Kafkha tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Pernikahan mulai dipersiapkan dan akan diselenggarakan di kediamannya dua hari lagi. Para wedding organizer mulai menata beberapa bunga untuk dekorasi pernikahan di rumah itu. Semua orang tampak sibuk, terutama Jelita dan Murni yang tengah duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat menu makanan yang akan disajikan di hari pernikahan nanti.
Kafkha menoleh ke samping, melihat Bunga sedang menggendong Raisa di sudut ruang tamu itu. Tawa Bunga bersemi bersamaan dengan senyuman anaknya. Kafkha berdiri di depan pintu rumah melihat kesibukan setiap orang sampai tidak menyadari keberadaannya sendiri. Situasi Itu membuat Kafkha merasa mendiang Marissa selangkah demi selangkah menjauh darinya."Bagaimana perasaan Marissa melihat aku akan menikah? Dia pasti sedih," kata Kafkha dalam hati.Bunga memperkecil volume tawannya sampai akhirnya suara tawa itu tidak terdengar lagi setelah melihat pria yang akan menikahinya diam tampak tak tenang. Bunga melangkah ragu, berjalan mendekati Kafkha untuk menyapa pria itu dengan menganggukan kepala dan tersenyum tipis."Kamu baru pulang?" tanya Bunga.Pertanyaan yang sia-sia. Sudah jelas pria itu baru datang, tentunya ia baru pulang.Senyuman Bunga tak berbalas. Pria itu mengambil Raisa dari pelukannya dan membawanya pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamar tamu. Sikap dingin Kafkha ditonton Murni dan Jelita. Bunga menoleh ke belakang, ia tersenyum kepada kedua wanita paruh baya itu karena tidak ingin mereka mengkhawatirkan hubungannya dan Kafkha. Bunga paling menghargai perasaan Murni. Ibunya itu sejak lama mengharapkannya menikah, tentunya dengan pria yang tepat.Bunga berjalan mengikuti Kafkha masuk ke kamar tamu karena kamar atas, yang akan dijadikan kamar pernikahan sedang di dekorasi. Kaki Bunga melangkah ragu mendekati Kafkha yang sedang mengagah Raisa di atas kasur."Aku ingin berbicara denganmu. Bisakah?" tanya Bunga.Kafkha menghapus senyuman di wajahnya, ia diam sejenak dengan posisi tubuh masih merendah, membungkuk ke arah tubuh anaknya yang ada di atas kasur. Kafkha menoleh ke belakang sambil membetulkan posisi berdirinya."Sebelum terlambat, sebaiknya kita tidak melanjutkan hubungan ini. Aku tidak ingin menyakiti siapapun. Jujur, aku tidak ingin mengambil posisi istrimu, termasuk mengambil perasaan yang kamu berikan untuknya untukku. Aku juga tidak ingin menyakiti perasaan Mamaku karena dia sangat berharap dengan pernikahan ini. Kita bisa bicarakan semua di hadapan kedua Mama kita." Bunga mengutarakan solusi terbaik menurutnya dalam ekspresi tenang dan berusaha tersenyum"Aku beri kesempatan padamu. Tolong buat aku melupakan masa lalu. Bantu aku untuk bisa keluar dari kegelapan ini," ucap Kafkha.Perkataan Kafkha diluar ekspektasinya. Bunga kaget, lalu tersenyum bahagia mendengar tanggapan Kafkha. Ia terharu sampai meneteskan air mata. Sekarang tidak ada keraguan lagi di hati Bunga, wanita itu berjalan mendekati Kafkha, berdiri di samping pria itu."Aku tidak akan mengambil posisi istrimu. Tapi, aku akan berusaha mencari posisi lain di hatimu, yaitu seorang teman. Kamu bisa berbagi suka dan dukamu bersamaku. Aku janji akan memberikan yang terbaik. Terima kasih," ucap Bunga menangis bahagia.***"Tidak. Kenapa aku bereaksi seperti tadi? Tingkah ku menunjukkan kalau selama ini aku menyukainya. Bunga ... kenapa kamu tidak bisa mengontrol perasaan mu?"Bunga tersenyum bodoh di kamarnya. Wanita itu berguling-guling sambil tersenyum malu memikirkan tingkahnya hari ini di hadapan Kafkha, menunjukkan betapa berharapnya ia pernikahan itu terjadi.TRENG!Notifikasi pesan masuk dari nomor Kafkha. Pria itu mengirim pesan padanya, mengajaknya bertemu sambil makan malam. Bunga tidak bisa menahan rasa bahagia, ia sampai meloncat-loncat di atas kasur. Semakin lama ia tak terkontrol, perasaan sukanya tidak bisa ditutupi.Bunga melompat dari kasur, berjalan mendekati lemari untuk memilih pakaian sambil bersenandung. Kedua tangannya mengobrak-abrik lemari mencari pakaian yang cocok untuk makan malamnya bersama Kafkha."Ini sepertinya cocok." Bunga memperhatikan dirinya di cermin, ia memakai gaun berwarna biru muda.Malam telah tiba. Bunga memakai gaun biru muda yang tadi dikenakannya. Rambutnya digerai panjang bergelombang, seperti seorang princess dari kerajaan. Selain bertemu Kafkha, Bunga juga rindu bertemu Raisa. Sifat keibuannya sellau keluar jika sudah bertemu dengan anak itu.Wanita itu menaiki taksi online untuk pergi ke restoran tempat mereka bertemu. Dari jauh, dari luar restoran Bunga melihat Kafkha duduk di salah satu bangku restoran sendirian. Bunga menarik napas panjang dan memenangkan perasaannya agar tidak salah tingkah. Kakinya melangkah lambat memasuki restoran itu sambil memperhatikan sekitaran tempat duduk Kafkha untuk melihat Raisa."Raisa mana? Kenapa tidak dibawa? Padahal, aku merindukannya," kata Bunga sambil duduk di hadapan Kafkha."Dia tidur. Aku mengajakmu bertemu karena ingin membicarakan tentang pernikahan kita. Sebelum pernikahan itu terjadi, aku ingin bertanya. Kamu memiliki seseorang yang kamu cintai?""Tidak. Waktu membuatku tidak sempat untuk memasukkan seseorang dalam hidupku. Aku pernah mencintai seseorang. Dia pria yang tampan, pintar, hmm ... pokoknya sempurna bagiku. Sayangnya dia sudah menikah dan memiliki anak. Dia teman lamaku," cerita Bunga.Orang yang dimaksud Bunga ialah Kafkah, tetapi ia tidak menceritakan kalau pria yang dicintainya itu akan menjadi suaminya. Kedua bola mata Bunga berbinar sambil menatap Kafkha."Aku tidak ingin mengambil kamu dari Marissa. Tapi, kamu harus melanjutkan hidupmu. Simpan Marissa di sini." Jari telunjuk Bunga menempel di dada Kafkha."Kamu bisa melakukannya. Demi kebaikan dirimu, kebahagiaan Mama Jelita, terutama Raisa. Bukannya aku sok baik, menjadi malaikat dan mengharapkan banyak hal dengan memanfaatkan hubungan ini. Aku harap kamu tidak berpikir begitu. Aku juga ingin memiliki perasaan itu. Mungkin kita bisa mencobanya, memulai sebuah hubungan baru. Kamu mau?" tanya Bunga tampak tak yakin dengan balasan Kafkha.Beberapa saat Kafkha memikirkan hubungannya dan Bunga. Pria itu menurunkan egonya demi kekhawatiran Jelita, juga Raisa yang membutuhkan seorang ibu."Iya.""Bagus. Pertama, perkenalkan aku Bunga. Semoga bisa menjadi teman," ucap Bunga sambil menyodorkan tangan ke arah Kafkha."Maksudnya?""Semua tidak bisa berlangsung secara instan. Pertama kita harus berteman dulu. Setelah itu kamu bisa anggap aku sebagai ...." Bunga menggantungkan perkataannya."Dewi pelindung, mungkin. Ingat, hanya aku yang bisa membuat Raisa berhenti menangis," canda Bunga tertawa ringan."Terima kasih," ucap Kafkha membalas jabatan tangan Bunga.Karena tidak dicoba, maka tidak akan tahu bagaimana hasilnya. Persepsi Bunga menilai seorang Kafkha berubah total setelah melihat pria itu tersenyum ringan setelah mengajaknya bercanda. Bunga mempunyai strategi untuk membuat Kafkha bisa jatuh hati kepadanya, yaitu memulainya dengan menjadi seorang teman. Bunga mengajak pria dingin dan cuek itu bercanda, ia melakukan hal-hal konyol seperti memainkan makanan menggunakan garpunya. Bukan hanya itu, Bunga juga menceritakan pengalaman lucunya kepada Kafkha. Pokoknya, karakter Bunga nyambung saat berbicara bersama Kafkha, tidak membosankan.Usai makan malam bersama, Kafkha mengantar Bunga kembali ke rumahnya. Di perjalanan, Kafkha mengungkit masa lalu Bunga mengenai insiden percobaan pemerkosaan yang hampir dialami wanita itu. Bunga diam mematung sekaligus kaget mendengar Kafkha tahu cerita kelamnya itu. Tawa Bunga menghilang total, hanya ada tangisan dalam kesedihan."Kamu tahu itu. Iya. Kamu bisa membatalkan pernikahan karena tahu aku bukan wanita sempurna," ucap Bunga pasrah."Bukan begitu. Kamu tidak berobat? Mungkin menemui psikolog untuk membasmi insomnia yang kamu alami," ungkap Kafkha."Tidak. Aku pernah menemui psikolog, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akan tetapi, setidaknya aku tidak mengalami itu setiap malam. Ketika aku stres berat, memori itu akan berputar di benakku. Itu sebabnya aku menulis, mengeluarkan semua ide dibenakku. Jika tidak aku keluarkan, juga bisa membuatku stres," kata Bunga dan berusaha tersenyum."Impas. Bantu aku dan aku akan membantumu. Bagaimana?" tanya Bunga mengemukakan idenya."Aku dokter jantung," balas Kafkha."Setidaknya kamu juga tahu tentang kesehatan," ujar Bunga.Kafkha hanya diam. Pandangannya kembali mengarah ke depan untuk lebih fokus mengemudiankan mobil.Lagi, Bunga mudah tidur dan sulit dibangunkan. Kafkah terpaksa membopong tubuh wanita itu memasuki rumahnya dan membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. Lagi, Kafkha melihat foto masa kecil mereka sambil mengingat Bunga sering dikucilkan oleh teman-teman mereka saat sekolah dulu. Kafkha merasa prihatin membayangkan Bunga mengurung diri di rumah menjaga Murni, merasakan kesulitan harus menjadi tulang punggung keluarga dan membiayai rumah sakit Murni. Meskipun cuek dan dingin, Kafkha memiliki kepedulian tinggi. Itu sebabnya ia merasa Bunga wanita baik yang bisa menjaga anaknya tanpa pamrih. Selain ingin mendapatkan dirinya, Kafkha tahu setiap wanita yang ingin menjadi istrinya juga mengincar profesi dan kekayaan yang dimilikinya, yaitu menjadi istri dokter besar dan memiliki banyak uang. Akan tetapi, ia tidak melihat hal itu pada diri Bunga."Maaf Nak Kafkha. Bunga kembali merepotkanmu. Ini salah satu kebiasaannya. Ini terjadi sejak kejadian itu, katanya karena efek obat. Jika dia tidak meminum obat itu, dia akan selalu dihantui oleh traumanya," terang MurniKafkha meminta obat yang dikonsumsi Bunga. Murni mengambilnya dari laci meja dan memberikan botol obat tablet itu kepada calon menantunya itu. Kafkha tahu jelas obat itu dan efeknya. Ia memaklumi Bunga tidur seperti orang mati, yaitu susah untuk dibangunkan. Murni dilarang olehnya untuk memberikan obat itu kepada Bunga untuk masa akan datang.Perkataan Kafkha tentunya membuat Murni kaget. Sejak setahun terakhir, anaknya itu mengkonsumsi obat tersebut tiga kali satu Minggu dan memberikan efek yang baik."Kenapa?" tanya Murni bingung."Mungkin Bunga bisa sembuh dengan obat itu, tetapi sebenarnya itu bukan menyembuhkan, tetapi hanya mencegah. Obat itu malah akan membuatnya ketergantungan dan sulit berbaur dengan traumanya. Percayakan semuanya padaku," ujar Kafkha.Murni menyetujui perkataan Kafhka. Wanita itu mengambil botol obat tersebut dan membuangnya ke tong sampah.Dua Hari Kemudian ....Kafkha mengenakan baju pengantin yang telah disediakan. Hatinya masih ragu untuk melanjutkan pernikahan itu karena takut tidak bisa menerima Bunga setelah pernikahan itu terjadi dan juga malah akan menyakiti hati wanita malang itu. Sama sepertinya, Kafkha merasa Bunga juga orang menyedihkan karena masa lalu yang di alaminya. Kafkha mengeluarkan foto pernikahannya bersama Marissa dari dompet, ia memejamkan mata sambil mengingat momen ketika dirinya mempersunting Marissa sebagai istrinya."Nak ...!" panggil Jelita.Kafkha membuka mata. Tangannya bergegas memasukkan kembali foto tersebut ke dompet dan menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti Jelita meninggalkan kamar tamu yang ditempatinya sejak kamarnya didekorasi.Kafkha melihat banyak tamu undangan, ia tidak menyangka undangan Jelita tak sesuai ekspektasinya. Bukan hanya kerabat dekat, seluruh staff rumah sakit juga datang. Kafkha diam tercengang, matanya menjalar, menjelajah memperhatikan beb
Kafkha meluluhlantakkan semua perasaan sedihnya. Bibirnya tersenyum bahagia ketika bibirnya menjelajahi sekujur tubuh Bunga membuat tubuh wanita itu kaku merasakan kenikmatan dalam hubungan suami-istri untuk pertama kalinya. Beberapa kali bibir Kafkha berucap menyebut nama Marissa, hanya Marissa, bukannya Bunga. Kafkha bisa menikmati malam pertama pernikahannya bersama Bunga karena bayangan wajah Marissa. Ibarat, Bunga hanya wanita bayangannya. Hati Bunga sakit ketika mendengar nama Marissa diucap Kafkha disaat pria itu sudah menjadi suaminya. Namun, Bunga tidak lupa landasan mereka menikah. Tubuh pria itu jatuh di atasnya, kepala Kafkha berada tepat di dadanya. Pria itu menangis sambil mengungkapkan kerinduannya kepada Marissa. "Kamu tidak mencintaiku, kamu malah meninggalkanku," tangis Kafkha Isak.Untuk pertama kalinya Bunga melihat pria menangis sesedih itu di hadapannya, bahkan dalam pelukannya. Bunga ikut merasakan kesedihan pria itu, tangannya mengelus punggung mulus Kafkha d
Kafkha tidak bisa tidur. Perasaan bersalah menghantuinya setiap kali ingat bentakannya pada Bunga. Pria itu menoleh ke samping, memandangi Bunga yang telah memejamkan mata dalam tidurnya. Kafkha melihat luka di tangan Bunga dan ingat kukunya sempat melukai tangan wanita itu. "Mengapa aku seceroboh ini?" Kafkha duduk dan memperhatikan tangan Bunga. Kafkha menyadari hal lain. Matanya mendapati sebercak darah di sprei yang ada di sampingnya, berada di antara dirinya dan Bunga. Ia ingat telah menyetubuhi Bunga dan juga mengingat bibirnya menyebut nama Marissa dalam kondisi sadar. Raisa kembali menangis. Kafkha bangkit dari kasur dan menghampiri keranjang bayi. Bunga ikut terbangun oleh suara tangis itu. Ia duduk dan memperhatikan jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Bunga tiada mengenal lelah, ia mengambil Raisa dari gendongan Kafkha dan menenangkan anak itu dalam gendongannya. "Kamu tidur saja. Aku yang akan menidurkannya," suruh Bunga. Kafkha menurut. Kakinya melangkah mendekati t
Bunga ke taman Lestari Indah bersama Raisa, la menggendong anak itu dan menggunakan payung untuk berteduh dari paparan sinar matahari yang bisa mengiritasi kulit Raisa. Willa girang setelah melihat bocah itu ikut bersamanya, kedua tangannya menarik tubuh Raisa dari gendongan Bunga dan membawa anak itu berjalan menghampiri sekumpulan ibu-ibu yang sedang memantau anak mereka main perosotan."Kamu bisa mengajari mereka dan aku yang akan mengurus anakmu yang cantik ini" Willa berseru, berbicara tanpa menoleh ke belakang."Tapi …." Bunga hanya bisa menggantungkan perkataannya karena tidak ingin mengungkapkan rasa ketakutannya.Ketakutan itu bersumber dari ingatannya mengenal sifat sensitif yang dimiliki Kafkha. Pria itu sangat teliti saat mengurus anaknya dan tidak mau anaknya dipegang oleh sembarang orang. Bunga khawatir Kafkha tahu kalau ia menitipkan Raisa kepada Willa. Namun, ia menepis pemikiran itu dan mencoba tenang selagi masih bisa mengawasi Raisa yang berada di satu tempat yang s
