Sejak saat itu, saat semua orang menganggapnya adalah penyihir jahat--Lampir benar-benar mengikuti saran Serintil. Tidak ada gunanya menjadi manusia baik, bila tidak ada yang mempercayai dirinya adalah makhluk baik. Untuk apa ilmu yang dia pelajari selama ini kalau bukan untuk menguasai dunia. Menyingkirkan manusia-manusia munafik, lelaki hidung belang dan para penguasa yang tamak harta. Tak terkecuali menyingkirkan semua orang yang menyakiti hatinya.
Malam itu Siti menyelinap ke desa Umayang mengendap ke rumah Kumbang dan keluarga kecilnya. Melihat kekasihnya yang jahanam itu bersenda gurau dengan istri dan anaknya. Luntur sudah rasa cinta berganti kebencian yang tersirat dalam gelap bola mata Siti.
“Datuk! Datuk!” seseorang mengetuk pintu rumah Kumbang.
“Ada apa? Kenapa napas kau naik turun begitu?” tanya Kumbang saat mengetahui pemuda di depan pintu membungkuk memegangi lutut seolah telah menempuh jarak yang jauh untuk sampai.
“Tadi, ada warga yang melihat Mak Lampir terbang memasuki desa kita.”
“Apa?!” Kumbang pun segera mengambil piraik miliknya dan berkata pada istrinya, “kau jangan ke luar rumah. Bila ada yang mengetuk pintu jangan bukakan kecuali aku. Jaga baik-baik si Upik, jangan kau tinggalkan dia sendiri dalam kamar.”
Ketika Kumbang pergi, di saat itulah Siti melakukan niat jahatnya. Dengan kesaktiannya dia menyamar menjadi Kumbang. “Kumala, Uda da pulang ni. Cepat bukakan pintu!”
“Sebentar, Da!” Tak lama pintu dibukakan Kumala. Dia tampak terkejut melihat Kumbang. “Bukannya Uda tengah mengejar Mak Lampir. Kenapa baru sebentar sudah pulang? Apa dia sudah tertangkap, Da?”
Kumbang masuk ke dalam dan tidak menjawab pertanyaan Kumala. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sesuatu. “Di mana si Upik?”
“Di kamar Da,” jawab Kumala merasa heran, bukankah seharusnya Kumbang tahu kalau Upik selalu di dalam kamar.
“Tolong ambilkan Uda minum. Penat rasanya tubuh ni.” Selagi Kumala mengambilkan minum, Siti masuk ke kamar. Di tengah-tengah kasur ada bayi yang dia yakini adalah anak Kumbang dan Kumala. Bayi itu menatapnya, mata bulatnya bergerak-gerak berkilauan. Tangan dan kakinya tidak bisa diam. Seperti minta digendong oleh Siti yang masih berwujud Kumbang.
Siti mengubah wujudnya menjadi semula, jemarinya yang lentik dan panjang bergarak ke atas kepala sang bayi. Bola mata Siti Lampir berubah menjadi merah, dan aura kegelapan keluar dari sekitar tubuhnya. Dengan suara melirih nan mengerikan dia berkata, “Oh, lihatlah kulitmu masih sehalus sutra, dagingmu masih selembut kapas dan darahmu masih segar. Aku akan memakanmu hidup-hidup!”
Bukannya menangis bayi mungil itu malah tertawa dan mengeluarkan suara-suara menggemaskan seolah mengajak Siti Lampir bicara. Mata Siti membelalak berusaha membuat bayi itu takut dan menangis, tapi kebalikannya.
“Bayiku!” pekik seorang dari pintu. Rupanya Kumala sudah berdiri tegang di sana. “Jangan! Jangan lukai bayiku!” Tubuhnya gemetar tapi dia terus memohon pada Lampir agar melepaskan putrinya.
Lampir mendekati Kumala sambil menimang si kecil. Perempuan itu yang telah merebut Kumbang sampai mencampakkannya. Raut kebencian terpancar dari wajah Lampir. Sebelah tangannya naik untuk mencekik leher ringkih Kumala.
Sedang di tempat yang berbeda Kumbang mengumpulkan para lelaki di lapangan. Mereka membawa obor untuk memeriksa ke setiap sudut desa, termasuk di jalan gelap perbatasan antara Umayang dengan hutan.
“Kalian sudah memeriksa ke semua tempat, semua rumah warga?” Kumbang bertanya pada pemuda-pemuda yang baru saja datang.
“Sudah Datuk! Kami tidak menemukannya.”
“Ke mana perginya Mak Lampir itu,” gumam Kumbang seraya mendengkus. “Di jalan perbatasan apa sudah di periksa?”
“Sudah, Datuk. Hanya satu tempat saja yang belum kami geledah.”
Kumbang menilik dengan tatapannya seolah bertanya di mana?
“Rumah Datuk. Kami harus meminta izin dulu dengan Datuk.”
“Astagfirullah.” Barulah Kumbang teringat pada istri dan anaknya di rumah. Dia mengubah wujudnya menjadi seekor harimau lantas berlari kencang.
Sesampainya di rumah, Kumbang bisa merasakan aura negatif dari sekitar rumah. Dia kembali menjadi manusia lalu mendobrak pintu mencari keberadaan Kumala dan Seruni. Raib, mereka sudah tidak ada. Kumbang berlari ke halaman belakang lalu berteriak, “wahai Lampir hadapi Awak sekarang! Jika kau memiliki dendam dengan Awak, mari kita selesaikan! Lepaskan mereka yang tidak bersalah!”
Lampir datang tiba-tiba dengan kikikan khasnya. Dibawanya Kumala dalam cekikkan beserta bayinya yang lampir gantungkan di udara dengan kekuatannya.
“Kau ingin mereka selamat?!"
“Iya, urusanmu hanya padaku. Lepaskan mereka yang tidak mempunyai dosa.”
Lampir menurunkan bayi kecil itu ke dalam dekapan Kumala. Lalu dia menghampiri kumbang seraya berkata, “kalau begitu serahkan hidupmu hanya menjadi budakku selamanya!”
“Tidak akan pernah.” Kumbang mengubah dirinya menjadi harimau kemudian menerkam Lampir hingga perempuan itu terhuyung menjauhi Kumala dan Putri mereka.
Pertempuran sengit pun terjadi. Adu kekuatan antara harimau dan penguasa kegelapan gunung Marapi tak bisa dielakkan. Lampir berhasil menangkis terkaman Kumbang dan melemparkannya ke tanah. Sejurus Kumbang bangkit, Lampir menerbangkan tombak ke arah Kumala. Kumbang yang menyadarinya langsung melompat menghalangi tubuh sang istri hingga dirinyalah yang terkena tancapan tombak itu.
“Uda, bangun Uda ...” tangis Kumala meratapi Kumbang yang tengah sekarat.
“Pengkhianat seperti dia pantas mati! Aku telah mengorbankan kecantikanku untuk menyelamatkanmu dari kematian, tapi apa balasanmu?! Kau menghinaku ... menuduhku lalu mencampakkanku! Mati pun kau tidak akan tenang Kumbang, sebab aku akan membinasakan semua keluargamu!”
Lampir gelap mata, dia mengacungkan tongkat saktinya untuk membunuh Kumala dan bayinya. Belum sempat ia mengerahkan tenaganya, Kumbang merangkak memegangi kaki Lampir berbicara lirih dalam kesakitannya, “Lampir, biarlah aku saja yang mati. Tolong lepaskan putriku ... tidak kah tersisa sedikit kebaikan dalam hatimu. Lampir ....”
Sorot mata itu, mata sayu Kumbang saat menatap Siti dulu. Kalimat cinta yang dulu selalu Kumbang bisikkan ditelinganya terasa baru kemarin terdengar. Gelak tawa mereka, cengkerama dan angan-angan membangun keluarga bersama. Semua memori indah dalam kenangan membuat Siti nyaris menurunkan tongkatnya. Matanya berkaca-kaca begitu Kumbang mengembuskan napas terakhirnya. Tak terasa bulir jernih itu jatuh dari kedua mata Siti.
“Jangan harap kau bisa membunuh keturunan Inyiak!” Ki Manang datang membawa kris Mandra kala yang termasyhur bisa menghilangkan seseorang. Dia mengacungkan kris terbuat dari emas permata. Dari ujung kris itu keluar cahaya terang seperti petir yang menyambar membuat pusaran besar di bawah kaki Siti. Siti memundur langkah, tapi angin besar dari dalam pusaran menyeretnya masuk. Tongkat saktinya terlepas dalam genggaman, berpindah ke tangan Ki Manang.
“Selamanya kau akan terperangkap dalam waktu!"
Pusaran itu kian mengisap tubuh Siti. Bagai masuk ke dalam angin topan besar berputar-putar. Angin itu bagai menarik, mencabik-cabik tubuhnya.
"Nenek Serintil tolong saya!" Jerit batin Siti bertelepati dengan sang guru.
Dalam gemuruh, sayup-sayup suara Serintil terdengar, "aku tidak bisa menolongmu Siti. Hanya keturunan Inyiaklah yang bisa membawamu kembali. Inyiak terakhir lebih sakti melebihi kesaktian Inyiak lainnya. Kalau kau berhasil membunuhnya dengan Mandra Kala maka pusaran waktu akan muncul lagi.”
Angin kencang makin menelan Siti, membawanya dalam lorong pekat menembus dimensi waktu lain. Siti terperosok menembus langit terjatuh ke suatu tempat yang tidak pernah dia temui.
“Argh!” erang keras seseorang.
Siti yang tersadar langsung membuka mata menatap langit terang di atas sana. Apakah Siti di surga? Tapi bagaimana bisa dia di surga sedang sudah banyak makhluk terbunuh di tangannya.
“Woy, cepetan turun! Sakit nih badan gue!”
Siti terkesiap duduk, ternyata dia baru saja menimpa tubuh seseorang. Siti bangkit dan menatap orang itu tanpa rasa takut.
“Jatoh dari mana sih lu, tiba-tiba aja nimpa gue. Bikin gue kehilangan jejak aja!” pemuda klimis, tampan dan berjanggut tipis itu merapikan pakaiannya memarahi Siti. Tidak tahu kah siapa yang sedang pemuda itu marahi? Berani-beraninya dia mendengkus di depan ratu kegelapan penguasa Marapi.
Siti menggerakkan tangannya, berusaha menyihir pria itu menjadi tikus seperti yang sering dia lakukan. Tapi nihil. Pria itu heran memandanginya.
“Dasar orang gila!” lelaki itu pun pergi meninggalkan Siti dalam kebingungan.
Lagi-lagi mulut Siti komat-kamit membaca mantra sambil mendorong angin kosong dengan tangannya. Tidak berguna, ke mana perginya kesaktian Siti?!
Siti terkejut, pandangannya berkeliling melihat sekitar. Bangunan-bangunan tinggi mencakar langit. Jalanan besar berisik dan penuh lalu lalang kereta tanpa kuda. Di atas langit terdengar suara keras yang membuat Siti menutup telinga, baru saja suatu benda seperti capung raksasa melintas. Di mana ini? Siti terus mengerjap menanggapi pemandangan luar biasa aneh di depannya.
“Heh gelandangan, senaknya aja tidur di depan ruko! Pergi! Pergi sana!” teriakan lelaki gempal membangunkan pagi Siti yang terasa dingin. Dia mengucak mata terus terduduk belum sepenuhnya tersadar sampai si lelaki mengambil sapu dan memukulkan gagang sapu tadi ke lantai sambil berseru menggelegar, “disuruh pergi malah bengong! Lu tuli?! Cepetan pergi sana!” Mau tak mau Siti bangkit dari lantai. Dia mengikuti langkah kakinya entah ke mana tak ada tujuan. Teringat apa yang dikatakan oleh Nenek Serintil, bahwasanya dunia itu memanglah kejam. Manusia-manusia itu baik pada orang-orang berduit. Orang-orang yang mempunyai harta dan takhta, dan semua itu telah lenyap darinya. Perut Siti mulai tidak bersahabat. Lupalah dia belum makan sejak kemarin siang. Dilihatnya tukang jajanan di sepanjang jalan, lantas Siti meraba kantong bajunya yang bolong hingga jari-jari tangannya terlihat dari luar. Malang nian nasib mantan putri Champa dan penguasa kegelapan. Tak ada cara lain baginya untuk mengeny
“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bim
“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, te
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti
“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.“Mungkin halusinasi, Pak.”“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l