Dua pasang kaki seorang wanita yang berlari laju mulai melambat setelah menelusuri jalan sejauh 1 km. Apakah ini sebuah lomba lari jarak panjang? Bukan, wanita berpakaian rapi dalam balutan kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam itu sedang mengejar seorang pencopet yang membawa pergi tasnya. Kakinya berlari tanpa memakai alas kaki karena sebelumnya ia memakai sepasang high heels yang tadi ditinggalkan di sana, tempat di mana tasnya dirampas.Tubuh wanita itu akhirnya tumbang, tidak sanggup lagi berlari ataupun berdiri tegak meski tidak beraksi. Tubuhnya terduduk di tepi jalan dengan posisi duduk menyamping seperti suster ngesot. kedua bola matanya memperhatikan pencopet yang terus berjalan semakin jauh dari penglihatannya.“Berhenti …! Copet …! Tolong …!” Tiga kata itu diserukan sejak tadi. Ada beberapa pria yang ikut mengejar pencopet itu, mereka jauh tertinggal di belakang. Kecepatannya saat berlari ikut dikagumi oleh para pria itu yang ngos-ngosan setelah berlari."Maaf,
Bunga mengipasi telapak kakinya menggunakan buku. Telapak kakinya itu sudah diolesi salep yang diberikan Kafkha. Setelah memberikan makan malam dan obat kepada ibunya, saatnya Bunga beristirahat. Di saat itulah Bunga baru bisa mengobati luka di telapak kakinya itu. Pikirannya sedikit terusik karena kartu identitas dan kartu-kartu lainnya yang lenyap dicuri pencopet siang tadi."Semoga besok akan baik-baik saja," ucap Bunga sambil membaringkan tubuh ke atas kasur.Pandangan Bunga mengarah ke langit-langit kamar, bibirnya tersenyum ringan mengingat tingkah Kafkha saat mengurus bocah itu. Selain itu, Bunga teringat masa sekolah dulu, Kafkha sering mengabaikannya saat dirinya mengajak kulkas seratus pintu itu berbicara."Arang terbang." Bunga tertawa ringan sambil memperhatikan foto bersama teman sekelasnya yang terpanjang di dinding kamarnya itu.Bunga juga mengingat momen pertama kalinya Kafkha berbicara padanya dan langsung memanggilnya Arang Terbang. Kala itu Kafkha meminjam penghapus
Kafkha keluar dari ruangan operasi, membawakan informasi baik untuk keluarga pasien yang di operasinya, bahwa pasien itu sudah keluar dari masa kritisnya. Reaksi keluarga pasien tampak lega dan berterima kasih padanya.Pria itu lanjut berjalan menuju toilet untuk membasuh tangan. Di tengah kaki melangkah menuju toilet, ia melepaskan sarung tangan, penutup kepala, dan pakaian serba hijau yang digunakannya saat operasi. Setelah sampai di toilet, langkah Kafkha berhenti di pintu toilet pria setelah mendengar suara Bunga berbicara dari toilet wanita yang ada di sebelah. Kafkha menyadari keberadaan Bunga di sana setelah mendengar suara wanita itu menyebut nama Raisa, ia sedang menganga anak itu.“Ba! Jangan menangis lagi, ya? Nanti Mama Raisa sedih. Hari ini Tante juga sedih, Tante tidak jadi bekerja. Tante tidak menyalahkan Raisa, mungkin belum rezekinya di sana. Tunggu bentar, Tante cuci tangan dulu,” ucap Bunga kepada Raisa yang berada di gendongan depannya. Kafkha memperhatikan Bunga
Willa memberhentikan motornya di hadapan Bunga yang berdiri di halaman gedung pernikahan, ia sedang mengeluarkan ponsel dari tas yang dijinjingnya.“Maaf Nga, aku tidak bisa mengantarmu pulang, ada urusan penting. Kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” tanya Willa.“Iya,” balas Bunga tersenyum.Willa menurunkan kaca helm, ia membunyikan klakson motor, dan melanjutkan perjalanannya mengendarai motor Vespa berwarna biru miliknya itu. Bunga memperhatikan kepergian motor itu di antara beberapa kendaraan beroda dua yang masih banyak berlalu lalang di tengah malam. Mengapa tidak? Para pekerja shift malam di kota itu mulai bereaksi mengerjakan tugas mereka. Bunga menghidupkan ponselnya. Tapi, dalam hitungan detik, ponsel itu mati. Padahal, baterai masih tersisa 30%. Tentunya ponsel itu akan mati, kondisi baterai ponsel tersebut sudah tidak bagus. Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Bunga? Menjengkelkan pastinya. Ingin rasanya Bunga LEM BIRU (Lempar Beli Baru), malah
Bunga adalah orang yang menyambut tubuh Raisa, sebelum tubuh anak itu mendarat ke lantai. Bunga menggendong tubuh Raisa, memeluk anak itu dengan wajah ketakutan yang tergambar. Raisa menangis keras, sampai tangisannya sempat menghilang. Bunga mengayun pelan tubuh anak itu untuk menenangkannya. Kafkha marah besar, kedua bola matanya membesar marah menatap Eva. "Kamu pikir anakku kucing? Kalian semua lebih baik pergi sebelum aku mengusir kalian secara paksa," usir Kafkha memperingati mereka sambil mengarahkan tangan ke pintu yang terbuka lebar.Kemarahan Kafkha tak hanya menarik rasa takut ketiga wanita itu, Jelita pun ikut merasa takut dengan kemarahan yang terukir di wajah anaknya itu yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Murka Kafkha kali ini membuat Jelita tidak bisa berkutik, menahan ketiga wanita itu untuk meminta maaf sebelum meninggalkan rumah itu.Kedua wanita yang berdiri di sisi kanan dan kiri Eva menyumut menyalahkan Eva atas kemarahan Kafkha yang ikut membuat mereka di
Bunga membantu Jelita membersihkan alat makan yang kotor. Mereka telah menyelesaikan makan malam berdua tanpa kehadiran dokter dingin itu, Kafkha. Sebelum meninggalkan rumah itu, Bunga ke kamar Kafkha untuk melihat kondisi Raisa. Setelah sampai di kamar Kafkha, tidak hanya melihat Raisa, Bunga juga melihat foto Marissa, istri Kafkha di rentetan foto di atas meja dan dinding kamar. Foto wanita itu seakan menghidupkan suasana kamar, memberikan energi semangat untuk. Kafkha dalam hidupnya.Keceriaan terlukis di wajah Kafkha di setiap foto itu, jauh berbeda dari Kafkha yang dijumpainya sekarang, bahkan Kafkha yang dijumpainya dulu. Bunga jadi mengerti, Marissa bagaikan penawar, obat atas luka di hati Kafkha. Wajar baginya Kafkha sulit melupakan mendiang istrinya itu.“Aku tidak yakin bisa mengisi hati Kafkha. Jika aku tetap bersamanya, sama saja aku melukainya. Tapi, bagaimana aku menolak pernikahan itu? Aku sudah menyetujuinya. Raisa juga kasihan. Mana aku juga ingin sekali menjaga anak
Kafkha tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Pernikahan mulai dipersiapkan dan akan diselenggarakan di kediamannya dua hari lagi. Para wedding organizer mulai menata beberapa bunga untuk dekorasi pernikahan di rumah itu. Semua orang tampak sibuk, terutama Jelita dan Murni yang tengah duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat menu makanan yang akan disajikan di hari pernikahan nanti.Kafkha menoleh ke samping, melihat Bunga sedang menggendong Raisa di sudut ruang tamu itu. Tawa Bunga bersemi bersamaan dengan senyuman anaknya. Kafkha berdiri di depan pintu rumah melihat kesibukan setiap orang sampai tidak menyadari keberadaannya sendiri. Situasi Itu membuat Kafkha merasa mendiang Marissa selangkah demi selangkah menjauh darinya."Bagaimana perasaan Marissa melihat aku akan menikah? Dia pasti sedih," kata Kafkha dalam hati.Bunga memperkecil volume tawannya sampai akhirnya suara tawa itu tidak terdengar lagi setelah melihat pria yang akan menikahinya diam tampak tak tenang. Bunga melang
Dua Hari Kemudian ....Kafkha mengenakan baju pengantin yang telah disediakan. Hatinya masih ragu untuk melanjutkan pernikahan itu karena takut tidak bisa menerima Bunga setelah pernikahan itu terjadi dan juga malah akan menyakiti hati wanita malang itu. Sama sepertinya, Kafkha merasa Bunga juga orang menyedihkan karena masa lalu yang di alaminya. Kafkha mengeluarkan foto pernikahannya bersama Marissa dari dompet, ia memejamkan mata sambil mengingat momen ketika dirinya mempersunting Marissa sebagai istrinya."Nak ...!" panggil Jelita.Kafkha membuka mata. Tangannya bergegas memasukkan kembali foto tersebut ke dompet dan menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti Jelita meninggalkan kamar tamu yang ditempatinya sejak kamarnya didekorasi.Kafkha melihat banyak tamu undangan, ia tidak menyangka undangan Jelita tak sesuai ekspektasinya. Bukan hanya kerabat dekat, seluruh staff rumah sakit juga datang. Kafkha diam tercengang, matanya menjalar, menjelajah memperhatikan beb
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha