Share

Bab 5

Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi. 

"Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama." 

Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."

Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya. 

"Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."

Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian. 

"Ma, aku sudah move on dari Lydia. Tolong jangan bawa-bawa dia lagi," kata Adrian dengan nada sedikit tegas, namun masih terkontrol.

Marisa menatap putranya, menghela napas, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Manda. 

"Baiklah, Manda. Kalau begitu, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Aku ingin kita punya lebih banyak waktu untuk berbicara."

Manda menoleh pada Adrian, lelaki itu mengangguk kecil, kode bahwa ia setuju dengan ucapan mamanya. 

"Tentu saja, Tante. Saya dengan senang hati menerimanya." 

Marisa tersenyum tipis, sebelum berdiri. 

"Kalau begitu, tante akan ajak kamu untuk menyiapkan makan malam. Tante ingin kita makan di rumah saja, agar suasana keakraban dan kekeluargaan lebih terasa." 

Lagi, Amanda melirik ke arah Adrian, kali ini lelaki itu membalas dengan menaikkan kedua bahunya. Sepertinya ia sendiri bingung dengan apa yang sebaiknya dilakukan. 

"Manda? Kamu mau kan bantuin Tante di dapur?" 

Gadis itu tersadar, "Te-tentu saja, Tante." 

"Tunggu sebentar ya, saya mau ganti baju dulu." 

Amanda mengangguk patuh. 

Setelah kepergian Marisa, Manda menghela napas panjang dan melirik Adrian dengan pandangan penuh tanya. 

"Jadi, Mama kamu hobby masak? Kenapa tidak memberitahuku aku sejak awal?" 

Adrian hanya tersenyum tipis. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kita tinggal menjalani semuanya seperti yang sudah kita rencanakan."

Manda menatap Adrian, masih dengan hati yang sedikit gamang. Bagaimanapun juga, ini baru permulaan, dan dia tahu masih banyak hal yang harus mereka hadapi di depan.

*

Semua hidangan telah tersaji rapi di meja makan. Amanda melirik pada Marisa, mencoba menangkap reaksi calon mertuanya. Dari senyuman kecil di bibir Marisa, Amanda bisa merasakan kepuasan wanita itu atas hasil masakannya.

"Saya ambilkan ya Tan," Manda menawarkan diri, dengan sedikit tegang. 

"Oh, tentu, Amanda," Marisa tersenyum lebar. "Ah, kamu tahu, jarang sekali ada yang melayani saya seperti ini." 

Manda tersenyum tipis, mengambil piring, dan mulai menyajikan beberapa potong ayam panggang ke piring Marisa, lalu menambahkan sayuran segar yang ia siapkan. Setelah selesai, Marisa menatap Adrian dengan mata berbinar.

"Amanda, sekalian ambilkan untuk Adrian ya," pinta Marisa tanpa ragu.

Manda tersentak sejenak, namun cepat-cepat mengendalikan dirinya. "Baik Tan," jawabnya lembut, meski hatinya agak gugup.

Adrian yang duduk di sebelahnya hanya menyeringai kecil, melihat bagaimana Manda melayani dirinya dengan gerakan sedikit canggung.

"Terima kasih," gumam Adrian pelan saat Manda menyerahkan piring berisi makanan di depannya. Ia menatap Manda dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menikmati keakraban yang terbentuk di antara mereka.

Selesai menata piring, ketiganya mulai makan dalam hening yang nyaman, hingga akhirnya Marisa membuka percakapan.

"Jadi, kapan kalian berencana menikah?" tanya Marisa tiba-tiba, menatap Adrian sambil tersenyum penuh harap.

Adrian meletakkan garpunya, menatap Marisa dengan tatapan tenang. "Minggu depan, Ma,"  jawabnya santai.

Manda yang sedang meminum air hampir tersedak. 

"Mi-minggu depan?" ia bertanya, berusaha meredakan keterkejutannya.

Marisa tampak sama terkejutnya dengan calon menantunya itu. "Minggu depan? Adrian, bukankah itu terlalu cepat?" 

Adrian tertawa kecil, memandang Manda dengan senyum yang samar. "Ma, bukankah lebih seru kalau mama tahunya mendadak begini?" Adrian beralibi, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang lebih dari ibunya. 

Marisa menggeleng pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keterkejutan.

"Amanda, kamu sendiri sudah siap untuk menikah minggu depan?" 

Manda merasa semua mata tertuju padanya. Ia tersenyum tipis, sedikit bingung harus menjawab bagaimana.

"Ehm, saya … saya juga baru tahu soal ini, Tante. Tapi kalau Adrian sudah memutuskan, saya akan ikut saja apa maunya,” jawabnya dengan suara pelan.

Marisa mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah. Mama harap kalian sudah benar-benar yakin. Terutama kamu, Adrian. Menikah itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang tanggung jawab. Kamu paham kan?" 

Adrian hanya mengangguk, merasa dirinya sedang diuji. Ia lantas meraih tangan Manda di bawah meja, memberinya sedikit dukungan. 

Tatapan pria itu seolah berkata, ‘Kita bisa melakukannya, Manda. Tenanglah.’

Gestur itu cukup mengejutkan. Manda bertanya-tanya apakah Adrian tulus atau hanya tengah melanjutkan sandiwara. 

Tapi kemudian Manda merasa bodoh sendiri. Tentu saja Adrian hanya bersandiwara. Apa yang bisa dia harapkan dari kebohongan yang tengah mereka lakukan ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status