melihatnya.”
“Well, tapi aku enggak percaya hal kayak gitu. Atau jangan-jangan kamu terlibat?” lirik Mena lagi pada Siti.
“Heh dari kemarin dia ada terus bersamaku. Dia malah yang menyelamatkan Rafa. Aku punya bukti CCTV di rumah.”
“Kalau gitu berikan ke aku video CCTV-nya.”
Bima hendak memberikan CD yang sudah dia masukan bukti CCTV kemarin. “Boleh, dengan syarat libatkan aku juga dalam kasus ini.”
Tangan Mena menggantung di udara sejenak sebelum meraih CD dari tangan Bima. “Em ... oke, tapi ini rahasia kita.”
Dari kantor interkom Bima membawa Siti dan Montok ke hunian lainnya. Maklumlah dia bekas agen mata-mata yang tidak punya tempat tinggal tetap, kalau ada sedikit saja yang mengancam keselamatannya Bima pasti segera kabur dan berkamuflase layaknya bunglon di tempat lainnya.
Malam ini tidak sepeti biasanya, Rafa atau yang mereka panggil si Montok terus-terusan menangis sampai membuat Bima bangun dari peristirahatannya di atas sofa. Bima berusaha kembali tidur saat Montok mulai tenang sedikit, tapi baru juga mau memejamkan mata suara tangisan bayi terdengar lagi. Dia mulai kesal dan menyangka Siti tidur dari pada menjaga Rafa.
Bima membuka pintu kamar pelan dan melihat gadis itu ternyata sedang menggendong si Montok sambil mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang tidak Bima paham.
“Giac ngu yen bình la nhing gì đang tìm kiem. Dem nay sunu mindhet.”
“Kamu ngapain sih?” Bima menghampiri perempuan aneh itu. Tapi Siti tidak berhenti mengucapkan kalimat tadi meskipun si Montok tidak juga diam.
“Dem nay sunu mindhet ... ini mantra tidur, supaya dia tidur seperti orang yang terbaring di peti.”
“Dasar aneh.” Bima mengambil alih si Montok, menimang-nimangnya. “Bayi mana ngerti bahasa yang kamu ucapkan sambil berbisik. Itu malah bikin dia ngeri. Harusnya si montok dinyanyikan biar tidur.”
“Saya tidak suka menyanyi,” timpal Siti lagi.
“Apa yang kamu bisa sih.” Bima mulai bersenandung menina bobokan Montok sampai matanya mengerjap-ngerjap siap mengatup. Setelah dikiranya si Montok mengantuk dia baringkan bayi itu di atas kasur. Si Montok malah berguling ke samping menatap Siti, seolah menyuruhnya untuk dekat. Oh pasti bayi malang itu rindu kedua orang tuanya. Siti tak tega dengan tatapan lugu itu, dia mendekati si Montok, ragu-ragu mengusap kepalanya. Timbullah sedikit welas asih pada diri Siti yang selama ini tertutup dengan kegelapan.
“Dia menyukaimu,” kata Bima. Ikut berbaring sembari melanjutkan nyanyiannya.
“Dia juga suka lagumu,” balas Siti yang perlahan bisa memahami apa keinginan si Bayi.
Bima menguap lebar, tidak tahan lagi dengan rasa kantuknya, ditambah kasur empuk yang membuatnya terbaring nyaman di sebelah si Montok. Perlahan suara Bima menelan kemudian hilang bersamaan kelopak matanya yang mengatup sempurna. Rahang tegas pria itu, hidung bangir, bibir penuh dan janggut tipisnya menggambarkan bagaimana maskulinnya dia. Tidak lagi-lagi Siti teringat Kumbang, tatapannya semakin meredup setelah memandangi Bima. Tidak boleh, dia harus membentengi dirinya tebal-tebal dari rasa kagum atau suka. Tidak akan terjadi lagi kali kedua dia berhubungan dengan lelaki rupawan yang malah akan menyakitinya.
