Nathan baru saja siuman dari efek obat yang telah disuntikkan oleh Edwin. Dia duduk di atas kasur dengan linglung. Memproses apa yang terjadi. Saat sedang sibuk memikirkan apa yang terjadi, telinganya menangkap suara teriakan Herlin.
Nathan dengan cepat melempar selimut dan berjalan ke arah balkon kamar. Dari sana asal sumber suara Herlin. Dia menatap ke arah bawah, dimana para bodyguard yang sedang menarik tangan Herlin. Kemudian memaksa Herlin dengan cara dipangkul seperti karung beras.
Nathan meremas pinggiran pembatas balkon. Dia sangat marah melihat perlakuan bodyguard terhadap Herlin. Tidak boleh ada yang menyentuh Herlin, apalagi memperlakukannya dengan kasar.
"Lepaskan dia. Apa yang kalian lakukan kepada Tuan Putri!" teriak Nathan dari lantai dua sambil menunjuk ke arah bodyguard yang memanggul Herlin.
Nathan tanpa pikir panjang langsung meloncat dari lantai dua. Dia berhasil mendarat dengan sempurna. Dengan posisi setengah berdiri, lalu tangan kanan lurus ke depan dan tangan kiri lurus ke belakang. Persis seperti superhero yang dia lihat di televisi. Superhero yang ingin menyelamatkan Tuan Putri dari monster jahat.
Otot kaki Nathan bisa menahan keseimbangan, jadi dia tidak terluka sama sekali. Beberapa detik kemudian, posisinya oleng dan membuat Nathan jatuh terduduk.
Para bodyguard mendekat dan segera membantu Nathan yang masih duduk di lantai. Mereka juga tidak lupa memeriksa keadaan Nathan. Jika terjadi sesuatu sama dia, maka mereka bisa dipecat.
"Tuan Muda tidak apa-apa!" ujar mereka.
Nathan mengabaikan mereka semua. Dia melepaskan tangan mereka dengan kasar. Lalu langsung berlari ke arah Herlin.
"Tuan Putri!" teriak Nathan heboh dan memeluk Herlin dari belakang.
Herlin sangat terkejut dengan pelukan Nathan. Dia hampir saja terjungkal ke arah Tristan kalau Nathan tidak memeluk tubuhnya dengan kuat. Dia lagi-lagi dipeluk oleh cowok yang aneh menurutnya.
"Lepas! Lepaskan aku!" teriak Herlin.
'Kenapa laki-laki aneh ini memeluk aku lagi, sih,' batin Herlin frustasi.
Hari ini Herlin sudah tidak tahu berapa kali dia berteriak. Bisa-bisa tenggorokan dia sakit. Mana tidak ada yang mendengarkan dia.
"Tuan Putri, Tuan tidak apa?" tanya Nathan yang khawatir dengan keadaan Herlin.
Nathan melepaskan pelukannya pada Herlin. Kemudian dia mengecek keadaan Herlin dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tidak ada luka sedikitpun. Dia juga memutarkan tubuh Herlin beberapa kali supaya bisa mengecek Herlin lebih teliti.
Herlin jadi pusing oleh tingkah kekanakan Nathan. Kesabaran sudah pada batasnya. Dia tidak tahan lagi. Hidupnya jadi tidak damai lagi sejak beberapa jam yang lalu.
"Apa yang kau lakukan!" teriak Herlin dengan keras yang masih dijadikan mainan oleh Nathan. Dia sudah mirip seperti gasing.
"Nathan hanya ingin memeriksa Tuan Putri," sahut Nathan polos masih memutarkan tubuh Herlin.
"Stop!" bentak Herlin menghempaskan tangan Nathan.
Herlin sudah tidak tahan dengan perlakuan Nathan. Sekarang perutnya sudah sangat mual. Dia bisa muntah beneran kalau diteruskan. Dari tadi dia sudah diangkut seperti karung beras, sekarang malah diputar-putar.
Tristan hanya menatap datar perlakuan Nathan terhadap Herlin. Dia baru saja pulang dari jalan-jalan bersama temannya. Ketika dia pulang, hal pertama yang dia lihat adalah Herlin yang dipaksa keluar dari mobil. Dia sudah tahu jika semua itu suruhan kakek mereka.
Edwin, Samira dan Darius yang mendengar suara keributan di luar rumah segera menuju ke depan rumah. Mereka heran menatap Nathan yang sudah berada di depan rumah. Mereka sama sekali tidak melihat Nathan yang turun dari lantai dua.
"Nathan, kamu kenapa di sini. Bukannya kamu ada di lantai dua?" tanya Samira dengan lembut.
"Begini Nyonya, tadi Tuan Muda melompat dari lantai dua," lapor bodyguard.
"Apa!" teriak mereka terkejut.
"Sayang, kamu tidak apa-apa sayang?" tanya Samira memeriksa keadaan Nathan.
"Nathan tidak apa-apa, Ma. Nathan kan anak kuat," sahut Nathan menunjukkan otot-otot lengannya yang sudah membentuk sempurna.
Herlin juga ikut melihat otot Nathan yang besar. Namun dia bukan perempuan penyuka lelaki berotot, dia lebih menyukai lelaki berotak. Buat apa ada otot besar tapi otaknya kecil.
"Kenapa, kamu suka lelaki berotot. Sama seperti ototku," bisik Tristan.
Herlin hanya mendengus mendengar perkataan Tristan. Tristan dengan kepercayaan diri yang tinggi setelah terjadi kesalahpahaman. Sudah capek dia berurusan dengan lelaki tipe Tristan.
Tristan segera menjauhkan diri dari Herlin ketika Nathan menoleh ke arah mereka. Nathan seperti ada antena kalau ada orang yang mendekati Herlin.
"Nathan, kamu jangan melakukan itu lagi. Bagaimana kalau kamu terluka," tegur Samira.
"Iya, Ma. Nathan janji," sahut Nathan menatap ke arah Samira lagi.
Samira mengalihkan pandangan ke arah Herlin. Dia memberikan senyuman lembut. Dia merasa kasihan dengan nasib Herlin untuk kedepannya. Semoga Herlin bisa menerima anaknya dengan baik.
Herlin membalas senyuman dari Samira. Senyuman sendu seorang ibu. Setidaknya, dia menemukan seseorang yang bersikap normal.
"Kamu sudah tiba. Ayo masuk," ajak Edwin tanpa basa-basi.
"Tidak, saya ingin pulang saja," tolak Herlin.
"Putri ingin pulang? Nathan ikut ya?" pinta Nathan tidak mau jauh dari Herlin.
"Tidak bo … "
"Tidak ada yang boleh pergi tanpa izin dari aku," ujar Edwin tegas dengan tatapan tajam.
Herlin meremas kedua tangannya. Edwin sama persis seperti beberapa tahun yang lalu. Masih saja keras kepala dan bersikap seenaknya saja.
"Kalian bahwa dia masuk," suruh Edwin kepada bodyguard.
"Baik Tuan Besar."
Mereka mendekat ke arah Herlin. Tangan sudah terjulur ingin membawa Herlin masuk ke dalam.
"Kalian mau apa?" tanya Nathan menepuk tangan bodyguard yang ingin menyentuh Herlin.
"Kalian jangan macam-macam," lanjut Nathan memperingati mereka.
Nathan menatap mereka dengan tajam. Lebih tajam dari Edwin. Hanya dirinya yang boleh menyentuh Herlin.
Para bodyguard langsung menciut nyalinya. Nathan kalau sudah marah lebih menyeramkan dari tuan besar mereka. Mereka tidak tahu harus menuruti perintah siapa.
"Sebaiknya kamu masuk dulu jika kamu ingin melangkah keluar dari rumah ini," kata Edwin dengan maksud tersembunyi agar Nathan tidak mengetahuinya.
"Ayo Putri, kita masuk," ajak Nathan memegang tangan Herlin dengan lembut.
Herlin terpaksa masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera pergi dari sana. Dia yakin tidak akan bisa kabur dari sana sesuai dengan perkataan Edwin. Terus dia juga ingin tahu apa yang akan Edwin katakan kepada dirinya.
***
Edwin sudah duduk di sofa tunggal. Kemudian diikuti oleh Samira dan Darius serta Tristan di sofa panjang. Herlin masih saja berdiri, dia segan untuk duduk dan tidak mau duduk. Kalau bisa dia ingin segera pergi dari sana.
Nathan juga ikut berdiri di sampingnya dengan sangat dekat. Herlin sudah berusaha untuk mendorong Nathan, tapi dia sama sekali tidak mau menjauhi Herlin.
"Silahkan duduk," perintah Edwin.
Herlin akhirnya duduk di atas sofa. Tatapan Edwin tidak menerima penolakan. Kemudian kakinya juga sudah sangat lelah.
Nathan mengikuti Herlin untuk duduk di sampingnya. Lagi-lagi dia duduk dempet dengan Herlin. Herlin menggeserkan pantatnya agar menjauh dari Nathan. Nathan juga ikut bergeser lagi mendekat ke arah Herlin.
"Kamu duduk di sana bisa nggak. Jangan dekat-dekat. Di sana masih luas," ujar Herlin dengan jengkel.
"Tapi Nathan mau duduk di dekat Tuan Putri. Tidak mau jauh-jauh," tolak Nathan semakin bergeser ke arah Herlin.
"Nathan, sekarang kan sudah malam. Kamu sudah saatnya tidur," bujuk Samira.
Biasanya Nathan akan tidur jam sepuluh tepat. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Samira yang selalu mengatur jadwal Nathan.
"Tidak, Nathan tidak mau tidur. Nathan mau bersama Tuan Putri," sahut Nathan memeluk tangan Herlin.
Bersambung ….
Herlin ingin sekali melepaskan tangan Nathan. Dia sangat risih dengan Nathan yang memeluk tangannya. Ditambah banyak mata yang melihatnya. Tapi kekuatannya kalah dibanding Nathan. "Sayang, kamu harus tidur," bujuk Samira lagi. "Tidak mau," tolak Nathan. Nathan membuang muka. Dia melipat kedua tangan serta bibir yang mengerucut dengan masih memeluk tangan Herlin. "Nathan, kamu pergilah ke kamar kamu. Kakek ingin bicara sama Herlin," suruh Edwin dengan tegas. "Tidak mau, Kek," ucap Nathan dengan manja. Nathan lebih menurut kepada Edwin dibandingkan kedua orang tuanya. Menurutnya, Edwin sangat menakutkan kalau sudah marah. Dia juga sering dihukum sama Edwin kalau berbuat salah. Orang tuanya tidak pernah menghukum dia. "Kamu pergilah ke kamar kamu. Kakek janji, kamu nanti akan melihat Herlin setiap hari di samping kamu," bujuk E
"Memangnya kita pernah bertemu dulu. Saya tidak mengingat kamu sama sekali," sahut Edwin setelah mengingat keras namun tidak ada satu memori pun tentang Herlin."Sepertinya Tuan sudah lupa dengan saya. Oh iya, mana mungkin orang penting seperti Tuan mengingat saya yang hanya butiran debu," balas Herlin."Kamu bicara tidak perlu mutar-mutar. Langsung ke intinya saja," suruh Edwin tidak suka main tebak-tebakan."Baiklah, saya akan katakan langsung. Saya ini keponakan dari Karina. Apa Tuan masih mengingat perempuan yang bernama Karina?""Karina?" Pikir Edwin mengingat nama yang tidak asing baginya. Namun dia juga masih tidak ingat siapa Karina itu."Saya tidak pernah mengenal orang yang bernama Karina,"balas Edwin."Ternyata Tuan juga sudah lupa sama tante saya. Atau jangan-jangan, Tuan juga sudah lupa sama om Wisnu," sambung Herlin memancing Edwin.
Edwin mengamati Herlin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuh Herlin sangat kecil untuk ukuran anak SMA. Ditambah dengan sikap Herlin yang manja, dia langsung beranggapan kalau Herlin adalah anak sekolah dasar."Siapa bocah ini?" tanya Edwin dengan muka datar."Siapa yang …."Karina segera menghentikan Herlin. Sebelum Herlin protes tidak terima dibilang bocah. Daripada nanti bermasalah."Ini keponakan saya. Jadi kalau boleh saya tahu, apa maksud Tuan datang ke sini?" tanya Karina dengan sopan.Karina tidak mau dicap buruk. Harus terlihat baik di keluarga suaminya yang belum pernah ditemui. Sekaligus sebagai tamunya.Edwin men
"Ini, kakek aku yang memberinya?""Iya, dia minta kita untuk berpisah.""Berpisah?""Apa benar selama ini kamu berbohong sama aku. Kamu ini bukan orang biasa?" tanya Karina dengan mata berkaca-kaca."Karina, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk membohongi kamu. Aku hanya ingin hidup seperti orang-orang biasa. Aku di sana sangat tertekan. Semuanya serba diatur. Aku tidak boleh melakukan ini, tidak boleh itu. Maka dari itu, beberapa tahun yang lalu aku minggat dari rumah tanpa membawa uang sepeserpun. Aku ingin hidup dan menemukan orang-orang yang benar-benar mencintai aku apa adanya seperti kamu. Kamu masih mencintai aku kan? Kamu jangan marah ya," mohon Wisnu.Wisnu sangat takut kehilangan Karina. Tidak mau Karina marah dan minta berpisah. Karina segalanya bagi dia untuk sekarang dan selamanya. Dia sangat kehilangan segalanya, kecuali Karina.
Karina di rumah sangat khawatir dengan keadaan Wisnu. Sudah beberapa hari tidak ada kabar sama sekali tentang Wisnu sejak pulang ke kediaman Alexander William. Setiap detik Karina menunggu kedatangan Wisnu di sepanjang rumah. Senantiasa berdoa Wisnu akan pulang dengan selamat dan baik-baik saja."Tante, apa Tante lagi memikirkan Om Wisnu?" tanya Haerlin menghampiri Karina yang duduk di depan rumah."Tidak sayang," sahut Karina menoleh ke arah lain. Takut ketahuan berbohong sama Herlin."Tante tidak perlu bohong sama Herlin. Kita sudah hidup bersama selama ini. Apa Tante tidak percaya sama Herlin?" tanya Herlin dengan sedih. Tantenya tidak mau berbagi cerita dengannya."Maafkan Tante Herlin. Tante tidak mau membuat kamu ikut cemas. Tante memang sangat khawatir sama suami Tante. Tante takut terjadi apa-apa sama dia," jelas Karina."Tante yang sabar ya. Pasti om Wisnu akan kembali i
Herin Raveena adalah seorang gadis yang berusia 20 tahun. Di usianya yang masih muda, dia hidup sebatang kara. Sejak kecil dia diasuh oleh tante lantaran kedua orang tuanya sudah meninggal. Pada usia 15 tahun, Herlin kehilangan tante beserta calon keponakannya gara-gara keluarga dari pihak suami tante. Mereka tidak menyetujui atas pernikahan itu.Sejak saat itu, Herlin berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia bekerja sampingan untuk membantu biaya sekolah dan juga biaya masuk ke Universitas. Semua pekerjaan dia lakoni demi bisa menyelesaikan kuliah. Dia bertekad akan lulus kuliah secepatnya dan bisa bekerja di perkantoran. Supaya bisa hidup dengan layak.Namun sayangnya, Herlin baru saja dikeluarkan dari dua pekerjaan dalam seminggu. Dia memiliki tiga pekerjaan sampingan. Pagi harinya bekerja di toko sebagai pengangkut barang. Di waktu siang sampai sore dia akan bekerja sebagai pelayan. Kemudian pada malam hari sampai jam dua belas malam, dia bekerja
Nathan tidak suka melihat ada orang yang menyentuh Herlin di depan matanya. Ada rasa marah dan emosi yang meluap. Rasanya dia ingin memotong tangan tersebut."Tuan Putri, kamu tidak apa-apa?" tanya Nathan ingin menyentuh Herlin.Herlin dengan cepat mundur. Dia masih takut dengan Nathan yang tiba-tiba memeluknya."Kamu apa-apaan. Berani-beraninya kamu peluk seorang perempuan yang tidak kamu kenal. Apa kamu tidak punya malu," bentak Herlin dengan marah."Tuan Putri, Tuan Putih jangan marah sama Nathan ya," bujuk Nathan sedih dimarahi Herlin."Siapa yang Tuan Putri. Apa kamu masih bocah memanggil aku dengan sebutan Tuan Putri. Aku ini Herlin," ujar Helin malah memperkenalkan diri."Jadi nama Tuan Putri Herlin ya. Kalau Nama pangeran, Nathan," sahut Nathan menjulurkan tangannya dan tersenyum lebar.Herlin melongo melihat Nathan yang menjulurkan tangannya seperti anak kecil. Sama seperti bocah yang mengajak berkenalan. Apalagi Nathan
"Cepat cari identitas gadis tadi. Aku mau kamu mendapatkan seluruh identitas tentang gadis itu sebelum Nathan terbangun," perintah Edwin."Tuan Besar, jangan-jangan gadis tadi itu ….""Kamu jangan banyak tanya lagi. Cepat laksanakan perintahku.""Baik Tuan."Sam segera berlari untuk mencari identitas Herlin. Jika Herlin tidak ditemukan dengan cepat, maka akan timbul masalah besar."Pa, bagaimana ini. Apa mungkin gadis tadi adalah ….""Kamu tenang dulu. Kita akan cari gadis itu sampai ketemu. Semuanya pasti akan baik-baik saja," kata Edwin menenangkan Samira.Samira sudah bisa membayangkan kalau masa lalunya bi
Karina di rumah sangat khawatir dengan keadaan Wisnu. Sudah beberapa hari tidak ada kabar sama sekali tentang Wisnu sejak pulang ke kediaman Alexander William. Setiap detik Karina menunggu kedatangan Wisnu di sepanjang rumah. Senantiasa berdoa Wisnu akan pulang dengan selamat dan baik-baik saja."Tante, apa Tante lagi memikirkan Om Wisnu?" tanya Haerlin menghampiri Karina yang duduk di depan rumah."Tidak sayang," sahut Karina menoleh ke arah lain. Takut ketahuan berbohong sama Herlin."Tante tidak perlu bohong sama Herlin. Kita sudah hidup bersama selama ini. Apa Tante tidak percaya sama Herlin?" tanya Herlin dengan sedih. Tantenya tidak mau berbagi cerita dengannya."Maafkan Tante Herlin. Tante tidak mau membuat kamu ikut cemas. Tante memang sangat khawatir sama suami Tante. Tante takut terjadi apa-apa sama dia," jelas Karina."Tante yang sabar ya. Pasti om Wisnu akan kembali i
"Ini, kakek aku yang memberinya?""Iya, dia minta kita untuk berpisah.""Berpisah?""Apa benar selama ini kamu berbohong sama aku. Kamu ini bukan orang biasa?" tanya Karina dengan mata berkaca-kaca."Karina, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk membohongi kamu. Aku hanya ingin hidup seperti orang-orang biasa. Aku di sana sangat tertekan. Semuanya serba diatur. Aku tidak boleh melakukan ini, tidak boleh itu. Maka dari itu, beberapa tahun yang lalu aku minggat dari rumah tanpa membawa uang sepeserpun. Aku ingin hidup dan menemukan orang-orang yang benar-benar mencintai aku apa adanya seperti kamu. Kamu masih mencintai aku kan? Kamu jangan marah ya," mohon Wisnu.Wisnu sangat takut kehilangan Karina. Tidak mau Karina marah dan minta berpisah. Karina segalanya bagi dia untuk sekarang dan selamanya. Dia sangat kehilangan segalanya, kecuali Karina.
Edwin mengamati Herlin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuh Herlin sangat kecil untuk ukuran anak SMA. Ditambah dengan sikap Herlin yang manja, dia langsung beranggapan kalau Herlin adalah anak sekolah dasar."Siapa bocah ini?" tanya Edwin dengan muka datar."Siapa yang …."Karina segera menghentikan Herlin. Sebelum Herlin protes tidak terima dibilang bocah. Daripada nanti bermasalah."Ini keponakan saya. Jadi kalau boleh saya tahu, apa maksud Tuan datang ke sini?" tanya Karina dengan sopan.Karina tidak mau dicap buruk. Harus terlihat baik di keluarga suaminya yang belum pernah ditemui. Sekaligus sebagai tamunya.Edwin men
"Memangnya kita pernah bertemu dulu. Saya tidak mengingat kamu sama sekali," sahut Edwin setelah mengingat keras namun tidak ada satu memori pun tentang Herlin."Sepertinya Tuan sudah lupa dengan saya. Oh iya, mana mungkin orang penting seperti Tuan mengingat saya yang hanya butiran debu," balas Herlin."Kamu bicara tidak perlu mutar-mutar. Langsung ke intinya saja," suruh Edwin tidak suka main tebak-tebakan."Baiklah, saya akan katakan langsung. Saya ini keponakan dari Karina. Apa Tuan masih mengingat perempuan yang bernama Karina?""Karina?" Pikir Edwin mengingat nama yang tidak asing baginya. Namun dia juga masih tidak ingat siapa Karina itu."Saya tidak pernah mengenal orang yang bernama Karina,"balas Edwin."Ternyata Tuan juga sudah lupa sama tante saya. Atau jangan-jangan, Tuan juga sudah lupa sama om Wisnu," sambung Herlin memancing Edwin.
Herlin ingin sekali melepaskan tangan Nathan. Dia sangat risih dengan Nathan yang memeluk tangannya. Ditambah banyak mata yang melihatnya. Tapi kekuatannya kalah dibanding Nathan. "Sayang, kamu harus tidur," bujuk Samira lagi. "Tidak mau," tolak Nathan. Nathan membuang muka. Dia melipat kedua tangan serta bibir yang mengerucut dengan masih memeluk tangan Herlin. "Nathan, kamu pergilah ke kamar kamu. Kakek ingin bicara sama Herlin," suruh Edwin dengan tegas. "Tidak mau, Kek," ucap Nathan dengan manja. Nathan lebih menurut kepada Edwin dibandingkan kedua orang tuanya. Menurutnya, Edwin sangat menakutkan kalau sudah marah. Dia juga sering dihukum sama Edwin kalau berbuat salah. Orang tuanya tidak pernah menghukum dia. "Kamu pergilah ke kamar kamu. Kakek janji, kamu nanti akan melihat Herlin setiap hari di samping kamu," bujuk E
Nathan baru saja siuman dari efek obat yang telah disuntikkan oleh Edwin. Dia duduk di atas kasur dengan linglung. Memproses apa yang terjadi. Saat sedang sibuk memikirkan apa yang terjadi, telinganya menangkap suara teriakan Herlin.Nathan dengan cepat melempar selimut dan berjalan ke arah balkon kamar. Dari sana asal sumber suara Herlin. Dia menatap ke arah bawah, dimana para bodyguard yang sedang menarik tangan Herlin. Kemudian memaksa Herlin dengan cara dipangkul seperti karung beras.Nathan meremas pinggiran pembatas balkon. Dia sangat marah melihat perlakuan bodyguard terhadap Herlin. Tidak boleh ada yang menyentuh Herlin, apalagi memperlakukannya dengan kasar."Lepaskan dia. Apa yang kalian lakukan kepada Tuan Putri!" teriak Nathan dari lantai dua sambil menunjuk ke a
Keluarga Alexander William merupakan keluarga yang setiap tahun hanya memiliki anak laki-laki sebagai penerusnya. Keluarga Alexander William juga merupakan keluarga yang sangat kaya raya. Harta mereka tidak akan habis sampai beberapa turunan.Setiap keturunan keluarga Alexander William diberkati oleh wajah yang sangat tampan, maskulin dan rupawan. Serta bentuk tubuh yang tinggi, kulit putih bersih dan gagah. Sehingga membuat banyak perempuan menyukai keluarga Alexander William.Hingga pada suatu hari, ada salah satu dari keturunan mereka yang gemar mempermainkan perasaan perempuan. Dia sangat suka memberikan janji palsu kepada semua perempuan yang dia kejar.Lalu ada salah satu perempuan yang sangat polos yang masuk dalam jebakan dia. Dia berjanji akan menikah dengan p
"Cepat cari identitas gadis tadi. Aku mau kamu mendapatkan seluruh identitas tentang gadis itu sebelum Nathan terbangun," perintah Edwin."Tuan Besar, jangan-jangan gadis tadi itu ….""Kamu jangan banyak tanya lagi. Cepat laksanakan perintahku.""Baik Tuan."Sam segera berlari untuk mencari identitas Herlin. Jika Herlin tidak ditemukan dengan cepat, maka akan timbul masalah besar."Pa, bagaimana ini. Apa mungkin gadis tadi adalah ….""Kamu tenang dulu. Kita akan cari gadis itu sampai ketemu. Semuanya pasti akan baik-baik saja," kata Edwin menenangkan Samira.Samira sudah bisa membayangkan kalau masa lalunya bi
Nathan tidak suka melihat ada orang yang menyentuh Herlin di depan matanya. Ada rasa marah dan emosi yang meluap. Rasanya dia ingin memotong tangan tersebut."Tuan Putri, kamu tidak apa-apa?" tanya Nathan ingin menyentuh Herlin.Herlin dengan cepat mundur. Dia masih takut dengan Nathan yang tiba-tiba memeluknya."Kamu apa-apaan. Berani-beraninya kamu peluk seorang perempuan yang tidak kamu kenal. Apa kamu tidak punya malu," bentak Herlin dengan marah."Tuan Putri, Tuan Putih jangan marah sama Nathan ya," bujuk Nathan sedih dimarahi Herlin."Siapa yang Tuan Putri. Apa kamu masih bocah memanggil aku dengan sebutan Tuan Putri. Aku ini Herlin," ujar Helin malah memperkenalkan diri."Jadi nama Tuan Putri Herlin ya. Kalau Nama pangeran, Nathan," sahut Nathan menjulurkan tangannya dan tersenyum lebar.Herlin melongo melihat Nathan yang menjulurkan tangannya seperti anak kecil. Sama seperti bocah yang mengajak berkenalan. Apalagi Nathan