“Mana uangnya?!”
Amanda Putriani—seorang gadis yang berdiri di balik meja resepsionis—tersentak dengan tubuh gemetar. Tiga pria bertampang seram yang baru saja masuk, membuatnya terpojok tak bisa melarikan diri.
Mereka adalah rentenir yang selama ini terus menghantui Manda.
Manda menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar, "A-aku … aku belum punya uangnya … Tolong beri waktu—”
"Waktu?!" Rentenir itu mendengus tajam, lalu tiba-tiba menyambar tangan gadis yang nampak sangat ketakutan itu. "Aku sudah muak dengan omong kosongmu. Kau ikut kami sekarang!"
Dengan kasar, pria itu menarik tangan Manda, menyeretnya keluar dari belakang meja. Manda berusaha melawan, namun tenaganya jauh lebih lemah dibanding para pria itu. Tubuhnya nyaris terseret, lututnya hampir menyentuh lantai.
"Tolong! Jangan!" Manda menjerit, mencoba melepaskan diri. Hatinya terasa hancur, ketakutan memenuhi dirinya. “Aku berjanji akan segera melunasinya!” jeritnya putus asa.
Tapi suara Manda seolah tidak didengar. Dia tetap diseret hingga kemunculan seorang pria bersetelan rapi dari pintu lobi utama menghentikan mereka.
"Lepaskan dia," suara bariton itu terdengar tegas berkata.
Sang rentenir berhenti, menoleh ke arah pria itu dengan tatapan tajam. "Siapa kau? Jangan ikut campur!"
Manda terpaku saat pria itu justru berjalan mendekat, wajahnya tenang tapi penuh ketegasan.
"Aku calon suami gadis yang kau seret itu, lepaskan dia sekarang juga," ujarnya. Sepasang matanya menatap tajam ke arah rentenir itu. "Berapa utangnya? Aku akan membayarnya."
Manda yang masih setengah terseret, mendongak ke arah pria itu dengan mata lebar tak percaya. "C-calon suami?" bisiknya kaget.
Rentenir tertawa sinis, tetapi ia melepaskan cengkeramannya dari Manda.
"Calon suami, ya? Bagus, kalau begitu bayar sekarang, atau aku akan membawa dia!"
Pria itu melangkah lebih dekat ke Manda, menempatkan dirinya di antara gadis itu dan rentenir. "Kau akan mendapatkan uangmu. Beri kami waktu beberapa hari. Sekarang pergi."
Rentenir tampak ragu. Namun, aura dingin dan mendominasi pria ini menguar begitu tajam hingga membuat siapapun akan terintimidasi.
“Aku pegang kata-katamu. Kami akan datang lagi untuk menagihnya!” kata rentenir itu kemudian.
Begitu saja, mereka melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Manda yang masih terguncang, mencoba menenangkan diri. Ia menatap Adrian—pria itu—dengan tatapan penuh bingung dan terima kasih. Manda masih belum bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Mengapa pria ini tiba-tiba menolongnya dan mengklaim dirinya sebagai calon suami?
"Kau baik-baik saja?" tanya Adrian memecah keheningan.
Manda mengangguk pelan, meskipun kenyataannya pikirannya kacau. Ia masih merasa tertekan oleh rasa takut dan cemas.
"T-tapi... kenapa Anda lakukan itu? Harusnya Anda tak perlu terlibat," ucapnya ragu, suara Manda sedikit bergetar.
Adrian menatapnya sejenak, pandangannya seolah menembus Manda, dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Manda merasa sedikit tidak nyaman.
"Aku tidak bisa membiarkan seseorang diperlakukan seperti itu di hadapanku. Dan kau... kau terlihat membutuhkan bantuan, kau tidak akan bisa menghadapi mereka sendirian." jawab Adrian, nada suaranya datar namun mantap.
"Kau butuh uang?" tanya laki-laki berusia 30 tahun itu, dengan serius.
Manda tidak langsung menjawab. Ia memang sering berpapasan dengan Adrian karena pria itu tinggal di apartemen tempatnya bekerja ini. Tapi rasanya aneh jika Manda terbuka tentang hal-hal yang bersifat pribadi, apalagi masalah utang.
Tapi, karena Adrian terus menatapnya lekat menanti jawaban, ia pun akhirnya mengangguk pelan. "Y-ya. Keluargaku terlilit utang pada rentenir itu, dengan nominal yang sangat banyak."
"Aku bisa membayar semua utangmu."
Ucapan Adrian membuat Manda langsung menatapnya kaget. "Ma-maksudnya?" tanyanya bingung. “Apa Anda sedang bercanda?”
"Apa aku terlihat sedang bercanda?" tanya Adrian balik.
Manda menggeleng kaku. Adrian memang tidak terlihat bercanda. Bahkan, wajah tanpa ekspresinya itu tampak sangat serius.
"A-aku hanya tak percaya ada orang sebaik—"
"Tapi tentunya ini semua tidak gratis,” sela pria itu, membuat Manda terdiam. “Ada imbalan yang harus dibayar," lanjut Adrian.
