“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.
“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”
“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”
Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”
Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.
“Mungkin halusinasi, Pak.”
“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”
“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh lebih tenang sekarang. Saya Cuma kasih resep vitamin untuk dedeknya ya Pak.” Dokter menulis resep pada secarik kertas lantas memberikannya pada Bima.
“Terima kasih, Dok,” balas Bima yang sebetulnya kurang puas dengan jawaban dokter mengenai hidung ajaib Siti.
Sepanjang jalan mengantar Siti dan Montok pulang, Bima berusaha mengenyahkan pikiran anehnya tentang hidung Siti. Buat apa memikirkan sesuatu yang tidak berguna sementara masalah Bima semakin menumpuk. Terutama setelah Si Montok datang dan wanita aneh itu berada di rumahnya. Mau tidak mau Bima harus menyelidiki kasus pembunuhan keluarga si Montok sendirian dari pada mengandalkan Toni. Dia harus berani mengambil risiko bila ingin kembali ke perkerjaan lamanya ketimbang pasrah menjadi polisi jalanan.
“Kita enggak jadi pulang?” Siti melihat ke jendela mobil tempat mereka berhenti di sebuah gedung institusi negara.
“Kita ke sini sebentar.”
Bima mengajak Siti memasuki gedung itu. Gedung yang sibuk dengan orang-orang di meja kerjanya, kertas menumpuk dan seriap komputer menyala. Entah mengapa Bima mengajaknya ke mari, yang jelas saat ini lelaki itu sedang berdebat dengan perempuan berwajah judes.
“Masalahnya tiba-tiba saja ada yang datang ke rumah saya, tanpa mengabari dulu. Mereka bilang mereka keluarga Rafa.”
“Hari ini kami enggak mengutus orang ke rumahmu loh. Keluarga Rafa juga masih dalam proses penyelidikan makannya belum kami himbau untuk mengambil Rafa. Terus, kamu tangkap orangnya?”
“Enggak, dia terburu kabur.”
“Halah, kebiasaanmu itu mudah melepaskan bandit.” Perempuan itu memegangi dahinya.
“Saya ke sini mau minta data-data kasus Rafa.”
“Ya enggak bisa lah, Ini kan bukan wilayahmu lagi.”
“Kalau kerja kalian terlalu lama keselamatan Rafa semakin terancam. Saya punya saksi mata yang melihat bagaimana penjahatnya melakukan aksinya.”
“Siapa saksi matanya?” tanya wanita itu ketus.
“Ini.” Bima menarik Siti yang tengah bingung sendiri.
“Dia ada di TKP?”
“Enggak ada, tapi dia bisa melihat kejadian itu dengan jelas.”
“Lihat dari mana? Mata batin? Dukun?” wanita itu tertawa menanggapi Bima. “Bim, Bim ... kayak enggak punya kerjaan aja kamu, bawa-bawa dukun.”
Tentu Bima sudah tahu, dia akan dianggap orang gila bila mengatakan bagai mana dia tahu orang tua Rafa dibunuh. Rasanya mustahil masih mempercayai hal-hal klenik di era kemajuan teknologi. Entah sejenis manusia apa si Siti, indigokah, supranaturalkah, barang kali mutan seperti di film-film Amerika. Orang tak akan percaya sampai Bima menunjukkan buktinya.
“Dia ...” Siti menunjuk satu foto dari map yang terbuka. “Dia pelakunya.”
Wanita itu mengangkat sebelah alisnya, atensinya ikut tertuju pada foto itu. “Memang sidik jari yang tersisa pada ban mobil menunjukkan sidik jari laki-laki ini. Tapi sayangnya kita enggak bisa mengorek informasi karena dia sudah mati. Dia tukang kebun orang tua Rafa yang ikut di dalam kecelakaan mobil.”
“Serius?” Bima menarik kursi lantas duduk di depan Mena, wanita bertampang angkuh tadi.
“Tunggu, dari mana kamu tahu?” tanya Mena menilik Siti, penasaran.
“Sudah kubilang kan, dia bisa melihatnya.”
“Well, tapi aku enggak percaya hal kayak gitu. Atau jangan-jangan kamu terlibat?” lirik Mena lagi pada Siti.
“Heh dari kemarin dia ada terus bersamaku. Dia malah yang menyelamatkan Rafa. Aku punya bukti CCTV di rumah.”
“Kalau gitu berikan ke aku video CCTV-nya.”
Bima hendak memberikan CD yang sudah dia masukan bukti CCTV kemarin. “Boleh, dengan syarat libatkan aku juga dalam kasus ini.”
Tangan Mena menggantung di udara sejenak sebelum meraih CD dari tangan Bima. “Em ... oke, tapi ini rahasia kita.”
Dari kantor interkom Bima membawa Siti dan Montok ke hunian lainnya. Maklumlah dia bekas agen mata-mata yang tidak punya tempat tinggal tetap, kalau ada sedikit saja yang mengancam keselamatannya Bima pasti segera kabur dan berkamuflase layaknya bunglon di tempat lainnya.
Malam ini tidak sepeti biasanya, Rafa atau yang mereka panggil si Montok terus-terusan menangis sampai membuat Bima bangun dari peristirahatannya di atas sofa. Bima berusaha kembali tidur saat Montok mulai tenang sedikit, tapi baru juga mau memejamkan mata suara tangisan bayi terdengar lagi. Dia mulai kesal dan menyangka Siti tidur dari pada menjaga Rafa.
Bima membuka pintu kamar pelan dan melihat gadis itu ternyata sedang menggendong si Montok sambil mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang tidak Bima paham.
“Giac ngu yen bình la nhing gì đang tìm kiem. Dem nay sunu mindhet.”
“Kamu ngapain sih?” Bima menghampiri perempuan aneh itu. Tapi Siti tidak berhenti mengucapkan kalimat tadi meskipun si Montok tidak juga diam.
“Dem nay sunu mindhet ... ini mantra tidur, supaya dia tidur seperti orang yang terbaring di peti.”
“Dasar aneh.” Bima mengambil alih si Montok, menimang-nimangnya. “Bayi mana ngerti bahasa yang kamu ucapkan sambil berbisik. Itu malah bikin dia ngeri. Harusnya si montok dinyanyikan biar tidur.”
“Saya tidak suka menyanyi,” timpal Siti lagi.
“Apa yang kamu bisa sih.” Bima mulai bersenandung menina bobokan Montok sampai matanya mengerjap-ngerjap siap mengatup. Setelah dikiranya si Montok mengantuk dia baringkan bayi itu di atas kasur. Si Montok malah berguling ke samping menatap Siti, seolah menyuruhnya untuk dekat. Oh pasti bayi malang itu rindu kedua orang tuanya. Siti tak tega dengan tatapan lugu itu, dia mendekati si Montok, ragu-ragu mengusap kepalanya. Timbullah sedikit welas asih pada diri Siti yang selama ini tertutup dengan kegelapan.
“Dia menyukaimu,” kata Bima. Ikut berbaring sembari melanjutkan nyanyiannya.
“Dia juga suka lagumu,” balas Siti yang perlahan bisa memahami apa keinginan si Bayi.
Bima menguap lebar, tidak tahan lagi dengan rasa kantuknya, ditambah kasur empuk yang membuatnya terbaring nyaman di sebelah si Montok. Perlahan suara Bima menelan kemudian hilang bersamaan kelopak matanya yang mengatup sempurna. Rahang tegas pria itu, hidung bangir, bibir penuh dan janggut tipisnya menggambarkan bagaimana maskulinnya dia. Tidak lagi-lagi Siti teringat Kumbang, tatapannya semakin meredup setelah memandangi Bima. Tidak boleh, dia harus membentengi dirinya tebal-tebal dari rasa kagum atau suka. Tidak akan terjadi lagi kali kedua dia berhubungan dengan lelaki rupawan yang malah akan menyakitinya.
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l
“Sebenarnya buat apa kamu bawa saya ke mari?” Siti memerhatikan sekeliling kamar mewah yang baru saja disewa Bima. Atensinya beralih ke jendela lebar tempat lampu-lampu gedung menyala. “Ini.” Bima memberikan beberapa lembar kertas pada Siti dan perempuan itu hanya bisa membolak-balikan kertas sampai Bima menunjukkan gambar kolom padanya. “Paraf di sini.”“Paraf?” tanya Siti masih bingung.“Tulis nama kamu di sini.”“Kamu mau bodohi saya? Saya sudah bilang kan saya enggak bisa baca dan tulis dengan gaya huruf jaman sekarang.” Ketus Siti.“Oke, pakai gambar juga enggak apa.” Siti menulis namanya dengan huruf sanskerta dan membuat Bima terbengong dibuatnya. “Wah, kamu enggak bisa baca tulis tapi bisa huruf sanskerta?”Siti tidak menanggapi dia terus menulis, lalu menjeda gerakkannya. “Sebentar, ini sebetulnya surat apa?”“Surat kontrak kerja sama selama setahun.”“Setahun?!” Siti ingin protes tapi dia terburu membubuhkan namanya di kertas itu. “ Kerja sama apa?”“Kerja sama membantu p
Bima berlari begitu mendengar teriakan dari gaget-nya. Dia sedikit heran mengapa yang dia dengar adalah teriakan laki-laki bukannya Siti. Bima mengikuti arah pendeteksi GPS, menaiki lift untuk sampai ke kamar nomor 111.“Setan!” teriak Dalton begitu Siti memegangi terus tangannya. Sekilas bayangan muncul lagi ketika Siti memegang Daton. Lelaki itu mendorong tubuh si kembar satu persatu, dan para penjaga Dalton menyeret si kembar masuk ke dalam sebuah kamar kosong.“Lukisan perempuan. Di kamar berwarna hijau, jendela terhalang besi. Suara bising jalanan, lampu-lampu kota, rumah prostitusi. Hemm ... kau menyembunyikan gadis kembar.” Siti membengis, menggeram dengan suara beratnya. Dihempaskannya tangan Dalton. “Kembalikan dia ....”“Ba-baik! Ampun ... saya mohon ampun. Akan saya lepaskan mereka.” Dalton berlutut di depan Siti. Tanpa Siti sadari lelaki itu mengambil sesuatu di kolong tempat tidur. Suatu benda yang dia lemparkan ke arah Siti. Sebuah vas bunga yang nyaris mengenai Siti
“Dia kemarin yang ngasuh Montok, kan kamu enggak mau jagain. Jadi aku sewa orang lain untuk jaga.”“Mana bayinya?!” Ajeng tengah melihat-lihat ke belakang tubuh Bima. Berusaha mencari keberadaan bayi itu.“Bayinya udah pulang.” Bima bersiap pada kemungkinan terburuk, tapi tidak. Dia tidak pernah gagal dalam meluluhkan hati wanita apalagi Ajeng.“Udah pulang?!” mata Ajeng semakin membelalak, sontak dia mendorong tubuh Bima dan memukul-mukulinya. “Kalau begitu kenapa perempuan itu masih di rumah ini?! Dia masuk ke kamar kamu lagi?!” Ajeng menunjuk Siti yang baru saja masuk ke dalam kamar Bima. Ya karena memang cuma ada satu kamar di rumah ini.“Aku tidur di luar kok, Yang. Tenang aja. Kami ... kami terlibat kerja sama. Maksudnya dia masih di sini karena bantuin aku kerja.”“Jadi kamu kasih kamar kamu buat dia?!” Ternyata pembahasan Ajeng tidak bisa move on dari kamar. Terang saja dia cemburu--selama mereka berhubungan, Ajeng tak sekalipun menginap di rumah atau pun memiliki hak di kama
“Ya yatha mam Prapadyante tams thathaiwa bhajamy aham mama Vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.”Ajeng merinding mendengar Siti terus mengucapkan kalimat yang tidak dia pahami. Dia merasa salah telah cemburu buta pada gadis aneh nan misterius seperti Siti. Benar kata Bima perempuan itu aneh dan mungkin saja dia sedang kerasukan sekarang. Kerasukan?! Bagaimana ini?! Ajeng mengambil segelas air di atas nakas dan menyiramkannya ke wajah Siti.Bukannya berhenti, Siti semakin menggeram. Dia tahu mantranya kini tidak berguna untuk memusnahkan Ajeng dari kehidupan Bima. Namun dia punya cara lain. Sambil mendengkus Siti menjerat leher Ajeng. Ajeng semakin panik. Dia nyaris menangis berusaha terus menarik tangan Siti yang sampai ke puncak lehernya Darah seakan naik ke kepalanya, dan Ajeng mulai kesulitan bernapas.“Dika jedeng sapunika!” Siti mengencangkan cekikannya sampai kaki Ajeng terangkat dari lantai. Wajahnya membiru, mulutnya mulai terbuka mencari udara. Matanya mendelik ke atas
“Apa kamu mau pindah lagi?!” Ajeng terkejut ketika Bima melihat-lihat brosur apartemen. “Iya sekalian sewa saru untuk Siti di sebelah.” “Kamu gila ya Bim, masa cewek kayak gitu kamu biarin tinggal di apartemen. Di sebelah kamu lagi.” Bima menjauhkan brosur dari wajahnya. “Kan kamu yang suruh biar dia cepet pindah.” “Ya tapi enggak di sebelah juga. Apalagi kalau kita sudah nikah dan satu rumah. Aku enggak mau tetanggan sama cewek gila itu.” “Jeng, aku udah terlanjur terikat kerja sama dengan dia, dan dalam surat itu aku yang harus menjamin keselamatan dia.” “Ya kamu batalin aja kerja samanya susah amat!” Bima mengusap wajahnya, permintaan Ajeng membuat dia pening. “Jeng, dikit lagi mungkin aku bisa mendapat simpati Pak Gunadi lalu bisa kembali ke tugas lamaku. Apa kamu mau aku tetap jadi polantas?” Ajeng mendengkus sebal. Kenapa harus perempuan gila itu yang membuat Bima ketergantungan dan sepertinya Siti sengaja menekan Bima dengan surat perjanjian mereka. “Tahu lah Bim, kamu b