Share

Bab 7

Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki.

Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya.

"Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai."

"Ehm, nanti aja Tan."

"Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke."

Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma."

"Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamdulillah ya, acaranya berjalan dengan lancar," ucapnya lembut, sambil menatap Amanda dan Adrian bergantian. "Andaikan orang tua Amanda bisa hadir, pasti kebahagiaan kalian akan terasa lebih lengkap. Iya, kan, Adrian?"

Nada suara Marisa terdengar setengah menyindir, seolah menyiratkan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang ada.

Adrian tersenyum kecil, berusaha menghindari tatapan ibunya.

"Iya, Ma. Tapi yang penting acaranya berjalan lancar dan kami sudah sah secara agama," jawabnya, mencoba menenangkan suasana.

Amanda menundukkan kepalanya. Tangannya sibuk meremas jari jemari adiknya. Ada rasa campur aduk dalam hatinya, bingung harus merespons apa. Ia tak ingin berbohong, tapi, disisi lain ia diterikat pada kesepakatannya dan Adrian. B

Marisa lalu mengalihkan pandangannya kepada Amanda.

"Manda, Mama harap nanti di acara resepsi pernikahan kalian, ayah kandungmu bisa hadir. Itu penting, agar pernikahan ini lengkap di mata keluarga besar, juga kerabat serta tekan kerja kita."

Adrian mendadak menoleh dengan terkejut.

"Resepsi, Ma?" tanyanya, suaranya terdengar tak setuju. "Apa harus ada resepsi? Bukankah ijab kabul sederhana saja sudah cukup?"

Marisa menatapnya dengan serius.

"Kami ini giamana sih Adrian, ya nggak mungkin kita tidak mengadakan resepsi. Kamu pewaris harta kekayaan keluarga Maulana Malik Ibrahim, dan Mama pemilik sejumlah perusahaan besar berskala internasional. Tak mungkin kita melewatkan acara resepsi yang mewah dan layak, mengingat begitu banyak relasi serta rekan bisnis kita yang menantikan ini."

Adrian menghela napas. "Ma, kasihan ayah Amanda kalau harus hadir di acara besar seperti itu. Beliau kan sudah tidak muda lagi, kondisinya juga tidak sedang fit, nanti kalau ngedrop lagi gimana?" kilah Andrian, melirik kearah Amanda.

Marisa menatap putranya dengan penuh keyakinan.

"Oh, soal itu, bisa diatur nanti. Serahkan saja semuanya pada pihak event organizer yang terbaik, tinggal bilang kita maunya gimana? Mereka pasti bisa mencarikan solusi." jawab Marisa dengan enteng. "Mama sudah mengalah lho Adrian, ijab kabulnya sudah dilakukan dengan sederhana, Tapi untuk acara resepsi, mama nggak mau ngalah lagi, kalian harus menurut apa yang Mama inginkan."

"Ma, sebenarnya ijab kabul ini sudah cukup. Iya kan Manda? Lagipula …,” Adrian ragu-ragu, tak tahu bagaimana cara mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah sementara.

Tapi Marisa menggelengkan kepala dengan tegas.

"Tidak, Adrian. Ini adalah pernikahan putra kesayangan mama dan Alm. Papa, dan Mama ingin semuanya dilakukan secara layak. Titik."

Adrian mendesah panjang, tahu bahwa membantah lebih lanjut hanya akan memperkeruh suasana. Namun, dalam hati, ia bertekad untuk akan terus mencoba cara lain, agar acara resepsi itu batal atau setidaknya bisa ditunda.

Merasa suasana semakin tak nyaman, Deswita, adik Adrian, yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara, ia merasa perlu menengahi perdebatan antara ibu dan Anak itu, sebelum akhirnya merembet kemana-mana.

"Tente Marisa, Kak Adrian, mbak, sepertinya aku harus pamit dulu ya. Aku harus kerumah sakit melihat kondisi papa."

Deswita berdiri dan tersenyum kepada Amanda, seolah sengaja menciptakan celah untuk mengalihkan pembicaraan yang mulai memanas.

"Kok buru-buru banget sih, Wita?" Marisa menatap Adik menantunya dengan sedikit terkejut.

"Iya tan, mau melihat kondisi Papa, soalnya operasinya kan dilakukan pagi tadi."

Marisa mengangguk, "Pasti belum diperbolehkan dijenguk juga ya?"

Deswita melirik kearah Adrian, bergantian kearah Kakaknya. "Ehm, sepertinya memang belum tan."

"Iya ma." Manda menanggapi cepat, "belum boleh dijenguk sampai kondisi pasien membaik. Biasanya sih gitu, jadi, mama nggak usah repot besuk papa ya." takut-takut Manda menjawab, ekor matanya menangkap Adrian yang terus memperhatikannya.

Marisa menghela nafas, "Baiklah, mama paham Andin. kalau begitu Adrian, kamu dan Manda antar Deswita ya. Sekalian, mintalah restu dari orang tua Manda, minimal ibunya."

Adrian dan Amanda saling pandang, namun, hanya sekejap saja. Detik berikutnya keduanya berusaha terlihat tenang, meski jauh dalam lubuk hati keduanya bingung, juga cemas.

"Adrian, Manda, kok malah ngelamun. Buruan ganti baju kalian, lalu antarkan Deswita."

"Baik, Ma," jawab Adrian akhirnya, mengikuti instruksi ibunya.

"Oh, dan satu hal lagi," tambah Marisa sebelum mereka sempat berdiri. "Setelah mengantar Deswita, kalian harus kembali ke sini malam ini ya. Mama sudah menyiapkan kamar pengantin buat kalian. Dan tidak ada alasan untuk menolak."

Amanda merasakan wajahnya memanas, dadanya berdebar kencang mendengar kata "kamar pengantin". Ia melirik Adrian yang tampak agak tegang.

"Tapi ma, bukankan sebaiknya kami menginap di apartemen aku saja malam ini, sepertinya lebih privasi saja kalau disana, Manda juga nggak canggung lagi. Iya kan sayang?"

"Iya ma. Kami menginap disana saja."

"Kalian nggak dengar apa kata Mama tadi? Mama tidak menerima alasan apapun. Ingat itu, mama tekankan sekali lagi pada kalian ya.

Jadi, mau tak mau, suka tak suka, malam ini, kalian harus menginap disini. Dan jika tidak," Marisa melirik kearah putranya, "Adrian, kamu mengerti 'kan?"

Adrian membuang nafasnya kasar, "Iya ma, aku mengerti."

"Bagus. Kalau begitu cepatlah. Mama tunggu kalian dijam makan malam ya."

Tak ada pilihan lain, Amanda dan Adrian pun bergegas mengganti pakaian mereka, untuk segera pergi ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status