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l
“Sebenarnya buat apa kamu bawa saya ke mari?” Siti memerhatikan sekeliling kamar mewah yang baru saja disewa Bima. Atensinya beralih ke jendela lebar tempat lampu-lampu gedung menyala. “Ini.” Bima memberikan beberapa lembar kertas pada Siti dan perempuan itu hanya bisa membolak-balikan kertas sampai Bima menunjukkan gambar kolom padanya. “Paraf di sini.”“Paraf?” tanya Siti masih bingung.“Tulis nama kamu di sini.”“Kamu mau bodohi saya? Saya sudah bilang kan saya enggak bisa baca dan tulis dengan gaya huruf jaman sekarang.” Ketus Siti.“Oke, pakai gambar juga enggak apa.” Siti menulis namanya dengan huruf sanskerta dan membuat Bima terbengong dibuatnya. “Wah, kamu enggak bisa baca tulis tapi bisa huruf sanskerta?”Siti tidak menanggapi dia terus menulis, lalu menjeda gerakkannya. “Sebentar, ini sebetulnya surat apa?”“Surat kontrak kerja sama selama setahun.”“Setahun?!” Siti ingin protes tapi dia terburu membubuhkan namanya di kertas itu. “ Kerja sama apa?”“Kerja sama membantu p
Bima berlari begitu mendengar teriakan dari gaget-nya. Dia sedikit heran mengapa yang dia dengar adalah teriakan laki-laki bukannya Siti. Bima mengikuti arah pendeteksi GPS, menaiki lift untuk sampai ke kamar nomor 111.“Setan!” teriak Dalton begitu Siti memegangi terus tangannya. Sekilas bayangan muncul lagi ketika Siti memegang Daton. Lelaki itu mendorong tubuh si kembar satu persatu, dan para penjaga Dalton menyeret si kembar masuk ke dalam sebuah kamar kosong.“Lukisan perempuan. Di kamar berwarna hijau, jendela terhalang besi. Suara bising jalanan, lampu-lampu kota, rumah prostitusi. Hemm ... kau menyembunyikan gadis kembar.” Siti membengis, menggeram dengan suara beratnya. Dihempaskannya tangan Dalton. “Kembalikan dia ....”“Ba-baik! Ampun ... saya mohon ampun. Akan saya lepaskan mereka.” Dalton berlutut di depan Siti. Tanpa Siti sadari lelaki itu mengambil sesuatu di kolong tempat tidur. Suatu benda yang dia lemparkan ke arah Siti. Sebuah vas bunga yang nyaris mengenai Siti
“Dia kemarin yang ngasuh Montok, kan kamu enggak mau jagain. Jadi aku sewa orang lain untuk jaga.”“Mana bayinya?!” Ajeng tengah melihat-lihat ke belakang tubuh Bima. Berusaha mencari keberadaan bayi itu.“Bayinya udah pulang.” Bima bersiap pada kemungkinan terburuk, tapi tidak. Dia tidak pernah gagal dalam meluluhkan hati wanita apalagi Ajeng.“Udah pulang?!” mata Ajeng semakin membelalak, sontak dia mendorong tubuh Bima dan memukul-mukulinya. “Kalau begitu kenapa perempuan itu masih di rumah ini?! Dia masuk ke kamar kamu lagi?!” Ajeng menunjuk Siti yang baru saja masuk ke dalam kamar Bima. Ya karena memang cuma ada satu kamar di rumah ini.“Aku tidur di luar kok, Yang. Tenang aja. Kami ... kami terlibat kerja sama. Maksudnya dia masih di sini karena bantuin aku kerja.”“Jadi kamu kasih kamar kamu buat dia?!” Ternyata pembahasan Ajeng tidak bisa move on dari kamar. Terang saja dia cemburu--selama mereka berhubungan, Ajeng tak sekalipun menginap di rumah atau pun memiliki hak di kama
“Ya yatha mam Prapadyante tams thathaiwa bhajamy aham mama Vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.”Ajeng merinding mendengar Siti terus mengucapkan kalimat yang tidak dia pahami. Dia merasa salah telah cemburu buta pada gadis aneh nan misterius seperti Siti. Benar kata Bima perempuan itu aneh dan mungkin saja dia sedang kerasukan sekarang. Kerasukan?! Bagaimana ini?! Ajeng mengambil segelas air di atas nakas dan menyiramkannya ke wajah Siti.Bukannya berhenti, Siti semakin menggeram. Dia tahu mantranya kini tidak berguna untuk memusnahkan Ajeng dari kehidupan Bima. Namun dia punya cara lain. Sambil mendengkus Siti menjerat leher Ajeng. Ajeng semakin panik. Dia nyaris menangis berusaha terus menarik tangan Siti yang sampai ke puncak lehernya Darah seakan naik ke kepalanya, dan Ajeng mulai kesulitan bernapas.“Dika jedeng sapunika!” Siti mengencangkan cekikannya sampai kaki Ajeng terangkat dari lantai. Wajahnya membiru, mulutnya mulai terbuka mencari udara. Matanya mendelik ke atas
“Apa kamu mau pindah lagi?!” Ajeng terkejut ketika Bima melihat-lihat brosur apartemen. “Iya sekalian sewa saru untuk Siti di sebelah.” “Kamu gila ya Bim, masa cewek kayak gitu kamu biarin tinggal di apartemen. Di sebelah kamu lagi.” Bima menjauhkan brosur dari wajahnya. “Kan kamu yang suruh biar dia cepet pindah.” “Ya tapi enggak di sebelah juga. Apalagi kalau kita sudah nikah dan satu rumah. Aku enggak mau tetanggan sama cewek gila itu.” “Jeng, aku udah terlanjur terikat kerja sama dengan dia, dan dalam surat itu aku yang harus menjamin keselamatan dia.” “Ya kamu batalin aja kerja samanya susah amat!” Bima mengusap wajahnya, permintaan Ajeng membuat dia pening. “Jeng, dikit lagi mungkin aku bisa mendapat simpati Pak Gunadi lalu bisa kembali ke tugas lamaku. Apa kamu mau aku tetap jadi polantas?” Ajeng mendengkus sebal. Kenapa harus perempuan gila itu yang membuat Bima ketergantungan dan sepertinya Siti sengaja menekan Bima dengan surat perjanjian mereka. “Tahu lah Bim, kamu b
“Sebenarnya saya tidak percaya pada dia.” Datok Ranggih melirik Siti berganti melirik tongkat sakti yang Siti pegang.“Datok, percayalah Siti tidak bermaksud--" kalimat Bima terjeda oleh Siti.“Bima, wajar bila ada yang tidak percaya pada saya,” Siti menyadari betul kebodohannya 600 tahun mempercayai Serintil.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang Lampir?” tanya Datok Ranggih masih menilik penjelasan Siti. “Apa kau ingin Bima membukakan pusaran waktu kembali?”“Apa kamu ingin kembali ke kehidupan lamamu Siti?” kini mata Bima berkaca-kaca. Dia tahu Siti masih terjebak pada zaman yang tidak seharusnya. Mungkinkah Siti masih ingin memperbaiki masa lalunya?“Saya ...” Siti menjeda kalimatnya. Dia memberikan tongkat saktinya pada Bima. “Pertama saya ingin mengembalikan tongkat pusaka ini pada negara.” Lalu dia menggenggam tangan Bima seraya memandangi kedua manik ma
“Ke mana dia pergi Malik?” tanya Datok Ranggih yang kini sudah berubah menjadi manusia.“Saya tidak tahu Datok. Dia sudah nekat! Saya cemas malah Uda Bima nanti yang terbawa tipu muslihat istrinya.”“Istrinya?! Apa maksud kau?” lelaki tua itu terkejut menilik Malik.Mengetahui kesalahannya Malik langsung membungkuk di depan gurunya. “Maaf Datok. Saya berhutang janji pada Uda Bima agar tidak mengatakan rahasia ini.”“Jelaskan pada saya apa maksud perkataan kau tadi!”“Sebelum Uda Bima tahu dirinya adalah Inyiak Balang. Dia sudah menikah dengan Lampir, Datok. Dia juga tidak tahu istri yang dia nikahi sebenarnya adalah Lampir.”Datok Ranggih hanya bisa menggeleng lemah. “Mengapa sedari kemarin kau tak bilang pada Datok! Tak tahukah kau, dengan melibatkan cinta nyawa Bima terancam. Lampir pandai merayunya, bertipu muslihat berpura-pura lemah di depan Bima sampai anak m
Dalam kabut hitam nan pekat, meski mata Siti memejam saat menyilangkan kedua kakinya di atas batu tempat sang guru dahulu sering bertapa. Mata batinnya melihat sesosok itu datang dari balik kabut hitam. Rambut putih, punggung bengkok, kulit keriput dan celak mata hitam. Serintil mengikik berjalan pelan ke arah Siti. “Bagaimana keadaanmu Lampir?” “Tidaklah baik Nek. Mengapa Nenek tidak pernah bicara kalau dialah Inyiak yang saya cari.” Mata Siti terus memejam, ya dia hanya bisa menemui Serintil lewat perantara mimpi atau bersemedi seperti sekarang. “Kau pikir aku lebih sakti dari Batara Kala? Aku sudah sering kali berkata padamu jangan sekali-sekali mempercayai manusia. Kau terperdaya pada cinta Siti, tidak ingatkah kau bertapa menyakitkannya leluhur Inyiak muda itu melukaimu. Mereka semua sama sebab dalam diri pemuda itu mengalir darah murni Inyiak, darah dari Kumbang si busuk itu! Sebelum dia terlanjur melukaimu, bunuh dia Lampir ... sebelum dia membunuhmu ... jebak dia dengan per
“Astagfirullah ... uda kenapa?” tanya Malik begitu Bima mendatangi tempat tinggalnya. Dadanya berdarah jalannya sempoyongan. Begitu masuk Bima langsung terduduk di lantai, dia mengeluarkan tusuk konde dari dalam kantungnya.“Saya ... saya sudah bertemu dia.” Bima memberikan tusuk konde itu pada Malik.“Lampir? Dia menusuk Uda?”Bima tidak menjawab, dia masih syok, linglung, entah apa lagi sebutannya. “Saya pikir dia akan langsung membunuh saya.”Malik menilik ujung tusuk konde itu kemudian mengendus. “Dia tidak membubuhkan racun bunga kalmia. Lampir selalu membubuhkan racun di setiap senjatanya.”Bima tertegun, berarti Siti memang tidak berniat membunuhnya. Jikalau dia memang ingin membunuh Bima saat itu. Lampir bisa menggunakan tongkat saktinya seperti yang dia lakukan pada Rodrigo dan Pram. Siti hanya menancapkan ujung tusuk konde kecil ke dada Bima. “Mengapa ... kami harus saling membunuh?” tanya Bima bersandar pada dinding.“Karena dia sudah berjanji akan membunuh semua keturuna
“Katakan di mana perempuan busuk itu?!” Pram menarik rambut Bima hingga kepalanya menengadah. Dia belum puas menyiksa Bima sampai lelaki itu bicara.“Saya tidak tahu!” Tentu saja Bima bisa langsung menghabisi mereka semua dengan kekuatan tersembunyinya andai kata dia boleh membunuh banyak orang tanpa takut jati dirinya terbuka.“Katakan! Atau saya akan menghabisimu perlahan!”“Lebih baik saya mati dari pada mengatakannya!”Pram menertawakan Bima. “Mana mungkin aku percaya pada polisi yang menyembunyikan seorang penyihir. Kalian pasti berkomplot dan kau Bima ... kau telah mencoreng institusi negara dengan menyembunyikan tongkat itu.”“Siti bukan penyihir! Dan kau yang telah berkhianat pada negara! Memalukan!” Bima membuang ludah mengenai Pram.“Beraninya kau!” Pram kembali menarik rambut Bima lalu berseru pada anak buahnya. “Siksa dia sampai bicara!&rdqu
“Sudah aku bilang kan Bima. Dia enggak mungkin bisa kabur kalau bukan agen mata-mata yang diberi perangkat canggih.” Pandangan Mena berkeliling ke segala penjuru. Memerhatikan slot jeruji yang masih utuh. Mencari cela untuk Siti kabur. Tidak ada, semua masih rapi seperti sediakala.“Saya akan mencarinya sendiri. Dia pasti menemui saya.” Bima tidak menyangka istrinya bisa menghilang lagi. Dia pun bingung bagaimana cara menghubungi gawai Siti. Tak ada guna, sebab gawai itu sudah hilang entah ke mana.Bima kembali ke rumah berharap bisa menemukan Siti, Tapi nihil. Dari rumah satu ke rumah lainnya Bima datangi, semua rumahnya yang berupa-rupa itu pun masih kosong tak ada jejak manusia. Bima meremas kepalanya pertanda lelah sudah menghinggapi dirinya. Bima teringat perkataan Malik tentang penyihir hitam yang mungkin saja mencelakai keluarga Bima bukan hanya klan inyiak saja. Sontak Bima bergegas mencari Malik, mungkin saja Siti diculik dengan makhluk gaib bukannya melarikan diri seperti pe
“Saya sudah tahu semuanya,” kata Bima langsung membuka percakapan dengan Malik. Dia menengok ke pemuda itu kemudian berkata, “berarti ... kamu harimau yang menolong saya waktu itu?”“Ya, saya datang ke sini sebagai utusan untuk membimbing Uda Bima.”“Saya tidak perlu dibimbing.” Bima mengembalikan kertas pemberian Malik. “Ini silakan ambil kertas ini. Saya sudah memutuskan untuk tidak ikut campur pada urusan inyiak, saya akan tetap menjadi Bima sebagai manusia dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan dunia-dunia gaib kalian.”Malik menahan tangan Bima agar dia tidak pergi. “Tunggu, Uda tidak bisa berdiam diri saja. Mau tidak mau Uda harus menerima jati diri Uda sebagai seorang Inyiak balang.Bima merasa kesal, dia mendorong Malik dan menarik kerah pakaiannya. “Kenapa? Kenapa saya harus menjadi Inyiak?! Saya punya kehidupan sendiri, saya sudah cukup tenang dengan kehidupan saya. Hidup saya adalah pilihan saya! Bukan kamu yang menentukannya!”“Tidak ada pilihan selain menerima dirimu a
Bima terjaga lebih dulu, pagi ini dia merasa sangat bahagia bisa bersama sang istri. Semua kalutnya hilang sudah selepas semalam mereka memadu kasih menjalani ibadah suami istri. Bima menopang kepalanya dengan sebelah tangan sambil memandang Siti. Menatap perempuan itu tertidur lelap seperti orang yang terjaga selama seminggu penuh. Bima tersenyum mengelus wajah ayu sang istri, kulitnya yang lembut, anak rambut tipis yang berada di pangkal keningnya, hidung mungil dan bibir merekah. Tak tahan Bima ingin menciumnya lagi. “Eng.” Siti membuka kelopak matanya perlahan. Kemudian menyipit. “Maaf saya mengganggu tidur kamu. Habis ... kamu membuat saya jatuh cinta sepanjang waktu.” Bima merekahkan senyumnya pada Siti. “Pagi-pagi sudah merayu.” Siti memukul kecil dada bidang Bima. “Siapa yang merayu, memang kenyataannya begitu." Kinu Bima berganti mengecup jemari Siti. Sang istri membalas dengan senyum malu-malu. Siti mendekatkan kepalanya bersandar pada tubuh Bima dalam satu selimut. Jemar
“Sebenarnya ... ibu sudah berjanji pada ayahmu untuk tidak menceritakannya padamu.”Bima menatap Ratna sendu. “Bu, ini bukan hanya persoalan janji. Tapi ini menyangkut jati diri Bima, Bu. Bahkan bisa meluas lagi. Tolong Bu ....”Ratna terdiam sejenak sebelum memulai ucapannya, “Sesungguhnya Seluruh keluargamu sangat memedulikanmu Bima. Dulu mereka sangat mendambakan kelahiranmu, engkaulah Inyiak Balang terakhir yang mereka tunggu-tunggu. Mereka bilang kamu adalah penyelamat. Namun begitu isi kitab Sarisang sampurna berubah. Orang tuamu mulai takut, mereka menyembunyikan identitasmu dari siapa pun termasuk dari suku mereka.”“Apa itu Inyiak Balang? Lalu apa isi dari kitab itu?”“Kamu adalah keturunan manusia harimau. Separuh jiwamu adalah siluman. Darah itu mengalir kental dari kedua orang tuamu yang sama-sama keturunan Inyiak, dan kamu adalah Inyiak sempurna dari Inyiak-Inyiak yang tersisa. Kamu adalah Inyiak penutup dari inyiak yang sudah ada. Lalu tiba-tiba isi kitab para Inyiak ber