“Jangan sedih, Ayah akan sering-sering mengirim pesan ke Thumbelina. Meski kamu sudah menikah, Ayah pasti tidak akan melupakan Thumbelina.”
Setelah mengucapkan kata-kata manis, intonasi Aditya tiba-tiba saja berubah dingin. “Berusahalah untuk mendapatkan perhatian dan harta dari suamimu itu. Kalau kamu gagal menaikkan karirmu, maka kamu sudah tahu konsekuensinya.”Gemetar di tubuh Hanna semakin kuat hingga dia juga merasa menggigil. Aditya selalu seperti itu, memperlakukan Hanna dengan manis pada awalnya, kemudian akan menghukumnya apabila Hanna gagal memenuhi ekspektasi yang dia buat.
Seandainya pernikahan Hanna tidak menghasilkan apa-apa, maka Aditya pasti akan memaksanya bercerai dan memberikan hukuman berat kepadanya.
“Thumbelina mengerti Ayah,” bisik Hanna. “Kira-kira, kapan Ayah akan mengunjungiku?”
“Hmm … sayangnya Ayah tidak bisa mengunjungimu dalam waktu dekat. Beberapa minggu ke depan Ayah ada pekerjaan di luar negeri, jadi mungkin hanya bisa mengirim pesan kepadamu.”
Seketika kedua mata Hanna berbinar, jika Aditya pergi dari Indonesia, maka artinya dia tidak harus berhadapan dengan pria itu selama beberapa minggu.
“Aku pasti akan menantikan pesan dari Ayah,” ujar Hanna sebelum akhirnya memutuskan panggilan.
Begitu panggilannya dengan Aditya terputus, Hanna lekas berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
Perlahan Hanna mengangkat kepalanya, kemudian menatap pantulan wajahnya sendiri yang ada di cermin. Segala senyuman serta raut kebahagiaan telah luntur saat tak ada orang lain di sekelilingnya.
Hanna mengusap sudut bibirnya yang kotor menggunakan tangan, kemudian berkumur dengan cairan pembersih mulut supaya rongga mulutnya tetap harum.
“Memuakkan,” bisik Hanna kepada dirinya sendiri.
Dia merasa muak karena harus selalu berpura-pura menjadi boneka manis di hadapan Aditya, sang ayah tiri.
• • •
Pada siang hari, Hanna sudah selesai berkemas dan menunggu supir yang dikirimkan oleh Aditya. Tangan kirinya memutar-mutar kartu kredit yang berkilauan, sementara tangan kanannya sedang mencari barang-barang branded di ponselnya.
Karena Arsenio sudah mengambil keuntungan darinya kemarin, maka hari ini saatnya Hanna yang mengeruk keuntungan dari Arsenio.
Jari-jarinya bergerak cepat saat menekan tombol ‘beli’. Setelah memesan sekitar sepuluh barang-barang branded, akhirnya Hanna berhenti berbelanja dan mulai berselancar di sosial media.
Kemudian dia melihat ke postingan foto pernikahannya dengan Arsenio yang sudah mempunyai tiga juta komentar dalam kurun waktu satu hari.
[Huhuhu, boneka kita yang manis sekarang sudah menikah.]
[Thumbelina sangat beruntung karena bisa dapetin Presdir Arsenio.]
[Arsen keliatan sempurna banget! Sudah tampan, kaya, sekarang dapat istri yang cantik dan terkenal.]
[Hari ini adalah hari patah hati sedunia.]
Ketika Hanna menggulir layar semakin ke bawah, dia juga menemukan ada banyak komentar negatif.
[Idih, dia pasti mau nikahin Arsen biar bisa dipromosiin gratis.]
[Si Thumbelina ‘kan sering banget kena skandal sama cowok, kok Arsen mau sih nikah sama dia.]
[Kenapa sih banyak yang bilang Thumbelina kayak boneka prancis, bukannya dia malah kayak boneka santet ya?]
"Brak!" Hanna langsung membanting ponselnya ke tempat tidur usai membaca komentar-komentar negatif itu. Rasa kesal membanjiri hatinya sampai Hanna ingin membalas komentar buruk itu dengan balasan yang pedas.
Tapi, dia berusaha keras untuk menahan diri supaya pesonanya sebagai wanita yang manis dan lemah lembut tidak hilang di mata masyarakat.
"Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan pintu langsung mengalihkan perhatian Hanna. Dia buru-buru membuka pintu dan mendapati seorang pria separuh baya tengah berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
“Nyonya Hanna, perkenalkan nama saya Anton. Saya adalah supir yang akan mengantarkan Nyonya ke rumah Tuan Arsen.”
Hanna berusaha mengangkat senyumnya. “Salam kenal, Pak Anton.”
Hanna kemudian mengambil barang-barangnya di kamar hotel, tapi ditahan oleh Anton. “Biar saya saja yang membawanya, Nyonya.”
Setelah membawa semua barang-barang ke mobil, Anton segera mengantar Hanna ke kediaman Arsenio yang ada di salah satu perumahan elit di Jakarta Pusat.
Di sepanjang perjalanan, dia tidak bisa berhenti memikirkan kedua adik perempuan Arsenio yang sepertinya juga tinggal di rumah yang sama dengan Arsenio.
Kalau satu ipar wanita saja sudah cukup untuk merusak mental, apalagi kalau ada dua. Mungkin tinggal bersama mereka bisa membuat Hanna merasa tertekan.
“Thumbelina! Akhirnya kamu sampai juga. Aku sudah menunggu-nunggu kamu dari pagi, aku pikir kamu tidak jadi datang hari ini.”Hanna lumayan terkejut saat salah satu adik Arsenio langsung berlari keluar rumah begitu Hanna sampai di kediaman Arsenio.Ketika Hanna perhatikan lebih lanjut, Hanna menebak bahwa wanita di hadapannya adalah Karina Tanya Ganendra, adik terakhir dari Arsenio yang memiliki wajah secantik mutiara.“Maaf, aku terlambat. Tadi jalanannya sangat macet,” kata Hanna seraya tersenyum, berusaha agar terlihat baik di hadapan Karina.Karina segera mengibaskan tangannya. “Jangan khawatir, kamu nggak perlu minta maaf. Aku cuman tidak sabar buat ketemu kamu! Kemarin kita tidak sempat ngobrol karena pestanya sangat ramai, bahkan aku susah mendekati kamu saat kamu selalu jadi pusat perhatian di pesta.”Hanna, “Ah, itu kesalahanku. Seharusnya aku lebih memperhatikan adik ipar di pesta daripada tamu yang lain.”“Eh? Aku tidak mengatakan itu untuk membuat kamu merasa tidak enak. S
Pada hampir tengah malam, suara mobil Arsenio terdengar di depan rumah. Hanna lantas mengintip dari jendela kamarnya, dan mengamati sosok Arsenio yang baru saja keluar dari mobil, menampakkan wajah tampannya yang sempat membuat Hanna terpana selama beberapa detik.Jika saja pernikahannya dengan Arsenio tidak mengandung pemaksaan, mungkin saja Hanna bisa jatuh cinta dengan pria itu. Sayangnya mereka sudah terikat kontrak untuk tidak jatuh cinta.Berselang beberapa saat kemudian, Arsenio masuk ke dalam kamarnya dan menampakkan wajah terkejut begitu melihat Hanna.“Apa yang kamu lakukan di kamarku?” tanya Arsenio.Hanna menjawab dengan acuh. “Sekarang aku adalah istrimu, wajar jika aku tidur bersamamu.”Arsenio, “Kita hanya pasangan pura-pura, jadi untuk apa tidur bersama? Siapa yang memperbolehkanmu masuk ke dalam kamarku?”“Adikmu, Karina. Dia bahkan bilang aku boleh mendekorasi kamar ini sesuka hatiku.”Arsenio sontak berjalan ke hadapan Hanna dan menampakkan wajah dinginnya seperti b
Arsenio mengedipkan kelopak matanya beberapa kali, tidak menyangka bila Hanna akan protes dengan kelakuannya tadi pagi.“Maaf, tadi pagi aku buru-buru, sehingga tidak sempat membantumu bersih-bersih.”Seketika Hanna terkesiap. Sama sekali tak terbersit di dalam pikiran Hanna bila pria yang selalu tampak dingin itu bisa mengucapkan kata maaf.“Asal kamu tidak mengulanginya lagi … maka aku tidak akan mempermasalahkan hal itu lagi,” bisik Hanna.Saat ini, Hanna benar-benar tidak bisa menebak isi pikiran Arsenio. Pria itu berulang kali menegaskan kalau dia membenci Hanna dan hanya menikahinya karena tuntutan dari ayahnya. Namun, pada kenyataannya Arsenio tidak pernah mengasarinya. Jangankan memukul Hanna, pria itu bahkan masih berusaha membuat Hanna menikmati kegiatan panas mereka kemarin malam.Jika saja kata-kata yang keluar dari mulur Arsenio tidak tajam, mungkin Hanna tidak akan tahu kalau pria itu membencinya.“Kamu sudah siap?” tanya Arsenio.Hanna mengangguk pasrah. “Ya, aku akan
Awalnya, Hanna berpikir mungkin suasana hangat yang sempat mereka ciptakan kemarin berhasil meluluhkan hati Arsenio. Namun, wanita itu salah besar, karena Arsenio tetap mempertahankan sikap acuhnya keesokan harinya.Walaupun pria itu memenuhi janjinya untuk membersihkan tubuh Hanna setelah mereka selesai bermain-main. Arsenio tetap saja tidak mau bicara banyak dengan Hanna, bahkan suaminya itu cenderung mengabaikan Hanna.‘Apa ini yang dirasakan oleh para wanita penghibur di luar sana? Saat malam dipuji-puji, lalu akan dibuang begitu pagi hari datang,’ keluh Hanna di dalam benaknya.Hanna menghela napasnya, kemudian duduk di tempat tidur, sementara Arsenio sedang mengenakan dasinya dan bersiap-siap pergi ke kantor walau matahari belum terbit.“Kamu sudah mau berangkat kerja?” tanya Hanna.“Ya, ada rapat penting hari ini.”Entah mengapa, Hanna merasa sepertinya Arsenio sengaja berangkat pagi-pagi bukan karena pekerjaannya, melainkan karena ingin menghindar dari Hanna.“Tidak ingin sara
Semenjak selesai sarapan, dia terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar seraya menggigit ujung jarinya.Hari ini Karina sedang pergi ke kampusnya, sehingga Hanna akan merasa sangat canggung bila ditinggal bersama Vanessa dan Tiana. Terlebih Vanessa bukan tipe orang yang bisa memecahkan suasana dengan mudah.Terus memikirkan hal itu malah membuatnya bertambah cemas.Hanna memang seperti itu, dia selalu mempunyai kecemasan tinggi apabila diharuskan berkenalan dengan orang baru.Jika hanya berkenalan dengan rekan kerja, Hanna masih bisa menahan kecemasannya. Tapi kalau sudah berurusan dengan kenalan pribadi, maka Hanna selalu takut akan ada hal buruk yang menimpanya.Ketika hati Hanna masih diliputi kegelisahan, tiba-tiba saja Vanessa memanggilnya dari luar ruangan.“Hanna, Tiana baru saja datang. Apa kamu udah sehatan?” tanya Vanessa.Hanna terkejut, tidak menyangka Tiana akan datang lebih pagi dari perkiraan.Dia ingin melarikan diri tapi takut mempunyai kesan yang buruk di hadapan t
Sesaat usai Vanessa kembali, Hanna buru-buru minta izin untuk beristirahat di kamar karena merasa perutnya tidak nyaman. Vanessa tentu saja mengizinkannya pergi karena merasa khawatir.Padahal, sebenarnya Hanna hanya tidak tahan ada di dekat Happy yang semakin lama ingin mendekatinya dan bahkan terlihat meminta elusan.Selain itu, entah mengapa Hanna juga tidak terlalu senang berada di sekitar Tiana. Sebagai orang yang biasa memalsukan sikap di depan media, tentu Hanna bisa tahu apakah seseorang bersikap asli atau tidak di depannya.Menurut Hanna, sikap Tiana itu terlihat palsu, sehingga membuat Hanna tidak tahan.Mungkin perasaan itulah yang dirasakan oleh Arsenio setiap kali melihat Hanna.Sayangnya, kepalsuan Tiana terlihat sangat alami, sehingga dia tidak membuat Arsenio merasa muak.“Tapi setidaknya dia kasih saran kepadaku,” kata Hanna di dalam hati.“Apa sebaiknya aku mulai belanja bahan hari ini biar besok tinggal masak?”Ketika Hanna sedang berpikir sambil berjalan ke dapur u
Tepat di jam makan siang, Hanna sampai di gedung agensi GND Entertainment. Seluruh karyawan di agensi sudah mengetahui hubungan antara Arsenio dan Hanna, sehingga tidak ada yang berani melarang tatkala Namri pergi ke ruangan Arsenio yang ada di lantai teratas.“Apa Arsen ada di dalam?” tanya Hanna kepada resepsionis yang ada di depan ruangan Arsenio.Resepsionis itu buru-buru merapikan penampilannya begitu dia melihat Hanna. “Pak Arsenio ada di dalam, beliau baru saja selesai rapat.”Hanna menggigit bagian dalam mulutnya, kemudian berkata dengan suara kecil. “Aku belum buat janji dengannya. Kalau aku masuk, apakah dia akan marah?”Resepsionis dengan name tag ‘Rania’ agak terkejut saat mendengar pertanyaan Hanna, tetapi dia berusaha menyembunyikkan ekspresinya.“Tentu Pak Arsenio tidak akan marah, beliau mungkin akan senang bila dikunjungi oleh istrinya saat bekerja.”Hanna, “Jadi aku boleh masuk?”Rania segera berjalan m
Hanna menggigit bibir bawahnya, mungkin sudah menjadi kebiasaan bagi Hanna untuk meminta maaf walau dirinya tidak melakukan kesalahan.“Ambilah, jangan sungkan.” Pria itu lantas memaksa Hanna untuk mengambil sapu tangan itu.“Terima kasih.” Hanna dengan cepat menyeka air matanya dan menundukkan kepala karena berusaha menghindari tatapan pria itu.Meski begitu, rasa penasaran menghantui Hanna sehingga dia sesekali mencuri pandang untuk melihat sosok pria di hadapannya dengan jelas. Hanna tersentak selama beberapa saat, karena merasa sepertinya pernah melihat pria itu di suatu tempat. Pria itu mempunyai wajah yang lumayan tampan, tidak setampan Arsenio tapi cukup menarik untuk membuat para wanita tergila-gila.Dari pakaian yang ia kenakan, Hanna mampu menebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Ia mengenakan setelan jas dari merk ternama dan juga jam tangan rolex yang Hanna tahu harganya begitu tinggi.“Maaf, apa kita pernah bertemu?” tanya Hanna d