Share

Bab 3

Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.

Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.

Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."

Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Sesaat, Manda merasa kecil di tengah kemewahan itu. Berbeda sekali dengan dunia yang ia tinggali.

"Duduk," kata Adrian sambil menunjuk sofa besar di tengah ruangan.

Manda menurut, duduk dengan canggung di pinggir sofa, sementara Adrian duduk di seberangnya, memperhatikannya dengan tatapan tak terbaca. Setelah hening beberapa saat, Adrian akhirnya berbicara.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

Manda menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberaniannya. 

"Aku ... aku menerima tawaranmu untuk menikah," katanya pelan, suaranya sedikit bergetar. "Aku siap, memberikan anak yang Anda inginkan."

Adrian mengangkat alisnya sedikit, matanya yang tajam tak lepas dari wajah Manda. 

"Begitu?" tanyanya singkat, namun dinginnya nada suaranya membuat Manda semakin gugup. 

"Y-ya."

"Kau benar bisa hamil 'kan?" lanjut Adrian memastikan. 

Manda terdiam. Adrian sudah pernah menanyakan hal itu, jadi ia sedikit tak menyangka pria itu akan menanyakan hal yang sama sekali lagi, seolah memperjelas bahwa ia tak sepenuhnya percaya pada Manda. 

Jemari Manda saling meremas gelisah di atas pangkuannya. Ia memang belum pernah hamil sama sekali, jadi ia tidak tahu apakah ia bisa memberikan keturunan atau tidak. Jangankan hamil, sampai detik ini saja ia masih terjaga keperawanannya. 

"Tujuan saya menikah 'kan punya anak. Kalau kamu tidak bisa memberikan saya anak, percuma saja kita menikah."

Manda menelan ludah. "A-aku belum pernah hamil sebelumnya,” jawabnya gugup. “Aku …  aku masih suci." 

"Oh." Adrian menjawab singkat, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa sangsi dengan pernyataan Manda. 

"Kita tes kesuburan. Hari ini, bisa 'kan?" 

"Hah?" Manda membulatkan matanya sempurna. "Untuk apa?" 

Adrian tertawa kecil. Wajahnya yang dingin kini tampak lebih santai. Ia lalu menatap Manda lekat. 

"Kau belum pernah hamil, masih suci juga katamu. Jadi, saya tidak mau seperti membeli kucing dalam karung. Agar lebih pasti, jadi kita melakukan tes kesuburan. Paling tidak, saya mendapatkan kepastian bahwa kamu memang bisa hamil. Mengerti?" 

"A-apa itu harus?" 

"Itu salah satu syarat jika memang kamu menerima tawaran saya." 

Manda berpikir sejenak. ‘Pria ini benar-benar gila! Tapi kalau aku menolak, sudah pasti aku tidak jadi mendapatkan uang,’ batinnya galau. 

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak gadis itu. Ia lantas menatap Adrian kembali. 

"Aku juga punya syarat,” kata Manda mencoba menguatkan dirinya. "Aku butuh uang ... DP ... sekarang juga."

Adrian menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Manda dengan lebih intens. "Uang DP?" ulangnya dengan nada sedikit mencemooh. "Kau yakin?"

Manda menggeleng, meski hatinya masih penuh keraguan. "Aku sudah memikirkannya. Aku butuh uang itu sekarang. Untuk ... membayar utang, juga pengobatan ayahku."

Adrian terdiam beberapa saat, matanya mengamati Manda dengan penuh pertimbangan. 

"Kau benar-benar putus asa, ya?" komentarnya tajam.

Manda menundukkan kepala, merasa malu, tapi ia tidak punya pilihan lain. 

"Iya," jawabnya dengan suara rendah, penuh ketidakberdayaan.

"Kau akan dapatkan separuh dari yang aku janjikan, tentunya setelah kau melakukan menjalani tes kesuburan. Dengan begitu, kita berdua sama-sama mendapatkan kepastian dari kesepakatan kita ini. Bagaimana?" 

"Tapi aku butuh uang itu hari ini." 

"Kita lakukan tes kesuburan sekarang juga." 

Manda tampak terkejut dan gelisah sekaligus. "Tidak bisa, aku harus kerja. Aku tidak bisa ambil izin atau libur kalau mepet begini." 

Adrian tak menjawab, hanya menghela napas, lalu berdiri dari sofa. Ia berjalan menuju meja kerja di pojok ruangan, mengambil benda pipih miliknya. 

Tak lama terdengar obrolan dari Adrian dengan seseorang, yang entah siapa. Manda hanya bisa memperhatikannya dalam diam.

"Aku ada keperluan dengan  ...." Adrian menjeda sebentar percakapannya di telepon, pandangannya beralih pada Manda. "Siapa nama lengkapmu?" 

"Saya?" tanya Manda kebingungan.

"Cepat!" 

"A-Amanda Putriani." 

Adrian kembali pada percakapannya dengan seseorang misterius itu. 

Belum habis rasa heran Manda, tanpa ada lagi pembicaraan setelah itu, Adrian dengan santainya mengakhiri panggilan. 

"Beres. Sekarang, ikut saya ke rumah sakit." 

"Tapi Pak, saya harus kerj—" 

"Bisa diam tidak?!" Adrian berbalik, menatap tajam Manda yang terlihat panik. "Saya sudah atur semua. Kamu masih butuh uangnya hari ini, kan?" 

Manda mengangguk kaku, masih belum pulih dari rasa terkejutnya. Pria di hadapannya ini benar-benar sulit diprediksi! 

"Kalau begitu, nurut apa kata saya," ujar Adrian, lantas mengambil kunci mobilnya, dan menarik tangan Manda untuk mengikutinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status