Kafkha meletakkan Raisa yang ada dalam gendongannya ke dalam keranjang bayi. Lalu, ia menghampiri Bunga yang ikut merasakan kekosongan di kamar itu, kedua bola matanya berkeliling melihat foto-foto sebelumnya yang ada di dinding kamar ataupun yang ada di atas meja menghilang."Drama apa lagi ini? Kamu tidak memiliki hak untuk menanggalkan semua foto-foto Marissa dan diriku!" teriak Kafkha, marah. Teriakan pria itu membuat Bunga kaget dan ketakutan. Raut wajahnya berubah bingung karena ia tidak mengerti maksud perkataan Kafkha karena bukan dirinya yang melepaskan semua foto-foto itu dari posisinya. "Aku ... ak--," perkataan Bunga terpotong karena Kafkha tidak memberikan celah untuknya berbicara.Kemarahan dan emosional tidak bisa dikendalikan Kafkha, ia mencengkram pergelangan tangan Bunga dan mendorong wanita itu sampai dahi Bunga terbentur ke meja. Cairan merah mengalir dan menumpuk di alis sebelah kiri wanita itu. "Sepertinya keputusanku menerimamu menjadi istriku adalah kesalaha
Kafkha mengangkat kepala dari bantal sambil mengucek kedua matanya, ia melihat Bunga berbaring di sampingnya dengan tangan wanita itu berada di dadanya. Kafkha menurunkan tangannya secara perlahan dan bangkit dari kasur. Kafkha berdiri memperhatikan Bunga tidur pulas. Melihat wajah polos wanita itu membuatnya merasa bersalah dan memikirkan cara untuk menebus kesalahannya kemarin. Kafkha berjalan menuju keranjang bayi, ia melihat anaknya itu masih tidur pulas. Matanya beralih menuju jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. "Ya ampun, aku harus ke rumah sakit. Nanti aku pikirkan cara untuk menebus kesalahanku itu," kata Kafkha sambil berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa pakaian, lalu membawanya ke kamar mandi. Hampir lima belas menit ia berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat Bunga sedang menggendong Raisa dan berdiri di tepi jendela. Raisa mengarahkan pandangan ke arah tangan Bunga menunjuk menuju luar jendela yang memperlihatkan aktivitas ibu-ibu yang sedang ber
Danar mengejar Bunga memasuki rumah sakit, ia mengikutinya sejak tadi karena ingin meminta maaf setelah melihat Bunga marah. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan raut wajah bingung. "Apa?" tanya Bunga sambil berhenti berjalan di lobi rumah sakit setelah merasakan orang-orang memandangi mereka."Kamu marah? Bukannya ingin menyinggungmu. Tapi, apa yang aku katakan benar," kata Danar dengan suara kecil."Baiklah. Kita lihat saja. Sekarang, jangan ikuti aku dan membuat semua orang berpikir yang tidak-tidak di antara kita. Tolong …," mohon Bunga dan melanjutkan kakinya berjalan. Danar memutar menoleh kiri dan kanan, melihat orang-orang masih menatapnya. Danar tersenyum ringan, mengangguk pelan, dan berjalan menuju ke arah di mana ruangannya berada. "Sepertinya dokter Danar dan istri baru dokter Kafkha itu bertengkar. Apa hubungan mereka ya? Apa mungkin mereka keluarga. Sepupu mungkin? Kan, dokter Danar dokter ibunya istri dokter Kafkha," kata seorang perawat yang berbicara pada pe
Kafkha merasakan sesuatu menimpa dadanya, ia membuka mata dan melihat kepala Bunga berada di dadanya. Sekejap ia memperhatikan wajah wanita itu sambil mengingat kejadian semalam. Perasaannya jadi merasa bersalah karena sengaja ingin menyakiti hati Bunga dan membuat wanita itu pergi darinya. Kafkha menarik handuk yang ada di dahinya dan meletakkannya ke baskom. Lalu, ia mengangkat kepala Bunga dan bangkit dari kasur. Kafkha beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Ketika air yang jatuh dari shower membasahi tubuhnya, Kafkha mengingat perkataan Sarah dan Danar. Lalu, ia juga mengingat bagaimana kepedulian Bunga padanya meskipun ia sudah bersikap buruk pada istrinya itu. Kafkha kesal sendiri pada dirinya karena tidak bisa membuka hati untuk seorang Bunga yang jelas-jelas wanita baik-baik. Kafkha menyudahi mandinya, ia mengambil handuk dan melilitkannya ke bagian bawah tubuhnya. Setelah itu, Kafkha keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekati tubuh Bunga yang masih t
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha