Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi.
"Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama."
Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."
Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya.
"Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."
Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian.
"Ma, aku sudah move on dari Lydia. Tolong jangan bawa-bawa dia lagi," kata Adrian dengan nada sedikit tegas, namun masih terkontrol.
Marisa menatap putranya, menghela napas, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Manda.
"Baiklah, Manda. Kalau begitu, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Aku ingin kita punya lebih banyak waktu untuk berbicara."
Manda menoleh pada Adrian, lelaki itu mengangguk kecil, kode bahwa ia setuju dengan ucapan mamanya.
"Tentu saja, Tante. Saya dengan senang hati menerimanya."
Marisa tersenyum tipis, sebelum berdiri.
"Kalau begitu, tante akan ajak kamu untuk menyiapkan makan malam. Tante ingin kita makan di rumah saja, agar suasana keakraban dan kekeluargaan lebih terasa."
Lagi, Amanda melirik ke arah Adrian, kali ini lelaki itu membalas dengan menaikkan kedua bahunya. Sepertinya ia sendiri bingung dengan apa yang sebaiknya dilakukan.
"Manda? Kamu mau kan bantuin Tante di dapur?"
Gadis itu tersadar, "Te-tentu saja, Tante."
"Tunggu sebentar ya, saya mau ganti baju dulu."
Amanda mengangguk patuh.
Setelah kepergian Marisa, Manda menghela napas panjang dan melirik Adrian dengan pandangan penuh tanya.
"Jadi, Mama kamu hobby masak? Kenapa tidak memberitahuku aku sejak awal?"
Adrian hanya tersenyum tipis. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kita tinggal menjalani semuanya seperti yang sudah kita rencanakan."
Manda menatap Adrian, masih dengan hati yang sedikit gamang. Bagaimanapun juga, ini baru permulaan, dan dia tahu masih banyak hal yang harus mereka hadapi di depan.
*
Semua hidangan telah tersaji rapi di meja makan. Amanda melirik pada Marisa, mencoba menangkap reaksi calon mertuanya. Dari senyuman kecil di bibir Marisa, Amanda bisa merasakan kepuasan wanita itu atas hasil masakannya.
"Saya ambilkan ya Tan," Manda menawarkan diri, dengan sedikit tegang.
"Oh, tentu, Amanda," Marisa tersenyum lebar. "Ah, kamu tahu, jarang sekali ada yang melayani saya seperti ini."
Manda tersenyum tipis, mengambil piring, dan mulai menyajikan beberapa potong ayam panggang ke piring Marisa, lalu menambahkan sayuran segar yang ia siapkan. Setelah selesai, Marisa menatap Adrian dengan mata berbinar.
"Amanda, sekalian ambilkan untuk Adrian ya," pinta Marisa tanpa ragu.
Manda tersentak sejenak, namun cepat-cepat mengendalikan dirinya. "Baik Tan," jawabnya lembut, meski hatinya agak gugup.
Adrian yang duduk di sebelahnya hanya menyeringai kecil, melihat bagaimana Manda melayani dirinya dengan gerakan sedikit canggung.
"Terima kasih," gumam Adrian pelan saat Manda menyerahkan piring berisi makanan di depannya. Ia menatap Manda dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menikmati keakraban yang terbentuk di antara mereka.
Selesai menata piring, ketiganya mulai makan dalam hening yang nyaman, hingga akhirnya Marisa membuka percakapan.
"Jadi, kapan kalian berencana menikah?" tanya Marisa tiba-tiba, menatap Adrian sambil tersenyum penuh harap.
Adrian meletakkan garpunya, menatap Marisa dengan tatapan tenang. "Minggu depan, Ma," jawabnya santai.
Manda yang sedang meminum air hampir tersedak.
"Mi-minggu depan?" ia bertanya, berusaha meredakan keterkejutannya.
Marisa tampak sama terkejutnya dengan calon menantunya itu. "Minggu depan? Adrian, bukankah itu terlalu cepat?"
Adrian tertawa kecil, memandang Manda dengan senyum yang samar. "Ma, bukankah lebih seru kalau mama tahunya mendadak begini?" Adrian beralibi, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang lebih dari ibunya.
Marisa menggeleng pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keterkejutan.
"Amanda, kamu sendiri sudah siap untuk menikah minggu depan?"
Manda merasa semua mata tertuju padanya. Ia tersenyum tipis, sedikit bingung harus menjawab bagaimana.
"Ehm, saya … saya juga baru tahu soal ini, Tante. Tapi kalau Adrian sudah memutuskan, saya akan ikut saja apa maunya,” jawabnya dengan suara pelan.
Marisa mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah. Mama harap kalian sudah benar-benar yakin. Terutama kamu, Adrian. Menikah itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang tanggung jawab. Kamu paham kan?"
Adrian hanya mengangguk, merasa dirinya sedang diuji. Ia lantas meraih tangan Manda di bawah meja, memberinya sedikit dukungan.
Tatapan pria itu seolah berkata, ‘Kita bisa melakukannya, Manda. Tenanglah.’
Gestur itu cukup mengejutkan. Manda bertanya-tanya apakah Adrian tulus atau hanya tengah melanjutkan sandiwara.
Tapi kemudian Manda merasa bodoh sendiri. Tentu saja Adrian hanya bersandiwara. Apa yang bisa dia harapkan dari kebohongan yang tengah mereka lakukan ini?
Hari yang ditunggu datang juga, pernikahan sederhana tersebut dilakukan secara sangat sederhana di ruang tamu kediaman keluarga besar Maulana Malik. Amanda yang siang itu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih dan rok jarik berwarna coklat keemasan, hingga menjadi perpaduan yang sangat pas dan indah dipandang mata. Setelan kebaya yang sangat pas di kenakan oleh Manda itu, membuatnya semakin terlihat anggun dan menarik, meskipun memperlihatkan bentuk tubuhnya, yang padat dan berisi. tak hanya itu, rambutnya pun disanggul kekinian dengan make up yang juga sederhana, dan tak berlebihan. "Mbak ini beneran loe mau nikah?" tanya Deswita tak percaya. Sebab Amanda memang baru saja memberitahukannya sehari sebelum pernikahan ini akan berlangsung, tentunya atas persetujuan Adrian, dengan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan dari keluarga besarnya, dari mana Manda mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang. M
Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki. Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya. "Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai." "Ehm, nanti aja Tan." "Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke." Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma." "Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamduli
"Ehm, Pak Adrian, Anda ...." Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong. "Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun. "Tunggu dulu." Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya. "Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama." "Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik. "Apa saja asal jangan Pak." Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya. "Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan ta
"Oh, itu," ucap Deswita sambil berpikir cepat. "Itu mobil temannya Kak Manda, ma," jawab Deswita akhirnya, sambil berusaha tersenyum senatural mungkin. "Dia cuma nganterin kami ke sini, karena tadi agak buru-buru. Iya kan Kak?" Amanda terkejut mendengar namanya diucap. "Eh, ehm, iya ma, mobil teman aku, kebetulan searah, jadi dia menawarkan menganterin kami dulu." lanjut Amanda menarik paksa kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman, ia terlihat gugup. Herawati mengangguk pelan, seolah menerima penjelasan itu. Namun, ada sesuatu di matanya yang menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya yakin."Oh mobil teman kamu. Pasti teman kamu itu orang kaya ya? Mobilnya aja bagus banget lho, pasti mahal. Kalau mama boleh tahu, memang teman kamu kenal dimana?" interogasi Herawati lagi. "Oh, itu ma, anu, teman ... teman," ujarnya terbata, melirik kearah Deswita yang seketika memalingkan wajahnya. "Teman aku yang tinggal di apartemen tempatku bekerja."
Adrian berdiri di depan pintu kamar yang saat ini menjadi merupakan kamar pengantinnya dengan Amanda. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan kegelisahan. Sudah sejak beberapa menit lalu, ia mondar-mandir di depan pintu tanpa berani masuk. Adrian terjebak dalam situasi yang sulit, di dalam kamar itu ada Amanda, wanita yang baru saja menjadi istrinya pagi tadi. Namun, tidak seperti pernikahan pada umumnya, hubungan mereka tidak didasari cinta, membuat suasana terasa kaku."Masuk tidak … masuk tidak …." gumam Adrian sambil menghitung kancing kemejanya satu per satu, mirip dengan siswa yang sedang mengisi jawaban pilihan ganda tanpa tahu jawabannya."Kalau aku masuk, aku harus ngapain?" pikirnya galau. "Apa ... aku harus menyentuhnya?" Adrian merasa gugup sendiri, bahkan sampai mengusap wajah dan menjambak rambutnya karena merasa sangat frustasi.Di saat yang sama, pikirannya bercabang. "Tapi, kalau aku nggak masuk, aku tidur di mana? Masa
Amanda terbangun lebih dulu pagi itu. Ia melihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima, ia lalu bangkit perlahan agar tidak membangunkan Adrian yang masih tertidur. Setelah berwudhu dan sholat dua rakaat, Amanda duduk termenung di tepi ranjang. Meski telah resmi menjadi istri Adrian, semua ini masih terasa asing. Amanda merasa canggung dengan peran barunya, apalagi ini adalah pagi pertama setelah pernikahan mereka."Aku ngapain ya?" pikirnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Duh ngapain sih biasanya orang-orang itu setelah menikah dan tinggal dirumah mertuanya? Apa aku bantu-bantu saja ya pekerjaan dirumah ini." gumamnya bicara sendiri. Setelah melirik sekilas ke arah Adrian yang masih tertidur pulas, Amanda memutuskan untuk keluar kamar. Namun begitu keluar kamar dan melangkah ke ruang tengah, Amanda mendapati rumah itu sudah tertata rapi dan bersih. Tak ada yang perlu dibersihkan lagi."Apa semua sudah dikerjakan?"
Belum juga Amanda selesai menikmati sarapannya, gadis itu melirik kearah jam didinding. Waktu semakin beranjang siang, ia lalu mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan pamet pada mertuanya. Ia belum begitu terbiasa dengan suasana formal keluarga Adrian. Namun, Amanda menyadari ia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Pekerjaan sudah menunggu."Ma." panggil Amanda takut-takut. "Iya Manda." "Ma, saya mau pamit berangkat ke kantor," ujar Amanda dengan sopan.Marisa menatapnya sejenak, sedikit mengernyitkan alis. "Ke kantor? Untuk apa lagi, Amanda?" tanyanya penuh selidik. "Adrian sudah cukup mampu memenuhi semua kebutuhanmu, kan? Kamu sekarang sudah jadi istri, tak usah capek-capek kerja."Amanda terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Sebagai perempuan mandiri yang terbiasa bekerja keras, berhenti bekerja tiba-tiba rasanya berat. Di saat ia sedang kebingungan mencari jawaban yang pas, Adrian buru-buru menyahut, seolah me
Amanda duduk di kursi empuk di sudut ruangan Adrian. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk mengusir kebosanan—menggulung rambutnya, memainkan ponselnya, bahkan membaca artikel yang sama berulang kali. Tapi tidak ada yang benar-benar mengalihkan rasa bosannya.Di sisi lain, Adrian tampak serius dengan laptopnya, sesekali menandatangani dokumen yang diberikan oleh Rustam. Ketegangan kerja itu seolah tak pernah menyentuhnya, wajahnya tetap tenang.Amanda mendesah pelan. "Ehm, Adrian." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.Adrian sama sekali tidak menoleh, masih sibuk menatap layar. Amanda akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri berbicara."Adrian," katanya lebih jelas."Hm?" Adrian merespons tanpa berpaling."Boleh nggak aku jalan-jalan keliling kantor ini? Aku bosan banget jika hanya diam begini terus," tanya Amanda sambil memainkan ujung rambutnya.Adrian berhenti sejenak, lalu tanpa mengangkat wajahny
Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu.Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf."Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian.Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka."Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian.Kali ini, Manda mengger
Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m
Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka
"Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga
Adrian duduk di sofa dengan wajah murung, sementara Manda bersiap-siap pergi ke kantor. "Aku pergi dulu, jangan lupa makan dan minum obat. Semoga cepat sembuh ya." Manda melangkah ke arah pintu, namun, suara Adrian membuatnya menghentikan langkah kakinya. "Berhenti," ucap Adrian tegas.Manda menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa? Saya harus ke kantor, ada laporan yang harus saya selesaikan 'kan?"Adrian menatapnya dingin. "Kamu nggak perlu ke kantor hari ini. Kamu tetap di sini. Ada hal yang lebih penting untuk kamu selesaikan."Manda mengangkat alis, bingung. "Apa maksudnya? Aku nggak ada urusan lainnya, mas."Adrian berdiri perlahan, memegang perutnya yang masih terasa nyeri."Tanggung jawab. Kamu harus tanggung jawab karena bikin saya menderita semalaman gara-gara nasi goreng pedes itu."Manda hampir tertawa, tapi ia menahannya. "Mas, aku sudah bilang kan, itu bukan salahku. Kan sudah aku bilang agar di
"Aduh perutku.' ucap Adrian, ketika terbangun dengan rasa nyeri yang tajam di perutnya. Malam itu terasa panjang. Berkali-kali ia harus bolak-balik ke kamar mandi karena diare yang tak kunjung reda. Setelah beberapa jam, tubuhnya terasa lemas, dan peluh dingin membasahi wajahnya."Pasti gara-gara nasi goreng semalam," gumamnya dengan nada kesal. "Awas kamu ya Manda, kamu harus bertanggung jawab." sungutnya kesal. Ia lantas meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung mencari nama Manda di daftar kontak. Tanpa ragu, ia menekan tombol panggil.Sementara gitu, di tempat lain, Manda terbangun oleh dering telepon yang terus-menerus mengganggu tidurnya. Nomor tak dikenal terpampang di layar ponselnya, membuatnya enggan menjawab."Siapa sih pagi-pagi begini? Astaghfirullah hal Adzim, belum juga subuh, ganggu saja." gumamnya sambil mematikan suara ponsel.Namun, telepon itu kemba
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Adrian sambil melirik kearah sekitar.Mobil Adrian kini telah berhenti di depan sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Lampu neon sederhana menerangi meja-meja kayu yang berjejer rapi. Aroma khas bumbu nasi goreng menyeruak di udara."Iya, Mas. Tempat seperti ini justru lebih nyaman," jawab Manda sambil membuka pintu mobil.Adrian mengikutinya keluar, tampak sedikit canggung. Beberapa pengunjung warung sempat melirik ke arah mereka, terutama Adrian yang jelas terlihat seperti orang asing di tempat itu dengan setelan formalnya."Mas, kita duduk di sana saja," tunjuk Manda ke salah satu meja kosong.Adrian hanya mengangguk dan mengikuti langkah Manda.Seorang pelayan datang dengan senyuman ramah. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?"Manda tersenyum. "Dua porsi nasi goreng spesial dan dua teh manis hangat, ya, Mbak.""Baik mbak, seperti biasa kan?" "Iya mas."
Sesampainya di kantor, Adrian segera turun dari mobil, diikuti oleh Manda yang berjalan dengan langkah ragu. Rendy, yang sudah setia mengantar mereka, membuka pintu untuk Adrian."Terima kasih, Ren. Kamu bisa pulang dulu," ucap Adrian. "Aku akan lembur malam ini. Setelah selesai, aku sendiri yang akan mengantar Manda pulang."Rendy mengangguk dengan sopan. "Baik, Pak. Selamat bekerja."Setelah Rendy pergi, Adrian mengarahkan Manda menuju ruangannya. Begitu masuk, ia segera menghidupkan lampu dan duduk di kursinya yang besar dan nyaman. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, membuat ruangan terlihat sedikit berantakan."Manda, tolong kerjakan laporan yang aku minta tadi," ujar Adrian sambil menunjuk meja kerjanya.Manda tertegun, lalu melirik tumpukan dokumen di meja itu. Ia mengenali laporan yang dimaksud Adrian, karena ia sudah menyelesaikannya tadi siang sebelum pulang. Namun, ia tak menyangka Adrian tidak menyadarinya.
Bab 27 "Perkenalkan bu, saya Rendy, asisten Pak Adrian, atasan Bu Amanda di kantor." ujar pria itu dengan suara tenang.Herawati menatap Rendy dengan alis terangkat."Adrian? Atasan Manda? Lalu, ada perlu apa, malam-malam begini datang kemari?" tanyanya, penuh rasa curiga.Rendy tersenyum, sedikit kikuk. "Maaf, Bu. Ada urusan pekerjaan yang mendesak. Bisakah saya bertemu dengan Bu Manda?"Herawati berpikir sejenak sebelum akhirnya memanggil anaknya."Ehm, sebentar ya saya panggilkan." ucapnya memasang raut wajah yak enak. "Manda! Ada tamu, Nak." serunya dari pintu.Langkah Manda terdengar tergesa. Ia muncul dengan wajah heran, mengenakan kaus dan celana santai. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan rumah, ekspresinya berubah tegang."Pak Rendy?" katanya, setengah berbisik.Rendy mengangguk. "Selamat malam, Bu Manda. Maaf kalau saya mengganggu. Tapi, Pak Adrian menyuruh saya datang kemari karena ad