Berdarah-darahlah dada itu. Kumbang menunduk menengok luka yang seketika membuat lumpuh tubuhnya. Dipegangnya panah sembari menengadahkan kepala menatap kekasihnya. Matanya memerah, mulutnya bergetar mengucap, “Dinda ....”
Siti terkesiap menangkap tubuh roboh Kumbang. Pandangannya berkeliling berupaya mencari bantuan di tengah hiruk pikuk pertempuran. Tidak ada, tidak ada yang bisa menolong kumbang bahkan ketika sekuat tenaga Siti menyalurkan tenaga dalamnya.
Kumbang memucat, bibirnya melirih pelan, “Din-da ....”
“Datuk, bertahanlah. Bertahan, kita tak akan terpisah lagi selepas ini.” Siti masih terus berusaha memulihkan Kumbang yang terkena panah beracun. Racun yang dibubuhkan Serintil pada ujung tombak, pedang dan anak panah pasukannya.
“Meski keadaannya seperti ini. Awak bersyukur masih bisa dipertemukan dengan Dinda.” Tangan gemetar Kumbang terangkat bermaksud menyeka air mata kekasihnya. Namun belum juga sampai, kelopak mata kumbang mengatup. Tangannya jatuh tergelepai menyentuh tanah.
Siti menangis tersedu-sedu, menepuki pipi Kumbang sambil memohon-mohon, “buka matamu Datuk! Jangan tinggalkan Dinda ... jangan tinggalkan Dinda lagi, Datuk ....”
Hari itu juga Siti membawa mayat Kumbang kepada Serintil. Siti menyadari kekuatannya hanya secuil dari kekuatan sang Nenek sakti. Mungkin sang Nenek dapat mengobati Kumbang. Siti tidak memiliki daya lagi, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menolong kekasihnya selain membawa Kumbang ke pendopo milik sang guru.
“Nenek tolong ... tolong!” teriak Siti masih menangisi Kumbang.
Serintil yang tengah beristirahat seketika bangkit mendengar teriakan muridnya. Tergopoh-gopoh dia menghampiri Siti.
“Ada apa?” dilihatnya lelaki pucat berdarah-darah bersama Siti di pendoponya. “Bawa dia masuk! Cepat!”
Siti menceritakan pertemuan singkatnya dengan Kumbang pada Nenek Serintil. Sang Nenek tampak tak senang mengetahui kalau kumbang adalah suruhan Ki Putih klan Inyiak musuh sang Nenek di pertempuran tadi. Baginya menolong kumbang sama saja menjilati darah bangkai sisa peperangan tadi.
“Aku tak bisa menolongnya,” ucap Serintil memunggungi Siti.
“Nek, Siti mohon. Apa pun akan Saya lakukan untuk mengembalikan kumbang. Meski harus menukar nyawa, Siti rela Nek ... asal bisa menolong orang yang paling Siti cintai. Bukankah Nenek sudah berjanji akan membantu Siti untuk bertemu Kumbang?”
“Aku memang sudah membantumu bertemu Kumbang, tapi jikalau kalian bertemu dalam keadaan seperti sekarang, itu adalah kehendak Batara Kala. Aku tidak mau ikut campur lagi.”
Siti bersimpuh di kaki Serintil. Menyatukan kedua tangannya memohon. “Tolonglah Nek, Siti sungguh-sungguh. Siti akan melakukan apa pun demi Kumbang. Hanya Nenek satu-satunya orang yang sangat Siti harapkan. Siti tahu dengan kekuatan ilmu hitam, Nenek bisa menghidupkan orang yang mati, apalagi Inyiak. Siti mohon Nek, Siti tidak bisa hidup tanpa Kumbang.”
Lama Serintil terdiam menimbang-nimbang sebelum akhirnya dia berkata pada Siti, “ada satu cara, tapi ini akan mengorbankan banyak hal dalam hidupmu Siti. Apa kau sanggup melakukannya dan menerima segala konsekuensinya?”
Sontak Siti memeluk kaki Serintil, menengadahkan kepala seraya menjawab, “Siti sanggup, demi apa pun Siti sanggup asal bisa kembali melihat Kumbang hidup.”
“Bangunlah, akan kuberikan sesuatu padamu.”
Sebuah tongkat sakti mandra guna Serintil berikan pada Siti. Hanya tongkat sakti berkepala tengkorak itu yang bisa mengganti kematian dengan kehidupan, menukarnya dengan tumbal. Tumbal kecantikan seorang perawan yang harus dikorbankan demi menghidupkan satu raga yang telah mati.
“Apa yang harus Saya lakukan dengan tongkat ini?” tanya Siti masih bingung memperhatikan tongkat berwarna hijau tua berkepala tengkorak dengan mata berhias permata hijau.
“Bila kau mengirimkan kekuatanmu melalui perantara tongkat ini. Kemungkinan besar Kumbang akan hidup. Tapi tongkat ini akan menghisap semua kecantikanmu, dan menjadikanmu penyihir hitam yang buruk rupa. Apa kau sanggup?”
Pandangan Siti berganti antara Srintil dan tongkat ajaib. Dia terdiam sejenak memandangi mata tengkorak yang mengilat-ngilat sembari membulatkan tekat. “Saya sanggup dan siap!”
Kemudian atas arahan Serintil, Siti mengacungkan tongkat itu ke tubuh Kumbang. Semerbak asap hitam keluar dari dalam tongkat mengelilingi tubuh Kumbang, masuk ke dalam raganya. Tubuh kumbang berguncang. Panah menghilang dari dadanya, daging-daging yang terkoyak menganga terjalin lagi merapat menutup semua luka. Darah-darah yang membasahi pakaiannya kering tanpa bekas. Wajah pucat itu kini menguning segar, bibir birunya kini kembali merona menandakan kehidupan. Dadanya naik turun tanda dia bernapas.
“Datuk ... kau sudah hidup?!” senyum merekah dari bibir Siti begitu mendengar Kumbang terbatuk-batuk. Meski tenaga Siti habis terkuras tapi bahagia menyelimutinya ketika melihat Kumbang siuman.
Kumbang beringsut duduk, memegangi kepalanya yang berputar. Pandangannya berkabut tidak jelas mengetahui siapa wanita yang tengah bersamanya. Kumbang melirih, “di mana Awak?”
“Berbaringlah dulu Datuk. Datuk belum pulih benar.” Siti berupaya membaringkan tubuh Kumbang lagi di tempat tidur.
“Jangan sentuh saya!” Murka Kumbang begitu mengetahui dia berada di tempat asing dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Bayangan samar itu menjadi jelas, sesosok wanita keriput berambut panjang, berhidung bengkok, dengan tubuh bungkuk, senyum mengerikan, dan kuku panjang menyentuh wajah Kumbang. “Singkirkan tangan kau!”
“Ini Siti, Datuk ...”
Perempuan mengerikkan itu berkaca-kaca. Tak ibalah Kumbang melihatnya. Dia memegang tongkat tengkorak yang diketahui Kumbang adalah simbol kekuatan hitam. Kegelapan yang telah membunuh ribuan pasukannya, kawan-kawan Inyiak dan saudara-saudaranya. Perempuan itu juga pasti bermaksud membunuhnya. Ya dia pasti penyihir jahat yang selama ini meresahkan masyarakat.
“Kau bukan Siti!” Kumbang mendorong keras tubuh Siti sampai terperosok ke lantai. Melihat perempuan itu tersungkur lemah, terkesiap Kumbang berlari kencang meninggalkan markas penyihir berilmu hitam.
Siti menangis mengingat Kumbang tidak mengenalinya. Dia berusaha bangkit melihat bayangannya dalam cermin. Pantaslah Kumbang lari setelah melihatnya. Tidak ada lagi kulit halus selembut sutra. Tidak ada lagi senyum bak mawar merekah, tidak ada lagi rambut indah berkilauan yang di sanjung-sanjung kekasihnya. Siti kian menangis memegangi wajahnya.
“Sudah kuperingati sedari awal, tak payah menyesalinya.” Serintil muncul di dalam cermin tempat Siti mematut bayangan.
“Saya tidak menyesal memberi kehidupan pada Kumbang. Hanya terkejut pada perlakuannya.” Siti mengusap air matanya, berusaha menguatkan hati. “Kumbang mungkin juga terkejut, saya yakin kelak dia pasti mengenali saya.”
“Kalau dia sungguh mencintaimu, seperti apa pun rupamu dia akan tetap mengenalimu. Baru pantaslah lelaki seperti itu engkau pertahankan. Tapi bila dia semakin menjauh, maka kau telah salah menukar kecantikanmu hanya demi menyelamatkan pemuda Siluman. Tak patut bersedih Lampir, meski buruk rupa tapi kekuatan kau akan bertambah sakti.”
“Lampir?” tanya Siti kembali.
“Kuhadiahi nama Lampir di belakang namamu sebagai gelar kesaktian penguasa kegelapan. Mulai sekarang kau bukanlah manusia biasa. Kuturunkan takhtaku padamu Lampir sebagai penguasa Marapi. Tak ada lagi yang perlu kau takuti, manusia-manusia dan siluman akan tunduk di bawah kuasamu. Kau adalah pemimpin para siluman dan penyihir hitam. Kau adalah ratu kegelapan, Siti Maymunah Lampir.”
Setahun berlalu, Siti memberi waktu untuk Kumbang berpikir, ya mungkin dia akan berpikir dan tersadar jika Siti adalah wanita si buruk rupa yang sebenarnya sangat Kumbang cintai. Cinta pasti akan membawa Kumbang kembali kepada Siti. Dia meyakini itu sampai rasa rindunya tidak dapat terbendung lagi. Siti pun memutuskan untuk menengok Kumbang di kampung halamannya.Siti tahu penampilannya pasti akan menarik perhatian. Dia menutupi segala keburukan yang ada pada tubuhnya dengan jubah. Menutupi wajahnya dengan kerudung berwarna hijau yang dililitkan dari hidung sampai leher. Beberapa malam Siti datang ke desa Umayang hanya untuk menengok kumbang dari kejauhan. Setelah dia memastikan Kumbang baik-baik saja, hatinya pun lega untuk meninggalkan.Saat Siti hendak pulang, dia melihat seorang gadis yang sedang dicekik oleh siluman berkekuatan hitam. Siluman itu menghirup sari pati sang gadis hingga kulitnya menjadi kisut. Sontak Siti berlari bermaksud mengusir siluman jahat tadi.“Lepaskan dia!
Sejak saat itu, saat semua orang menganggapnya adalah penyihir jahat--Lampir benar-benar mengikuti saran Serintil. Tidak ada gunanya menjadi manusia baik, bila tidak ada yang mempercayai dirinya adalah makhluk baik. Untuk apa ilmu yang dia pelajari selama ini kalau bukan untuk menguasai dunia. Menyingkirkan manusia-manusia munafik, lelaki hidung belang dan para penguasa yang tamak harta. Tak terkecuali menyingkirkan semua orang yang menyakiti hatinya. Malam itu Siti menyelinap ke desa Umayang mengendap ke rumah Kumbang dan keluarga kecilnya. Melihat kekasihnya yang jahanam itu bersenda gurau dengan istri dan anaknya. Luntur sudah rasa cinta berganti kebencian yang tersirat dalam gelap bola mata Siti. “Datuk! Datuk!” seseorang mengetuk pintu rumah Kumbang. “Ada apa? Kenapa napas kau naik turun begitu?” tanya Kumbang saat mengetahui pemuda di depan pintu membungkuk memegangi lutut seolah telah menempuh jarak yang jauh untuk sampai. “Tadi, ada warga yang melihat Mak Lampir terbang mem
“Heh gelandangan, senaknya aja tidur di depan ruko! Pergi! Pergi sana!” teriakan lelaki gempal membangunkan pagi Siti yang terasa dingin. Dia mengucak mata terus terduduk belum sepenuhnya tersadar sampai si lelaki mengambil sapu dan memukulkan gagang sapu tadi ke lantai sambil berseru menggelegar, “disuruh pergi malah bengong! Lu tuli?! Cepetan pergi sana!” Mau tak mau Siti bangkit dari lantai. Dia mengikuti langkah kakinya entah ke mana tak ada tujuan. Teringat apa yang dikatakan oleh Nenek Serintil, bahwasanya dunia itu memanglah kejam. Manusia-manusia itu baik pada orang-orang berduit. Orang-orang yang mempunyai harta dan takhta, dan semua itu telah lenyap darinya. Perut Siti mulai tidak bersahabat. Lupalah dia belum makan sejak kemarin siang. Dilihatnya tukang jajanan di sepanjang jalan, lantas Siti meraba kantong bajunya yang bolong hingga jari-jari tangannya terlihat dari luar. Malang nian nasib mantan putri Champa dan penguasa kegelapan. Tak ada cara lain baginya untuk mengeny
“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bim
“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, te
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti
“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis. Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.“Mungkin halusinasi, Pak.”“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh
Kegiatan pagi Siti sudah disibuki dengan mengurus bayi, dan itu membuat sendi-sendinya terasa kaku. Perutnya lapar, sayang dia tidak tahu cara menggunakan tungku di zaman modern seperti sekarang. Tidak seperti dapur tempat dayang-dayangnya memasak, di sini tidak ada kayu bakar dan itu membuatnya kebingungan. Sambil menyuapi si Montok bubur instan, Siti juga ikut mencicipi bubur itu agar perutnya sedikit terisi makanan. Kulkas di sini kosong tidak seperti di rumah Bima kemarin yang terdapat banyak makanan.“Kamu ngapain?” Bima baru saja keluar dari kamar mandi bertelanjang dada.“Makan. Saya lapar.” Tak berani Siti menunjukkan muka, dia hanya menjawab pertanyaan Bima tadi sambil menunduk. Batinnya menggeritu, pria-pria di zaman ini memang tidak tahu malu, bahkan di depan seorang gadis mereka berani bertelanjang dada, hanya melilit handuk di bawah pusarnya.Bima berkacak pinggang. Sekilas mata Siti menangkap enam persegi empat pada perut pria itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdeb