“Heh gelandangan, senaknya aja tidur di depan ruko! Pergi! Pergi sana!” teriakan lelaki gempal membangunkan pagi Siti yang terasa dingin. Dia mengucak mata terus terduduk belum sepenuhnya tersadar sampai si lelaki mengambil sapu dan memukulkan gagang sapu tadi ke lantai sambil berseru menggelegar, “disuruh pergi malah bengong! Lu tuli?! Cepetan pergi sana!”
Mau tak mau Siti bangkit dari lantai. Dia mengikuti langkah kakinya entah ke mana tak ada tujuan. Teringat apa yang dikatakan oleh Nenek Serintil, bahwasanya dunia itu memanglah kejam. Manusia-manusia itu baik pada orang-orang berduit. Orang-orang yang mempunyai harta dan takhta, dan semua itu telah lenyap darinya.
Perut Siti mulai tidak bersahabat. Lupalah dia belum makan sejak kemarin siang. Dilihatnya tukang jajanan di sepanjang jalan, lantas Siti meraba kantong bajunya yang bolong hingga jari-jari tangannya terlihat dari luar. Malang nian nasib mantan putri Champa dan penguasa kegelapan. Tak ada cara lain baginya untuk mengenyangkan perut, selain ....
Siti mencegat anak sekolah dasar. Mereka yang sedang jalan sambil mengunyah jajanan tiba-tiba saja melongok saat Siti menjulurkan tangannya meminta cilok yang dipegang salah satu bocah gendut. Sang bocah takut. Dia berjalan mundur langsung berbalik arah hendak kabur. Sayangnya Siti terburu menarik tas si bocah gendut agar tidak ke mana-mana. Dirampasnya cilok dari si bocah sampai menangis kabur. Siti tertawa, puas hati membuat bocah tadi takut.
Sambil mengunyah cilok Siti melewati etalase toko pakaian wanita. Dilihatnya manekin-manekin berpakaian bagus. Begitu takjubnya Siti pada gaun bercorak kembang yang dia lihat. sampai tak sadar telapak tangannya menempel pada kaca etalase. Sayang, bayangan buruk rupa pada kaca itu mengalihkan atensi Siti. Siti pergi memendam kesedihan mengingat dirinya tak lagi pantas memakai gaun cantik.
Di tengah jalan Siti mendapati siswa SMU berparas cantik, teringat dia kalau menghisap sari pati anak gadis bisa meremajakan lagi kulitnya yang kusam dan kisut. Siti memikirkan suatu hal jahat ... jahat ... jahat! Kalimat itu terus terngiang dalam benaknya. Lantas dia mendorong gadis SMU itu ke sudut tembok, memelototinya. Mulutnya komat-kamit mengucap mantra kemudian mengerucutlah bibir itu berusaha menghisap kecantikan sang gadis berseragam. Menyedot-nyedot udara.
“Dasar sinting!” pekik gadis itu berusaha melepaskan cengkaman Siti. Tanpa takut gadis itu menginjak kaki Siti kuat-kuat agar bisa kabur.
“Tolong! Ada orang gila!” Teriak siswi SMU tadi mengagetkan orang-orang lalu lalang. Mereka berhenti dari aktivitasnya lalu memandangi Siti yang masih mencekam si gadis berseragam. Tak jadilah Siti mencoba-coba sihirnya yang sudah tidak berguna semenjak beberapa hari lalu dia terdampar di masa depan. Sambil mengernyih dia memilih kabur melepaskan sang gadis dari pada kena amukan masa.
Di tempat yang berbeda seorang lelaki berparas tampan, bertubuh atletik tengah menghadap atasannya. Bima tahu kalau dia akan mendapat masalah setelah kehilangan jejak mafia penyelundupan heroin yang paling di cari institusi tempat dia bekerja.
Sang jendral menggeleng seraya mengetukkan pena ke meja kerjanya. “Saya tak habis pikir kenapa mafia itu bisa kabur, padahal selangkah lagi kita berhasil menangkapnya?! Ini bukan sekali kamu melakukan kecerobohan! Tahun lalu juga begitu! Seharusnya dari dulu saya tidak pernah merekrut kamu sebagai agen rahasia! Membuang-buang waktu saja!”
“Maaf Jendral, tolong beri saya kesempatan. Kali ini saya janji tidak akan melakukan kesalahan.” Bima menjura. Masalahnya dia sudah terlanjur berjanji mau menikahi Ajeng. Bila dipecat bagaimana mungkin dia bisa menggelar pesta pernikahan mewah sesuai permintaan Ajeng dan keluarganya.
“Kejadian seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Kesalahanmu tidak bisa ditoleransi lagi, saya sudah memutuskan untuk mengeluarkan kamu dari tim kesatuan Intelkam!”
Bima langsung berlutut di hadapan Pak jendral berkumis tebal. “Jendral, saya mohon jangan keluarkan saya. Saya janji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Ini untuk terakhir kalinya.”
“Janji, janji! Saya sudah memberimu banyak kesempatan! Sebagai jendral saya malu mempunyai anak buah ceroboh sepertimu!”
Tak kunjung berhasil Bima pun bersujud di depan atasannya. “Demi masa depan saya Jendral, saya mohon ... Saya benar-benar mengakui kesalahan dan akan memperbaikinya. Bila saya gagal lagi setelah diberi kesempatan, saya siap menerima risikonya.”
Sang jendral menghela napas panjang. “Bangun!” perintahnya yang langsung dituruti Bima. “Baiklah, saya tidak akan memecat kamu. Tapi kamu dipindah tugaskan sebagai polisi lalu lintas sebagai hukuman!”
“lalu lintas?!” Kaget Bima, baginya jabatan baru itu sangat memalukan bagi prajurit yang sudah berpangkat lumayan tinggi seperti Bima. “Tapi Jendral--”
“Kamu ingin menjalani hukuman atau saya pecat?!”
Bima menegak memberi hormat pada atasannya. “Baik Jendral! Laksanakan!”
Di bawah teriknya mentari, Siti tengah kehausan dan lapar berkepanjangan. Bukalah hal mudah mencari kerja di Ibu Kota, tak ada yang mau menerima pekerja sepertinya. Tidak jelas asal usulnya, sudah begitu tidak berpendidikan pula. Baru masuk ke suatu toko saja dia sudah di usir karena penampilannya yang buruk rupa. Selama ini Siti hanya hidup dari usahanya dari mulai mencuri, sampai memalak. Getir hidup benar-benar telah ia jalani, dan dia mulai bosan hidup dalam kehinaan karena miskin. Siti pun tergiur saat melihat rumah besar di depan matanya. Area sekelilingnya sepi, saking sepinya pikiran jahat Siti timbul lagi mana kala dia mengetahui gerbang rumah tidak terkunci.
Siti masuk ke dalam, rupanya pintu rumah juga terbuka. Peluang besar Siti lihat di depan mata. Tak ada siapa pun menjaga. Terkesiap Siti mengendap, masuk ke dalam kamar yang juga tidak terkunci, mencari-cari barang berharga dengan membuka semua laci. Dari laci satu ke lainnya nihil. Rupanya tidak pada laci lemari, ada sekotak perhiasan berisikan kalung dan gelang emas. Siti memasukkan kotak itu ke dalam pakaiannya lalu buru-buru keluar kamar. Naasnya dari arah dapur datang seorang perempuan berkonde, dia menunjuk Siti tergagap antara panik dan takut. Setelah Siri berlari dari hadapan perempuan setengah baya itu, barulah teriakan terdengar.
“Maling! Tolong ada maling!”
Suasana yang tadinya sepi menjadi ramai akibat teriakan ibu tadi. Warga berdatangan mengejar Siti. Lebih dari sepuluh orang bertambah menjadi dua puluh orang lebih, semakin Siti berlari semakin banyak orang yang mengejarnya. Napas Siti memburu, kakinya sudah lelah berlari. Di persimpangan dia bingung harus menempuh arah yang mana. Siti pun belok ke kiri, tanpa dia duga di sana ada warga keluar dari gang pintas. Siti hendak keluar tapi ternyata warga sudah mengerubunginya. Beberapa di antara mereka membawa balok kayu, bersiap meningkahi Siti.
“Hajar dia!” seru salah satu warga menyemangati warga lain untuk mengeroyok Siti.
Sambil mengendarai motor patrolinya Bima mendesah lemah. Dia tidak menyangka akan turun jabatan menjadi polisi lalu lintas. Mau bagaimana lagi, dia harus menjalani hukumannya meski Bima mendongkol dalam hati. Seharusnya Mafia kemarin bisa dia tangkap dengan mudah kalau bukan karena perempuan gila itu tiba-tiba menimpa tubuhnya.
“Awas aja kalu ketemu lagi!” geramnya sambil menggas motor agar melaju lebih cepat.
Tiba-tiba saja dari kejauhan ada seorang bapak mencegat jalan Bima. Sontak Lelaki itu mengerem motornya sambil menggerutu, “Bapak ini main berhentiin orang tiba-tiba, kalau ke tabrak gimana?!”
“Maaf Pak polisi. Di sebelah sana banyak warga main hakim sendiri memukuli maling perhiasan yang baru saja tertangkap. Dari sini kantor polisi jauh, jadi pas saya mau lapor polisi kebetulan ketemu Bapak. Ya saya cegat saja.”
“Ya sudah, cepat naik motor saya. Kasih tahu saya di mana malingnya.”
Beberapa menit berlalu. Siti tidak tahu akibat dari ulah jahatnya akan jadi seperti ini, mereka bahkan tidak mengenal gender mau perempuan atau laki. Mereka brutal memukuli Siti. Rambut dan pakaiannya di tarik, tubuhnya dipukul dan ditendangi. Siti berteriak minta ampun pun tidak ada yang peduli. Gadis itu hanya mampu menutupi kepalanya dengan kedua tangan sembari meringkuk di aspal.
“Ada apa ini?!” teriak seorang membuat para warga berhenti memukuli Siti.
“Itu dia pencurinya, Pak,” kata lelaki yang bersama Bima. Lantas warga membuka jalan ketika Bima menghampiri Siti. Bima berjongkok mengamati gadis itu masih meringkuk menyembunyikan wajahnya, lalu dia berseru pada warga, “kalian semua bubar! Lain kali Jangan main hakim sendiri, segera laporkan kasus-kasus seperti ini ke polisi. Biar kami yang tangani.”
Setelah satu persatu warga bubar, Bima memegangi tangan Siti hendak membantunya berdiri. “Ayo bangun!” gadis itu pun menurut. Saat Siti berdiri dan menurunkan telapak tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya, Bima terkesiap mengacungkan telunjuknya. “Loh. Kamu ....”
“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bim
“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, te
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti
“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.“Mungkin halusinasi, Pak.”“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb
Bima mengucak matanya berkali-kali. Apakah ini halusinasi atau benar adanya? Mungkin saja dia mengalami syok, tremor, peningkatan kecemasan setelah beberapa lama tidak bertugas menjadi agen lagi, ah omong kosong! Setelah dia membawa Mena dan Richard ke rumah sakit kepolisian, masih saja terbayang wajah Siti yang ditemuinya pertama kali. Bagaimana kulit itu berkerut dan mengeriput, hidung panjang dan bengkoknya, lalu noda hitam pada giginya. Sekarang yang dia khawatirkan bukan hanya kondisi Mena, tapi juga kondisi jiwanya yang mungkin saja terganggu pasca perubahan Siti dari itik buruk rupa menjelma menjadi ratu angsa.“Dok, sebelumnya dia mengalami progeria, kulitnya seperti jeruk yang layu. Keriput, berkerut, kering, kusam dengan pori-pori besar. Katanya penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Tapi lihat ini.” Bima memegangi kepala Siti dengan kedua tangan menunjukkan wajah gadis itu pada dokter kulit.“Kulitnya bagus tidak bermasalah.” Dokter menatap Siti mengedikkan bahunya.Namun Bim
“Kamu lihat folder warna merah? Di sana ada bukti chat online dari cyber. Alamatnya selulernya sudah terdeteksi, tapi begitu kami ke TKP tempat itu ternyata pemukiman warga biasa sehingga kami susah mencarinya. Sudah dua kali kami kehilangan jejak.”“Pasti mereka sudah mengganti nomor ponsel lagi.” Bima menghadapkan kepalanya pada monitor laptop kemudian kembali pada layar gawai tempat Mena melakukan panggilan video.“Mungkin, tapi mungkin juga dari salah satu nomor ponsel lama ada yang mereka aktifkan kembali. Aku akan membantu dari sini bersama tim cyber. Kalau aku sudah menemukannya pastikan kamu menyamar sebagai wanita ketika menemui mereka.”“Hah? Apa?!” Bima tak sadar memekik.“Oh, ayolah Bim, ini kan bukan pertama kalinya.”“Bukan pertama kali, tapi aku trauma digerayangi laki-laki!”“Ya sudah kalau kamu enggak mau, aku alihkan saja ya tugasnya untuk agen perempuan.” Mena siap mematikan panggilannya.“Bentar dulu ... oke-oke. Jangan dimatikan!” Bima berpikir sebentar. “Berapa l
“Sebenarnya buat apa kamu bawa saya ke mari?” Siti memerhatikan sekeliling kamar mewah yang baru saja disewa Bima. Atensinya beralih ke jendela lebar tempat lampu-lampu gedung menyala. “Ini.” Bima memberikan beberapa lembar kertas pada Siti dan perempuan itu hanya bisa membolak-balikan kertas sampai Bima menunjukkan gambar kolom padanya. “Paraf di sini.”“Paraf?” tanya Siti masih bingung.“Tulis nama kamu di sini.”“Kamu mau bodohi saya? Saya sudah bilang kan saya enggak bisa baca dan tulis dengan gaya huruf jaman sekarang.” Ketus Siti.“Oke, pakai gambar juga enggak apa.” Siti menulis namanya dengan huruf sanskerta dan membuat Bima terbengong dibuatnya. “Wah, kamu enggak bisa baca tulis tapi bisa huruf sanskerta?”Siti tidak menanggapi dia terus menulis, lalu menjeda gerakkannya. “Sebentar, ini sebetulnya surat apa?”“Surat kontrak kerja sama selama setahun.”“Setahun?!” Siti ingin protes tapi dia terburu membubuhkan namanya di kertas itu. “ Kerja sama apa?”“Kerja sama membantu p