Dua Hari Kemudian ....
Kafkha mengenakan baju pengantin yang telah disediakan. Hatinya masih ragu untuk melanjutkan pernikahan itu karena takut tidak bisa menerima Bunga setelah pernikahan itu terjadi dan juga malah akan menyakiti hati wanita malang itu. Sama sepertinya, Kafkha merasa Bunga juga orang menyedihkan karena masa lalu yang di alaminya. Kafkha mengeluarkan foto pernikahannya bersama Marissa dari dompet, ia memejamkan mata sambil mengingat momen ketika dirinya mempersunting Marissa sebagai istrinya."Nak ...!" panggil Jelita.Kafkha membuka mata. Tangannya bergegas memasukkan kembali foto tersebut ke dompet dan menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti Jelita meninggalkan kamar tamu yang ditempatinya sejak kamarnya didekorasi.Kafkha melihat banyak tamu undangan, ia tidak menyangka undangan Jelita tak sesuai ekspektasinya. Bukan hanya kerabat dekat, seluruh staff rumah sakit juga datang. Kafkha diam tercengang, matanya menjalar, menjelajah memperhatikan beberapa wajah yang dikenalnya, termasuk Sarah, dokter bersalin yang menyukainya sejak lama.Beberapa bibir mulai bergerak mengungkapkan rasa kagum melihat Bunga turun dari tangga dalam balutan gaun pengantin. Willa berdiri di samping kanan Bunga, menjadi pendamping wanita. Kafkha tidak bisa memungkiri wanita itu cantik, tetapi tidak bisa sebanding jika disandingkan dengan kecantikan Marissa."Kita masih memiliki waktu untuk menggagalkannya. Jika kamu belum siap, aku bisa terima," kata Bunga dengan suara kecil kepada Kafkha.Kafkha telah berdiri di hadapannya, jarak kaki mereka hanya dua jengkal.Kafkha memejamkan mata, menarik napas dalam dan tersenyum. Pria itu mengangkat tangannya sejajar perut berada di antara dirinya dan Bunga, meminta wanita itu meraih tangannya. Bunga terharu melihat keputusan Kafkha dari sikapnya, ia meletakkan tangannya ke tangan pria itu.Meski hati masih ragu, Kafkha tetap melanjutkan pernikahan itu karena takut hanya ini kesempatan terbaik untuk memberikan menantu untuk Jelita dan ibu untuk Raisa. Sebelum ijab kabul diucapkan, Kafkha memperhatikan Raisa di gendongan Jelita, termasuk ibunya itu. Hatinya berkata, "Ini semua untuk kalian. "Selain itu, Kafkha memperhatikan Murni sambil mengingat keinginan calon ibu mertuanya itu menginginkan Bunga segera menikah di usia yang sudah matang untuk berumahtangga.Dalam kondisi tenang penghulu dan Kafkha saling berjabat tangan di meja akad."Saya terima nikah dan kawinnya, Bunga Besari binti Alm Ludiansyah, dengan seperangkat alat sholat dan uang senilai 50 juta, dibayar tunai!" balas Kafkha setelah mendengar awalan dari penghulu sebagai wali Hakim."Sah?" tanya penghulu mencari kesaksian."Sah!" sambut saksi.Semua tampak lega, terutama Bunga.Acara pernikahan tersebut berlanjut dengan acara resepsi. Semua orang memberikan ucapan selamat kepada sepasang pengantin baru yang tengah berdiri di pelaminan di rumah besar itu.Raisa menangis ditengah acara berlangsung. Bunga meminta anak itu dari pelukan Jelita, tapi wanita paruh baya itu menolak untuk memberikannya. Jelita tidak ingin acara mereka terusik."Ma ...!" tegur Kafkha.Jelita memberikan anak itu ke tangan Bunga. Tidak hanya Kafkha, semua orang melihat cara Bunga membuat anak itu diam. Mereka tidak heran jika Kafkha memilih Bunga menjadi istrinya. Pujian semua orang untuk Bunga membuat Sarah cemburu, dokter modis itu meninggalkan acara itu bersama kekesalan pada dirinya sendiri karena selama ini tidak bisa meraih hati Kafkha.***"Kamu mau ke mana? Ini malam pernikahanmu bersama Bunga," kata Jelita setelah melihat Kafkha menuruni tangga sambil memegang kunci mobil."Ada pasien darurat di rumah sakit. Aku akan mengurusnya terlebih dahulu," jelas Kafkha."Ingat, Bunga sudah menjadi istrimu, berikan dia hak dan penuhi kewajibanmu sebagai seorang suami," ingat Jelita."Ma ... kami sudah membicarakannya. Mama tenang saja," balas Kafkha.Kafkah diam melihat Bunga memegang dorongan kursi roda Murni di pintu kamar ruang tamu yang ditempati Murni di rumah itu. Bunga bersama ibunya tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua. Jelita mengalihkan topik pembicaraan setelah melihat mereka, ia mengajak Murni duduk menonton bersama-sama. Bunga mendorong kursi roda itu dan membantu Murni duduk di sofa, di samping Jelita.Setelah itu, Bunga mendekati Kafkha. Bunga menggenggam pergelangan tangannya dan mengajaknya keluar dari rumah umah."Jangan pikirkan perkataan Mama. Jangan sampai tertekan dengan keinginan dan kata-kata Mama. Aku baik-baik saja. Hati-hati dan semoga sukses merawat pasiennya," ucap Bunga."Terima kasih," ucap Kafkha.Cupp!Bunga mengecup pipi Kafkha. Wanita itu berlari masuk meninggalkan keberadaan Kafkha. Pria itu diam mematung dan merasa sesuatu telah diambil darinya. Kedua tangannya mencengkram kuat dan gigi menggertak tampak kesal. Kafkha berjalan menuju mobil dan memasukinya. Ia mengemudiakan mobil itu meninggalkan rumah."Ya ampun. Bukankah aku terlalu berlebihan? Semua harus dilakukan secara perlahan. Bagaimana kalau dia tidak nyaman dengan itu?" Bunga berpikir sendiri di dalam kamar sambil mengelus lembut punggung Raisa membuat anak itu tidur."Bunga, Raisa akan Mama bawa ke kamar Mama. Kalian bisa beristirahat nanti," ucap Jelita sambil berjalan memasuki kamar dan mengambil Raisa dari keranjang bayi di samping tempat tidur.Bunga menganggukkan kepala sambil tersenyum.***Bunga menunggu Kafkha pulang sambil memainkan ponsel di sofa, di dalam kamar. Setelah jam menunjukkan pukul 23.00 malam, wujud Kafkha masih belum terlihat. Bunga ingin menghubungi nomor pria itu, tetapi ia tidak ingin membuat Kafkha tidak nyaman selalu menghantuinya dengan dirinya."Apa aku terlalu berharap dia melakukan itu untukku malam ini? Tidak. Bunga, Bunga. Kamu harus sadar," kata Bunga tersenyum miris.Bunga membaringkan tubuh ke atas kasur, menarik selimut dan memejamkan mata. Namun, kedua bola matanya kembali terbuka setelah mendengar pintu kamar dibuka. Kedua bola matanya melihat wajah Kafkha berdiri dengan raut wajah datar. Ia tidak berharap besar melihat wajah lelah pria itu. Bunga memejamkan mata dengan posisi menyamping membelakangi keberadaan Kafkha.Beberapa menit kemudian, Kafkha menaiki kasur berbaring di sampingnya. Bunga menarik tubuh bersandar ke kepala ranjang karena tidak bisa tidur."Semua baik-baik saja?" tanya Bunga.Kafkha ikut bangun dari baringan tubuhnya, ia duduk dengan posisi yang sama di samping Bunga."Maaf. Tolong jangan terlalu mendominasikan dirimu pada diriku, itu membuatku risih," keluh Kafkha."Oh, maaf," ucap Bunga tersenyum paksa."Apa keberadaanku di sampingmu juga membuatmu tidak tenang? Aku bisa tidur di sofa," kata Bunga.Kafkha merasa bersalah mendengar perkataan Bunga. Ia merasa dirinya terlalu egois sampai mengatakan kalimat itu kepadanya. Mengingat, status Bunga saat ini untuknya adalah seorang istri."Tidak perlu," balas Kafkha.Bunga menganggukkan kepala. Karena mata mereka sama-sama tidak bisa tidur, Bunga mengajak Kafkha berbicara dan bercerita. Bunga ingin membuat Kafkha nyaman berkomunikasi dengannya sebagai salah satu trik untuk membuat pria itu bisa menerimanya dengan baik tanpa ada paksaan. Bunga bercerita mengenai pekerjaan dan lingkungan pertemanannya kepadanya.Dalam pembicaraan itu, terselip beberapa senyuman Kafkha. Bunga pun tidak pernah melihat senyuman semurni itu dari seorang Kafkha sebelumnya. Kali ini pria itu tersenyum melihatnya tertawa."Ak ... aku ke toilet dulu," ucap Bunga sambil bangkit dari kasur.Sebenarnya Bunga ingin memuji senyuman Kafkha, tetapi ia kembali berpikir dan takut membuat suaminya itu kembali tidak nyaman.Notifikasi pesan masuk ke ponsel Bunga. Ponsel wanita itu berada di atas kasur, di samping tubuh Kafkha. Pria itu melihat sebagian isi pesan itu di bilah layar ponsel bagian atas. Kafkha tahu pesan itu dari Willa dan isi pesan tengah membahas malam pertama pernikahan.Kafkha memalingkan pandangan dari ponsel itu setelah mendengar pintu kamar mandi di buka."Sudah larut, mendingan kita tidur," ajak Bunga.Bunga pasrah malam pertama indah di bayangannya tidak akan pernah terjadi, bahkan di hari berikutnya juga masih diragukan akan terlaksa hubungan semacam itu."Apa kamu pernah pacaran sebelumnya?" tanya Kafkha.Tangan Bunga diam bergerak ketika ingin mengangkat selimut dan menyeludupkan tubuh di bawah selimut itu. Posisi bunga masih berdiri di samping ranjang."Tidak pernah. Aku tidak memiliki waktu untuk pacaran."Jawaban Bunga membuat Kafkha merasa bersalah."Kita lakukan semuanya secara perlahan," kata Kafkha."Apa?" tanya Bunga bingung dan kaget.Kafkha peduli. Meski ia tidak ingin melakukan hubungan suami-istri bersama Bunga, tapi ia peduli terhadap wanita yang baru pertama kalinya berhubungan dengan lelaki itu. Tentunya, pernikahan dan harapan malam pertama yang dibayangkan sebagai malam terindah dalam pernikahan akan begitu melekat di benaknya.Kafkha menarik tangan Bunga, membuat wanita itu berbaring di sampingnya. Jantung Bunga berdetak kencang, dadanya naik turun dengan durasi cepat. Bunga sampai memalingkan pandangan karena tidak sanggup melihat wajah Kafkha. Pria itu malah mendekatkan wajahnya sampai Bunga merasakan hembusan angin dari hidung Kafkha menerpa wajahnya. Ekspresi pria itu tampak terbebani, tapi masih bersekukuh untuk mengalahkan beban itu."Tidak perlu melakukannya jika belum bisa," ucap Bunga.Perkataan Bunga menghentikan aksi Kafkha. Pria itu melepaskan tangan dari bahu Bunga dan berbaring dengan posisi telentang menatap langit-langit kamar. Kafkha merasa terbenam dalam ke dalam air paling dalam sampai sulit untuk bernapas. Ia merasa benar-benar tidak bisa melakukan hubungan suami-istri itu meski berusah terhanyut dalam suasana pernikahan. Perkataan Bunga benar adanya, ia tak sanggup."Aku bisa. Tolong bekerja sama," balas Kafkha.Kafkha duduk dan melepaskan baju atasannya. Ia mendaratkan kedua tangan ke pipi Bunga dan mengecup bibir wanita itu pelan hingga akhirnya menikmatinya beberapa saat. Kafkha mengecup bibir Bunga, tapi dalam bayangannya tergambar wajah Marissa."Aku merindukanmu, Marissa," lirih Kafkha tidak sadar."Dia membayangkan mendiang istrinya. Sabar, aku tidak bisa cemburu," kata Bunga dalam hati.Kafkha meluluhlantakkan semua perasaan sedihnya. Bibirnya tersenyum bahagia ketika bibirnya menjelajahi sekujur tubuh Bunga membuat tubuh wanita itu kaku merasakan kenikmatan dalam hubungan suami-istri untuk pertama kalinya. Beberapa kali bibir Kafkha berucap menyebut nama Marissa, hanya Marissa, bukannya Bunga. Kafkha bisa menikmati malam pertama pernikahannya bersama Bunga karena bayangan wajah Marissa. Ibarat, Bunga hanya wanita bayangannya. Hati Bunga sakit ketika mendengar nama Marissa diucap Kafkha disaat pria itu sudah menjadi suaminya. Namun, Bunga tidak lupa landasan mereka menikah. Tubuh pria itu jatuh di atasnya, kepala Kafkha berada tepat di dadanya. Pria itu menangis sambil mengungkapkan kerinduannya kepada Marissa. "Kamu tidak mencintaiku, kamu malah meninggalkanku," tangis Kafkha Isak.Untuk pertama kalinya Bunga melihat pria menangis sesedih itu di hadapannya, bahkan dalam pelukannya. Bunga ikut merasakan kesedihan pria itu, tangannya mengelus punggung mulus Kafkha d
