Semua orang mempunyai kotak kecil terkunci di dalam sebuah ruang bernama, “rahasia.” Pernahkah terpikir olehmu bagaimana tetanggamu yang ketampanannya bak Lee Dong Wook ternyata seorang pendekar mabuk, atau pernahkah kamu mengetahui kalau temanmu yang kuper ternyata adalah manusia Kalong Super. Ya, semua tertutup rapat dalam kotak pendora terkunci yang ada di dalam memori otak manusia. Seperti halnya seorang pemulung bernama Siti.
“Orang gila ... orang gila ...” para bocah mengekori Siti ketika memasuki area perumahan warga. Bagaimana tidak disebut orang gila, meski waras Siti tidak punya uang untuk sekedar membeli pakaian. Dia selalu menambal pakaiannya yang sobek. Begitu juga dengan sepatu hasil curiannya yang sudah lama menganga menampakkan jari-jarinya.
“Eh, dia bukan orang gila ...” Ajun bocah gembul menjatuhkan bungkusan tahu bulatnya begitu melihat Siti di depan mata. Dia mengernyit lalu mengumpat di belakang tubuh Dodo.
“Lu kenapa sih?!” tanya Dodo tak ingin Ajun menggelandotinya.
“Lihat deh, hidung bengkoknya, kulit keriput, mata besar juga rambut gimbalnya. Di-dia ... hihhh ... dia Nenek Lampir!” Ajun berlari tunggang langgang ketakutan meninggalkan Dodo yang sedang mengamati Siti. Bocah lainnya juga berhenti bersorak--memandangi Siti sama seperti Dodo.
Siti berhenti berjalan begitu mendengar obrolan bocah tadi. Dia menengok ke arah Dodo, menyipitkan mata kemudian semakin lama mata itu semakin membesar membelalak. Mulutnya mengernyih menampakkan barisan gigi hitamnya lalu tertawa mengikik. “Hi hi hi ....”
“Ka-kamu siapa?!” tanya Dodo gemetaran.
Dengan suara seraknya Siti membalas membisik, “Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea?”
“Ho oh nanya.” Bocah itu pun mengangguk hati-hati.
Siti mendekatkan wajahnya dengan cepat seraya menjawab dengan intonasi pelan tapi mengerikan, “saye Siti Lampir Maymunah ... A. K. A Siti Lampirrr penguasa gunung Marapi ....”
“Se-setan!” Para bocah tadi pun berhamburan kocar-kacir ketakutan begitu Siti mengikik lagi.
Siti menyeringai kemudian mematung terdiam. Hatinya terasa hampa, lamunannya terbawa pada masa lalu yang sulit dilupakannya. Pada sebuah negeri nun jauh di sana. Tanah subur, tanaman berhijauan, bunga bermekaran, panen berkecukupan, hasil laut menggembirakan, masyarakat sejahtera karena dipimpin seorang raja arif bijak sana. Dahulu, ratusan tahun lalu tempat Siti tinggal--tidak ada bus lalu lalang seperti sekarang. Orang-orang sibuk berdagang, berlayar, memanen padi, tidak sibuk memegang gawai. Siti teringat pada satu nama yang selalu terpatri dalam hatinya bahkan sanggup membuat matanya berkaca-kaca, Datuk Panglima Kumbang ....
“Alangkah eloknya mata Adinda, batu permata pun tak mampu menyaingi eloknya binar bola mata Adinda.” Di balik ilalang tinggi tersapu angin, kesatria Kumbang mencuri-curi pandang dengan kekasihnya sang putri cantik dari Champa; kerajaan terbesar di negara Vin Diet di wilayah selatan Panduranga.
Siti Maymunah tersenyum malu-malu menanggapi pujian sang kesatria yang termasyhur dengan gelar Datuk Panglima Kumbang; sang pendekar harimau berdarah separuh siluman dari Minang Kabau. Sambil menunduk, Siti melirik Kumbang. “Agaknya tak terasa hubungan kita semakin dekat, tak kuasa Siti terus-terusan dipandangi Datuk. Takut makhluk ke tiga datang menggoda. Apalagi lemah nian hati ini.”
Lelaki berpostur tinggi, berkulit kuning cerah, berparas gagah menampakkan barisan giginya yang rapi. Tampak dia tahu apa maksud dari perkataan cerdas Siti. “Awak akan pulang ke Minang.”
“Kapan?” tanya Siti segera. Tidak ingin rasanya cepat terpisah, tapi Siti juga meresah menanti sang kekasih memberi kepastian.
“Lusa. Awak akan membicarakan hubungan kita dengan Abak dan Bundo.”
“Siti pun akan bicara pada kedua orang tua Siti.”
Jemari kekar kumbang membelai pipi Siti dengan lembut. Sedang sebelah tangannya mengambil punggung tangan Siti dan mengecupnya. “Semoga kedua orang tua kita merestui. Tak sabar rasanya Awak ingin mempersunting engkau, Dinda.”
Senyum Siti merekah, hatinya berbunga-bunga mendengar ucapan Kumbang merdu terngiang di telinganya. Siapalah yang tidak senang dinikahi pria perkasa seperti Kumbang. Pribadinya baik, bijak sana, dan lemah lembut pada wanita. Senang hati Siti pun dia bagi pada kedua orang tuanya.
“Ada apa? dari tadi tersenyum-senyum sendiri. Seperti habis menerima upeti saja. Apa yang membuat hati engkau gembira wahai putriku? Coba cerita pada Ayah dan Bunda.” tanya sang Ibu pada Siti.
Siti yang tengah menemani kedua orang tuanya di taman, kini bermanja kepada sang ayahanda. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu sang ayah sambil merangkul lengannya. "Ayahanda ... Siti sudah dewasa sekarang. Bolehkah Siti menentukan pilihan pada siapa Siti akan menikah, dan mengabdikan hidup Siti kelak.”
Raja dan Ratu terkejut sejenak kemudian tersenyum saling memandang. Raja mengelus rambut panjang Siti yang lurus sembari berkata, “Rupanya putri Champa sudah dewasa. Siapalah gerangan yang membuat hati putri terus berbunga hingga tak henti-henti tersenyum sorang diri.”
“Kesatria Kumbang Ayah. Dia nak melamar Siti, bila Ayah bersedia berjumpa dengan keluarganya.”
Raja bangkit dari singgasananya begitu terkejut. “Apa?! Manusia berdarah siluman itu ingin meminang putriku?!”
“I-iya Ayahanda.” Ragu-ragu Siti mengangguk.
“Lancang sekali Inyiak itu!”
“Kenapa Ayah? Kenapa kalau dia seorang Inyiak Balang? Dia disegani dan dipuja di kepulauannya?”
“Ayah tidak sudi menerima menantu separuh siluman! Itu sama saja kau menodai darah biru leluhur kita. Sebaiknya kau nikahi saja pangeran dari Hoi An atau Raja Indravarman!”
“Tapi Siti tidak mencintai mereka. Kalau alasan Ayahanda hanya karena Kumbang adalah Inyiak yang bagi Ayahanda itu hina, lebih baik Siti pergi saja dari Champa.”
Raja mendengkus keras, emosinya semakin tersulur meskipun sang ratu terus berusaha menenangkannya. Rahangnya mengerat, urat-urat pada pelipisnya mengeras, geram tidak bisa dia tahan. “Baiklah kalau kau menginginkannya. Keluar saja dari Champa! Bila kau keluar, kau bukan lagi Putri seorang Raja.”
Air mata Siti menggenang mendengar bentakan sang ayah. Siti tak kuasa memendam kesedihan. Dia berlari kencang kembali ke kamar.
“Raja ...” Ratu memegangi tangan Raja seolah menegur apa yang telah dikatakannya tadi sungguhlah kejam.
“Biarkan saja Dinda, biar dia berpikir. Saya rasa dia tidak akan berani hidup susah hanya demi cinta.” Raja tetap pada pendiriannya, baginya menikahi Putri sucinya dengan siluman bagaikan mencoreng nama baiknya. Dia berkeyakinan bahwa putrinya tak akan berani melanggar perintahnya dengan menanggung risiko kehilangan takhta juga harta. Hari itu Raja memerintahkan pasukan agar menutup gerbang perbatasan bagi pelancong atau pun imigran dari kepulauan Austronesia yang datang. Raja berpikir hanya dengan cara seperti itu yang dapat memisahkan Siti dan Kumbang selama-lamanya. Tanpa tahu kalau malam itu juga putrinya benar-benar kabur dari istana, menyamar sebagai rakyat biasa demi mencari kekasihnya.
“Lapor yang Mulia.” Salah satu dayang istana datang menghadap sang Raja.
“Ada apa?” Raja menjeda rapat dengan mantri-mantri begitu mengetahui dayang itu pucat dan panik.
“Putri yang Mulia ... Putri Siti Maymunah hilang.”
"Hilang?!"
Siti tidak dapat hidup tanpa Kumbang. Dia terus mencari kekasihnya yang hilang. Tidak kalah pun dia dengan kesusahan meski harus meninggalkan harta dan takhtanya, Siti rela asalkan bisa bersama Kumbang. Suatu hari ketika perdagangan asing di buka. Diam-diam Siti mengikut kapal pelayaran ke Nusantara tepatnya ke pulau Sumatra. Dari mulut ke mulut Siti mendengar kabar kalau Datuk termasyhur itu tidak lagi tinggal di Minang Kabau, dia menghilang, benar-benar menghilang.“Kau dengar kemarin baru saja terjadi perampokan lagi di kampung kita.”“Iya, sekarang sering sekali terjadi hal meresahkan di sini. Perampokanlah, penculikan anak gadis, sampai anak bayi pun jadi korban.”“Itulah, semenjak Datuk Kumbang pergi dari kampung, banyak penjahat yang berdatangan.”Siti yang tengah minum di warung makan menjadi tertarik dengan percakapan lelaki di sebelahnya. Dia sedikit mendekat ke arah para pemuda itu. “Adakah Tuan sekalian tahu keberadaan Datuk Kumbang sekarang?”Para pemuda di samping Siti m
Berdarah-darahlah dada itu. Kumbang menunduk menengok luka yang seketika membuat lumpuh tubuhnya. Dipegangnya panah sembari menengadahkan kepala menatap kekasihnya. Matanya memerah, mulutnya bergetar mengucap, “Dinda ....”Siti terkesiap menangkap tubuh roboh Kumbang. Pandangannya berkeliling berupaya mencari bantuan di tengah hiruk pikuk pertempuran. Tidak ada, tidak ada yang bisa menolong kumbang bahkan ketika sekuat tenaga Siti menyalurkan tenaga dalamnya.Kumbang memucat, bibirnya melirih pelan, “Din-da ....”“Datuk, bertahanlah. Bertahan, kita tak akan terpisah lagi selepas ini.” Siti masih terus berusaha memulihkan Kumbang yang terkena panah beracun. Racun yang dibubuhkan Serintil pada ujung tombak, pedang dan anak panah pasukannya.“Meski keadaannya seperti ini. Awak bersyukur masih bisa dipertemukan dengan Dinda.” Tangan gemetar Kumbang terangkat bermaksud menyeka air mata kekasihnya. Namun belum juga sampai, kelopak mata kumbang mengatup. Tangannya jatuh tergelepai menyentuh
Setahun berlalu, Siti memberi waktu untuk Kumbang berpikir, ya mungkin dia akan berpikir dan tersadar jika Siti adalah wanita si buruk rupa yang sebenarnya sangat Kumbang cintai. Cinta pasti akan membawa Kumbang kembali kepada Siti. Dia meyakini itu sampai rasa rindunya tidak dapat terbendung lagi. Siti pun memutuskan untuk menengok Kumbang di kampung halamannya.Siti tahu penampilannya pasti akan menarik perhatian. Dia menutupi segala keburukan yang ada pada tubuhnya dengan jubah. Menutupi wajahnya dengan kerudung berwarna hijau yang dililitkan dari hidung sampai leher. Beberapa malam Siti datang ke desa Umayang hanya untuk menengok kumbang dari kejauhan. Setelah dia memastikan Kumbang baik-baik saja, hatinya pun lega untuk meninggalkan.Saat Siti hendak pulang, dia melihat seorang gadis yang sedang dicekik oleh siluman berkekuatan hitam. Siluman itu menghirup sari pati sang gadis hingga kulitnya menjadi kisut. Sontak Siti berlari bermaksud mengusir siluman jahat tadi.“Lepaskan dia!
Sejak saat itu, saat semua orang menganggapnya adalah penyihir jahat--Lampir benar-benar mengikuti saran Serintil. Tidak ada gunanya menjadi manusia baik, bila tidak ada yang mempercayai dirinya adalah makhluk baik. Untuk apa ilmu yang dia pelajari selama ini kalau bukan untuk menguasai dunia. Menyingkirkan manusia-manusia munafik, lelaki hidung belang dan para penguasa yang tamak harta. Tak terkecuali menyingkirkan semua orang yang menyakiti hatinya. Malam itu Siti menyelinap ke desa Umayang mengendap ke rumah Kumbang dan keluarga kecilnya. Melihat kekasihnya yang jahanam itu bersenda gurau dengan istri dan anaknya. Luntur sudah rasa cinta berganti kebencian yang tersirat dalam gelap bola mata Siti. “Datuk! Datuk!” seseorang mengetuk pintu rumah Kumbang. “Ada apa? Kenapa napas kau naik turun begitu?” tanya Kumbang saat mengetahui pemuda di depan pintu membungkuk memegangi lutut seolah telah menempuh jarak yang jauh untuk sampai. “Tadi, ada warga yang melihat Mak Lampir terbang mem
“Heh gelandangan, senaknya aja tidur di depan ruko! Pergi! Pergi sana!” teriakan lelaki gempal membangunkan pagi Siti yang terasa dingin. Dia mengucak mata terus terduduk belum sepenuhnya tersadar sampai si lelaki mengambil sapu dan memukulkan gagang sapu tadi ke lantai sambil berseru menggelegar, “disuruh pergi malah bengong! Lu tuli?! Cepetan pergi sana!” Mau tak mau Siti bangkit dari lantai. Dia mengikuti langkah kakinya entah ke mana tak ada tujuan. Teringat apa yang dikatakan oleh Nenek Serintil, bahwasanya dunia itu memanglah kejam. Manusia-manusia itu baik pada orang-orang berduit. Orang-orang yang mempunyai harta dan takhta, dan semua itu telah lenyap darinya. Perut Siti mulai tidak bersahabat. Lupalah dia belum makan sejak kemarin siang. Dilihatnya tukang jajanan di sepanjang jalan, lantas Siti meraba kantong bajunya yang bolong hingga jari-jari tangannya terlihat dari luar. Malang nian nasib mantan putri Champa dan penguasa kegelapan. Tak ada cara lain baginya untuk mengeny
“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bim
“Terus enggak ada keluarganya yang lain?!” Bima mendesah lemah begitu tidak ada yang mau merawat bayi malang dalam gendongnya.“Enggak ada yang di Jakarta. Satu di luar negeri yang satunya lagi di Bengkulu. Lu aja Bim, masalahnya anak-anak gue hiperaktif semua. Takurnya malah dibuat mainan sama anak-anak, mana istri gue dagang. Enggak bisa lah. Coba tanya Siska.” Edo yang sedang mengetik laporan melirik Siska, polisi wanita yang baru saja datang.“Ada berita apa nih? Ih lucu banget.” Siska menaruh tasnya cepat-cepat begitu melihat bayi montok itu. “Anak siapa ini?”Bima langsung memberikan bayi itu pada Siska. “Anak korban kecelakaan. Enggak ada yang mau rawat. Lu aja ya, lagian cuma sementara kok sampai keluarganya datang.”“Eh, kok gitu!” Siska tampak keberatan.“Lu kan perempuan, masih single. Sedang kita ini laki-laki mana ngerti ngurus bayi,” timpal Edo yang langsung dapat tanggapan dari Siska.“Enggak bisa gitu dong. Lu kan tahu gue tinggal sendiri. Kalau gue tugas tiba-tiba, te
“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti