“Bodoh. Mengapa aku tidak berpikir kalau dia seorang dokter. Keberadaannya di rumah sakit bukan hanya karena sakit, tapi karena profesinya,” celoteh Bunga sambil berjalan menuju ruangan dokter yang menangani Raisa tadi. Setelah mendapatkan ponselnya, Bunga menghubungi Haidan, menyuruh pria itu tidak menunggunya dengan alasan ingin menemui seseorang. “Kamu mau bertemu siapa?” tanya Haidan. “Teman.”“Teman mana lagi?”“Hmm … Willa. Sepertinya aku harus bertemu dengannya. Tidak enak tidak memberitahunya kalau aku ada di sini. Kalau begitu, udah dulu,” kata Bunga dan memutuskan sambungan telepon. “Aku pikir bertemu Kafkha. Baguslah,” kata Haidan dan menyalakan mobil, mengemudikan mobil meninggalkan rumah sakit itu. Mereka sama-sama lupa dengan tas yang ada di mobil itu. Haidan lupa kalau tas Bunga yang berisikan dompet dan uang cash ada di mobilnya, di sampingnya. Begitu juga dengan Bunga, ia lupa tasnya ada di mobil pria itu karena fokusnya pada Kafkha. Hampir satu jam Bunga menung
Bunga menoleh ke belakang, menatap Kafkha yang memasang wajah datar. Ia salah paham karena tas belanjaan di tangan wanita itu, membuatnya berpikir kalau Kafkha memiliki hubungan baik dengan wanita itu hingga dengan santainya wanita itu membawa belanjaan ke sana, terlihat seakan sudah sering. Bunga melanjutkan kaki berjalan keluar dari rumah itu, mengabaikan Risa. Kafkha mengejarnya.“Dokter,” panggil Risa.Kafkha mengabaikan keberadaan Risa, mengutamakan Bunga, menghadang wanita itu agar tidak pergi. Gerbang rumah ditutup Kafkha, dikunci dan memegang kedua bahu Bunga. “Jangan tinggalkan aku. Semua sudah pergi, Mama juga pergi. Aku mohon …,” ucap Kafkha dengan wajah memelas. “Apa perlu aku bersujud? Baik, akan aku lakukan,” kata Kafkha dan bertekuk lutut di hadapan Bunga. “Kamu apa-apaan? Jangan membuatku semakin kesal,” ucap Bunga sambil melangkah mundur. Tingkah Kafkha disaksikan Risa. “Aku bilang sekali lagi, kita tidak bisa bersama lagi. Terima kenyataannya.”“Kenapa?” tanya K
Kafkha membuka pintu kamar di mana Raisa berada, ia membiarkan Bunga membawa anak itu meninggalkan rumah meskipun hatinya terasa berat untuk melepaskan mereka pergi. Tahu Bunga mencintai orang lain dan terluka saat bersamanya, ia melepaskan wanita itu dengan rasa kecewa. “Meskipun kamu bersama pria lain, jangan halangi aku bertemu anakku,” kata Kafkha dengan wajah murung, membuat Bunga berhenti melangkah di tengah ruang tamu.“Kamu Ayahnya. Hakmu untuk bertemu dengannya karena dia adalah darah daging mu. Kamu bisa bertemu dengannya kapanpun,” balas Bunga. “Urus perceraian kita secepatnya,” kata Bunga dan melanjutkan kaki meninggalkan rumah itu. Kafkha hancur. Harapan yang sempat menggantung selama dua tahun ini akhirnya jatuh tanpa ada hasilnya. Tangisnya pecah setelah istri dan anaknya itu pergi, ia seperti sebatang pohon di tengah rumput Padang yang tidak memiliki siapapun.Bunga berjalan keluar dari gerbang rumah dalam tangisnya. Hatinya ikut terluka meninggalkan pria itu, tetapi
Bunga kembali ke kamar Kafkha setelah hari berganti malam, setelah matahari baru terbenam. Wujud Risa sedang menyuapi Kafkha tampak setelah pintu kamar inap pria itu dibuka. Rasa cemburu ngontak hingga ke ubun-ubun ibu satu anak itu, matanya menyipit kesal menonton mereka sampai akhirnya Kafkha memanggilnya.“Bunga.” Kafkha memanggil dengan senyuman lebar. Risa bangkit dari bangku besuk, ia berdiri, mempersilahkan Bunga duduk dengan wajah ramah interaksi. Namun, rasa cemburu membengkokkan perasaan Bunga untuk santai dengan senyuman, ekspresinya berubah dingin. “Terima kasih, Risa,” ucap Kafkha. “Risa? Jangan-jangan, dia dekat dengan wanita itu karena memiliki nama yang sama dengan mendiang istrinya. Toh, selama ini dia dikenal sebagai pria yang dingin dan tidak memiliki kenalan wanita yang cukup dekat dengannya,” kata Bunga, dalam hati. Bunga berjalan masuk, sedangkan Risa meninggalkan ruangan itu dalam balutan seragam perawat yang terpasang di tubuhnya.“Jika kamu sudah makan, ak
“Iya? Nanti malam saya bertemu dengan Bapak. Iya, siang ini masih banyak urusan,” jelas Bunga, berbicara melalui sambungan telepon di mana ponselnya itu terselip di telinga dan pundaknya dengan tangan melap meja yang ada di dapur setelah membersihkan semua ruang di rumah itu. Rumah yang telah ditinggal lama olehnya itu, yang tampak tidak terurus, dibersihkan dan dirapikan Bunga seperti semula. Tinggal dapur dan memasak yang belum dilakukan. “Baiklah. Ada pesta juga? Kapan? Baik. Besok saya akan ke sana bersama Haidan. Terima kasih, Pak,” ucap Bunga dan menaruh ponselnya ke atas meja. Baru ponsel itu ditaruh di sana, alat komunikasi jarak jauh itu malah berdering kembali. Bunga menghela napas sedikit kesal karena sejak tadi disibukkan benda itu selain pekerja rumah. Baju daster yang terpasang di tubuhnya sudah dipenuhi keringat dan bau apek karena debu. “Iya, Haidan …?”Orang yang menghubunginya adalah Haidan.“Kamu sudah mendapatkan undangannya? Besok kita harus menghadiri pernikah
Usai mengantar kepergian Kafkha sampai di teras, Bunga kembali masuk ke dalam rumah, bersiap-siap untuk pergi menghadiri pesta pernikahan anak salah satu pemilik penerbit terbesar dan cukup terkenal di kota itu, yang pernah menangani buku pertamanya terbit cetak. Satu jam kemudian, Haidan tiba di rumah itu untuk menjemputnya. Mereka akan pergi bersama ke sana, begitu juga dengan Raisa. Dalam hal itu, Kafkha tidak mengetahuinya karena Bunga tidak menceritakannya. “Kamu akan bersamanya lagi?” tanya Hiadan sambil menyetir mobil. “Entahlah … kadang aku merasa tidak bisa menjauh darinya. Tetapi, mengingat kejadian di masa lalu, sedetik pun rasanya aku tidak bisa berada di dekatnya,” jawab Bunga, berbicara dengan tatapan kosong ke depan.Susana jadi hening, tampak Haidan berada dalam pikirannya sendiri. “Bagaimana kalau kita benar-benar menikah? Bunga, aku pernah mengungkapkannya, aku mencintaimu sejak dulu. Aku akan menjagamu dan Raisa, aku tidak akan menyia-nyiakan kalian,” ucap Haidan
Bunga kembali ke rumah Kafkha. Haidan mengantarnya sampai di gerbang rumah, ia menahan pria itu mengantarnya sampai di sana karena tidak ingin mereka bertemu dan menciptakan perdebatan juga pertengkaran yang membisingkan telinganya. Ia sudah membaca seperti apa situasi yang akan terjadi mengingat Kafkha mudah emosi dan sulit mengendalikan emosi itu. “Terima kasih,” ucap Bunga dan melanjutkan kaki melangkah memasuki gerbang rumah. Gerbang rumah dikunci dan lanjut berjalan menuju rumah. Tanpa disadari olehnya, Kafkha sedang memantaunya dari balkon kamar bersama api cemburu. Kafkha kembali masuk ke kamar, mengambil Raisa yang tertidur pulas dari kasur dan menaruh anak itu ke keranjang bayi. Setelah itu, ia membaringkan badan di kasur, berpura-pura tidur. Perlahan Bunga mengendap masuk ke dalam kamar, memperhatikan Kafkha yang dikira sudah tidur. Ia menghampiri keranjang bayi, melihat Raisa di sana. Ketika hendak menggendong anak itu, Kafkha memeluknya dari belakang dengan dagu pria i
Bunga berdiri dari bangku meja makan dan beralih menggendong Raisa dari pangkuannya. Ia berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Kafkha tanpa memberikan jawaban. Di tengah perjalanan menuju kamar, dentingan pesan masuk ke ponselnya yang berasal dari Rika, teman sekaligus pengacara yang pernah menyiapkan surat gugatan perceraian dan orang yang ditemuinya kemarin untuk membicarakan kembali tentang gugatan perceraian dan hak asuh anak.Ekspresi Bunga berubah sedikit kaget, ia menoleh ke belakang, menatap pintu dapur. Menatap seakan bisa melihat Kafkha di sana dan melanjutkan kaki berjalan menaiki tangga menuju kamar bersama raut wajah yang tidak dalam keadaan enak itu.Di kamar, Bunga mengajak Raisa bermain di lantai kamar yang sudah bersih. Anak itu duduk sambil memperhatikan mainan di tangannya dan Bunga duduk sambil menatap layar ponsel dalam lamunan. “Bunga selalu bersedih ketika bersama ku, tetapi dia bisa tersenyum saat bersama Haidan. Apa dia memang tidak bisa bersamaku dan keba