Hati Manda langsung berdebar kencang. Prasangka buruk kini menguasai dirinya, terutama setelah menyadari bagaimana tatapan Adrian beberapa kali menyapu tubuhnya, seolah menilai dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"S-syarat apa?" tanyanya, mencoba terdengar tenang, namun kekhawatirannya tidak bisa disembunyikan.
Adrian mendekat sedikit, namun tetap menjaga jarak yang sopan. "Aku butuh seseorang yang bisa membantuku... dalam beberapa hal," katanya, suaranya tetap tenang. "Kau harus mengikuti apa yang aku perintahkan, dan kalau kau mau, kita bisa buat kesepakatan. Sebagai kompensasi dari utang yang akan kubayar."
Manda belum merasa lega setelah mendengar syarat itu. Ia tetap saja merasa curiga. Pria ini … membuatnya sedikit takut.
"Maksud Anda?" tanya Manda lagi, ingin memastikan bahwa pria ini tidak punya niat tersembunyi.
"Kau bisa hamil kan? Sehat?"
Deg! Manda menelan ludah kasar mendengar pertanyaan tanpa tedeng aling-aling itu.
"Ke-kenapa Anda menanyakan hal itu?!"
Untuk sesaat, keheningan terasa menggantung di udara. Hingga akhirnya, Adrian menjawab dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah hal yang akan ia sampaikan adalah sesuatu yang biasa.
"Kau harus menikah denganku."
Dunia Manda seakan berhenti sejenak. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. "M-menikah?" ucapnya gagap, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.Adrian mengangguk perlahan, tatapannya tetap tenang, nyaris tak tergoyahkan. "Ya, menikah. Kita buat kesepakatan, sesuai dengan syarat-syarat yang aku minta. Dan aku akan melunasi semua utangmu,” kata Adrian. Ia menatap Manda lekat. “Tapi kau harus menikah denganku." Manda melangkah mundur tanpa sadar, tubuhnya terasa lemas. Rasa takut menjalari hatinya tanpa bisa dicegah."T-tapi kenapa? Kenapa Anda ingin menikah denganku? Kita bahkan hampir tidak saling mengenal!" kata Manda sambil menatap pria di hadapannya dengan awas. Adrian tidak tampak ofensif. Ia justru hanya menatap Manda sejenak, lalu menghela napas. "Aku punya alasan,” kata pria itu. “Pernikahan ini ada hubungannya dengan urusan keluargaku.”Manda mengernyit, bingung sekaligus curiga. Ia menyipitkan mata ketika menatap Adrian. "Urusan kelu
Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi."Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketingg
Adrian memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumah keluarganya yang luas. Manda duduk di kursi penumpang, diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Pandangannya terpaku pada rumah besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di hadapannya. Pilar-pilar putih yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan bingkai emas membuat rumah itu terlihat seperti istana dalam film-film. ‘Ini rumah atau istana?’ puji Manda dalam hatinya, terkagum-kagum memandang rumah itu. Ya, di sinilah ia sekarang, di depan rumah orang tua Adrian. Mereka sudah melakukan tes kesuburan, dan setelah mendapatkan hasil yang diinginkan, Adrian langsung membawa Manda untuk bertemu dengan orang tuanya."Sayang?" Adrian memanggil, membuyarkan lamunan Manda. Suara bariton itu terdengar begitu lembut, membuatnya meremang.Manda menoleh dengan cepat. "Sa-sayang?" sahutnya gugup, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Jangan ge-er, saya hanya latihan supaya tidak canggung di depan mama saya," uj
Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi. "Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama." Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya. "Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian. "Ma, aku su
Hari yang ditunggu datang juga, pernikahan sederhana tersebut dilakukan secara sangat sederhana di ruang tamu kediaman keluarga besar Maulana Malik. Amanda yang siang itu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih dan rok jarik berwarna coklat keemasan, hingga menjadi perpaduan yang sangat pas dan indah dipandang mata. Setelan kebaya yang sangat pas di kenakan oleh Manda itu, membuatnya semakin terlihat anggun dan menarik, meskipun memperlihatkan bentuk tubuhnya, yang padat dan berisi. tak hanya itu, rambutnya pun disanggul kekinian dengan make up yang juga sederhana, dan tak berlebihan. "Mbak ini beneran loe mau nikah?" tanya Deswita tak percaya. Sebab Amanda memang baru saja memberitahukannya sehari sebelum pernikahan ini akan berlangsung, tentunya atas persetujuan Adrian, dengan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan dari keluarga besarnya, dari mana Manda mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang. M
Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki. Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya. "Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai." "Ehm, nanti aja Tan." "Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke." Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma." "Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamduli
"Ehm, Pak Adrian, Anda ...." Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong. "Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun. "Tunggu dulu." Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya. "Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama." "Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik. "Apa saja asal jangan Pak." Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya. "Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan ta