Diamnya Bunga di dalam mobil membuat Haidan semakin bingung. Ia menepikan mobil, menginterogasi kediaman wanita yang biasa banyak berbicara itu, apalagi ketika dirinya mengangkat topik pembicaraan mengenai pekerjaan. Diamnya Bunga bukan karena marah, tetapi rasa takut, mengetahui pria yang ada di sampingnya itu adalah orang yang sudah membuatnya trauma berat. “Bunga.” Haidan memanggilnya dengan tangan ikut mendarat di bahu wanita itu. Bunga sontak kaget dan menarik diri, menjauh dari sentuhan Haidan. “Kenapa?” Haidan mulai kesal. Bunga menatap Haidan dengan wajah sedikit takut. Lalu, ia menurunkan pandangan, menatap sang anak yang ada di gendongannya, yang sedang tidur, sambil mengingat kejadian di masa lalu, ketika dirinya hampir dinodai. “Antarkan aku pulang. Aku merasa tidak enak badan,” bohong Bunga, masih dengan kepala tertunduk. “Sesuatu terjadi? Mengapa aku merasa kamu berusaha menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Haidan, mengemukakan sesuatu yang dirasakan olehnya. “T-
Tamparan diberikan Bunga di pipi kanan Haidan, membuat pria itu kaget dan membetulkan posisi wajah yang sempat oleh ke sisi kiri. Ia menatap Bunga dalam bersama sorot mata tajam, tidak menduga wanita itu akan menamparnya, tidak seperti dugaannya sebelumnya, Bunga mengikuti perkataannya. “Kamu menamparku setelah begitu banyak yang aku korbankan untukmu? Aku banyak membantumu selama ini.” Haidan mengingatkan Bunga akan bantuannya selama ini. “Aku tidak akan pernah lupa dan aku berterima kasih karena kamu sudah banyak membantuku. Tapi, aku juga tidak bisa lupa dengan penderitaan yang kamu berikan padaku, membuatku dihantui oleh kejadian itu. Memang benar, kamu sudah banyak membantuku, termasuk membantuku sembuh dari trauma itu. Tapi, kami harus ingat kalau itu semua karena dirimu,” kata Bunga. Haidan mengangkat tangan ingin menampar Bunga karena terbawa emosi dan tidak sadar. Kafkha menggenggam pergelangan tangannya, menahannya dan mendorongnya dengan keras sampai pria itu melambangkan
Kafkha berdiri dari tepi kasur, ia berjalan menuju balkon kamar sambil menyalakan pemantik dan menghidupkan rokok yang baru dikeluarkan dari saku celananya. Sejak dua tahun terakhir, Kafkha menggunakan rokok sebagai alat untuk menenangkan dirinya saat berada dalam beban pikiran yang begitu berat. Ia berdiri di samping pagar balkon kamar yang menjorok ke halaman rumah sambil menghisap rokok itu dan mengingat kembali sikap kasarnya pada istrinya itu. “Bukan dia yang menghancurkan hidupku. Tapi, sejak kami bersama, aku yang sudah menghancurkan hidupnya,” kata Kafkha, merasa bersalah. Deringan ponsel terdengar dari dalam kamar. Kafkha sadar itu bersumber dari ponsel sang istri yang tadi sempat dilihat ada di atas meja. Kafkha menjatuhkan rokok yang masih belum terbakar banyak itu ke lantai dan menginjaknya, memadamkan api dan berjalan memasuki kamar. Ia menghampiri ponsel Bunga, melihat nama seorang sutradara terkenal terpampang di layar ponsel itu. “Halo?” Kafkha bersuara. “Bunganya
Bunga dan seorang pria paruh baya berjabat tangan. Pria itu seorang sutradara hebat yang sudah membuat banyak film layar lebar dan mencetak rekor sebagai sutradara terbanyak merilis film setiap tahunnya. Ini pertama kalinya mereka bekerja sama.“Rasanya dunia ini terasa sempit. Ternyata, dokter Kafkha adalah suami Bunga,” kata pria bernama Harianto itu. “Ternyata Bapak yang berbicara bersama saya semalam. Semoga bisa bekerjasama dengan baik,” ucap Kafkha, ikut menjabat tangan Harianto. Mereka duduk di sekumpulan bangku salah satu meja yang ada di sudut restoran Marellan. Selain berbicara mengenai pekerjaan, mereka juga makan siang bersama. Di tengah makan siang itu, Haidan menghampiri mereka karena Harianto mengundangnya, mengingat pria itulah yang sudah merekomendasikan Bunga sebelumnya. Kehadiran Haidan di sana membuat suasana jadi sejuk, tidak mengenakan seperti sebelumnya. Kafkha dan Bunga menyimpan luka kemarin dan memiliki banyak diam. Raisa mengarahkan tangan kepada Haidan,
Kafkha berjalan gontai keluar dari kamar mandi dengan wajah memucat, lesu. Ia duduk di tepi kasur sambil menggelengkan kepala beberapa kali setelah melihat samar apa yang dilihatnya. Jantungnya juga terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Bergegas tangannya membuka laci meja, mengambil botol obat yang sebelumnya diminum olehnya saat penyakit itu beberapa kali kambuh sejak dua tahun terakhir. “Huff …!” Kafkha menghembuskan napas. Pria itu menenangkan perasaannya dengan berdiam diri bersama mata dipejamkan. Sapuan angin kecil menyapu wajahnya. Kafkha membuka mata, melihat sang istri sudah berdiri di hadapannya dan sedang menghembuskan udara dari mulutnya ke wajahnya. “Sarapan sudah siap,” ujar Bunga. “Ini obat apa?” Bunga hendak mengambil botol obat di tangan Kafkha. Akan tetapi, pria itu bergegas menjauhkannya dari Bunga. “Obat kuat,” balas Kafkha, berbohong. “Dasar! Makin tua otaknya makin me–,” terpotong karena Kafkha menarik tangannya, membuat Bunga terduduk di pangku
Kafkha jadi tidak bisa fokus karena kondisi tubuh yang tidak baik akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan beban pikirannya. Di tengah duduk bersandar merilekskan badan di bangku kerjanya, Bunga masuk memberikan kejutan. Pria itu berusaha tersenyum, meskipun rasanya tidak mood untuk melengkungkan bibir. "Papa ...!" Bunga mengajari Raisa yang ada di gendongan tangannya dengan tangan lain menjinjing rantang makanan.Bunga menaruh rantang itu ke atas meja dan membiarkan Raisa berkeliaran. Bunga menghampiri suaminya itu, mengecup pipi Kafkha dengan tangan menyalam tangan suaminya itu. "Kamu sedikit pucat, kami baik-baik saja, kan?" tanya Bunga dengan badan masih merendah, wajahnya sejajar dengan wajah Kafkha."Aku baik-baik saja. Hanya lapar, kamu lambat sekali." Pandainya Kafkha berbohong. "Kamu makanan atau merindukanku?" Bunga menggoda suaminya itu. Bunga duduk di pangkuan Kafkha, kedua tangannya melilit leher suaminya itu dan mengecup bibir Kafkha dengan mesra. Pria itu hanya diam,
Kafkha merasakan tubuhnya begitu lemah setelah keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono dan rambut masih lepek. Ia bergantung dengan merekatkan kedua telapak tangan ke dinding dan perlahan merangkak kan telapak tangan itu di satu sisi kamar itu, beralih bergantung di meja dan duduk di tepi kasur. Jantungnya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari semalam.Beberapa kali ia menarik napas untuk setelah merasa dadanya begitu sesak. Tangannya mengambil ponsel di atas kasur, ia menghubungi nomor Danar untuk meminta bantuan pria itu agar bisa datang ke rumahnya karena Bunga sudah berangkat kerja pagi ini bersama Raisa. "Segera ke sini. Dadaku terasa sesak dan detak jantungku berdetak begitu cepat," ucap Kafkha dengan suara berat. Kafkha menurunkan ponsel ke atas kasur dan mengelus dadanya sambil menarik napas secara perlahan dan berusaha tetap tenang. Sekitar lima belas menit kemudian, Danar sampai bersama kotak medis yang lengkap, yang sudah dipersiapkan dari rumah sakit untu
Bunga membawa Raisa keluar dari sebuah ruangan, di sana bocah itu diperiksa yang merupakan ruangan seorang salah satu dokter anak di rumah sakit itu. Setelah keluar dari sana, Bunga ke administrasi untuk membayar pengobatan Raisa sambil bertanya mengenai Kafkha kepada mereka yang ada di sana. "Suster, dokter Kafkha sudah selesai bertugas di Papua?" tanya Bunga. Tiga perawat yang ada di meja administrasi itu mengerut bingung, mereka saling menatap satu sama lain. Dari raut wajah mereka, Bunga sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres. Siap-siap ia mendengar kebenaran kalau suaminya itu sudah berbohong padanya. "Dokter Kafkha tidak bertugas ke Papua. Dia baru saja keluar dari rumah sakit bersama suster Risa," jawab salah satu dari mereka. Penampakan wujud Kafkha dan Risa tadi tidak salah setelah sempat meragukannya. "Baiklah," ucap Bunga, tidak memperpanjang pertanyaan lagi. Bunga berjalan dalam beban pikiran keluar dari rumah sakit itu dan secara kebetulan berpapasan bersa
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha