Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi.
"Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama."
Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."
Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya.
"Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."
Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian.
"Ma, aku sudah move on dari Lydia. Tolong jangan bawa-bawa dia lagi," kata Adrian dengan nada sedikit tegas, namun masih terkontrol.
Marisa menatap putranya, menghela napas, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Manda.
"Baiklah, Manda. Kalau begitu, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Aku ingin kita punya lebih banyak waktu untuk berbicara."
Manda menoleh pada Adrian, lelaki itu mengangguk kecil, kode bahwa ia setuju dengan ucapan mamanya.
"Tentu saja, Tante. Saya dengan senang hati menerimanya."
Marisa tersenyum tipis, sebelum berdiri.
"Kalau begitu, tante akan ajak kamu untuk menyiapkan makan malam. Tante ingin kita makan di rumah saja, agar suasana keakraban dan kekeluargaan lebih terasa."
Lagi, Amanda melirik ke arah Adrian, kali ini lelaki itu membalas dengan menaikkan kedua bahunya. Sepertinya ia sendiri bingung dengan apa yang sebaiknya dilakukan.
"Manda? Kamu mau kan bantuin Tante di dapur?"
Gadis itu tersadar, "Te-tentu saja, Tante."
"Tunggu sebentar ya, saya mau ganti baju dulu."
Amanda mengangguk patuh.
Setelah kepergian Marisa, Manda menghela napas panjang dan melirik Adrian dengan pandangan penuh tanya.
"Jadi, Mama kamu hobby masak? Kenapa tidak memberitahuku aku sejak awal?"
Adrian hanya tersenyum tipis. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kita tinggal menjalani semuanya seperti yang sudah kita rencanakan."
Manda menatap Adrian, masih dengan hati yang sedikit gamang. Bagaimanapun juga, ini baru permulaan, dan dia tahu masih banyak hal yang harus mereka hadapi di depan.
*
Semua hidangan telah tersaji rapi di meja makan. Amanda melirik pada Marisa, mencoba menangkap reaksi calon mertuanya. Dari senyuman kecil di bibir Marisa, Amanda bisa merasakan kepuasan wanita itu atas hasil masakannya.
"Saya ambilkan ya Tan," Manda menawarkan diri, dengan sedikit tegang.
"Oh, tentu, Amanda," Marisa tersenyum lebar. "Ah, kamu tahu, jarang sekali ada yang melayani saya seperti ini."
Manda tersenyum tipis, mengambil piring, dan mulai menyajikan beberapa potong ayam panggang ke piring Marisa, lalu menambahkan sayuran segar yang ia siapkan. Setelah selesai, Marisa menatap Adrian dengan mata berbinar.
"Amanda, sekalian ambilkan untuk Adrian ya," pinta Marisa tanpa ragu.
Manda tersentak sejenak, namun cepat-cepat mengendalikan dirinya. "Baik Tan," jawabnya lembut, meski hatinya agak gugup.
Adrian yang duduk di sebelahnya hanya menyeringai kecil, melihat bagaimana Manda melayani dirinya dengan gerakan sedikit canggung.
"Terima kasih," gumam Adrian pelan saat Manda menyerahkan piring berisi makanan di depannya. Ia menatap Manda dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menikmati keakraban yang terbentuk di antara mereka.
Selesai menata piring, ketiganya mulai makan dalam hening yang nyaman, hingga akhirnya Marisa membuka percakapan.
"Jadi, kapan kalian berencana menikah?" tanya Marisa tiba-tiba, menatap Adrian sambil tersenyum penuh harap.
Adrian meletakkan garpunya, menatap Marisa dengan tatapan tenang. "Minggu depan, Ma," jawabnya santai.
Manda yang sedang meminum air hampir tersedak.
"Mi-minggu depan?" ia bertanya, berusaha meredakan keterkejutannya.
Marisa tampak sama terkejutnya dengan calon menantunya itu. "Minggu depan? Adrian, bukankah itu terlalu cepat?"
Adrian tertawa kecil, memandang Manda dengan senyum yang samar. "Ma, bukankah lebih seru kalau mama tahunya mendadak begini?" Adrian beralibi, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang lebih dari ibunya.
Marisa menggeleng pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keterkejutan.
"Amanda, kamu sendiri sudah siap untuk menikah minggu depan?"
Manda merasa semua mata tertuju padanya. Ia tersenyum tipis, sedikit bingung harus menjawab bagaimana.
"Ehm, saya … saya juga baru tahu soal ini, Tante. Tapi kalau Adrian sudah memutuskan, saya akan ikut saja apa maunya,” jawabnya dengan suara pelan.
Marisa mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah. Mama harap kalian sudah benar-benar yakin. Terutama kamu, Adrian. Menikah itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang tanggung jawab. Kamu paham kan?"
Adrian hanya mengangguk, merasa dirinya sedang diuji. Ia lantas meraih tangan Manda di bawah meja, memberinya sedikit dukungan.
Tatapan pria itu seolah berkata, ‘Kita bisa melakukannya, Manda. Tenanglah.’
Gestur itu cukup mengejutkan. Manda bertanya-tanya apakah Adrian tulus atau hanya tengah melanjutkan sandiwara.
Tapi kemudian Manda merasa bodoh sendiri. Tentu saja Adrian hanya bersandiwara. Apa yang bisa dia harapkan dari kebohongan yang tengah mereka lakukan ini?
Hari yang ditunggu datang juga, pernikahan sederhana tersebut dilakukan secara sangat sederhana di ruang tamu kediaman keluarga besar Maulana Malik. Amanda yang siang itu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih dan rok jarik berwarna coklat keemasan, hingga menjadi perpaduan yang sangat pas dan indah dipandang mata. Setelan kebaya yang sangat pas di kenakan oleh Manda itu, membuatnya semakin terlihat anggun dan menarik, meskipun memperlihatkan bentuk tubuhnya, yang padat dan berisi. tak hanya itu, rambutnya pun disanggul kekinian dengan make up yang juga sederhana, dan tak berlebihan. "Mbak ini beneran loe mau nikah?" tanya Deswita tak percaya. Sebab Amanda memang baru saja memberitahukannya sehari sebelum pernikahan ini akan berlangsung, tentunya atas persetujuan Adrian, dengan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan dari keluarga besarnya, dari mana Manda mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang. M
Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki. Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya. "Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai." "Ehm, nanti aja Tan." "Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke." Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma." "Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamduli
"Ehm, Pak Adrian, Anda ...." Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong. "Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun. "Tunggu dulu." Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya. "Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama." "Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik. "Apa saja asal jangan Pak." Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya. "Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan ta
“Mana uangnya?!” Amanda Putriani—seorang gadis yang berdiri di balik meja resepsionis—tersentak dengan tubuh gemetar. Tiga pria bertampang seram yang baru saja masuk, membuatnya terpojok tak bisa melarikan diri.Mereka adalah rentenir yang selama ini terus menghantui Manda. Manda menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar, "A-aku … aku belum punya uangnya … Tolong beri waktu—”"Waktu?!" Rentenir itu mendengus tajam, lalu tiba-tiba menyambar tangan gadis yang nampak sangat ketakutan itu. "Aku sudah muak dengan omong kosongmu. Kau ikut kami sekarang!"Dengan kasar, pria itu menarik tangan Manda, menyeretnya keluar dari belakang meja. Manda berusaha melawan, namun tenaganya jauh lebih lemah dibanding para pria itu. Tubuhnya nyaris terseret, lututnya hampir menyentuh lantai."Tolong! Jangan!" Manda menjerit, mencoba melepaskan diri. Hatinya terasa hancur, ketakutan memenuhi dirinya. “Aku berjanji akan segera melunasinya!” jeritnya putus asa. Tapi suara Manda
Dunia Manda seakan berhenti sejenak. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. "M-menikah?" ucapnya gagap, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.Adrian mengangguk perlahan, tatapannya tetap tenang, nyaris tak tergoyahkan. "Ya, menikah. Kita buat kesepakatan, sesuai dengan syarat-syarat yang aku minta. Dan aku akan melunasi semua utangmu,” kata Adrian. Ia menatap Manda lekat. “Tapi kau harus menikah denganku." Manda melangkah mundur tanpa sadar, tubuhnya terasa lemas. Rasa takut menjalari hatinya tanpa bisa dicegah."T-tapi kenapa? Kenapa Anda ingin menikah denganku? Kita bahkan hampir tidak saling mengenal!" kata Manda sambil menatap pria di hadapannya dengan awas. Adrian tidak tampak ofensif. Ia justru hanya menatap Manda sejenak, lalu menghela napas. "Aku punya alasan,” kata pria itu. “Pernikahan ini ada hubungannya dengan urusan keluargaku.”Manda mengernyit, bingung sekaligus curiga. Ia menyipitkan mata ketika menatap Adrian. "Urusan kelu
Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi."Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketingg
Adrian memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumah keluarganya yang luas. Manda duduk di kursi penumpang, diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Pandangannya terpaku pada rumah besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di hadapannya. Pilar-pilar putih yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan bingkai emas membuat rumah itu terlihat seperti istana dalam film-film. ‘Ini rumah atau istana?’ puji Manda dalam hatinya, terkagum-kagum memandang rumah itu. Ya, di sinilah ia sekarang, di depan rumah orang tua Adrian. Mereka sudah melakukan tes kesuburan, dan setelah mendapatkan hasil yang diinginkan, Adrian langsung membawa Manda untuk bertemu dengan orang tuanya."Sayang?" Adrian memanggil, membuyarkan lamunan Manda. Suara bariton itu terdengar begitu lembut, membuatnya meremang.Manda menoleh dengan cepat. "Sa-sayang?" sahutnya gugup, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Jangan ge-er, saya hanya latihan supaya tidak canggung di depan mama saya," uj