Kafkha tidak bisa tidur. Perasaan bersalah menghantuinya setiap kali ingat bentakannya pada Bunga. Pria itu menoleh ke samping, memandangi Bunga yang telah memejamkan mata dalam tidurnya. Kafkha melihat luka di tangan Bunga dan ingat kukunya sempat melukai tangan wanita itu. "Mengapa aku seceroboh ini?" Kafkha duduk dan memperhatikan tangan Bunga. Kafkha menyadari hal lain. Matanya mendapati sebercak darah di sprei yang ada di sampingnya, berada di antara dirinya dan Bunga. Ia ingat telah menyetubuhi Bunga dan juga mengingat bibirnya menyebut nama Marissa dalam kondisi sadar. Raisa kembali menangis. Kafkha bangkit dari kasur dan menghampiri keranjang bayi. Bunga ikut terbangun oleh suara tangis itu. Ia duduk dan memperhatikan jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Bunga tiada mengenal lelah, ia mengambil Raisa dari gendongan Kafkha dan menenangkan anak itu dalam gendongannya. "Kamu tidur saja. Aku yang akan menidurkannya," suruh Bunga. Kafkha menurut. Kakinya melangkah mendekati t
Bunga ke taman Lestari Indah bersama Raisa, la menggendong anak itu dan menggunakan payung untuk berteduh dari paparan sinar matahari yang bisa mengiritasi kulit Raisa. Willa girang setelah melihat bocah itu ikut bersamanya, kedua tangannya menarik tubuh Raisa dari gendongan Bunga dan membawa anak itu berjalan menghampiri sekumpulan ibu-ibu yang sedang memantau anak mereka main perosotan."Kamu bisa mengajari mereka dan aku yang akan mengurus anakmu yang cantik ini" Willa berseru, berbicara tanpa menoleh ke belakang."Tapi …." Bunga hanya bisa menggantungkan perkataannya karena tidak ingin mengungkapkan rasa ketakutannya.Ketakutan itu bersumber dari ingatannya mengenal sifat sensitif yang dimiliki Kafkha. Pria itu sangat teliti saat mengurus anaknya dan tidak mau anaknya dipegang oleh sembarang orang. Bunga khawatir Kafkha tahu kalau ia menitipkan Raisa kepada Willa. Namun, ia menepis pemikiran itu dan mencoba tenang selagi masih bisa mengawasi Raisa yang berada di satu tempat yang s
Kafkha meletakkan Raisa yang ada dalam gendongannya ke dalam keranjang bayi. Lalu, ia menghampiri Bunga yang ikut merasakan kekosongan di kamar itu, kedua bola matanya berkeliling melihat foto-foto sebelumnya yang ada di dinding kamar ataupun yang ada di atas meja menghilang."Drama apa lagi ini? Kamu tidak memiliki hak untuk menanggalkan semua foto-foto Marissa dan diriku!" teriak Kafkha, marah. Teriakan pria itu membuat Bunga kaget dan ketakutan. Raut wajahnya berubah bingung karena ia tidak mengerti maksud perkataan Kafkha karena bukan dirinya yang melepaskan semua foto-foto itu dari posisinya. "Aku ... ak--," perkataan Bunga terpotong karena Kafkha tidak memberikan celah untuknya berbicara.Kemarahan dan emosional tidak bisa dikendalikan Kafkha, ia mencengkram pergelangan tangan Bunga dan mendorong wanita itu sampai dahi Bunga terbentur ke meja. Cairan merah mengalir dan menumpuk di alis sebelah kiri wanita itu. "Sepertinya keputusanku menerimamu menjadi istriku adalah kesalaha
Kafkha mengangkat kepala dari bantal sambil mengucek kedua matanya, ia melihat Bunga berbaring di sampingnya dengan tangan wanita itu berada di dadanya. Kafkha menurunkan tangannya secara perlahan dan bangkit dari kasur. Kafkha berdiri memperhatikan Bunga tidur pulas. Melihat wajah polos wanita itu membuatnya merasa bersalah dan memikirkan cara untuk menebus kesalahannya kemarin. Kafkha berjalan menuju keranjang bayi, ia melihat anaknya itu masih tidur pulas. Matanya beralih menuju jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. "Ya ampun, aku harus ke rumah sakit. Nanti aku pikirkan cara untuk menebus kesalahanku itu," kata Kafkha sambil berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa pakaian, lalu membawanya ke kamar mandi. Hampir lima belas menit ia berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat Bunga sedang menggendong Raisa dan berdiri di tepi jendela. Raisa mengarahkan pandangan ke arah tangan Bunga menunjuk menuju luar jendela yang memperlihatkan aktivitas ibu-ibu yang sedang ber
Danar mengejar Bunga memasuki rumah sakit, ia mengikutinya sejak tadi karena ingin meminta maaf setelah melihat Bunga marah. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan raut wajah bingung. "Apa?" tanya Bunga sambil berhenti berjalan di lobi rumah sakit setelah merasakan orang-orang memandangi mereka."Kamu marah? Bukannya ingin menyinggungmu. Tapi, apa yang aku katakan benar," kata Danar dengan suara kecil."Baiklah. Kita lihat saja. Sekarang, jangan ikuti aku dan membuat semua orang berpikir yang tidak-tidak di antara kita. Tolong …," mohon Bunga dan melanjutkan kakinya berjalan. Danar memutar menoleh kiri dan kanan, melihat orang-orang masih menatapnya. Danar tersenyum ringan, mengangguk pelan, dan berjalan menuju ke arah di mana ruangannya berada. "Sepertinya dokter Danar dan istri baru dokter Kafkha itu bertengkar. Apa hubungan mereka ya? Apa mungkin mereka keluarga. Sepupu mungkin? Kan, dokter Danar dokter ibunya istri dokter Kafkha," kata seorang perawat yang berbicara pada pe
Kafkha merasakan sesuatu menimpa dadanya, ia membuka mata dan melihat kepala Bunga berada di dadanya. Sekejap ia memperhatikan wajah wanita itu sambil mengingat kejadian semalam. Perasaannya jadi merasa bersalah karena sengaja ingin menyakiti hati Bunga dan membuat wanita itu pergi darinya. Kafkha menarik handuk yang ada di dahinya dan meletakkannya ke baskom. Lalu, ia mengangkat kepala Bunga dan bangkit dari kasur. Kafkha beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Ketika air yang jatuh dari shower membasahi tubuhnya, Kafkha mengingat perkataan Sarah dan Danar. Lalu, ia juga mengingat bagaimana kepedulian Bunga padanya meskipun ia sudah bersikap buruk pada istrinya itu. Kafkha kesal sendiri pada dirinya karena tidak bisa membuka hati untuk seorang Bunga yang jelas-jelas wanita baik-baik. Kafkha menyudahi mandinya, ia mengambil handuk dan melilitkannya ke bagian bawah tubuhnya. Setelah itu, Kafkha keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekati tubuh Bunga yang masih t
"Kamu masih tidak mengerti? Mungkin kita akan menimang cucu dalam waktu dekat," kata Jelita sambil memainkan mata. Murni tersenyum dan merasa malu sendiri setelah mengerti maksud perkataan Jelita.Beralih dari kedua wanita paruh baya itu, di kamar, Bunga keluar dalam balutan handuk kimono berwarna putih dan dalam keadaan rambut basah. Bunga berjalan mendekati Kafkha yang sedang menggendong Raisa, pria itu berdiri di balkon teras kamar, mereka sedang menikmati cahaya matahari pagi. Langkah sandal Bunga terdengar di telinga Kafkha, pria itu memutar tubuh dan tersenyum."Dia mencintaiku. Aku tidak boleh mengecewakannya," kata Kafkha dalam hati masih dengan senyuman yang terus bersemi di wajahnya."Kali ini aku berjanji akan mengajak kalian makan malam. Kejadian semalam benar-benar ku sesali, aku minta maaf," ucap Kafkha, menunjukkan raut wajah merasah bersalah."Lupakan. Tapi, jika kamu masih berbohong, Raisa tidak akan memaafkanmu kali ini. Iya kan sayang …." Bunga mengambil Raisa dari
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha